Hasbunallah Wa Nimal Wakiil

SAUDARAKU. Misalkan ada yang berikhtiar mencari sebuah rumah. Rumah itu ada di tengah hutan pegunungan yang luas. Orang itu hanya tahu ada rumah di sana, tapi ia tidak tahu alamat maupun arahnya. Lalu, karena merasa, kuat, berani, dan keren, dia langsung masuk saja ke dalam hutan. Ia pun mengabaikan papan peringatan.

Akibatnya, setelah menempuh beberapa puluh meter ia mulai bingung dan gugup. Mencapai seratusan meter sudah sering terpeleset, dan memaki-maki hutan yang menanjak dan curam. Maju lagi sekian langkah makin pusing, karena berjalan sambil tak henti berpikir. Hingga ia pun menggigil saat mendengar ada suara mengaum. Saat itu ia tersadar sedang berpegangan pada papan Peringatan.

Lalu, ia melihat lagi apa yang tertulis di sana: “Bagi Yang tidak tahu jalan, silakan melapor dan pasrahkan sepenuhnya kepada kami. Akan kami antarkan sampai tujuan dengan tepat dan selamat.” Ia meneriaki dirinya sendiri, “Mengapa tidak melapor dari tadi? Saya benar – benar bodoh!”

Kemudian ia melapor. Disampaikannya bahwa ia mencari sebuah rumah di dalam hutan. Tanpa berani menceritakan apa yang telah dialami sebelumnya. Tapi sebetulnya penunjuk jalan juga sudah menyaksikan dari menara, serta dari pakaiannya yang kumal dan sobek Hanya pura-pura tidak tahu demi menjaga perasaan orang itu.

“Baiklah, sudah jadi janji kami untuk mengantarkan. Tapi tas yang setinggi badanmu ini isinya apa?” Orang itu menjawab,” ini hanya beras, alat masak, dan gas elpiji 12 kilo.” “Tidak perlu! Tinggalkan semua, di hutan banyak makanan.Termasuk kedua galon air yang diikat di lehermu itu juga tinggalkan, di sana ada mata air.”

Setelah orang itu siap, penunjuk jalan berkata lagi. “Kamu ikuti saja, saya sama sekali tidak akan menyesatkan. Dijamin sampai dan selamat kalau kamu pasrahkan sepenuhnya kepada saya. Karena saya juga yang membangun rumah itu.” Lalu mereka pun berangkat.

Ketika jalan mulai menanjak, orang itu berkata. “Mengapa harus lewat jalan menanjak?” Lalu dijelaskan bahwa di atas pegunungan banyak pohon buah-buahan yang Iezat. “Oh, ya!” katanya langsung semangat mendahului. Tak lama kemudian dia pun berteriak, “Ada babi hutan!” “Tenang,” kata penunjuk jalan, “Babi hutan tak bisa belok, miring saja sedikit.”

Sesudah dirasa cukup, penunjuk jalan menuntunnya meneruskan perjalanan menuruni dinding bukit yang licin. “Sudah naik, mengapa turun lagi? Apalagi ini licin,” kata orang itu. Lalu dijawab bahwa di bawah ada mata air yang jernih dan segar. Maka dia pun jadi semangat meluncur.

Saudaraku, dari ilustrasi kisah ini, ada hikmah yang dapat kita petik. Hikmahnya, kita harus patuh dan pasrah saja kepada Allah. Sebab Allah adalah Pemilik kita. Allah Yang Mahabaik lebih menghendaki kita bahagia dibanding kita sendiri. Karena itu kita diberi beragam peraturan. Tapi kita sendiri yang suka memilih melanggar dengan sok pintar dan sok keren. Sehingga hidup kita sendiri pula yang diliputi kebingungan, resah, gelisah, dan sengsara.

Allah Pemelihara dan Penjamin kita. Dia-Iah yang paling menginginkan kita selamat menjadi ahli surga. Sedang kita sendiri kurang ingin ke surga. Cirinya, kita suka berbuat maksiat yang mencelakakan diri, serta kurang berani mengakui dan menyesa|i kesalahan sendiri. Kita kurang mau menuruti-Nya. Padahal seluruh perintah Allah SWT itu merupakan jalan ketenangan, kebahagiaan dan keselamatan.

Seperti salat kita yang asal, rakus saat ada makanan, dan sering bermaksiat. Kalau Allah gemas pada kita, minimal kita sudah disambar petir.Tetapi Allah Yang Maha Pengasih, Penyayang dan Pengampun masih memberi kita kesempatan untuk segera memperbaiki diri. Agar kita cepat bertobat, patuh, dan memasrahkan hidup dan mati kita hanya kepada-Nya.

Sama dengan ketika langkah hidup kita mulai sedikit mendaki, maka kita mulai berburuk sangka kepada Pencipta setiap takdir. Begitu pula saat jalan hidup agak menurun, kita juga mulai suka protes kepada Penentu setiap ketentuan. Padahal mau bagaimana pun hidup kita, Penggenggam seluruh rencana dan ketentuan adalah Yang Mahasuci lagi Maha Adil. Allah Yang Mahakuasa memilihkan apa yang terbaik untuk kita, dan Dia Maha Mengetahui.

Saudaraku.Tawakal adalah puncak ikhtiar.Tidak hanya akal dan fisik yang berikhtiar penuh, tapi hati pun harus sepenuhnya pasrah kepada Allah. Ahli tawakal itu derajat para kekasih Allah. Kita harus terus mengupayakannya sebagaimana Rasulullah SAW. Kita melihat bagaimana beliau profesional dalam memimpin dan mengelola umat, dan betapa sempurnanya tawakal beliau.

Doa Rasulullah Saw, “Ya Hayyu, ya Qayyum, birahmatika astaghits wa aslih sya’ni kulIahu wa la takilni ila nafsi tharfata’ainin.” (Wahai Yang Mahahidup, dan mengurus segaIa-galanya terus menerus, dengan rahmatMu tolonglah saya, perbaiki urusan saya dan jangan serahkan kepada saya walaupun sekejap mata).

Rasulullah SAW orang yang paling pasrah, dan kepasrahan beliau total. Sekejap saja beliau tidak mau jika tidak ditolong Allah. Justru kepasrahan itulah yang ‘ mendatangkan ketenangan, ide, gagasan atau pun kemampuan.

Jadi, ayo kita sempurnakan ikhtiar dengan bertawakal. Serta apa pun takdir dan ketentuan yang diberikan Allah, maka kita harus ridha. Walaupun musibah datang bertubi-tubi, tetap harus kita sikapi dengan baik dan pasrahkan kepada-Nya.Termasuk terhadap sesuatu yang dianggap sangat mengancam, cukuplah Allah yang menjadi Pelindung kita.

Sebagaimana, “Orang-orang yang menaati Allah dan Rasul, yang ketika ada orang-orang yang mengatakan kepadanya: ‘Sungguh orang-orang musyrik telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, ternyata ucapan itu menambah kuat iman mereka dan mereka menjawab: ‘HasbunalIaah wa ni’mal Wakiil (cukuplah Allah bagi kami, dan Dia sebaik baik Pelindung).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 173)

Dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata, “Lafaz ‘HasbunaIlaah wa ni’mal Wakiil’ pernah diucapkan oleh Nabi Ibrahim as ketika dilemparkan ke dalam kobaran api. Juga pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika orang-orang telah berkata menakuti: ‘Sesungguhnya orang telah bersatu untuk memerangimu, maka takutlah kepada mereka,’ tetapi ucapan demikian itu justru menambah keimanan mereka dan berkata: ‘Hasbunallaah wa ni’mal Wakiil!” (H R. Imam Bukhari)

Saudaraku, pencari alamat rumah tadi, boleh jadi adalah ilustrasi masing-masing diri kita. Karena itu, mari kita lepaskan ransel, gas elpiji, dan galon air yang telah membuat hidup kita nelangsa. Maksudnya, jangan kagum atau cinta pada dunia! Baik harta, jabatan, pangkat, gelar. atau popularitas.

