Makna dan Kedudukan Sunnah Nabi

Bukanlah yang dimaksud di sini sunnah dalam ilmu fikih, yaitu perbuatan yang mendapat pahala jika dilakukan, dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Akan tetapi, sunnah adalah apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang batin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiamat.

Secara bahasa, sunnah artinya as-sirah (perjalanan) hidup atau thariqah (cara hidup). Dalam Lisaanul ‘Arab disebutkan,

والسُّنَّة السيرة، حسنة كانت أَو قبيحة

As-Sunnah artinya as-sirah (perjalanan hidup), baik yang bagus maupun yang jelek.”

Dijelaskan oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab Irsyadhul Fuhul,

أما لغة : فهي الطريقة المسلوكة ، وأصلها من قولهم : سننت الشيء بالمسن إذا أمررته عليه ، حتى يؤثر فيه سنا أي طريقا . وقال الكسائي : معناها الدوام ، فقولنا : سنة معناه الأمر بالإدامة من قولهم : سننت الماء إذا واليت في صبه . قال الخطابي : أصلها الطريقة المحمودة ، فإذا أطلقت انصرفت إليها ، وقد يستعمل في غيرها مقيدة ، كقوله : من سن سنة سيئة . وقيل : هي الطريقة المعتادة ، سواء كانت حسنة أو سيئة

Sunnah secara bahasa artinya cara hidup. Jika orang Arab mengatakan ‘sanantu asy-syai’a bil-masni’,  maknanya adalah ‘aku menjalaninya hingga tua’. ‘Hatta yuatsira fihi sunnan’, maknanya adalah ‘hingga (perjalanan hidup) itu membuahkan sebuah cara hidup’.

Al Kisa’i mengatakan, ‘Sunnah makanya ad-dawaam (kontinu). Maka makna as-sunnah adalah sesuatu yang dilakukan secara kontinu. Sebagaimana perkataan ‘sunantul ma’a’, yang artinya ‘aku secara kontinu memercikkan air’.

Al-Khathabi mengatakan, ‘as-sunnah artinya cara hidup yang baik. Jika disebutkan secara muthlaq (bersendirian), maka maknanya demikian. Dan terkadang digunakan secara muqayyad (digandengkan) semisal dalam hadis ‘man sanna sunnatan sayyiatan’. Dan sebagian ahli bahasa mengatakan maknanya adalah cara hidup yang sudah jadi kebiasaan, baik itu bagus ataupun buruk.’” [1]

Sedangkan makna sunnah dalam istilah syar’i, adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan,

وأما معناها شرعا : أي في اصطلاح أهل الشرع ، فهي : قول النبي صلى الله عليه وآله وسلم وفعله وتقريره ، وتطلق بالمعنى العام على الواجب وغيره في عرف أهل اللغة والحديث ، وأما في عرف أهل الفقه فإنما يطلقونها على ما ليس بواجب ، وتطلق على ما يقابل البدعة كقولهم : فلان من أهل السنة .

Adapun makna as-sunnah secara syar’i, yaitu dalam istilah para ulama, artinya adalah perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan dimaknai dengan makna umum, baik itu perkara yang wajib atau yang selainnya, menurut ahli bahasa dan ahli hadis. Adapun dalam kebiasaan ahli fikih, yang dimaksud dengan as-sunnah adalah semua ibadah yang tidak wajib. Dan terkadang juga, maksud as-sunnah adalah lawan dari bid’ah, sebagaimana dalam perkataan ulama: Fulan adalah ahlussunnah.” [2]

Maka sunnah yang kami maksudkan di sini adalah sunnah dalam makna perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukan sunnah dalam definisi ulama fikih, yaitu segala ibadah yang tidak wajib. Dan masalah yang akan kita bahas ini, adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena ia diperintahkan oleh Nabi, dilakukan oleh Nabi, dan juga disetujui oleh Nabi.

Dari ini kita pahami bahwa sunnah adalah teladan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka di dalamnya tercakup perkara wajib, perkara mustahab (dianjurkan), dan juga terkadang berupa perkara mubah. Oleh karena itu, tidak benar sangkaan sebagian orang yang beranggapan bahwa Al-Qur’an itu yang wajib dan As-Sunnah itu yang mustahab.

Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Banyak orang yang menyangka bahwa yang terdapat dalam Al-Qur’an itulah yang wajib, sedangkan yang ada dalam As-Sunnah yang suci itu adalah yang mustahab (dianjurkan) yang diberi pahala jika melakukannya dan tidak berdosa jika meninggalkannya. Pemahaman keliru ini masuk ke tengah masyarakat karena semrawutnya pengertian mengenai makna As-Sunnah, padahal mereka tahu wajibnya menaati perintah Rasul.” [3]

Kedudukan Sunnah Nabi

Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kedudukan yang agung dalam Islam karena ia adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Maka wajib untuk memuliakan sunnah Nabi secara umum, mengamalkannya, menaatinya, dan menjadikannya cara beragama serta cara hidup. Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini sangatlah banyak, di antaranya:

Dalil-Dalil dari Al-Qur’an

Dalil-dalil dari Al Qur’an tentang wajibnya mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

  1. Perintah Allah untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk taat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”” (QS. Al Imran: 32).

