Merenungi Sisa-Sisa Umur Kita

Dia yang di masa muda berbadan tegap, akhirnya akan mengeriput kulitnya. Dia yang di masa dewasa memiliki kekayaan ratusan trilliun rupiah, akhirnya akan beruban. Dia yang di masa puncak pernah duduk di kursi terpandang pun, akhirnya akan berkurang penglihatan dan pendengarannya. Dia yang Allah Ta’ala berikan umur panjang, akhirnya akan menua, sehebat apapun masa mudanya.

Sudah berapa tahun kita hidup?

Cobalah sejenak merenungi pertanyaan ini. Sudah berapa tahun kita hidup? Jika ternyata usia sudah 60 tahun lebih, maka berarti kita termasuk ke dalam orang-orang yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

 أعمارُ أمَّتي ما بينَ الستينَ إلى السبعينَ وأقلُّهم مَنْ يجوزُ ذلِكَ

“Umur umatku itu antara 60 sampai 70 tahun, dan sedikit orang yang melewati umur tersebut.” (HR. At-Tirmidzi no. 3550, Ibnu Majah no. 4236,  dihasankan oleh Syekh Albani)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan bahwa umur kita sebagai umatnya adalah antara 60 sampai 70 tahun hijriyah. Sehingga apabila kita sudah berumur 60 tahun atau lebih, maka sudah seharusnya diri semakin banyak mengingat kematian yang akan datang tanpa diundang.

Sudah berapa tahun kita hidup?

Jika ternyata usia sudah 40 tahun, berarti kita termasuk ke dalam orang-orang yang disebutkan dalam Al-Quran,

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ قَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai, dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.’” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa seseorang ketika sudah mencapai 40 tahun, maka akal dan pemahamannya telah sempurna. Kebanyakan orang yang sudah berusia 40 tahun tidak akan berubah lagi kebiasaan dalam menjalani kesehariannya. Seseorang yang telah mencapai usia 40 tahun harus memperbarui tobat dan bertekad tidak mengulangi lagi kesalahan yang pernah diperbuatnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 258-259)

Sudah berapa tahun kita hidup?

Jika ternyata sudah mulai muncul uban di kepala, berarti kita termasuk ke dalam ayat Al-Quran,

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَّشَيْبَةً ۗيَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُۚ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ

“Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.” (QS. Ar-Rum: 54)

Allah Ta’ala berfirman,

اَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَّا يَتَذَكَّرُ فِيْهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاۤءَكُمُ النَّذِيْرُۗ فَذُوْقُوْا فَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ نَّصِيْرٍ

“Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu untuk dapat berpikir bagi orang yang mau berpikir, padahal telah datang kepadamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami), dan bagi orang-orang zalim tidak ada seorang penolong pun.“ (QS. Fathir: 37)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa para ulama tafsir seperti Ibnu Abbas, Ikrimah, Qatadah, Sufyan bin ‘Uyainah, dan yang lainnya, menjelaskan bahwa maksud pemberi peringatan dalam ayat di atas adalah uban. (Tafsir Ibnu Katsir, 6: 493)

Aku masih muda …

Kita masih merasa muda? Usia kita belum 60 tahun, belum muncul uban sedikit pun, belum 40 tahun, bukan berarti waktu kita masih panjang. Masalah sisa umur yang tersisa tidak ada orang yang mengetahui, kapan dan di mana jatah hidup di dunia habis.

وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًاۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌۢ بِاَيِّ اَرْضٍ تَمُوْتُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.” (QS. Lukman: 34)

Masih muda bukanlah jaminan. Betapa banyak yang meninggal di masa mudanya. Data jaringan kolaborasi beban penyakit dunia menyebutkan kematian penduduk Indonesia pada tahun 2019 sebesar 18.370 orang berumur 5-14 tahun, 264.550 orang berumur 15-49 tahun, 612.889 berumur 50-69 tahun, sisanya berumur kurang dari 5 tahun dan lebih dari 69 tahun. Ini menunjukkan bahwa kematian di usia muda sangat banyak. Jadi, bukan berarti kita masih bisa bersantai ria karena merasa masih muda dan kematian masih lama.

Kebiasaan di sisa waktu

Kalau kita mau jujur, nasihat untuk beramal kebaikan yang datang kepada kita sudah banyak. Peringatan akan kematian seringkali terdengar. Imbauan dan ajakan untuk memanfaatkan sisa umur sudah sangat sering didapatkan. Jadi, kita bisa memilih, mau memilih mengisi sisa umur dengan kebiasaan yang baik ataukah menghabiskannya dengan kesenangan dunia dan kepuasan nafsu dalam hidup ini. Yang perlu diingat, seseorang itu akan meninggal dalam keadaan kebiasaan hidupnya. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan saat menafsirkan surah Ali-Imran ayat 102, maksud dari firman Allah Ta’ala,

وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

adalah supaya kita memelihara Islam saat keadaan sehat, agar kita mati di atas Islam. Sesungguhnya Allah Ta’ala akan memberlakukan seseorang sesuai dengan kebiasaannya. Orang yang memiliki kebiasaan tertentu dalam hidup, dia akan mati sesuai kebiasaannya tersebut. Dan siapa yang mati dalam kondisi tertentu, dia akan dibangkitkan sesuai kondisi matinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 2: 75)