Patuh dan pasrahkan hidup kita hanya kepada Pemilik langit dan bumi. Di mana saja kita berada, Allah selalu bersama kita. Mudah-mudahan kita selalu ditunjuki. dilindungi, dan diridai-Nya hingga nanti tiba dengan selamat di Surga. HasbunaIlah wa Ni’mal Wakiil. [*]

INILAH MOZAIK

Beberapa Jenis Mati Syahid di Jalan Allah

Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman

Mati syahid di jalan Allah ada beberapa macam:

  1. Syahid di dunia dan akhirat
  2. Syahid di dunia, namun bukan syahid di akhirat
  3. Syahid di akhirat, namun bukan syahid di dunia

Syahid di dunia dan akhirat, akan mendapatkan pahala syahadah (yang sempurna). Orang yang dihukumi sebagai syahid di dunia dan akhirat adalah orang yang gugur dalam perang dalam, keadaan sedang maju bukan sedang kabur, dalam rangka menegakkan kalimat (agama) Allah. Dan ia tidak makan dan minum setelah terluka dan jatuh di pertempuran dalam keadaan belum mendapatkan pengobatan. Sebagian ulama, orang yang terluka di peperangan lalu sempat makan, minum dan mendapat pengobatan setelah terlukanya, maka ia tidak dihukumi syahid. Kecuali jika hanya makan atau minum sedikit saja kemudian wafat setelah terlukanya, (maka masih dihukumi syahid).

Syahid di dunia adalah orang yang gugur dalam perang, dalam keadaan maju bukan kabur, namun niatnya bukan dalam rangka menegakkan kalimat (agama) Allah. Maka di dunia ia dihukumi sebagai syahid secara zahirnya. Namun di akhirat, di sisi Allah, ia tidak mendapatkan pahala syahid.

Adapun syahid di akhirat yang bukan syahid dunia, ia diperlakukan di akhirat kelak sebagaimana orang yang mati syahid dan mendapatkan pahala syahid. Adapun di dunia, jenazahnya tetap dimandikan, dikafankan, dishalati, dan jenazahnya diperlakukan sebagaimana jenazah kaum Muslimin pada umumnya. Yang termasuk jenis ini di antaranya:

  • Al Mabthun, orang yang meninggal karena penyakit di perutnya
  • Al Ghariq (orang yang mati tenggelam)
  • Al Hariq (orang yang mati terbakar)
  • Orang yang sakit dzatul janbi (semacam penyakit paru-paru)
  • Wanita yang meninggal ketika nifas
  • Al Gharib, orang yang meninggal jauh di luar daerah tempatnya tinggal sehingga ia asing di sana

Dan yang lainnya semisal mereka, mendapatkan syahid di akhirat. Namun bukan syahid di dunia.

Inilah beberapa jenis mati syahid yang dijelaskan para ulama. Wallahu a’lam.

***

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/31300

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26616-beberapa-jenis-mati-syahid-di-jalan-allah.html

Awas Kematian Mendadak!

Kita berada di akhir zaman, banyak terjadi kematian mendadak, memang itu merupakan salah satu tanda-tanda hari kiamat. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، رَفَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مِنِ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ أَنْ يُرَى الْهِلالُ قِبَلا ، فَيُقَالُ : لِلَيْلَتَيْنِ ، وَأَنْ تُتَّخَذَ الْمَسَاجِدَ طُرُقًا ، وَأَنْ يَظْهَرَ مَوْتُ الْفُجَاءَةِ

Dari Anas bin Mâlik, dia meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara dekatnya hari kiamat, hilal akan terlihat nyata sehingga dikatakan ‘ini tanggal dua’, masjid-masjid akan dijadikan jalan-jalan, dan munculnya (banyaknya) kematian mendadak.[1]

KENYATAAN DI HADAPAN KITA
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut pada zaman ini benar-benar sudah nyata di hadapan kita. Seseorang yang sehat, kemudian mati tiba-tiba. Orang-orang sekarang menyebutnya dengan “serangan jantung”.  Berapa banyak orang yang sedang berolah-raga, dengan maksud meningkatkan kesehatan, namun justru kematian tiba-tiba mendatanginya di lapangan. Berapa banyak orang yang sedang melakukan perjalanan, kemudian terjadi kecelakaan yang tidak diperkirakan, hingga menghantarkan kepada kematian. Berapa banyak orang yang sedang bermaksiat, berzina di suatu tempat, kemudian mendadak sekarat. Atau sebaliknya, orang yang sedang beribadah, kedatangan malakul-maut yang tidak pernah menyelisihi perintah, sehingga orang itu meraih husnul-khatimah. (Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk orang-orang yang meraih husnul khatimah-red).

Melihat kenyataan ini, hendaklah masinng-masing dari kita segera memperhatikan dirinya, segera kembali dan bertaubat kepada Penguasanya, sebelum kematian itu datang.

NASIHAT  IMAM BUKHÂRI YANG BERHARGA
Imam al-Bukhâri rahimahullah telah mengingatkan masalah kematian mendadak melalui sya’irnya, seraya menasihatkan untuk memperbanyak amalan. Beliau rahimahullah berkata :

اِغْتَنِمْ فِيْ الْفَرَاغِ فَضْلَ الرُكُوْعِ                فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ مَوْتُكَ بَغْتَةْ
كَمْ صَحِيْحٍ رَأَيْتَ مِنْ غَيْرِ سُقْمٍ              ذَهَبَتْ نَفْسُهُ الصَّحِيْحَةُ فَلْتَةْ

manfaatkanlah di saat longgar keutamaan ruku’ (shalat, ibadah); kemungkinan kematianmu datang tiba-tiba;
berapa banyak orang sehat yang engkau lihat tanpa sakitjiwanya yang sehat pergi dengan mendadak

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Termasuk perkara yang mengherankan, bahwa beliau (Imam al-Bukhari rahimahullah) mengalaminya (kematian mendadak) atau yang semacamnya”.[2]

NASIHAT ORANG MULIA
Seorang yang mulia mengatakan bahwa banyak di antara kawanku yang telah melepaskan nyawanya di saat mengikuti syahwatnya, menjadi tawanan kenikmatan, dan lalai dari mengingat maut dan hisab (perhitungan amal). Setelah Allâh Azza wa Jalla memberikan petunjuk kepadaku untuk mentaati-Nya, aku segera menemui sahabatku untuk menasihatinya, mengajaknya kepada ketaatan, dan mengancamnya dari kemaksiatan. Tetapi ia hanyalah beralasan dengan keadaannya yang masih muda, ia telah tertipu oleh panjang angan-angan… Maka demi Allâh, kematian telah mendatanginya secara mendadak, sehingga hari ini ia telah berada di dalam tanah, terkubur. Dia terbelenggu dengan keburukan-keburukan yang telah ia lakukan. Kenikmatan telah hilang darinya. Penyanyi-penyanyi wanita telah meninggalkannya. Tinggallah berbagai tanggung-jawab di atas lehernya. Dia telah menghadap kepada al-Jabbar (Allâh Yang Maha Perkasa)… dengan amalan-amalan orang-orang fasik dan durhaka… Semoga Allâh melindungiku dan Anda… dari catatan amal, seperti catatan amalnya, dan dari akhir kehidupan, seperti akhir kehidupannya.