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Ayat ini adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya dengan bentuk perintah yang umum, yaitu agar mereka menaati Allah dan menaati Rasul-Nya. Perintah ini mencakup taat dalam masalah iman dan tauhid, dan juga perkara-perkara turunan dari keduanya, baik berupa amalan, perkataan, lahiriah maupun batiniah. Bahkan juga mencakup menjauhi apa yang Allah dan Rasul-Nya larang. Karena menjauhi apa yang dilarang juga termasuk menaati perintah Allah.” [4]

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [5]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maksud ayat ini, barang siapa yang menjalani cara beragama yang bukan berasal dari Rasulullah shallallahu ’alahi wasallam, maka ia telah menempatkan dirinya di suatu irisan (syiqq), sedangkan syariat Islam di irisan yang lain. Itu ia lakukan setelah kebenaran telah jelas baginya.” [6]

  1. Adanya ancaman bagi orang yang menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Di antaranya firman Allah Ta’ala,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Allah itu takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih.” [7]

Ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang orang yang merasa bahwa ber-ihram sebelum miqat itu lebih bagus, padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah mensyari’atkan bahwa ihram dimulai dari miqat, maka Imam Malik rahimahullah pun berkata, “Ini menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, dan aku khawatir orang itu akan tertimpa fitnah di dunia dan azab yang pedih sebagaimana dalam ayat … (beliau menyebutkan ayat di atas).” [8]

Ketika menjelaskan perkataan Imam Malik rahimahullah ini, Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Fitnah yang dimaksud Imam Malik rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini berhubungan dengan kebiasaan dan kaidah ahlul bid’ah, yaitu karena mengedepankan akal, mereka tidak menjadikan firman Allah dan sunnah Rasulullah sebagai petunjuk bagi mereka.” [9]

  1. Tercelanya memiliki pilihan lain ketika dalam suatu permasalahan yang sudah ada sunnah Nabi

Di antaranya firman Allah Ta’ala,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” [10]

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak layak bagi seorang mukmin dan mukminah, jika Allah sudah menetapkan sesuatu dengan tegas, lalu ia memiliki pilihan yang lain. Yaitu pilihan untuk melakukannya atau tidak, padahal ia sadar secara pasti bahwa Rasulullah itu lebih pantas diikuti dari pada dirinya. Maka hendaknya, janganlah menjadikan hawa nafsu sebagai penghalang antara dirinya dengan Allah dan Rasul-Nya.” [11]

  1. Adanya perintah untuk mengembalikan keputusan kepada Rasulullah ketika ada perselisihan

Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [12]

  1. Rujuk kepada keputusan Rasulullah ketika ada perselisihan dijadikan sebagai barometer iman

Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [13]

  1. Ditetapkannya Rasulullah sebagai teladan yang sempurna dalam ibadah dan muamalah

Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung.” [14]

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [15]

Dalil-Dalil Hadis

Dalil-dalil dari hadits tentang wajibnya berpegang pada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di antaranya:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” [16]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan.” [17]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

Apa yang aku larang hendaknya kalian jauhi, dan apa yang aku perintahkan maka hendaknya kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka banyak bertanya dan karena mereka menyelisihi ajaran nabi-nabi mereka.” [18]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ألا إنِّي أوتيتُ الكتابَ ومثلَهُ معَهُ ، ألا يوشِكُ رجلٌ ينثَني شبعانَ على أريكتِهِ يقولُ : عليكمُ القُرآنَ ، فما وجدتُمْ فيهِ من حلالٍ فأحلُّوهُ وما وجدتُمْ فيهِ من حرامٍ فحرِّموهُ

Ketahuilah bahwa aku diberikan Al-Qur’an dan sesuatu yang semisalnya (As-Sunnah) untuk membersamainya. Ketahuilah, akan ada orang yang bersandar dalam keadaan kekenyangan di atas dipannya, lalu ia berkata: “Hendaknya kalian berpegang pada Al-Qur’an, yang kalian dapati halal di dalamnya maka halalkanlah, yang kalian dapati haram di dalamnya maka haramkanlah.”” [19]

Perkataan para Ulama

Para ulama ahlussunnah sejak dahulu hingga sekarang memotivasi umat ini untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak mencukupkan diri dengan Al-Qur’an, bahkan mereka menjadikan sunnah Nabi sebagai sumber hukum dan juga pedoman dalam beragama dan pedoman dalam menjalani kehidupan. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,

لم أسمع أحدًا – نسبه الناس أو نسب نفسه إلى علم – يخالف في أن فرض الله عز وجل اتباعُ أمر رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، والتسليم لحكمه؛ بأن الله عز وجل لم يجعل لأحد بعده إلا اتباعه، وأنه لا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله أو سنة رسوله – صلى الله عليه وسلم -، وأن ما سواهما تبع لهما