Sebelum kita menyesali masa lalu

Sebagaimana seseorang belajar di sekolah atau di kampus, ataupun bekerja menjadi karyawan, seseorang yang hidup di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Anak sekolah akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dia kerjakan dan pelajari selama sekolah lewat ujian sekolah atau ujian kampus. Orang yang bekerja sebagai karyawan akan dimintai pertanggungjawaban atas pekerjaannya lewat laporan rutin. Para pejabat juga dimintai pertanggungjawaban selama ia menjabat. Itu dalam masalah dunia yang sifatnya sementara. Bagaimana dengan masalah akhirat yang merupakan kehidupan abadi? Tentu pertanggungjawabannya semakin besar dan teliti.

Di antara pertanggungjawaban tahap awal dalam kehidupan akhirat yang akan dilalui manusia adalah apa yang telah diceritakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,

لا تزولُ قدَما عبدٍ يومَ القيامةِ حتَّى يسألَ عن عمرِهِ فيما أفناهُ ، وعن عِلمِهِ فيمَ فعلَ ، وعن مالِهِ من أينَ اكتسبَهُ وفيمَ أنفقَهُ ، وعن جسمِهِ فيمَ أبلاهُ

“Tidaklah kedua kaki seorang hamba beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: untuk apa umurnya ia habiskan, apakah ilmunya ia amalkan, dari mana hartanya ia peroleh dan di mana ia belanjakan, serta untuk apa tubuhnya ia usangkan.” (HR. Tirmidzi no. 2417, Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Sungguh kelak setiap orang akan mempertanggungjawabkan umur yang telah Allah Ta’ala berikan. Manusia akan menyesali keadaannya selama di dunia.

كَلَّآ اِذَا دُكَّتِ الْاَرْضُ دَكًّا دَكًّاۙ   وَّجَآءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّاۚ وَجِايْۤءَ يَوْمَىِٕذٍۢ بِجَهَنَّمَۙ يَوْمَىِٕذٍ يَّتَذَكَّرُ الْاِنْسَانُ وَاَنّٰى لَهُ الذِّكْرٰىۗ يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْۚ

“Sekali-kali tidak! Apabila bumi diguncangkan berturut-turut (berbenturan), dan datanglah Tuhanmu; dan malaikat berbaris-baris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam; pada hari itu sadarlah manusia, tetapi tidak berguna lagi baginya kesadaran itu. Dia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini.’” (QS. Al-Fajr: 21-24)

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa yang menyesal kelak di hari kiamat bukan hanya orang-orang kafir saja, melainkan juga kaum muslimin yang melakukan perbuatan dosa atas maksiat yang dilakukannya. Selain itu, kaum mukminin juga menyesal karena kurangnya ketaatan yang dilakukannya selama di dunia. (Tafsir Ibnu Katsir, 8: 389)

Saat ini, sebelum penyesalan itu datang, sebelum hari ini menjadi masa lalu yang akan disesali, marilah kita berusaha sekuat tenaga meningkatkan keimanan kita, terus berdoa kepada Allah Ta’ala, agar Allah Ta’ala senantiasa memberikan petunjuk, menjaga dan memberikan keistiqomahan kepada kita semua. Aamiin

***

Penulis: Apt. Pridiyanto

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/75909-merenungi-sisa-sisa-umur-kita.html

Beriman terhadap Datangnya Kematian

Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan keimanan kita terhadap kematian.

Pertama, kematian itu pasti datang

Kita harus meyakini bahwa siapa saja yang ada di dunia ini, baik penghuni langit dan bumi, baik manusia, jin, dan malaikat, dan makhluk Allah Ta’ala lainnya, pasti akan menjumpai kematian. Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (QS. Al-Qashash: 88)

Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali ‘Imran: 185)

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa,

أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الَّذِي لَا يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالْإِنْسُ يَمُوتُونَ

A’UUDZU BI’IZZATILLAHILLLADZII LAA ILAAHA ILLAA ANTAL LADZII LAA YAMUUTU WAL JINNU WAL INSU YAMUUTUUNA (Saya berlindung dengan kekuasaan-Mu yang tiada sesembahan yang hak selain Engkau, yang tidak pernah mati, sedangkan jin dan manusia pasti akan mati).” (HR. Bukhari no. 7383 dan Muslim no. 2717)

Kedua, ajal manusia sudah ditentukan, tidak akan lebih lama dan tidak akan lebih cepat

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34)

Allah Ta’ala berfirman,

وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُم بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُّسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan. Kemudian kepada Allahlah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Al-An’am: 60)

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ummu Habibah -istri Rasulullah- pernah berdoa sebagai berikut, ‘Ya Allah, berikanlah aku kenikmatan (panjangkanlah usiaku) bersama suamiku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ayahku Abu Sufyan, dan saudaraku Mu’awiyah.’”