Maka bertakwalah kepada Allâh –wahai hamba Allâh- janganlah engkau seperti dia, sementara engkau tahu bahwa dunia ini telah berjalan ke belakang, dan akhirat berjalan mendatangi. Ingatlah saat kematian dan perpindahan, dan (ingatlah) apa-apa yang akan tergambarkan di hadapanmu, berupa keburukan yang banyak sedangkan kebaikan begitu sedikit. Kebaikan yang ingin engkau amalkan, maka segera amalkan sejak hari ini. Dan apa yang ingin engkau tinggalkan, maka (tinggalkanlah) sejak sekarang:

Maka seandainya jika kita telah mati, kita dibiarkan,
Sesungguhnya kematian itu merupakan kenyamanan seluruh yang hidup,
Tetapi jika kita telah mati, kita pasti dibangkitkan,
Dan setelah itu, kita akan ditanya tentang segala sesuatu.[3]

MATI MENDADAK TANDA KEMURKAAN ALLÂH?
Semua orang pasti akan menemui kematian. Kematian itu, terkadang diawali dengan tanda-tanda, seperti sakit,  terkadang kedatangannya mendadak tanpa tanda. Kematian mendadak merupakan tanda kemurkaan Allâh Azza wa Jalla kepada orang tersebut.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ عُبَيْدِ بْنِ خَالِدٍ السُّلَمِىِّ – رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَرَّةً عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ مَرَّةً عَنْ عُبَيْدٍ – قَالَ « مَوْتُ الْفَجْأَةِ أَخْذَةُ أَسَفٍ ».

Dari ‘Ubaid bin Khalid as-Sulami, seorang laki-laki dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , perawi terkadang mengatakan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan terkadang mengatakan dari ‘Ubaid, dia berkata: “Kematian mendadak adalah siksaan yang membawa penyesalan”.[4]

Akh-dzatu artinya siksaan atau serangan atau musibah. Sedangkan asaf memiliki dua makna, yaitu kesusahan yang serius dan kemurkaan. Dan para ulama telah menjelaskan mengapa kematian mendadak merupakan siksaan yang membawa penyesalan.

Ali al-Qari rahimahullah berkata, “Yaitu, kematian mendadak merupakan dampak dari dampak kemurkaan Allâh, sehingga Allâh Azza wa Jalla tidak membiarkannya bersiap-siap untuk akhiratnya dengan taubat dan dengan mempersiapkan bekal akhirat, dan Allâh Azza wa Jalla tidak memberikannya sakit yang bisa menjadi penghapus dosa-dosanya.”[5]

Ibnu Baththâl rahimahullah berkata, “Hal itu –wallâhu a’lam– karena di dalam kematian mendadak dikhawatirkan terhalangi dari membuat wasiat dan tidak mempersiapkan untuk (bekal) akhirat dengan taubat, dan amal-amal shalih lainnya.”[6]

Akan tetapi bukan berarti semua orang yang mati mendadak merupakan orang yang dimurkai oleh Allâh Azza wa Jalla . Sesungguhnya hal itu berlaku bagi orang kafir atau orang yang selalu berada dalam maksiat. Adapun orang Mukmin, yang selalu mempersiapkan diri dengan iman yang shahîh dan amalan yang shalih, maka kematian mendadak merupakan keringanan baginya.

عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : مَوْتُ الْفُجَاءَةِ تَخْفِيفٌ عَلَى الْمُؤْمِنِ ، وَأَخْذَةُ أَسَفٍ عَلَى الْكَافِرِ

Dari ‘Aisyah, ia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kematian mendadak adalah keringanan terhadap seorang mukmin, dan siksaan yang membawa penyesalan terhadap orang kafir”.[7]

Kalimat ini juga diriwayatkan dari  perkataan sebagian sahabat:

عَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : مَوْتُ الْفُجَاءَةِ تَخْفِيفٌ عَلَى الْمُؤْمِنِ ، وَأَسَفٌ عَلَى الْكَافِرِ

Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Kematian mendadak adalah keringanan terhadap seorang mukmin, dan siksaan yang membawa penyesalan terhadap orang kafir”.[8]

Yang dimaksud Mukmin di sini, adalah orang Mukmin yang telah mempersiapkan diri menghadapi kematian dan selalu memperhatikannya. Sedangkan orang kafir, maka sangatlah jelas, karena dengan kematian mendadak, ia tidak sempat bertaubat dan mempersiapkan diri untuk akhirat.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad dan sebagian (Ulama) Syafi’iyyah tentang tidak disukainya kematian mendadak. Sedangkan Imam Nawawi rahimahullah meriwayatkan dari sebagian orang-orang zaman dahulu bahwa sekelompok orang dari para nabi dan orang-orang shalih mati mendadak. (Imam) Nawawi rahimahullah berkata, ‘Itu disukai oleh orang-orang yang memperhatikan (akan datangnya kematian)’.” Aku (al-hâfizh) berkata, “Dengan ini dua pendapat itu berkumpul”.[9]

Semoga Allâh selalu menolong kita untuk selalu mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan meningkatkan ibadah kita kepada-Nya. Hanya Allâh tempat mengadu dan memohon

Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Read more https://almanhaj.or.id/4128-awas-kematian-mendadak.html

Mati Mendadak Adalah Istirahat dan Kenikmatan Bagi Mukmin

Cukup sering kita mendengar kabar ada artis mati mendadak, pejabat mati mendadak dan mulai banyak kita jumpai kasus-kasus mati mendadak. Secara kedokteran pun muncul penyakit-penyakit yang menyebabkan mati mendadak seperti stroke dan serangan jantung. Demikian juga kasus tabrakan lalu mati mendadak di tempat, kasus tabrakan helikopeter dan lain-lainnya.

Mati Mendadak Sebagai Adzab dari Allah Ta’ala?

Muncul pertanyaan, apakah mati mendadak ini semacam adzab atau bencana? Apakah seorang muslim yang mati mendadak itu terkait dengan dosanya sebelumnya atau bagaimana? Jawabnya adalah sebagaimana dalam hadits berikut

Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

موت الفجأة راحة للمؤمن وأخذة أسف للكافر

“Kematian mendadak adalah istirahat bagi mukmin dan penyesalan bagi orang kafir” [HR. Ahmad dan Ibnu Syaibah dalam Mushannafnya]

Mati Mendadak Adalah Istirahat dan Kenikmatan?