Tidak pernah aku mendengar orang yang disebut ulama atau yang menisbatkan diri sebagai ulama, yang menentang bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan kita ittiba’ (mengikuti) perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menerima segala hukum dari beliau. Dan Allah Ta’ala tidak memberikan kelonggaran untuk siapapun kecuali mereka harus mengikuti Rasulullah. Dan tidak ada perkataan yang wajib ditaati kecuali Kitabullah atau sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan yang selainnya hanya mengikuti dua hal tersebut.” [20]

Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan,

ليس من أحد إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم

Tidak ada satu orang pun kecuali perkataannya boleh diambil dan boleh ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (maka wajib diambil dan tidak boleh ditinggalkan).” [21]

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan,

لا تقلدني ولا تقلد مالكاً ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا

Jangan kalian taqlid buta kepadaku! Jangan pula kepada Malik atau Asy-Syafi’i atau Al-Auza’i atau Ats-Tsauri! Namun, ambillah kebenaran yang sesuai dengan sumber pendapat mereka (yaitu sunnah Nabi).” [22]

Imam Ahmad rahimahullah juga mengatakan,

من ردَّ حديث رسول الله فهو على شفا هلكة

Siapa yang menolak hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia berada dalam jurang kebinasaan.” [23]

Abu Hamzah Al-Bazzar rahimahullah mengatakan,

من علم طريق الحق سهل عليه سلوكه، ولا دليل على الطريق إلى الله إلا متابعة الرسول صلى الله عليه وسلم في أحواله وأقواله وأفعاله

Barangsiapa yang mengetahui jalan kebenaran, maka perjalanannya akan mudah. Dan tidak ada petunjuk menuju jalan Allah kecuali dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam kehidupan beliau, perkataan beliau, dan perbuatan beliau.” [24]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

الْعِبَادَاتُ مَبْنَاهَا عَلَى الشَّرْعِ وَالِاتِّبَاعِ لَا عَلَى الْهَوَى وَالِابْتِدَاعِ فَإِنَّ الْإِسْلَامَ مَبْنِيٌّ عَلَى أَصْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ نَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ. وَالثَّانِي: أَنْ نَعْبُدَهُ بِمَا شَرَعَهُ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَعْبُدَهُ بِالْأَهْوَاءِ وَالْبِدَعِ

Ibadah itu landasannya adalah syariat dan mengikuti sunnah Nabi, bukan dengan hawa nafsu dan bid’ah. Karena Islam itu dibangun di atas dua landasan. Pertama, kita menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya. Yang kedua, kita menyembah Allah dengan apa yang Allah syariatkan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita tidak menyembah Allah dengan hawa nafsu dan bid’ah.” [25]

Semoga penjelasan ringkas ini dapat memotivasi kita untuk terus mempelajari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengamalkan dan berpegang teguh dengannya. Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/67160-makna-dan-kedudukan-sunnah-nabi.html

Sayang, Adab di Saat Magrib Sunah yang Terabaikan

BERIKUT ini beberapa adab yang dianjurkan untuk dilakukan di waktu Magrib. Semoga kita diberi hidayah untuk mengamalkannya.

Pertama: termasuk sunah, memasukkan anak-anak ke dalam rumah saat masuknya waktu magrib. Kedua: termasuk sunah, menutup pintu-pintu di awal waktu magrib sambil menyebut nama Allah taala.

Mengerjakan dua adab ini merupakan salah satu upaya menjaga diri dari setan dan jin. Menahan anak-anak di rumah ketika awal waktu magrib merupakan bentuk upaya menjaga anak-anak dari setan yang berkeliaran di waktu tersebut, demikian pula menutup pintu rumah sambil menyebut nama Allah pada saat tersebut.

Dan betapa banyak anak-anak dan rumah-rumah yang dihinggapi setan pada waktu magrib, sedangkan orangtua si anak dan si empunya rumah tidak menyadarinya. Betapa besarnya penjagaan Islam untuk anak-anak dan rumah-rumah kita.

Dalil perbuatan ini adalah hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu ketika beliau menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Jika masuk awal malam atau beliau mengatakan: jika kalian memasuki waktu sore- maka tahanlah anak-anak kalian karena setan sedang berkeliaran pada saat itu. Jika sudah lewat sesaat dari awal malam, bolehlah kalian lepaskan anak-anak kalian. Tutuplah pintu-pintu dan sebutlah nama Allah karena setan tidak bisa membuka pintu yang tertutup” (HR. Al-Bukhari no. 3304 dan Muslim no. 2012).

Kata (awal malam) maksudnya adalah awal malam setelah terbenamnya matahari. Dalam riwayat Muslim terdapat hadis:

“Jangan lepaskan hewan-hewan ternak dan anak-anak kalian ketika matahari terbenam sampai berlalunya awal isya karena para setan berkeliaran antara waktu terbenamnya matahari sampai berlalunya awal isya.” (HR. Muslim no. 2013).