Mendengar doa itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada istrinya Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha,

قَدْ سَأَلْتِ اللهَ لِآجَالٍ مَضْرُوبَةٍ، وَأَيَّامٍ مَعْدُودَةٍ، وَأَرْزَاقٍ مَقْسُومَةٍ، لَنْ يُعَجِّلَ شَيْئًا قَبْلَ حِلِّهِ، أَوْ يُؤَخِّرَ شَيْئًا عَنْ حِلِّهِ، وَلَوْ كُنْتِ سَأَلْتِ اللهَ أَنْ يُعِيذَكِ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ، أَوْ عَذَابٍ فِي الْقَبْرِ، كَانَ خَيْرًا وَأَفْضَلَ

Sesungguhnya kamu memohon kepada Allah ajal, kematian, dan rezeki yang telah ditentukan. Allah tidak akan mengajukan ataupun memundurkan sebelum waktunya. Apabila kamu memohon kepada Allah agar Dia menyelamatkanmu dari siksa neraka dan siksa kubur, maka hal itu lebih baik bagimu dan lebih utama.” (HR. Muslim no. 2663)

Adapun makna dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَه

Siapa yang ingin diluaskan rezekinya atau dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari no. 2067 dan Muslim no. 2557)

adalah “keberkahan dalam amal dan waktu”. Sehingga seseorang bisa mengerjakan banyak amal saleh di waktu yang sebentar (sedikit).

Ketiga, beriman bahwa tidak ada satu pun makhluk yang mengetahui kapan datangnya waktu kematian

Waktu datangnya kematian termasuk bagian dari ilmu gaib yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Maka, tidak ada yang mengetahui kapankah kematian menjemputnya, kecuali Allah Ta’ala semata. Allah Ta’ala berfirman,

وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan. Dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am: 59)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ

Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqman: 34)

Keempat, memperbanyak mengingat kematian dan menjadikan kematian itu ada di depan matanya

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ

Perbanyaklah mengingat penghancur kelezatan (yaitu, kematian).” (HR. Tirmidzi no. 3207, An-Nasa’i no. 1824, dan Ibnu Majah no. 4258, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Kelima, mempersiapkan diri sebelum datangnya kematian

Seorang mukmin hendaknya mempersiapkan dirinya sebelum datangnya kematian, dan juga mempersiapkan dirinya dengan hal-hal setelah kematian, baik azab atau nikmat kubur, hari kiamat, dan seterusnya. Allah Ta’ala berfirman,

حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحاً فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِن وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al-Mu’minuun: 99-100)

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr: 18)

Demikian, semoga bermanfaat.

***

@Rumah Kasongan, 30 Rajab 1443/ 3 Maret 2022

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/72920-beriman-terhadap-datangnya-kematian.html

Apakah Mati untuk Dilupakan?

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala atas seluruh nikmat yang telah Dia berikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarganya, sahabatnya, dan pengikutnya yang senantiasa istiqamah mengikuti sunnah-sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam hingga akhir zaman.

Saudariku… seringkali kita melakukan segala upaya dan daya untuk menggapai kenikmatan dunia. Kenikmatan dunia berupa harta, pangkat, prestasi, dan jabatan merupakan kebahagiaan yang hakiki di dunia sehingga kita lupa bahwa kehidupan akhirat adalah  kehidupan yang sebenarnya setelah kematian. Hamid al-Qaishari berkata,

كُلُّنَا قَدْ أَيْقَنَ الْمَوْتَ، وَمَا نَرَى لَهُ مُسْتَعِدًّا، وَكُلُّنَا قَدْ أَيْقَنَ بِالْجَنَّةِ وَمَا نَرَى لَهَا عَامِلاً، كُلُّنَا قَدْ أَيْقَنَ بِالنَّارِ وَمَا نَرَى لَهَا خَائِفاً، فَعَلَام تَفْرَحُوْنَ؟! وَمَا عَسَيْتُمْ تَنْتَظِرُوْنَ؟! الْمَوْتُ، فَهُوَ أَوَّلُ وَارِدٍ عَلَيْكُمْ مِنْ أَمْرِ اللهِ بِخَيْرٍ أَوْ بَشَرٍ، فِيا إِخْوَتَاهْ! سِيْرُوْا إِلَى رَبِّكُمْ سِيْراً جَمِيْلاً

“Setiap kita yakin dengan adanya kematian, namun kita tidak melakukan persiapan untuk menghadapinya. Setiap kita yakin dengan adanya surga, namun kita tidak melakukan amal kebaikan untuk mendapatkannya. Setiap kita yakin dengan adanya neraka, namun kita tidak merasa takut terhadapnya. Lantas, apa yang membuat kalian merasa gembira? Apa yang kalian tunggu dan harapkan dari dunia? Kematian, ia akan datang kepada kalian dengan membawa berita dari Allah; kebaikan ataupun keburukan. Wahai saudaraku, persiapkanlah perjalanan menghadap Allah dengan sebaik-baiknya.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 384)

Ingatlah akan kematian! Allah Ta’ala berfirman dalam surat Ali-‘Imran ayat 185:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ الْمَوْتِ.

Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian.” (HR. Ahmad, an-Nasa`i, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.1210)

Dari hadits tersebut, kematian bukanlah perkara yang mudah. Kematian adalah pemutus kenikmatan, menghilangkan kebahagiaan, dan penyebab kesedihan. Allah Ta’ala tentu akan mengujimu dengan berbagai masalah, musibah, dan cobaan.