 Maksudnya mati mendadak merupakan istirahat adalah ia bisa istirahat dari beban dunia, kelelahan dan  mungkin bisa selamat dari penderitaan sebelum meninggal (sakit-sakitan sebelum meninggal) dan sakratul maut. Tentunya dianggap “istirahat” apabila ia seorang mukmin yang shalih dan telah menyiapkan berbagai perbekalan yang banyak menuju kehidupan setelah kematian. Inilah maksud dari istirahat dan kenikmatan

Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, beliau berkata,

جاء في بعض الأحاديث ما يدل على أن موت الفجأة يكثر في آخر الزمان، وهو أخذة غضب للفاجر، وراحة للمؤمن، فقد يصاب المؤمن بموت الفجأة بسكتة أو غيرها ويكون راحة له ونعمة من الله عليه؛ لكونه قد استعد واستقام وتهيأ للموت واجتهد في الخير فيؤخذ فجأة وهو على حال طيبة على خير وعمل صالح، فيستريح من كرب الموت وتعب الموت ومشاق الموت، وقد يكون بالنسبة إلى الفاجر قد يقع هذا بالنسبة إلى الفجار وتكون تلك الأخذة أخذة غضب عليهم، فوجؤوا على شر حال.

 “Pada sebagian hadits terdapat dalil mengenai kematian medadak yang akan banyak pada akhir zaman. Yaitu penyesalan bagi orang fajir dan istirahat bagi orang mukmin.Terkadang seorang mukmin tertimpa dengan kematian mendadak seketika. Ini adalah bentuk istirahat dan kenikmatan dari Allah. Akan tetapi tentu saja ia sudah menyiapkan (amal shalih), istiqamah dan bersiap-siap menghadapi kematian dan bersungguh-sungguh dalam kebaikan, kemudian ia meninggal dalam keadaan baik dan melakukan amal shalih, maka ia istirahat dari beban dunia, kelelahan dan penderitaan sakratul maut. Terkadang juga menimpa orang fajir, maka ini menjadi penyesalan baginya, meninggal mendadak dalam keadaan buruk.” [Sumber:http://www.binbaz.org.sa/mat/18136]

Mempersiapkan Bekal Kematian

Yang terpenting bukanlah mati mendadak atau tidak, tetapi apa yang kita siapkan untuk kehidupan setelah kematian, apa bekal yang kita persiapkan untuk kehidupan akhirat. Inilah ciri-ciri orang yang pintar dan cerdas yaitu mempersiapkan kehidupan setelah kematian.

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

ﺍﻟْﻜَﻴِّﺲُ ﻣَﻦْ ﺩَﺍﻥَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻭَﻋَﻤِﻞَ ﻟِﻤَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕِ

“Orang yang pandai adalah  orang yang mampu mengevaluasi dirinya dan beramal (mencurahkan semua potensi) untuk kepentingan (kehidupan) setelah kematian.” [HR.Tirmidzi]

Syaikh Al-Mubarakfuri menjelaskan makna “al-Kayyis” yaitu orang yang pandai dan berakal, beliau berkata

أي العاقل المتبصر في الأمور الناظر في العواقب

“Al-Kayyis yaitu yang berakal dan suka berpikir (merenungkan) pada suatu urusan dan suka memperhatikan akibat-akibat/hasil akhir.”[Tuhfatul Ahwadzi, Darul Kutub Al-Ilmiyyah]

Semoga kita senantiasa mendapatkan taufik agar menjadi orang yang cerdas dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah kematian.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54758-mati-mendadak-adalah-istirahat-kenikmatan-bagi-mukmin.html

Hukum dan Keutamaan Puasa Sunnah di Bulan Rajab

Berpuasa di bulan Rajab sejak lama menjadi kebiasaan umat Islam.

Bulan Rajab dalam kalender Hijriyah akan dimulai besok, Selasa (25/2), dalam penanggalan Masehi. Bulan Rajab merupakan bulan ketujuh dalam kalender Islam. Sebagai bulan yang termasuk dalam bulan haram (mulia), bulan Rajab merupakan bulan yang istimewa dan dimuliakan Allah SWT.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Miftahul Huda mengatakan selain karena termasuk asyhurul hurum (bulan-bulan haram), ada peristiwa penting dalam sejarah Nabi Muhammad SAW yang terjadi di bulan Rajab, yakni peristiwa Isra’ Mi’raj.

Menurutnya, peristiwa ini sangat penting bagi kehidupan Nabi SAW secara personal dan bagi syari’at Islam. Melalui peristiwa itu kemudian disyari’atkan kewajiban akan shalat lima waktu.

Ketika sampai pada bulan Rajab atau saat melihat hilal bukan Rajab, Nabi Muhammad SAW menyambutnya dengan membaca do’a ini: “Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, serta sampaikan kami pada bulan Ramadhan.”

Karena kemuliaannya, bulan Rajab disebut sebagai salah satu momentum yang tepat untuk meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT. Salah satu cara atau amalan menunjukkan cinta kepada Allah dan Rasulullah SAW itu adalah dengan melakukan puasa di bulan Rajab. Berpuasa di bulan Rajab sejak lama menjadi kebiasaan umat Islam.

Namun, bagaimana hukumnya berpuasa di bulan Rajab? Ustadz Miftah yang juga Kepala Pengasuh Pondok Pesantren Al-Nahdlah Depok, Jawa Barat ini mengatakan, amalan berpuasa di bulan Rajab diperbolehkan selama tidak dilakukan di waktu-waktu yang dilarang, seperti di dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sedangkan waktunya, menurutnya bisa dilakukan kapan saja di bulan Rajab.

Namun, bagaimana hukumnya berpuasa di bulan Rajab? Ustadz Miftah yang juga Kepala Pengasuh Pondok Pesantren Al-Nahdlah Depok, Jawa Barat ini mengatakan, amalan berpuasa di bulan Rajab diperbolehkan selama tidak dilakukan di waktu-waktu yang dilarang, seperti di dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sedangkan waktunya, menurutnya bisa dilakukan kapan saja di bulan Rajab.

“Suatu saat Utsman bin Hakim bertanya pada Sa’id Ibnu Jubair tentang puasa Rajab. Said menjawab, “Saya mendengar Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW berpuasa (berturut-turut) hingga terkesan, beliau selalu berpuasa.” Imam Nawawi berkomentar terkait riwayat di atas, bahwa tidak ada larangan untuk berpuasa di bulan Rajab,” kata Ustadz Miftah, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Senin (24/2).

Amirullah Syarbini dan Sumantri Jamhari dalam bukunya berjudul Dahsyatnya Puasa Wajib dan Sunah Rekomendasi Rasulullah menyebutkan orang yang menjalankan puasa pada Rajab akan mendapatkan manisnya hidangan surga. Hal itu merujuk pada sebuah hadits, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di surga ada suatu sungai yang bernama Rajab, warnanya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis daripada madu. Barang siapa berpuasa satu hari pada bulan Rajab, akan diberi minum oleh Allah dari sungai itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ustadz Ahmad Sarwat dalam bukunya berjudul Masuk Neraka Gara-Gara Puasa Rajab? menyebutkan tentang sejumlah amalan yang menjadi kebiasaan umat Islam melakukannya di bulan Rajab. Salah satu amalannya adalah melakukan puasa.

Namun demikian, menurutnya, tidak ada satu pun ulama yang berpendapat untuk mewajibkan amalan di bulan Rajab meskipun, sebagian ulama menyunnahkan amalan seperti berpuasa Rajab. Ustadz Sarwat lantas menerangkan tentang kedudukan hadits tentang berpuasa di bulan Rajab.