Imam Nawawi mengatakan, “Maksud tahanlah anak-anak kalian adalah larang mereka agar tidak keluar pada waktu itu.”

Sabda Rasulullah “karena sesungguhnya setan sedang berkeliaran” maksudnya adalah bangsa setan dan maknanya: ditakutkan terjadinya gangguan setan pada anak-anak pada waktu tersebut karena banyaknya mereka pada waktu itu, wallahu alam.

Mengenai sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi: “Jangan lepaskan hewan-hewan ternak dan anak-anak kalian ketika matahari terbenam sampai berlalunya awal isya karena para setan berkeliaran antara waktu terbenamnya matahari sampai berlalunya awal isya.” (HR. Muslim no. 2013).

Para ahli bahasa mengatakan, (hewan ternak) adalah semua bentuk harta yang dapat menyebar, seperti onta, kambing, semua hewan ternak, dan sebagainya. Kata adalah bentuk jama dari , dinamakan demikian karena ia menyebar di muka bumi.

Kata maknanya adalah saat gelap gulitanya isya. Sebagian ulama menafsirkan kata ini dalam konteks hadis ini sebagai datangnya waktu malam dan awal gelapnya. Demikian yang disebutkan oleh penulis Nihayatul Gharib, beliau mengatakan, “Ada yang berpendapat bahwa kegelapan antara salat magrib dan isya disebut fahmah () dan yang antara isya dan subuh disebut asasah ()” (Syarh Shahih Muslim karya An-Nawawi, hadits no. 2012, bab al-Amru bi Taghthiyati al-Inaa wa Ikaa-I as-Saqaa).

Setelah berlalu beberapa saat dari waktu masuknya awal malam, tidak mengapa jika melepaskan anak keluar rumah karena waktu berkeliarannya setan telah lewat. Dapat juga dipahami dari sini, wallahu alam, bahwa para setan telah mendapat tempat menginap untuk diri mereka.

Hikmah berkeliarannya setan pada waktu ini dan bukan pada waktu siang, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah, adalah karena pergerakan di malam hari lebih memungkinkan mereka daripada di siang hari, hal ini karena kegelapan lebih mengumpulkan kekuatan setan daripada yang lain, begitu pula setiap warna hitam. (Fathul Bari hadits no. 3280, bab Shifatu Iblis wa Junudihi).

Imam ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadis ini terdapat perintah untuk menutup pintu-pintu rumah pada waktu malam hari, dan hal ini merupakan suatu sunah yang diperintahkan sebagai bentuk kebaikan bagi manusia dalam melawan setan dari jenis jin dan manusia. Adapun sabda beliau, Karena setan tidak dapat membuka pintu yang tertutup dan mengurai ikatan tali merupakan sebuah pemberitahuan dan pemberitaan dari beliau akan nikmat Allah azza wa jalla untuk hamba-hambaNya dari golongan manusia dengan tidak diberikannya bangsa jin kemampuan membuka pintu, mengurai ikatan, dan menyingkap tutup bejana, hal-hal ini telah diharamkan bagi mereka. Di sisi lain, bangsa jin diberi kemampuan lebih dibanding manusia berupa kemampuan tidak terlihat oleh manusia dan kemampuan untuk merasuki manusia, sedangkan manusia tidak dapat merasuki.” (Al-Istidzkar, 8/363).

Al-Khatib Asy-Syarbaini Asy-Syafii rahimahullah mengatakan, “Jika malam telah datang, disunahkan menutup bejana walau dengan meletakkan batang kayu di atasnya. Mengikat kantong air, menutup pintu sambil menyebut nama Allah, memasukkan anak-anak dan memasukkan hewan ternak pada awal malam, serta mematikan lampu ketika hendak tidur.” (Mughnil Muhtaj, 1/31).

Menahan anak-anak supaya tidak keluar rumah dan menutup pintu di awal waktu maghrib merupakan perkara mustahab. (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/317).

Ketiga: salat dua rakaat sebelum salat Magrib

Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Mughaffal Al-Muzani radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam beliau mengatakan: “Salatlah sebelum salat Maghrib” tiga kali dan pada yang ketiga, beliau katakan, “bagi yang mau” karena tidak suka kalau umatnya menjadikan hal itu sebagai suatu kebiasaan.

Juga berdasarkan hadis Anas radhiyallahu anhu bahwa beliau mengatakan, “Sungguh aku melihat para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang senior saling berlomba mengejar tiang-tiang (untuk dijadikan tempat salat) ketika masuk waktu magrib.” (HR. Al-Bukhari no. 503).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, beliau mengatakan

“Kami pernah tinggal di Madinah. Saat muadzin berazan untuk salat Magrib, mereka (para sahabat senior) saling berlomba mencari tiang-tiang lalu mereka salat dua rakaat dua rakaat sampai ada orang asing yang masuk masjid untuk salat mengira bahwa salat Magrib sudah ditunaikan karena saking banyaknya yang melaksanakan salat sunah sebelum Magrib.” (HR. Muslim no. 837).