Persiapkan kematian! Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

أَفْضَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَ أَكْيَسُهُمْ أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَ أَحْسَنُهُمْ لَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الْأَكْيَاسُ

Orang mukmin yang paling utama adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik dalam mempersiapkan bekal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Mereka adalah orang-orang yang berakal.” (HR. Ibnu Majah no. 3454, dihasankan al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

Orang-orang shalih akan selalu memikirkan dan mempersiapkan kematian dengan sebaik-baiknya. Mereka bersungguh-sungguh ketika melakukan amalan-amalan kebaikan seolah-olah mereka akan meninggal pada hari tersebut. Mereka memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara; masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum masa matimu.” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 7846, dishahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib no.3355)

Kematian tidak pernah hilang dari pikiran dan ingatan orang-orang shalih. Apabila disebutkan kematian, mereka langsung terdiam, tertunduk, tidak dapat berkata apapun, dan merasa seolah-olah mereka sedang menghadapinya hingga menangis. Mereka merasa kurangnya persiapan dan sedikitnya perbekalan amalan ketika akan menghadapi kematian. Padahal mereka adalah orang-orang yang shalat sebanyak 1.000 rekaat setiap harinya, tidak pernah keluar dari masjid selama 20 tahun lamanya, dan telah mengkhatamkan al-Qur`an lebih dari 18.000 kali semasa hidupnya. Sebaliknya, ada manusia yang diperintahkan untuk menyiapkan perbekalan sebelum menghadapi kematian, diajak untuk berjalan menuju Allah dengan melakukan ketaatan dan beribadah kepada-Nya, dan diperingatkan  bersabar untuk tidak bermaksiat di dunia demi mendapatkan kenikmatan yang hakiki, yaitu kenikmatan di akhirat, tetapi mereka hanya duduk, diam, bermalas-malasan, bermain-main, dan lebih mementingkan kehidupan dan kebahagiaan di dunia daripada kehidupan yang sebenarnya, yaitu kehidupan di akhirat nanti.

Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang melupakan kematian dan memperbanyak mengingat kematian.

Referensi:

Penulis: Ressa Ulimaz Amalia

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10155-apakah-mati-untuk-dilupakan.html

Kematian Sebagai Nasihat

Kematian menjadi penyemangat agar kita memperbanyak dan meningkatkan kualitas amal ibadah.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (QS al-Anbiya: 35).

Ayat Alquran itu menegaskan bahwa maut adalah sesuatu yang pasti terjadi pada diri setiap orang. Dan, tidak ada satu pun manusia mengetahui kapan dirinya akan wafat. Sungguh, perkara kematian merupakan salah satu rahasia Ilahi.

“Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat meminta penundaan(nya)” (QS al-Hijr: 5).

Allah Ta’ala juga menetapkan, tenggat waktu datangnya mau sudah ditentukan. Tidak dapat dimundur. Tidak pula bisa dimajukan.

Karena itu, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada umatnya untuk sering mengingat mati. Bukan untuk berputus asa. Justru zikrulmaut menjadi penyemangat agar kita memperbanyak dan meningkatkan kualitas amal ibadah.

Jangan lalai

Pernak-pernik duniawi kerap kali melalaikan manusia dari mengingat mati. Saking semangatnya menumpuk-numpuk harta, lupa bahwa usia kian menua dari tahun ke tahun. Saat melihat pada cermin, tampak bahwa rambut telah memutih, kulit tak lagi kencang, atau pandangan mata tak lagi tajam.

Bukannya memikirkan umur, yang ada dalam pikiran justru pertanyaan, bagaimana menutup-nutupi itu semua. Warna hitam melapisi putihnya uban. Berbagai krim dioles untuk perawatan kulit. Dan berbagai upaya lainnya.

Adalah hasrat manusiawi untuk tampil sebagus-bagusnya. Akan tetapi, janganlah hal itu membuai kita dari perenungan. Sejauh ini, sudah baikkah ibadah-ibadah kita dalam pandangan Allah? Bagaimana dengan tobat yang kita lakukan?

Dunia ini sementara

Banyak orang ketika dicabut nyawanya sedang berada dalam kondisi maksiat. Sesaat sebelumnya, mereka cenderung berpikir bahwa waktu kehidupan masih panjang. Nanti sesudah mereguk kenikmatan duniawi, dapatlah kembali ingat ibadah atau bertobat.

Padahal, sekali lagi, tidak ada yang mengetahui kapan dan di mana ajalnya tiba. Kecenderungan lalai biasanya terjadi lantaran seseorang sudah tidak ingat lagi kepada kematian. Kenikmatan duniawi telah melalaikannya.

Nabi SAW bersabda, “Perbanyaklah mengingat sang pemutus kelezatan, yaitu kematian.” Pesan Rasulullah SAW itu bermakna sangat dalam. Inilah imbauan untuk selalu menyadari, kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Adapun negeri akhirat lebih kekal dan utama.

Kembali kepada Allah

“Siapapun yang pelatarannya dihampiri oleh kematian, maka tak ada bumi maupun langit mampu melindunginya. Bumi Allah teramat luas. Namun, tatkala mati menjemput, sempitlah semua ruang.” Begitu petikan dari sebuah syair karya Imam Syafii.