Imam An-Nawawi berkomentar tentang puasa sunnah di bulan Rajab, “Tidak ada keterangan yang tsabit tentang puasa sunnah Rajab, baik berbentuk larangan atau pun kesunnahan. Namun, pada dasarnya melakukan puasa hukumnya sunnah (di luar Ramadhan). Dan diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Sunan, Rasulullah SAW menyunnahkan berpuasa di bulan-bulan haram, sedang bulan Rajab termasuk salah satunya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Niat dan Tata Cara Puasa Rajab

Selain berpuasa, dianjurkan memperbanyak istighfar dan shalawat di bulan Rajab.

Keistimewaan bulan Rajab sebagai salah satu asyhurul hurum (bulan-bulan haram) dalam Islam biasanya disambut umat Islam dengan melakukan sejumlah amalan ibadah. Salah satunya dengan melakukan puasa Rajab.

Meskipun tidak diwajibkan, namun sebagian ulama menyunnahkan berpuasa di bulan Rajab. Lantas, bagaimana niat dan tata cara puasa Rajab?

Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Miftahul Huda mengatakan niat puasa Rajab berbeda dengan niat puasa Ramadhan. Kepala Pengasuh Pondok Pesantren Al-Nahdlah Depok, Jawa Barat ini menjelaskan niat pada puasa Ramadhan harus mencakup Ta’yin (menentukan jenis puasa, yaitu Ramadhan), Tabyit (niat puasa sebelum terbit fajar), dan Tikrar (niatnya setiap malam).

“Sedangkan niat puasa Rajab hanya tidak perlu Tabyit, artinya niat di pagi hari diperbolehkan, asalkan belum makan dan minum atau hal yang membatalkan puasa,” kata Ustadz Miftah melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Senin (24/2). 
 
Adapun dalam mengucapkan niat puasa Rajab, Ustadz Miftah mengatakan redaksi niatnya bisa menggunakan bahasa apa pun, kecuali dalam ibadah haji. Sebab, sejatinya niat itu tempatnya di hati.

Berikut niat puasa Rajab

نويت صوم رجب سنة لله تعالى

(Nawaitu shaoma Rajab sunnatan lillahi taala)

Yang artinya, “Saya niat berpuasa sunnah Rajab karena Allah SWT.”

Selain berpuasa, dianjurkan memperbanyak istighfar dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Tentunya, juga diiringi dengan amalan ibadah lainnya dengan tujuan semata mengharap ridha Allah SWT.

KHAZANAH REPUBLIKA


Membangun Rumah di Surga Lewat Shalat Sunah Rawatib

Tak semua orang bisa memiliki rumah pada zaman ini. Tingginya harga jual tanah dan bahan bangunan membuat rumah hanya bisa dimiliki orang dengan kemampuan finansial tinggi. Rumah dan apartemen di kota-kota besar seperti Jakarta sudah berharga ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Kaum papa dan para dhuafa dengan kemampuan pendapatan di bawah upah minimum regional (UMR) hanya bisa gigit jari. Banyak di antara mereka yang hidup dari kontrakan ke kontrakan, dari satu petak ke petak lain.

Hanya, Allah SWT yang memiliki sifat rahman dan rahim menjanjikan rumah istimewa di Surga. Bagi Muslim yang menginginkan, terlepas dia dhuafa atau orang kaya, rumah itu bisa dipesan dari sekarang. Hanya, bukan lewat kredit perumahan rakyat (KPR) dari bank-bank ternama. Rumah itu hanya bisa dipesan lewat amalan istimewa.

Hadis yang diriwayatkan dari Ummu Habibah, istri Nabi SAW mengungkapkan Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah seorang hamba Muslim mengerjakan shalat tathawwu’ selain shalat fardhu, sebanyak dua belas rakaat dalam sehari semalam karena (mengharap ridha) Allah, melainkan Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, (atau melainkan akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di Surga).“(HR Muslim).

Dalam riwayat at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, dua belas rakaat yang dimaksud ditafsirkan sebagai empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya dan dua rakaat sebelum Subuh.” Meski demikian, ada juga ulama yang mengatakan, shalat sunah rawatib dua rakaat sebelum Zuhur. Ini didasarkan dari sebuah dalil yang diriwayatkan Abdullah bin Umar.

Dari Abdullah bin Umar dia berkata: “Aku senantiasa mengerjakan shalat sepuluh rakaat dari Rasulullah SAW, dua rakaat sebelum dan sesudah Zuhur, dua rakaat setelah Maghrib di rumahnya, dua rakaat setelah Isya di rumahnya, dan dua rakaat sebelum shalat Subuh. Itulah saat ketika tidak ada yang masuk menemui Nabi. Hafshah memberitahuku bahwasanya jika seorang muazin telah mengumandangkan azan dan fajar telah terbit. Beliau pun mengerjakan shalat dua rakaat.”

Dikutip dari buku Shalat-Shalat Sunah Rasulullah karangan Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, shalat sunah sebelum Subuh termasuk shalat sunah rawatib yang sangat dianjurkan Rasulullah SAW. Sampai-sampai, Rasulullah SAW menjelaskan, dua rakaat sebelum Subuh itu lebih baik dari dunia dan seisinya.

Nabi SAW selalu mengerjakannya serta tidak pernah meninggalkannya baik saat berada di rumah atau dalam perjalanan. Hadis sahih dari Abu Maryam menceritakan, Rasulullah SAW pernah dalam satu perjalanan malam. Di ambang Subuh, Rasulullah singgah kemudian tidur. Orang-orang pun ikut tidur. Mereka kemudian terbangun ketika matahari telah terbit menyinari. Rasulullah SAW pun menyuruh muazin mengumandangkan azan. Kemudian, Nabi mengerjakan shalat dua rakaat sebelum shalat Subuh.

Rasulullah SAW pun mencontohkan untuk berbaring di atas lambung kanan setelah menunaikan shalat sunah itu. Meski demikian, apa yang dicontohkan itu bukan termasuk wajib, melainkan sunah. Ini berdasarkan keterangan dari Aisyah yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi SAW terbiasa berbincang-bincang dengan Aisyah, jika tidak maka beliau berbaring, setelah shalat sunah tersebut hingga dikumandangkan ikamah sebagai tanda shalat.

KHAZANAH REPUBLIKA

Masuk Masjid, Jangan Duduk sebelum Salat 2 Rakaat

SYAIKH Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Wahai Syaikh yang mulia, apakah dua rakaat shalat Dhuha bisa digabungkan dengan shalat sunnah tahiyatul masjid?”

Jawaban beliau rahimahullah, “Misalnya seseorang masuk masjid pada waktu Dhuha, lalu ia berniat melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka shalat tahiyatul masjid sudah termasuk di dalamnya. Begitu pula ketika masuk, lalu ia laksanakan shalat rawatib, maka shalat tahiyatul masjid juga sudah termasuk di dalamnya. Misalnya, seseorang melaksanakan shalat rawatib qobliyah Shubuh atau rawatib qabliyah Zhuhur, maka shalat tahiyatul masjid pun tercakup di dalamnya.