Maksud kata adalah , yaitu saling berlomba menuju tiang untuk menjadikannya sebagai pembatas salat, dalam hal ini terdapat penjelasan akan kegigihan para sahabat untuk mencari sutrah salat.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Di dalam Shahihain terdapat hadis dari Abdullah Al-Muzani dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau mengatakan, Salatlah sebelum Magrib! Salatlah sebelum Magrib! dan beliau katakan di ketiga kalinya, Bagi yang mau karena tidak ingin dijadikan kebiasaan oleh umatnya. Inilah yang benar, yakni bahwasannya salat ini hanya salat sunah biasa, bukan termasuk salat sunah rawatib seperti salat sunah rawatib yang lain.” (Zadul Maad, 1/312).

Juga memang disunahkan salat dua rakaat di antara setiap azan dan iqamah, baik shalat dua rakaat ini merupakan shalat rawatib seperti Subuh dan Zuhur sehingga dengan mengerjakan dua rakaat rawatib ini telah teranggap melaksanakan sunah melaksanakan salat dua rakaat antara azan dan iqamah, atau pun seperti ada orang yang sedang duduk di masjid lalu muazin mengumandangkan azan Asar atau Isya maka sunah bagi dirinya untuk bangkit berdiri dan salat dua rakaat.

Dalilnya adalah hadis Abdullah bin Mughaffal Al-Muzani radhiyallahu anhu, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Di antara setiap dua azan (adzan dan iqamah pent.) ada salat.” Beliau katakan tiga kali dan pada kali ketiga, beliau mengatakan, “Bagi yang mau.” (HR. Al-Bukhari no. 624 dan Muslim no. 838).

Syaikh ibn Baz rahimahullah menjelaskan, “Disyariatkan untuk setiap muslim agar melaksanakan salat dua rakaat antara dua azan, baik itu dua rakaat salat rawatib maupun bukan rawatib, sesuai sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Di antara setiap dua azan terdapat salat, di antara setiap dua azan terdapat salat Dan pada kali ketiga beliau mengatakan, Bagi yang mau, sahih hadisnya disepakati Bukhari dan Muslim. Ini mencakup semua salat dan maksud dua azan adalah azan dan iqamah. Hadis ini dan hadis-hadis lain yang semakna dengannya menunjukkan bahwa salat sunah dua rakaat di antara dua azan itu memang dituntunkan oleh syariat. Dan jika memang dua rakaat tersebut merupakan rawatib seperti salat sunah sebelum Subuh dan Zuhur maka telah mencukupi.” (Majmu Fatawa Syaikh ibn Baz, 11/383).

Dua rakaat sebelum Maghrib atau dua rakaat di antara setiap dua azan bukanlah sunah yang sangat ditekankan untuk dilaksanakan sebagaimana ditekankannya melaksanakan salat sunah rawatib, akan tetapi terkadang boleh ditinggalkan. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan pada sabda beliau yang ketiga kalinya, “Bagi siapa yang mau” karena tidak suka kalau dianggap umatnya sebagai sunah yang dikuatkan.

Keempat: Makruh tidur sebelum Isya

Berdasarkan hadis Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu anhu, beliau mengatakan,

“Bahwasannya Nabi shallallahu alaihi wa sallam suka untuk mengakhirkan waktu Isya, membenci tidur sebelumnya, dan membenci bincang-bincang setelah Isya.” (HR. Al-Bukhari no. 599 dan Muslim no. 647)

Alasan dibencinya tidur sewaktu Magrib, yaitu sebelum Isya, adalah karena tidur pada saat itu dapat menyebabkan luputnya melaksanakan shalat Isya. []

Sumber: kitab Al-Minah Al-Aliyyah fii Bayani As Sunan Al-Yaumiyyah, Syaikh Abdullah bin Hamud Al Furaih, dinukil dari http://www.alukah.net/sharia/0/91347

INILAH MOZAIK

Kontinyu dalam Menjaga Amal Ibadah Sunnah

Salah satu perkara yang mungkin sulit dan bagi kita adalah menjaga kontinuitas amal, yaitu menjaga agar kita terus-menerus melakukan amal tersebut dan tidak hanya beramal di satu waktu, kemudian meninggalkannya. Bisa jadi kita semangat shalat malam di bulan Ramadhan, lalu setelah itu, kita pun meninggalkannya, menunggu bulan Ramadhan berikutnya. 

