Pahala untuk Orang yang Membaca Alquran Terbata-bata

Orang yang membaca Alquran meski terbata-bata tetap mendapatkan pahala.

Allah SWT memberikan keutamaan kepada hambaNya yang membaca Alquran. Meskipun, seorang hamba itu membacanya dengan terbata-bata.

Dalam sebuah hadits disebutkan:


عَن عَائِشَةَ رَضي اللٌهُ عَنهاَ قَالَتُ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلٌم الَماهر باِلقُرانِ مَعَ السَفَرَةَ الكِرَامِ الَبَرَرَةِ وَاٌلَذِي يَقُراٌ القُرانَ وَيَتَتَعتَعُ فِيه وَهُوَ عَلَيهِ شَاقٌ لَه اَجَران (رواه البخارى ومسلم وابو داوود والترمذى وابن ماجه).


Dari Aisyah r.h.a berkata bahwa Rasulullah saw.bersabda, “Orang yang ahli dalamAlquran akan berada bersama malaikat pencatat yang mulia lagi benar, dan orang terbata-bata membaca Alquran sedang ia bersusah payah (mempelajarinya), maka baginya pahala dua kali.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud)

Maulana Muhammad Zakariyya Al Khandahlawi dalam kitabnya yang berjudul Fadhilah Amal menerangkan, maksud orang yang ahli dalam Alqurab adalah orang yang hafal Alquran dan senantiasa membacanya, apalagi jika memahami arti dan maksudnya.
Dan yang dimaksud ‘bersama-sama malaikat’ adalah, ia termasuk golongan yang memindahkan Alquran al-Karim dan Lauh Mahfuzh, karena ia menyampaikannya kepada orang lain melalui bacaannya.

“Dengan demikian, keduanya memiliki pekerjaan yang sama. Atau bisa juga berarti, ia akan bersama para malaikat pada hari Mahsyar kelak,” kata Maulana Zakariyya.

Sementara, orang yang terbata-bata membaca Alquran akan memperoleh pahala dua kali; satu pahala karena bacaannya, satu lagi karena kesungguhannya mempelajari Alquran berkali-kali. Tetapi bukan berarti pahalanya melebihi pahala orang yang ahli Alquran.

Orang yang ahli Alquran tentu saja memperoleh derajat yang istimewa, yaitu bersama malaikat khusus. Maksud yang sebenarnya adalah, bahwa dengan bersusah payah mempelajari Alquran akan menghasikan pahala ganda.

“Oleh karena itu, kita jangan meninggalkan baca Alquran, walaupun mengalami kesulitan dalam membacanya,” kata Maulana Zakariyya.

KHAZANAH REPUBLIKA


Keutamaan Belajar Alquran dan Mengajarkannya

Ada keutamaan untuk orang yang belajar Alquran dan mengamalkannya.

Allah SWT memberikan keutamaan kepada orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad yang berbunyi:


عَن عُثَمانَ رَضِىَ اللٌهُ عَنهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صٌلَى اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلٌمَ خَيُركُم مَن تَعلٌمَ القُرانَ وَعَلٌمَهَ . ) رواه البخاري وابو داود والترمذي والنسائ وابي ماجه هكذا في الترغيب وعزاه الى مسلم ايضا لكن حكي الحافظ في الفضح عن ابي العلاء ان مسلما سكت عنه ).

Dari Utsman RA, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baiknya kamu adalah orang yang belajar al Qur’an dan mengajarkannya.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah)

Maulana Muhammad Zakariyya Al Khandahlawi mengatakan di dalam kitab Fadhilah Amal, dalam sebagian besar kitab, hadits diriwayatkan dengan menunggukan huruf wa (artinya dan), sebagaimana terjemahan di atas. Dengan merujuk terjemahan di atas, maka keutamaan itu diperuntukkan bagi orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain.

Namun dalam beberap kitab lainnya, hadits itu diriwayatkan dengan menggunakan huruf aw (artinya ataw), Sehingga terjemahanya adalah, “Yang terbaik di antara kamu ialah orang yang belajar Al-Quraan saja ataw yang mengajarkan alquraan saja.”

Dengan demikian, maka keduanya mendapatkan derajat keutamaan yang sama .
Alquran adalah inti agama. Menjaga dan menyebarkan sama dengan menegakan agama. Karenanya sangat jelas keutamaan mempelajari Alquran dan mengajarkannya, walaupun bentuknya berbeda-beda.

“Yang paling sempurna adalah mempelajarinya, dan akan lebih sempurna lagi jika mengetahui maksud dan kandungannya. Sedangkan yang terendah adalah mempelajari bacaannya saja,” kata Maulana Zakariyya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Membantu Tanpa Merendahkan Orang Yang Dibantu

Dikisahkan seorang lelaki pergi ke pasar untuk membeli buah. Lalu ia bertanya,

“Berapa harga pisang dan apel ini?”

“Pisang ini 20.000 dan apel ini 30.000 per kilo.” jawab si penjual buah.

Tak lama kemudian seorang wanita datang dan bertanya,

“Berapa harga pisang ini?”

Penjual itu menjawab, “Pisang ini 5.000 dan apel itu 10.000 per kilonya.”

Mendengar jawaban si penjual buah kepada si wanita wajah pembeli lelaki itu memerah. Ia merasa dipermainkan. Mengapa ia diberi harga tiga kali lipat dari harga wanita ini ???

Dengan segera penjual buah itu berkata kepada pembeli lelaki,

“Mohon tunggu sebentar pak.”

Ia pun segera melayani si wanita yang membeli satu kilo pisang dan satu kilo apel hanya dengan harga 15.000.