Akan tetapi sebaliknya, shalat tahiyatul masjid tidak bisa mencukupi shalat rawatib. Seandainya seseorang masuk masjid setelah dikumandangkan azan Zhuhur, lalu ia berniat laksanakan shalat tahiyatul masjid, maka ini tidak bisa mencakup shalat rawatib.” (Liqaat Al-Bab Al-Maftuh, kaset no. 108, pertanyaan no. 2, 5:304-305)

Berarti maksud Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah cukup seseorang melakukan shalat rawatib dua rakaat, maka shalat tahiyyatul masjid sudah ada di dalamnya. Karena dalam hadits cuma mengatakan lakukan dua rakaat ketika masuk masjid. Dari Abu Qatadah bin Ribi Al-Anshari radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, janganlah ia duduk sampai mengerjakan shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari, no. 1163 dan Muslim, no. 714)

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

[Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin; Liqaat Al-Bab Al-Maftuh; Mulakkash Fiqh Al-Ibaadat/ Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Dua Salat Sunah yang tak Ditinggalkan Rasulullah

IBNUL QAYYIM berkata, “Rasulullah saw di dalam safar senantiasa mengerjakan salat sunah rawatib sebelum subuh dan salat sunah witir dikarenakan dua salat sunah ini yang paling utama di antara salat sunah, dan tidak ada riwayat bahwasanya Rasulullah saw mengerjakan sunah selain keduanya.”

Salat sunah fajar dan witir, usahakanlah jangan sampai keduanya ditinggalkan. Kalimat Ibnul Qayyim di atas menyebutkan bahwa kedua salat ini merupakan salat sunah yang paling utama, dimana kedua salat ini tidak pernah ditinggalan oleh Rasulullah saw, baik saat di rumah maupun saat bepergian.

Bahkan saat kedua salat sunah ini ditinggalkan, maka kita dianjurkan untuk mengqadhanya.

“Siapa yang tidur tanpa salat witir, atau lupa, hendaknya ia mengerjakannya pada pagi hari atau ketika ingat.” ( HR.Abu Daud dengan sanad yang shahih.)

“Siapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum salat subuh, maka salatlah setelah matahari terbit.” (HR.Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani).

Sementara, salat tahajud disebutkan, salat sunah ini tidak pernah ditinggalkan Rasulullah saw, meski beliau dalam keadaan sakit. Aisyah menuturkan, “Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan qiyamullail, dan jika beliau sakit, maka beliau salat sambil duduk.” (HR.Abu Daud dan al-Hakim)

Disebutkan juga dalam sebuah hadis bahwa salat tahajud merupakan kebiasaan orang-orang saleh semenjak dahulu. Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah kalian mengerjakan qiyamullail, karena qiyamullail itu kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian.” (HR.Ahmad, Tirmidzi, al-Hakim, Baihaqi, Ibnu Asakir, Thabrani dan Ibnu Suni).

Dan, salat dhuha. Salat sunah ini memiliki keutamaan yang besar, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad saw:

“Di setiap persendian seorang dari kalian terdapat sedekah. Setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah setiap tahlil (ucapan laa ilaaha illallaah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah. Dan mencukupi dari semua itu dua rakaat Dhuha yang ia kerjakan.” (HR.Muslim)

“Siapa yang keluar untuk melaksanakan salat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan umrah.” (HR.Abu Daud)

Dengan mengamalkan salat-salat sunah di setiap hari yang kita jalankan, ditambah dengan amalan sunah seperti puasa sunah lainnya, maka tentu hari itu akan menjadi hari yang spesial, hari yang terbaik, di mana kita akan mendapatkan pahala dan rapot yang terbaik dari sisi Allah swt. Amin. [Chairunnisa Dhiee]

INILAH MOZAIK

Tuntunan Shalat Sunnah Rawatib

Sesungguhnya diantara hikmah dan rahmat Allah atas hambanya adalah disyariatkannya At-tathowwu’ (ibadah tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib diiringi dengan adanya at-tathowwu’ dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu dikarenakan untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada ibadah wajib.

Dan sesungguhnya at-tathowwu’ (ibadah sunnah) di dalam ibadah sholat yang paling utama adalah sunnah rawatib. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengerjakannya dan tidak pernah sekalipun meninggalkannya dalam keadaan mukim (tidak bepergian jauh).

Mengingat pentingnya ibadah ini, serta dikerjakannya secara berulang-ulang sebagaimana sholat fardhu, sehingga saya (penulis) ingin menjelaskan sebagian dari hukum-hukum sholat rawatib secara ringkas:

1. Keutamaan Sholat Rawatib

Ummu Habibah radiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang keutamaan sholat sunnah rawatib, dia berkata: saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang sholat dua belas rakaat pada siang dan malam, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga“. Ummu Habibah berkata: saya tidak pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib semenjak mendengar hadits tersebut. ‘Anbasah berkata: Maka saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah. ‘Amru bin Aus berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Ansabah. An-Nu’am bin Salim berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Amru bin Aus. (HR. Muslim no. 728).

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang sholat sunnah rawatib sebelum (qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya“. Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia seisinya” (HR. Muslim no. 725)

Adapun sholat sunnah sebelum shubuh ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah rawatib dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya baik ketika mukim (tidak berpegian) maupun dalam keadaan safar.

Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib dzuhur, dia berkata: saya mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjaga (sholat) empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka“. (HR. Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269, At-Tarmidzi no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)

2. Jumlah Sholat Sunnah Rawatib

Hadits Ummu Habibah di atas menjelaskan bahwa jumlah sholat rawatib ada 12 rakaat dan penjelasan hadits 12 rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-Nasa’i, dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada sholat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga, (yaitu): empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh“. (HR. At-Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794)

3. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Qobliyah Subuh

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh membaca surat Al Kaafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد).” (HR. Muslim no. 726)

Dan dari Sa’id bin Yasar, bahwasannya Ibnu Abbas mengkhabarkan kepadanya: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh dirakaat pertamanya membaca: (قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا) (QS. Al-Baqarah: 136), dan dirakaat keduanya membaca: (آمنا بالله واشهد بأنا مسلمون) (QS. Ali Imron: 52). (HR. Muslim no. 727)

4. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Ba’diyah Maghrib

Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anha, dia berkata: Saya sering mendengar Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau membaca surat pada sholat sunnah sesudah maghrib:” surat Al Kafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد). (HR. At-Tarmidzi no. 431, berkata Al-Albani: derajat hadits ini hasan shohih, Ibnu Majah no. 1166)

5. Apakah Sholat Rawatib 4 Rakaat Qobiyah Dzuhur Dikerjakan dengan Sekali Salam atau Dua Kali Salam?

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sunnah Rawatib terdapat di dalamnya salam, seseorang yang sholat rawatib empat rakaat maka dengan dua salam bukan satu salam, karena sesungguhnya nabi bersabda: “Sholat (sunnah) di waktu malam dan siang dikerjakan dua rakaat salam dua rakaat salam”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/288)

6. Apakah Pada Sholat Ashar Terdapat Rawatib?

As-Syaikh Muammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada sunnah rawatib sebelum dan sesudah sholat ashar, namun disunnahkan sholat mutlak sebelum sholat ashar”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/343)

7. Sholat Rawatib Qobliyah Jum’at

As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Tidak ada sunnah rawatib sebelum sholat jum’at berdasarkan pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama’. Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar mengerjakan sholat beberapa rakaat semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 12/386&387)

8. Sholat Rawatib Ba’diyah Jum’at

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan sholat jum’at, maka sholatlah sesudahnya empat rakaat“. (HR. Muslim no. 881)

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, “Adapun sesudah sholat jum’at, maka terdapat sunnah rawatib sekurang-kurangnya dua rakaat dan maksimum empat rakaat” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 13/387)

9. Sholat Rawatib Dalam Keadaan Safar

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam didalam safar senantiasa mengerjakan sholat sunnah rawatib sebelum shubuh dan sholat sunnah witir dikarenakan dua sholat sunnah ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah, dan tidak ada riwayat bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sholat sunnah selain keduanya”. (Zaadul Ma’ad 1/315).