Motivasi dari syariat untuk menjaga kontinuitas amal

Kita dapati motivasi dari syariat agar kita menjaga kontinuitas (kesinambungan) suatu amalan. Sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,

يَا عَبْدَ اللَّهِ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ، فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

“Wahai ‘Abdullah, janganlah Engkau seperti si fulan. Dulu dia rajin shalat malam, dan sekarang dia meninggalkannya.” (HR. Bukhari no. 1152 dan Muslim no. 1159)

Demikian pula perkataan ummul mukminin, ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ وَكَانَ يَقُولُ: خُذُوا مِنَ العَمَلِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا. وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّتْ، وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً دَاوَمَ عَلَيْهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa (sunnah) lebih banyak dalam sebulan selain bulan Sya’ban, dimana beliau melaksanakan puasa bulan Sya’ban seluruhnya.” Beliau bersabda, “Lakukanlah amal-amal yang kalian sanggup melaksanakannya, karena Allah tidak akan berpaling (dalam memberikan pahala) sampai kalian yang lebih dahulu berpaling (dari mengerjakan amal).” Dan shalat yang paling Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cintai adalah shalat yang dijaga kesinambungannya sekalipun sedikit. Dan bila beliau sudah biasa melaksanakan shalat (sunnat) beliau menjaga kesinambungannya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 741)

Beliau tidaklah mengkhususkan satu waktu untuk beribadah, hanya semangat di satu waktu, lalu tidak semangat beramal di waktu lainnya. Sebagaimana keadaan beliau tersebut ditanyakan oleh Alqamah kepada ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

هَلْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَخْتَصُّ مِنَ الأَيَّامِ شَيْئًا؟ قَالَتْ: ” لاَ، كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً، وَأَيُّكُمْ يُطِيقُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطِيقُ

“Aku bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan hari-hari tertentu dalam beramal?” Dia menjawab, “Tidak. Beliau selalu beramal terus menerus tanpa putus. Siapakah dari kalian yang akan mampu sebagaimana yang mampu dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” (HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 741)

Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ أَحَبُّ العَمَلِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي يَدُومُ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

“Amal yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amal yang dikerjakan secara kontinyu (berkesinambungan) oleh pelakunya.” (HR. Bukhari no. 6462 dan Muslim no. 741)

Meningkatkan derajat dan meraih pahala yang besar dengan rutin ibadah sunnah

Di antara faidah besar dari menjaga rutinitas dan kontinuitas (kesinambungan) ibadah adalah meningkatkan derajat seorang hamba di sisi Allah Ta’ala dan meraih pahala atau keutamaan yang besar. Sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَابِعُوا بَيْنَ الحَجِّ وَالعُمْرَةِ، فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الكِيرُ خَبَثَ الحَدِيدِ، وَالذَّهَبِ، وَالفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ المَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلَّا الجَنَّةُ

“Lakukanlah haji dan umrah dalam waktu yang berdekatan, karena keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan menghapus dosa, sebagaimana al-kir (alat yang dipakai oleh pandai besai) menghilangkan karat besi, emas, dan perak. Tidak ada balasan haji mabrur kecuali surga.” (HR. Tirmidzi no. 810, An-Nasa’i no. 2630. Ibnu Majah no. 2887, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Diriwayatkan dari ibunda Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa shalat dua belas rakaat sehari semalam, maka akan dibangunkan baginya sebuah rumah di surga.” 

Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha kemudian berkata, 

فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Maka aku tidak akan meninggalkan shalat dua belas rakaat itu semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 728)

Dalam hadits di atas, kita bisa melihat bagaimanakah semangat salaf terdahulu dalam menjaga rutinitas amal sejak mendapatkan ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Kiat utama untuk menjaga kontinuitas amal

Dalam ibadah wajib, secara umum kita memiliki kewajiban yang sama dan tidak ada pilihan kecuali harus melaksanakan ibadah wajib tersebut. Kita sama-sama harus shalat lima waktu sehari semalam dan berpuasa di bulan Ramadhan. Meskipun dalam kondisi tertentu, ibadah wajib tersebut berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Laki-laki memiliki kewajiban shalat di masjid (menurut pendapat yang kami nilai paling kuat dalam masalah ini), sedangkan tidak untuk wanita. Demikian pula, kewajiban laki-laki sebagai kepala rumah tangga, tentu berbeda dengan kewajiban istri. Sehingga secara umum, mau tidak mau, kita harus melaksanakan ibadah wajib tersebut dan tidak ada pilihan lain. 

Berbeda halnya dengan ibadah sunnah. Ibadah sunnah itu beragam, ada shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, dan seterusnya. Di antara kita utama kita bisa kontinyu dalam ibadah sunnah adalah kita memilih ibadah sunnah yang sesuai dengan kondisi kita masing-masing, manakah yang jiwa kita merasa ringan melakukannya. Dan ini, tentu saja, berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lainnya. 

Ada orang yang kalau sedekah sunnah, dia rajin, karena memang berkecukupan dan dia punya jiwa sosial. Namun, ada orang yang agak berat sedekah sunnah, karena dia pas-pasan, namun kalau disuruh puasa menahan lapar, dia akan senang-senang saja. Ada orang yang agak berat kalau puasa rutin karena pekerja berat, namun dia senang membaca Al-Qur’an di waktu-waktu luangnya. Ada orang yang mungkin agak berat puasa sunnah rutin dan membaca Al-Qur’an, namun dia senang dan rajin mendengarkan pengajian. Dan demikian seterusnya. 