Banyak karya sastra mengibaratkan kematian sebagai pengalaman yang sangat sepi. Dalam arti, hanya si calon jenazah yang sedang sekarat bisa mengalaminya. Bukan anaknya, istri/suaminya, orang tua, sahabat, atau siapapun di sekitarnya. Mereka semua hanya bisa menyaksikan, bukan ikut merasakan.

Karena itu, segeralah bertobat selama hayat masih di kandung badan. Dengan kembali kepada Allah, hati menjadi tenang.

Wallahu a’lam.

OLEH HASANUL RIZQA

KHAZANAH REPUBLIKA

3 Pintu Berbeda Umat Islam Menuju Alam Kubur

Syekh Said Nursi mengungkap jalan berbeda umat Islam menuju alam kubur

Ulama asal Turki, Badiuzzaman Said Nursi mengungkapkan adanya tiga jalan bagi umat saat masuk kubur. Dia adalah ulama yang mengarang kitab monumental berjudul Risalah Nur.  

Nursi mengatakan, sejumlah pemuda meminta kepada penulis Risalah Nur itu untuk membantu dan menolong mereka seraya bertanya, “Bagaimana kami bisa selamat di akhirat, di mana saat ini kami tengah dikepung berbagai rayuan palsu, godaan hawa nafsu, dan hiburan yang menipu?” 

Atas nama sosok maknawi Risalah Nur, Nursi pun memberikan jawaban sebagai berikut, sebagaimana dikutip dari bukunya yang berjudul “Tuntunan Generasi Muda” terbitan Risalah Nur: 

Kubur terhampar di hadapan semua orang. Tak seorang pun yang dapat mengingkarinya. Kita semua pasti akan memasukinya. Masuk ke dalam kubur hanya ada tiga jalan: 

Pertama, jalan yang menunjukkan bahwa kubur adalah pintu yang terbuka bagi kaum mukmin menuju alam yang lebih indah dibandingkan dunia ini. 

Kedua, jalan yang memperlihatkan bahwa kubur adalah pintu menuju penjara abadi bagi mereka yang terus berada dalam kesesatan, meskipun beriman kepada akhirat dan mereka dijauhkan dari seluruh orang yang dicintai di penjara pribadi tersebut. 

Mereka akan diperlakukan sesuai dengan keyakinan dan pandangan mereka tentang kehidupan lantaran tidak mau mengamalkan apa yang mereka yakini. 

Ketiga, jalan yang dilalui orang yang tidak beriman kepada akhirat dari golongan kaum sesat. Baginya, kubur adalah pintu menuju ketiadaan dan kematian abadi. 

Dalam pandangannya,  kubur merupakan tiang  gantungan yang  membinasakannya serta seluruh orang yang dicintainya. Inilah balasan atas sikap ingkarnya terhadap akhirat.     

KHAZANAH REPUBLIKA

Nasihat Kematian di Tengah Pandemi

INNALILLAHI WA ILAIHI RAJIUN. Sebulan terakhir ini seringkali kita mendapatkan berita dukacita dari media sosial, online, televisi, dan pengumuman lewat pengeras suara di masjid atas meninggalnya seseorang. Sebenarnya ada ataupun tidak ada pandemi, bahwa kematian itu akan senantiasa ada. Berita tersebut sejatinya sebagai sebuah nasihat tentang kematian.

Kematian akan menyambangi siapa saja yang bernyawa (QS Ali Imran [3]:185), tidak ada tawar menawar, dan masing-masing memiliki batasan waktunya (QS al-A’raf [7]: 34).  Kematian datang bersifat memaksa dan menghampiri setiap manusia meskipun berusaha menghindarinya (QS Ali Imran [3]: 154), mengejar siapapun meski berlindung di balik benteng yang kokoh (QS an-Nisa [4]: 78), mengejar siapapun meskipun lari menghindar (QS al-Jumu’ah [62]: 8), datang secara tiba-tiba (QS Luqman [31]: 34), dan tidak dapat ditunda dan dipercepat (QS al-Munafiqun [63]: 11).

Kematian tidak mengenal syarat, misalnya, yang paling tua, atau yang paling lama sakit, atau yang sudah menikah. Seringkali kita melayat orang yang meninggal dunia, usianya masih muda, atau dalam keadaan tidak sakit, dan atau belum menikah.

Tidak seorang pun tahu kapan datangnya kematian. Manusia dituntut mempersiapkan diri menghadapinya. Nabi ﷺ bersabda;

“Orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR Tirmidzi).

Ketika Nabi ﷺ ditanya oleh seorang dari Anshar, “Wahai Nabi, siapakah orang yang paling cerdas dan mulia?” Beliau menjawab, “Orang yang paling banyak mengingat mati dan siap menghadapinya. Mereka orang paling cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan di dunia dan kehormatan di akhirat.” (HR Tirmidzi).

Terkait dahsyatnya kematian (sakaratul maut), Nabi ﷺ bersabda, “Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang.” (HR Tirmidzi). Dalam hadis lain, “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutra. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutra yang tersobek?” (HR Bukhari).