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata: “Disyariatkan ketika safar meninggalkan sholat rawatib kecuali sholat witir dan rawatib sebelum subuh”. (Majmu’ Fatawa 11/390).

10. Tempat Mengerjakan Sholat Rawatib

Dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lakukanlah di rumah-rumah kalian dari sholat-sholat dan jangan jadikan rumah kalian bagai kuburan“. (HR. Bukhori no. 1187, Muslim no. 777)

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sudah seyogyanya bagi seseorang untuk mengerjakan sholat rawatib di rumahnya…. meskipun di Mekkah dan Madinah sekalipun maka lebih utama dikerjakan dirumah dari pada di masjid Al-Haram maupun masjid An-Nabawi; karena saat Nabi shallallahu a’alihi wasallam bersabda sementara beliau berada di Madinah….. Ironisnya manusia sekarang lebih mengutamakan melakukan sholat sunnah rawatib di masjidil haram, dan ini termasuk bagian dari kebodohan”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/295)

11. Waktu Mengerjakan Sholat Rawatib

Ibnu Qudamah berkata: “Setiap sunnah rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari masuknya waktu sholat fardhu hingga sholat fardhu dikerjakan, dan sholat rawatib ba’diyah maka waktunya dimulai dari selesainya sholat fardhu hingga berakhirnya waktu sholat fardhu tersebut “. (Al-Mughni 2/544)

12. Mengganti (mengqodho’) Sholat Rawatib

Dari Anas radiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang lupa akan sholatnya maka sholatlah ketika dia ingat, tidak ada tebusan kecuali hal itu“. (HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 680)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan hadits ini meliputi sholat fardhu, sholat malam, witir, dan sunnah rawatib”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 23/90)

13. Mengqodho’ Sholat Rawatib Di Waktu yang Terlarang

Ibnu Qoyyim berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meng-qodho’ sholat ba’diyah dzuhur setelah ashar, dan terkadang melakukannya terus-menerus, karena apabila beliau melakukan amalan selalu melanggengkannya. Hukum mengqodho’ diwaktu-waktu terlarang bersifat umum bagi nabi dan umatnya, adapun dilakukan terus-menerus pada waktu terlarang merupakan kekhususan nabi”. (Zaadul Ma’ad 1/308)

14. Waktu Mengqodho’ Sholat Rawatib Sebelum Subuh

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum sholat subuh, maka sholatlah setelah matahari terbit“. (At-Tirmdzi 423, dan dishahihkan oleh Al-albani)

Dan dari Muhammad bin Ibrahim dari kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar rumah mendatangi sholat kemudian qomat ditegakkan dan sholat subuh dikerjakan hingga selesai, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang mengerjakan sholat, lalu bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada sholat subuh dua kali?“. Maka saya berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan sholat sebelum subuh, Tasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa“. (HR. At-Tirmidzi). Adapun pada Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam (terhadap yang dilakukan Qois)”. (HR. At-tirmidzi no. 422, Abu Dawud no. 1267, dan Al-Albani menshahihkannya)

As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang masuk masjid mendapatkan jama’ah sedang sholat subuh, maka sholatlah bersama mereka. Baginya dapat mengerjakan sholat dua rakaat sebelum subuh setelah selesai sholat subuh, tetapi yang lebih utama adalah mengakhirkan sampai matahari naik setinggi tombak” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim 2/259 dan 260)

15. Jika Sholat Subuh Bersama Jama’ah Terlewatkan, Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Terlebih Dahulu atau Sholat Subuh?

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sholat rawatib didahulukan atas sholat fardhu (subuh), karena sholat rawatib qobliyah subuh itu sebelum sholat subuh, meskipun orang-orang telah keluar selesai sholat berjama’ah dari masjid” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsatimin 14/298)

16. Pengurutan Ketika Mengqodho’

As-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila didalam sholat itu terdapat rawatib qobliyah dan ba’diyah, dan sholat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka yang dikerjakan lebih dahulu adalah ba’diyah kemudian qobliyah, contoh: Seseorang masuk masjid yang belum mengerjakan sholat rawatib qobliyah mendapati imam sedang mengerjakan sholat dzuhur, maka apabila sholat dzuhur telah selesai, yang pertamakali dikerjakan adalah sholat rawatib ba’diyah dua rakaat, kemudian empat rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/283)

17. Mengqodho’ Sholat Rawatib yang Banyak Terlewatkan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Diperbolehkan mengqodho’ sholat rawatib dan selainnya, karena merupakan sholat sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah)… kemudian jika sholat yang terlewatkan sangat banyak, maka yang utama adalah mencukupkan diri mengerjakan yang wajib (fardhu), karena mendahulukan untuk menghilangkan dosa adalah perkara yang utama, sebagaimana “Ketika Rasulullah mengerjakan empat sholat fardhu yang tertinggal pada perang Khondaq, beliau mengqodho’nya secara berturut-turut”. Dan tidak ada riwayat bahwasannya Rasulullah mengerjakan sholat rawatib diantara sholat-sholat fardhu tersebut.…. Dan jika hanya satu atau dua sholat yang terlewatkan, maka yang utama adalah mengerjakan semuanya sebagaimana perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat sholat subuh terlewatkan, maka beliau mengqodho’nya bersama sholat rawatib”. (Syarh Al-‘Umdah, hal. 238)

18. Menggabungkan Sholat-sholat Rawatib, Tahiyatul Masjid, dan Sunnah Wudhu’

As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seseorang masuk masjid diwaktu sholat rawatib, maka ia bisa mengerjakan sholat dua rakaat dengan niat sholat rawatib dan tahiyatul masjid, dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian juga sholat sunnah wudhu’ bisa digabungkan dengan keduanya (sholat rawatib dan tahiyatul masjid), atau digabungkan dengan salah satu dari keduanya”. (Al-Qawaid Wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 75)

19. Menggabungkan Sholat Sebelum Subuh dan Sholat Duha Pada Waktu Dhuha

As-Syaikh Muhammad Bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang yang sholat qobliyah subuhnya terlewatkan sampai matahari terbit, dan waktu sholat dhuha tiba. Maka pada keadaan ini, sholat rawatib subuh tidak terhitung sebagai sholat dhuha, dan sholat dhuha juga tidak terhitung sebagai sholat rawatib subuh, dan tidak boleh juga menggabungkan keduanya dalam satu niat. Karena sholat dhuha itu tersendiri dan sholat rawatib subuh pun juga demikian, sehingga tidaklah salah satu dari keduanya terhitung (dianggap) sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 20/13)

20. Menggabungkan Sholat Rawatib dengan Sholat Istikharah

Dari Jabir bin Abdullah radiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kami sholat istikhorah ketika menghadapi permasalahan sebagaimana mengajarkan kami surat-surat dari Al-Qur’an”, kemudian beliau bersabda: “Apabila seseorang dari kalian mendapatkan permasalahan, maka sholatlah dua rakaat dari selain sholat fardhu…” (HR. Bukhori no. 1166)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat sholat rawatib tertentu digabungkan dengan sholat istikhorah maka terhitung sebagai pahala (boleh), tetapi berbeda jika tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)