Kondisi ini sama persis dengan jalan-jalan meraih rizki. Ada orang yang berbakat jadi pedagang, namun tidak bisa menjadi petani. Ada orang yang pandai memasak, bisa buka warung, namun tidak bisa menjadi pekerja bangunan. Tentu kita tidak bisa memaksa seorang pekerja bangunan untuk beralih profesi menjadi juru masak di restoran. Jalan-jalan rizki masing-masing orang berbeda-beda, sebagaimana jalan ibadah sunnah setiap orang pun berbeda-beda. 

Oleh karena itu, sungguh indah perkataan Imam Malik bin Anas rahimahullahu Ta’ala ketika berdiskusi dengan seseorang yang menyibukkan dirinya dalam ibadah. 

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ الْعُمَرِيَّ الْعَابِدَ كَتَبَ إِلَى مَالِكٍ يَحُضُّهُ إِلَى الِانْفِرَادِ وَالْعَمَلِ وَيَرْغَبُ بِهِ عَنِ الِاجْتِمَاعِ إِلَيْهِ فِي الْعِلْمِ فَكَتَبَ إِلَيْهِ مَالِكٌ

“Sesungguhnya ‘Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Umarri Al-‘Aabid, seorang ahli ibadah, menulis surat kepada Imam Malik. Beliau menyarankan (memotivasi) Imam Malik untuk menyendiri (uzlah) dan sibuk beribadah dalam kesendirian. Dan dengan motivasi itu, dia ingin menggembosi semangat Imam Malik dari mengajarkan ilmu. Imam Malik pun membalas surat tersebut dengan mengatakan,

أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَسَّمَ الْأَعْمَالَ كَمَا قَسَّمَ الْأَرْزَاقَ فَرُبَّ رَجُلٍ فُتِحَ لَهُ فِي الصَّلَاةِ وَلَمْ يُفْتَحْ لَهُ فِي الصَّوْمِ وَآخَرَ فُتِحَ لَهُ فِي الصَّدَقَةِ وَلَمْ يُفْتَحْ لَهُ فِي الصِّيَامِ وَآخَرَ فُتِحَ لَهُ فِي الْجِهَادِ وَلَمْ يُفْتَحْ لَهُ فِي الصَّلَاةِ وَنَشْرُ الْعِلْمِ وَتَعْلِيمُهُ مِنْ أَفْضَلِ أَعْمَالِ الْبِرِّ وَقَدْ رَضِيتُ بِمَا فَتَحَ اللَّهُ لِي فِيهِ مِنْ ذَلِكَ وَمَا أَظُنُّ مَا أَنَا فِيهِ بِدُونِ مَا أَنْتَ فِيهِ وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ كِلَانَا عَلَى خَيْرٍ وَيَجِبُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا أَنْ يَرْضَى بِمَا قُسِّمَ لَهُ

‘Sesungguhnya Allah Ta’ala itu membagi amal (ibadah) sebagaimana Allah membagi rizki (maksudnya, ada yang sumber rizkinya dari berdagang, menjadi petani, dan seterusnya, pen.). Ada orang yang dibukakan untuknya pintu shalat, namun tidak dibukakan pintu puasa. Sedangkan yang lain, dibukakan pintu sedekah, namun tidak dibukakan pintu puasa. Yang lain lagi, dibukakan pintu jihad, namun tidak dibukakan pintu shalat. Adapun menyebarkan ilmu dan mengajarkannya termasuk di antara amal kebaikan yang paling utama. Dan sungguh aku telah ridha dengan apa yang telah Allah Ta’ala bukakan untukku. Aku tidak menyangka amal yang Allah mudahkan untukku itu lebih rendah dari amal yang Engkau kerjakan. Aku berharap bahwa kita berdua berada dalam kebaikan. Dan wajib atas setiap kita untuk ridha terhadap amal yang telah dibagi untuknya.” (At-Tamhiid, 7/158 dan Siyar A’laam An-Nubalaa’, 8: 114)

Demikianlah nasihat indah Imam Malik rahimahullah yang perlu diperhatikan. Dalam ibadah sunnah, janganlah kita meremehkan orang lain karena berbeda dengan kita. Termasuk dalam dakwah. Kita dapati sebagian ustadz sangat rajin dan gemar menulis, dan menghasilkan karya-karya tulisan yang banyak. Karena memang beliau sejak dulu rajin dan gemar menulis. Namun, ustadz yang lain, belum tentu sama, karena dia disibukkan dengan dakwah langsung di masyarakat, atau menjadi relawan kemanusiaan yang terjun langsung di daerah-daerah pedalaman yang belum tersentuh dakwah. 

Oleh karena itu, yang menjadi renungan bagi kita adalah, jiwa kita, mau memilih ke arah mana?

[Selesai]

***

Penulis:M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54143-kontinyu-dalam-menjaga-amal-ibadah-sunnah.html

Sunnah Membantu Istri di Rumah

Salah satu sunnah yang mungkin mulai ditinggalkan para suami adalah membantu istri dan pekerjaannya di rumah, semoga para suami bisa menerapkan sunnah ini walaupun hanya sedikit saja. Beberapa suami bisa jadi cuek terhadap pekerjaan istri di rumahnya apalagi istri pekerjaannya sangat banyak dan anak-anak juga banyak yang harus diurus dan dididik.