Dalam atsar (pendapat) para sahabat Nabi ﷺ. Seperti Ka’ab al-Ahbar berpendapat: “Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan ke dalam perut seseorang. Lalu, seorang laki-laki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itu pun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa.”

Kemudian, Imam Ghozali berpendapat: “Rasa sakit yang dirasa kan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke selu ruh anggota tubuh sehingga bagi orang yang sedang sekarat merasa kan dirinya ditarik-tarik dan dicerabuti dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga kaki.”

Karena itu, kita berharap agar saat menghadapi kematian dalam keadaan tunduk dan patuh kepada-Nya. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran [3]: 102).

Tidaklah terlalu penting kita akan mati, tetapi yang terpenting adalah sejauh mana persiapan menghadapi kematian itu. Rasulullah ﷺ mengingatkan agar kita bersegera untuk menyiapkan bekal dengan beramal saleh. Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan. (HR Tirmidzi).

Bekal adalah suatu persiapan, tanpa persiapan tentu akan kesulitan dalam mengarungi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Oleh karena itu, berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Semoga saudara-saudara kita yang meninggal dunia, baik sebab Covid-19 maupun tidak, diampuni salah dan dosanya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketabahan. Amin.

*/H. Imam Nur SuharnoPengurus Korps Mubaligh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

HIDAYATULLAH

Inilah Alasan Kenapa Kematian Begitu Menakutkan

 Seorang arif berpetuah tentang kematian.“Life is not guaranteed at all, but death is absolutely guaranteed upon all, yet we still prepare for life more than death,” Mufti Ismail Menk.

Tidak ada misteri yang begitu menguncang dibandingkan dengan kematian. Kematian selalu menjadi guncangan besar yang menimpa bathin dan akal manusia. Kemajuan teknologi yang super canggih pun, tampaknya belum mampu mendeteksi kedatangan malaikat maut.

Meski begitu, kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Orang yang beriman, meyakini kematian adalah garis transisi. Bagi orang yang hidup dengan amal kebajikan, kematian akan membuatnya tersenyum. Sebab ia akan memasuki gerbang kehidupan baru yang penuh kenikmatan.

Kematian begitu seram. Tak bisa dipandang sebelah mata. Banyak manusia yang takut akan kematian. Terlebih terhadap doktrin eskatologi setelah kematian. Membuat orang mengekspresikannya dengan pelbagai macam cara. Tentu dengan harapan mendapatkan kebahagiaan kelak di alam lain.

Raja-raja Mesir, membangun Piramida dengan pucuknya yang runcing ke atas. Tujuannya agar kelak ia mati, memudahkan perjalanan ruhnya menuju ke eden (surga). Dengan meninggikan makam, maka perjalan arwah naik ke atas menjadi mudah. Lancar dan tak ada kemacetan.

Di belahan dunia lain, raja-raja di Tiongkok misalnya melakukan hal lain, ketika mati menyertakan pelbagai perhiasan yang mahal di peti mayatnya. Dan membuat bangunan yang kokoh dan megah. Pasalnya ia yakin, kematian merupakan transisi untuk menuju alam lain.

Islam memiliki doktrin tersendiri tentang kematian. Saban kematian menjemput, tak ada harta, tahta, keluarga, yang mampu menemani manusia, hanya amal dan kebajikan yang menjadi pendamping kelak di alam akhirat.

Lantas kenapa manusia begitu takut akan kematian? Profesor Komaruddin Hidayat dalam buku Tragedi Raja Midas, Moralitas Agama dan Krisis Modernisme menyatakan sebab kematian itu menakutkan karena manusia semasa hidupnya merasa dimanjakan oleh kenikmatan dunia.

Manusia itu lantas berpikir, kematian akan memutus kenikmatan dunia tersebut. Kematian adalah akhir dari kesenangan dunia. Pendek kata, kematian adalah puncak kekalahan dan penderitaan.

Kedua, kematian ditakuti karena manusia tak mengetahui apa yang akan terjadi setelah ia mati.  Laiknya kematian, pasca kematian pun menjadi misteri berkepanjangan. Sampai sekarang, tak ada seorang pun yang tahu nasibnya kelak di akhir kematiannya.

Keabadian jiwa dan hari perhitungan akan pasti terjadi. Itu adalah mekanisme keadilan Tuhan. Alangkah absurd dan nistanya pengorbanan perjuangan manusia, bila kelak setelah mati tak ada alam pengadilan dan hitungan lanjut. Lantas untuk apa adanya kebajikan dan keburukan, kebaikan dan kejahatan, bila kelak pengadilan Ilahi ditiadakan?

ketiga, khawatir dengan keluarga yang akan ditinggalkan. Profesor Quraish Shihab dalam talk show Shihab & Shihab menerangkan, manusia takut mati biasanya adanya rasa khawatir dalam dirinya terkait keluarganya. Misalnya, bila ia wafat, siapa yang membiayai sekolah anaknya, belanja bulanan istrinya. Dan yang menjaga keluarganya.

Padahal Allah sudah mengingatkan manusia, kelak Allah dan malaikatnya yang akan mengurus keluarganya di dunia sehingga manusia yang meninggal tidak usah khawatir. Hal itu sebagaimana dikatakan dalam Firman Allah Swt QS. Fusshilat, ayat 31;

نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ

Artinya;  “Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat”. ().