21. Sholat Rawatib Ketika Iqomah Sholat Fardhu Telah Dikumandangkan

Dari Abu Huroiroh radiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu“. (HR. Muslim bi As-syarh An-Nawawi 5/222)

An-Nawawi berkata: “Hadits ini terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan sholat sunnah setelah iqomah sholat dikumandangkan sekalipun sholat rawatib seperti rawatib subuh, dzuhur, ashar dan selainnya” (Al-Majmu’ 3/378)

22. Memutus Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu ditegakkan

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Apabila sholat telah ditegakkan dan ada sebagian jama’ah sedang melaksanakan sholat tahiyatul masjid atau sholat rawatib, maka disyari’atkan baginya untuk memutus sholatnya dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat fardhu, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu..“, akan tetapi seandainya sholat telah ditegakkan dan seseorang sedang berada pada posisi rukuk dirakaat yang kedua, maka tidak ada halangan bagi dia untuk menyelesaikan sholatnya. Karena sholatnya segera berakhir pada saat sholat fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat”. (Majmu’ Fatawa 11/392 dan 393)

23. Apabila Mengetahui Sholat Fardhu Akan Segera Ditegakkan, Apakah Disyari’atkan Mengerjakan Sholat Rawatib?

As-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini) dikatakan: “Sesungguhnya tidak dianjurkan mengerjakan sholat rawatib diatas keyakinan yang kuat bahwasannya sholat fardhu akan terlewatkan dengan mengerjakannya. Bahkan meninggalkannya (sholat rawatib) karena mengetahui akan ditegakkan sholat bersama imam dan menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang disyari’atkan. Karena menjaga sholat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama daripada sholat sunnah rawatib yang bisa dimungkinkan untuk diqodho’”. (Syarh Al-‘Umdah, hal. 609)

24. Mengangkat Kedua Tangan Untuk Berdo’a Setelah Menunaikan Sholat Rawatib

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Sholat Rawatib: Saya tidak mengetahui adanya larangan dari mengangkat kedua tangan setelah mengerjakannya untuk berdo’a, dikarenakan beramal dengan keumuman dalil (akan disyari’atkan mengangkat tangan ketika berdo’a). Akan tetapi lebih utama untuk tidak melakukannya terus-menerus dalam hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai sholat rawatib pasti akan ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau. Padahal para sahabat meriwayatkan seluruh perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan rasulullah baik ketika safar maupun tidak. Bahkan seluruh kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal. 171)

25. Kapan Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu DiJama’?

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Sholat rawatib dikerjakan setelah kedua sholat fardhu dijama’ dan tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga sholat rawatib qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua sholat fardhu dijama’”. (Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)

26. Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Atau Mendengarkan Nasihat?

Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Saudi: “Disyariatkan bagi kaum muslimin jika mendapatkan nasihat (kultum) setelah sholat fardhu hendaknya mendengarkannya, kemudian setelahnya ia mengerjakan sholat rawatib seperti ba’diyah dzuhur, maghbrib dan ‘isya” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts Al-‘Alamiyah Wal-Ifta’, 7/234)

27. Mendahulukan Menyempurnakan Dzikir-dzikir setelah Sholat Fardhu Sebelum Menunaikan Sholat Rawatib

As-Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya mengerjakan sholat jenazah setelah maghrib, apakah saya langsung mengerjakan sholat rawatib setelah selesai sholat jenazah ataukah menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian sholat rawatib?

Jawaban beliau rahimahullah: “Yang lebih utama adalah duduk untuk menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian menunaikan sholat rawatib. Maka perkara ini disyariatkan baik ada atau tidaknya sholat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada setelah sholat fardhu merupakan sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak sepantasnya ditinggalkan. Maka jika anda memutus dzikir tersebut karena menunaikan sholat jenazah, maka setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya ditempat anda berada, kemudian mengerjakan sholat rawatib yaitu sholat ba’diyah. Hal ini mencakup rawatib ba’diyah dzuhur, maghrib maupun ‘isya dengan mengakhirkan sholat rawatib setelah berdzikir”. (Al-Qoul Al-Mubin fii Ma’rifati Ma Yahummu Al-Mushollin, hal. 471)

28. Tersibukkan Dengan Memuliakan Tamu Dari Meninggalkan Sholat Rawatib

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada dasarnya seseorang terkadang mengerjakan amal yang kurang afdhol (utama) kemudian melakukan yang lebih afdhol (yang semestinya didahulukan) dengan adanya sebab. Maka seandainya seseorang tersibukkan dengan memuliakan tamu di saat adanya sholat rawatib, maka memuliakan tamu didahulukan daripada mengerjakan sholat rawatib”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin 16/176)

29. Sholatnya Seorang Pekerja Setelah Sholat Fardhu dengan Rawatib Maupun Sholat Sunnah lainnya.

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun sholat sunnah setelah sholat fardhu yang bukan rawatib maka tidak boleh. Karena waktu yang digunakan saat itu merupakan bagian dari waktu kerja semisal aqad menyewa dan pekerjaan lain. Adapun melakukan sholat rawatib (ba’da sholat fardhu), maka tidak mengapa. Karena itu merupakan hal yang biasa dilakukan dan masih dimaklumi (dibolehkan) oleh atasannya”.

30. Apakah Meninggalkan Sholat Rawatib Termasuk Bentuk Kefasikan?

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama’: (Sesungguhnya meninggalkan sholat rawatib termasuk fasiq), merupakan perkataan yang kurang baik, bahkan tidak benar. Karena sholat rawatib itu adalah nafilah (sunnah). Maka barangsiapa yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat tidaklah dikatakan fasik bahkan dia adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan demikian juga sebagian perkataan fuqoha’: (Sesungguhnya menjaga sholat rawatib merupakan bagian dari syarat adil dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang lemah. Karena setiap orang yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat maka ia adalah orang yang adil lagi tsiqoh. Akantetapi dari sifat seorang mukmin yang sempurna selayaknya bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan sholat rawatib dan perkara-perkara baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk mengerjakannya”. (Majmu’ Fatawa 11/382)

(Yang dimaksud adalah artikel tersebut: http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/14.htm (pen.))

Faedah:
Ibmu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan sholat-sholat dari tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan menjaga 17 rakaat dari sholat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari sholat rawatib, 11 rakaat atau 13 rakaat sholat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun tambahan sholat selain yang tersebutkan bukanlah sholat rawatib…..maka sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus-menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih cepat terkabulkannya do’a dan tersegeranya dibukakan pintu bagi orang yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan”. (Zadul Ma’ad 1/327)

Lembaran singkat ini saya ringkas dari sebuah buku yang saya tulis sendiri berjudul “Hukum-hukum Sholat Sunnah Rawatib”.

Dan sholawat serta salam kepada nabi kita muhammad shallalllahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya serta para sahabatnya. Amiin

Ummul Hamaam, 1 Ramadhan 1431 H

Penulis: As-Syaikh Abdullah bin Za’li Al-‘Anziy

Sumber: Buletin Darul Qosim (www.dar-alqassem.com)

Penerjemah: Abu Ahmad Meilana Dharma Putra

Muroja’ah: Al-Ustadz Abu Raihana, MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/4602-tuntunan-shalat-sunnah-rawatib.html