Merupakan kebiasaan dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membantu pekerjaan istrinya di rumah.

‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi shalat” (HR Bukhari).

Hal ini merupakan sifat tawaadhu’ (rendah hati) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencontohkannya pada manusia, padahal beliau adalah seorang pimpinan dan qadhi tertinggi kaum muslimin. Bisa jadi ada suami yang merasa diri menjadi rendah jika melakukan perbuatan dan pekerjaan rumah tangga karena ia adalah orang besar dan berkedudukan bahkan bos di tempat kerjanya.

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata menjelaskan hadits ini,

من أخلاق الأنبياء التواضع ، والبعد عن التنعم ، وامتهان النفس ليستن بهم ولئلا يخلدوا إلى الرفاهية المذمومة

Di antara akhlak mulia para nabi adalah tawaadhu’ dan sangat jauh dari suka bersenang-senang (bermewah-mewah) dan melatih diri untuk hal ini, agar mereka tidak terus-menerus berada pada kemewahan yang tercela (mewah tidak tercela secara mutlak).” (Fathul Bari kitab adab hal. 472)

Membantu istri bisa dilakukan dengan pekerjaan sederhana, terkadang membantu hal yang sederhana saja sudah membuat senang dan bahagia para istri, semisal menyapu emperan saja, mencuci piring dan lain-lainnya.

Dalam hadits lainnya, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan hal-hal sederhana untuk membantu istri-istri beliau semisal mengangkat ember dan menjahit bajunya.

عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ

Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember” (HR Ibnu Hibban).

Ini adalah bentuk muamalah yang baik kepada istri dan diperintahkan dalam AL-Quran.

Allah berfirman,

وعَاشِرُوْهُنَّ بِالمَعْرُوْف

Dan pergaulilah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang ma’ruf” (QS An Nisaa’:19)

Dan firman Allah Ta’ala,

وَلَهٌنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْف

Dan hak mereka semisal kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf” (QS Al Baqarah: 228)

Berbuat baik pada istri merupakan bentuk akhlak sebenarnya (akhlak asli) seorang suami. Istri merupakan “bawahan suami” dan seseorang akan mudah melampiaskan akhlak buruknya ketika menghadapi orang yang derajat/jabatannya di bawahnya. Oleh karena itu, sebaik-baik akhlak seseorang adalah yang paling baik terhadap istrinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

‘Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya (HR At-Tirmidzi As-Shahihah no 284).

Seorang suami di rumah bersama istri dan keluarganya tidak boleh gengsinya tinggi dan kasar, tetapi harus ramah dan berlapang-lapang dengan keluarga dan istrinya.

Dari Tsabit bin Ubaid radhiallahu ‘anhu berkata,

عن ثابت بن عبيد رحمه الله قال : مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَجَلَّ إِذَا جَلَسَ مَعَ الْقَوْمِ ، وَلاَ أَفْكَهَ فِي بَيْتِهِ ، مِنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِت

Aku belum pernah melihat seorang yang demikian berwibawa saat duduk bersama kawan-kawan namun demikian akrab dan kocak saat berada di rumah melebihi Zaid bin Tsabit” (Al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari no 286).

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/39376-sunnah-membantu-istri-di-rumah.html

Orang tak Menyukai Sunah Bukan Golongan Rasulullah

Al Qurthubi rahimahullahu berkata:

“Siapa yang terus menerus meninggalkan sunah, maka itu kekurangan dalam agamanya. Jika ia meninggalkannya karena meremehkan dan tidak suka. Maka itu kefasikan.”

Karena adanya ancaman dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Siapa yang tidak menyukai sunahku, maka ia bukan dari golonganku.”

Dahulu para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya senantiasa menjaga yang sunah sebagaimana menjaga yang wajib. Mereka tidak membedakan keduanya dalam meraih pahala. (Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari 3/265).

Banyak sunah yang diremehkan di zaman ini. Dengan alasan: ah itu kan cuma sunah.

Padahal sunah bukanlah untuk ditinggalkan. Banyak perkara sunnah yang berpahala amat besar.

Seperti salat qabliyah subuh yang lebih baik dari dunia dan seisinya. Bahkan ada amalan sunah yang menjadi tonggak kebaikan.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Senantiasa manusia di atas kebaikan selama mereka bersegera berbuka puasa.” (HR Bukhari dan Muslim).

Bagi kita penuntut ilmu. Mari hiasi hari hari dengan sunah. Meraih cinta Allah. Dia berfirman dalam hadis qudsi:

“Senantiasa hambaKu bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan ibadah yang sunah hingga Aku mencintainya.”

Untuk inilah kita berlomba. Barakallahu fikum, semoga bermanfaat.

 

[Ustz Abu Yahya Badrusalam, Lc]

inilah MOZAIK