Keempat, manusia takut kematian sebab dosa yang begitu banyak. Pendosa biasanya takut akan kematian. Pasalnya, kelak akan ada hari perhitungan pengadilan. Manusia pendosa yang amal kebajikannya cetek, akan takut kelak disiksa dan diazab Allah di alam akhirat.

Itulah sebab manusia takut akan kematian. Beragam macamnya. Namun satu yang pasti, kematian akan datang. Ia pasti. Tapi tak ada yang tahu. Maut itu adalah maha dari Kemaha Tidaktahuan. Misteri yang belum terpecahkan.

Untuk itu, sebagai seorang muslim kita harus menyadari, dunia ini adalah rahmat ilahi kepada manusia. Sudah tanggung jawab kita untuk menjaganya. Dan dunia juga adalah amanat Tuhan bagi manusia, kelak kita akan diminta pertanggungjawaban. Pergunakanlah dunia untuk bekal kelak bertemu Ilahi di alam akhirat.

BINCANG SYARIAH

Kematian Pasti Datang

Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Beruntunglah orang yang senantiasa mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat kematian kecuali akan tampak buahnya di dalam amal perbuatannya.”

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya kematian yang kalian senantiasa berusaha lari darinya, maka dia pasti menemui kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada Dzat yang mengetahui perkara gaib dan perkara yang tampak, lalu Allah akan memberitakan kepada kalian apa-apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Jumu’ah: 8)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Setiap jiwa pasti merasakan kematian.” (QS. Ali ‘Imran: 185)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kematian.” (QS’ al-Hijr: 99)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 102)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah dipersiapkan olehnya untuk hari esok…” (QS. Al-Hasyr: 18)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kalian kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 198)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Tidak ada waktu bagi seorang mukmin untuk bersantai-santai kecuali ketika dia sudah berjumpa dengan Allah.”

Suatu ketika ada yang berkata kepada Hasan al-Bashri rahimahullah, “Wahai Abu Sa’id, apa yang harus kami perbuat? Kami berteman dengan orang-orang yang senantiasa menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami hendak melayang.” Maka beliau menjawab, “Demi Allah! Sesungguhnya jika kamu berteman dengan orang-orang yang senantiasa menakut-nakuti dirimu hingga mengantarkan dirimu kepada keamanan, maka itu lebih baik daripada kamu bergaul dengan teman-teman yang senantiasa menanamkan rasa aman hingga menyeretmu kepada situasi yang menakutkan.”

Seorang penyair mengatakan:

Wahai anak Adam, engkau terlahir dari ibumu seraya melempar tangisan

Sedangkan orang-orang di sekelilingmu tertawa gembira

Maka, beramallah untuk menyambut suatu hari tatkala mereka melempar tangisan

Yaitu hari kematianmu, ketika itu engkaulah yang tertawa gembira

Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Beruntunglah orang yang senantiasa mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat kematian kecuali akan tampak buahnya di dalam amal perbuatannya.”

Syaikh Abdul Malik al-Qasim berkata, “Betapa seringnya, di sepanjang hari yang kita lalui kita membawa [jenazah] orang-orang yang kita cintai dan teman-teman menuju tempat tinggal tersebut [alam kubur]. Akan tetapi seolah-olah kematian itu tidak mengetuk kecuali pintu mereka, dan tidak menggoncangkan kecuali tempat tidur mereka. Adapun kita; seolah-olah kita tak terjamah sedikit pun olehnya!!”

‘Amar bin Yasir radhiyallahu’anhu berkata, “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat dan pelajaran. Cukuplah keyakinan sebagai kekayaan. Dan cukuplah ibadah sebagai kegiatan yang menyibukkan.”

al-Harits bin Idris berkata: Aku pernah berkata kepada Dawud ath-Tha’i, “Berikanlah nasehat untukku.” Maka dia menjawab, “Tentara kematian senantiasa menunggu kedatanganmu.”

Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian niscaya akan menjadi sedikit kegembiraannya dan sedikit kedengkiannya.”

Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Aku senang dengan kemiskinan, karena hal itu semakin membuatku merendah kepada Rabbku. Aku senang dengan kematian, karena kerinduanku kepada Rabbku. Dan aku menyukai sakit, karena hal itu akan menghapuskan dosa-dosaku.”

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Tidaklah aku melihat sebuah perkara yang meyakinkan yang lebih mirip dengan perkara yang meragukan daripada keyakinan manusia terhadap kematian sementara mereka lalai darinya. Dan tidaklah aku melihat sebuah kejujuran yang lebih mirip dengan kedustaan daripada ucapan mereka, ‘Kami mencari surga’ padahal mereka tidak mampu menggapainya dan tidak serius dalam mencarinya.”

Salah seorang yang bijak menasehati saudaranya, “Wahai saudaraku, waspadalah engkau dari kematian di negeri [dunia] ini sebelum engkau berpindah ke suatu negeri yang engkau mengangan-angankan kematian akan tetapi engkau tidak akan menemukannya.”

Ibnu Abdi Rabbihi berkata kepada Mak-hul, “Apakah engkau mencintai surga?” Mak-hul menjawab, “Siapa yang tidak cinta dengan surga.” Lalu Ibnu Abdi Rabbihi pun berkata, “Kalau begitu, cintailah kematian; karena engkau tidak akan bisa melihat surga kecuali setelah mengalami kematian.”

Sumber: Aina Nahnu min Ha’ula’i, Jilid 1. Karya Abdul Malik al-Qasim

Sumber: https://muslim.or.id/66507-kematian-pasti-datang.html

5 Hikmah Allah SWT Mematikan Manusia di Dunia

Allah SWT menciptakan manusia dan akan mematikannya di dunia

Setiap yang bernyawa pasti akan mati, termasuk manusia. Kelahiran manusia di dunia semata hanyalah untuk mempersiapkan kematian. Namun, kematian memiliki hikmah yang apabila dipahami akan mendatangkan ketakwaan. 

Setidaknya ada lima hikmah mengapa Allah SWT mematikan manusia. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam situs Mawdoo3

Hikmah yang pertama yaitu mempertegas kekuasaan Allah SWT, khususnya sejak proses penciptaan manusia. Kemudian, menjalani kehidupannya di bumi. Hingga akhirnya, manusia meninggal dunia. Semua itu terjadi hanya karena kekuasaan Allah SWT. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman: 

فَلَوْلَا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ*تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ “Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (QS Al Waqiah 86-87). 

Hikmah kedua, mengenalkan hakikat manusia melalui kematian. Karena, Allah menciptakan manusia tidak sia-sia, tetapi untuk alasan dan tujuan yang besar.

Hikmah ketiga, Allah SWT mempercayakan manusia sebagai khalifah di bumi. Mereka berhasil hidup berdampingan satu sama lain. Jika manusia tidak melahirkan keturunan, maka manusia sebagai khalifah di muka bumi ini akan sirna.  

Hikmah keempat, Allah mematikan manusia dari dunia ini untuk mengetahui mereka yang mematuhi-Nya dan mereka yang tidak mematuhi-Nya. Dalam Alquran, Allah berfirman: 

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ “Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Mahapengampun.” (QS Al Mulk 2) 

Hikmah kelima, merasakan nikmat besar dari Allah SWT. Jika bukan karena kematian, manusia tidak akan bisa hidup di bumi, dan manusia tidak akan mendapat tempat yang baik di dalamnya.

Sumber: mawdoo3

KHAZANAH REPUBLIKA

Tafsir Surat al-Waqi’ah: 83-87: Kematian Pasti Datang Menjemput

Allah berfirman dalam surat al-Waqi’ah: 83-87,

فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ- 83 – وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ- 84 –  وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ – 85 –  فَلَوْلَا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ.- 86 – تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ – 87 –

Maka kenapa tidak (kalian cegah) ketika nyawa di kerongkongan (83) Padahal kalian melihatnya (sakaratul maut kalian itu) (84) Dan kami lebih dekat kepada kamatian itu namun kalian tidak melihatnya (85) kemudian kenapa pula jika kalian bukan orang-orang yang dikuasai (86) kalian tidak kembali lagi jika kalian adalah orang-orang yang benar (87).

Dalam Tanwirul Miqbas, Ibnu Abbas menafsiri ayat ini diperuntukkan untuk orang-orang ahli Mekkah saat itu. Di riwayat lain dijelaskan bahwa ini dimaksudkan bagi orang-orang kafir yang mengatakan “seandainya mereka bersama kami, mereka tidak akan mati” seperti yang disebutkan dalam Q.S. Ali Imron ayat 156.

Sehingga tantangannya adalah ketika naza’ (sakaratul maut) sudah sampai tenggorokan, seharusnya mereka (kaum kafir yang sombong) bisa menolak dan mengembalikaan ruh mereka. Ternyata mereka tetap tidak bisa menolak dan mengembalikannya. Padahal jelas-jelas mereka juga mengetahui proses naza’ tersebut. Di riwayat lain disebutkan bahwa ini sebagai bantahan bagi mereka yang mengatakan bahwa yang membinasakan mereka adalah karena lamanya waktu atau masa usia mereka, sehingga mereka bisa menahannya sampai usia yang lama.

Seperti ayat sebelumnya, ayat ini juga berisi tantangan bagi mereka yang merasa bahwa dirinya bukan makhluk yang dikuasai Allah. Maka kenapa mereka tidak kembalikan saja ruhnya yang telah keluar dari jasad untuk kembali? Dengan demikian, dari beberapa ayat ini, hal yang sangat perlu kita teladani adalah bagaimana kematian pasti datang menjemput. Selain itu takdir kematian sudah merupakan kepastian Allah, jangan pernah mengatakan jika seperti ini maka tidak akan mati dan sebagainya. Di luar itu juga tidak ada satupun makhluk di dunia ini yg tidak dikuasai Allah, semuanya dimiliki oleh Allah, kita tidak mempunyai apa-apa, bahkan jiwa yg kita gunakan sekarang tidaklah atas kuasa kita sendiri. Oleh sebab itu, hina sekali kalau ada perasaan-perasaan sombong dalam diri kita.

BINCANG SYARIAH