Setelah wanita itu pergi, si penjual buah meminta maaf kepada pembeli lelaki tersebut. Ia menjelaskan,

“Demi Allah aku tidak sedang mempermainkanmu. Sebenarnya wanita itu adalah janda yang memiliki empat anak yatim. Dan ia selalu menolak jika ada yang ingin memberi bantuan.

Suatu saat aku ingin memberinya buah namun ia pun menolaknya. Maka aku berpikir satu-satunya cara untuk membantunya adalah memberi harga yang murah agar ia tidak merasa sedang dibantu.

Wanita itu datang sekali dalam seminggu. Dan Demi Allah, setiap kali ia datang maka hari itu pendapatanku menjadi berkali-kali lipat dari biasanya.”

Pembeli lelaki itu baru mengerti maksud dari si penjual buah dan dia pun meneteskan air mata karena terharu dengan kebaikan hati penjual ini.

Orang-orang semacam inilah yang termasuk dalam ayat berikut ini :

يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسۡـَٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ

“(orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS.Al-Baqarah:273)

Di sekitar kita banyak sekali orang yang membutuhkan bantuan namun mereka memilih diam demi menjaga kehormatan dan harga diri. Maka perhatikanlah orang-orang sekitarmu dan carilah cara terbaik untuk membantu mereka tanpa mereka merasa sedang diberi bantuan.

Rasulullah saw bersabda :

إِرحَمُوا مَن فِي الأَرضِ يَرحَمُكُم مَن فِي السَّمَاء

“Sayangilah yang ada di bumi maka engkau akan disayangi oleh yang di langit.”

Semoga bermanfaat..

Tidak Berlebih-Lebihan Dalam Berbicara

Secara umum, biasanya kaum wanita lebih banyak atau unggul dalam berbicara dibandingkan laki-laki. Ia lebih banyak mengekspresikan hati, keinginan dan minatnya melalui lisan sehingga makin mengolah kata.

Taufik Al-Hakim berkata: “Belum pernah aku temukan dua perempuan yang sedang duduk dan keduanya tidak berbicara. Aku pernah menyaksikan sekelompok wanita sedang berkumpul, saya heran bagaimana mereka saling menghadirkan bahan pembicaraan? Kadang saya merasa paling cerewet diantara kaum laki-laki, namun ketika saya bandingkan dengan kaum wanita ternyata saya paling pendiam diantara mereka”. (Mut’atul Hadits, Abdullah Ad Dawud, hal 72).

Seorang istri shalihah hendaknya mampu menjaga lisannya dari perkataan jelek, mengadu domba, mencela, suka berkeluh kesah, bahkan terlontar ucapan yang mengkufuri nikmat Allah, dengan tidak bersyukur pada suaminya. Terkadang ia dengan ringan membuat topik pembicaraan yang mampu menyihir lawan bicara sehingga menarik dan asyik berbicara yang bisa menjerumuskan dalam membicarakan aib orang lain termasuk kekurangan suaminya sendiri tanpa ia sadari.

Berlebih-lebihan dalam berbicara tanpa kendali dan tujuan yang mulia akan hanya akan mendatangkan dosa dan murka Allah subhanahu wa ta’ala.

Berkata Imam Muslim rahimahullah: “Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ، قالَهَا ثَلَاثًا

Binasalah orang yang suka berlebih-lebihan/melampaui batas” beliau mengatakan tiga kali”(Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi, 16/220).

Dan sabdanya: الْمُتَنَطِعُوْنَ (berlebih-lebihan), berkata An-Nawawi: “Yang dimaksud ialah orang yang berdalam-dalam, berlebih-lebihan, dan melampaui batas dalam perkataan dan perbuatan mereka” (Dikutip dari “Wahai Muslimah Dengarlah Nasehatku” [terjemah] karya Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah, hal 63).

Syariat memerintahkan seorang muslimah dan mukminah untuk mampu mengendalikan lidahnya, tidak mudah mengumbar kata-kata tanpa ada kebutuhan mendesak, seperti saling menasehati sesama, berdakwah, membicarakan perkara agama, bermusyawarah untuk urusan kebaikan dunia dan lain-lain yang bermanfaat.

Kaum muslimah hendaknya menyadari betapa lisan bak pisau bermata dua, di satu sisi bisa mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala namun di sisi lain mampu menjerumuskannya dalam neraka.

Jadikanlah dalam lisanmu untuk meraih apa-apa yang dicintai serta diridhai-Nya. Lisan yang senantiasa basah oleh dzikrullah dalam segala situasi dan suasana agar hidupmu berkah dan berpahala. Lisan yang membantumu untuk selalu mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla, dan senantiasa menumbuhkan ketaatan pada perintah-Nya.

Hadirkan selalu pembicaraan yang berfaidah yang mampu membuatmu dan orang lain tentram dan bahagia. Pembicaraan yang tidak mengundang petaka, bukan pembicaraan yang justru membuat hidupmu di dunia dan akhirat sengsara.

Sepantasnya seorang muslimah sejati memperbanyak do’a, rajin menuntut ilmu, dan bersahabat dengan orang-orang yang shalih-shalihah agar bisa membantunya untuk menjaga lisannya dari perkara dosa dan hal-hal yang dimurkai-Nya.

Referensi :
1. Wahai Muslimah Dengarlah Nasehatku (terjemah), Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah, Pustaka Sumayyah, Pekalongan,2006
2. One heart, Rumah tangga Satu Hati Satu Langkah, Zainal Abidin bin Syamsudi, Pustaka Imam Bonjol, Jakarta, 2014

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11923-tidak-berlebih-lebihan-dalam-berbicara.html

Hikmah Dalam Mengkritik

Kita terkadang tidak siap untuk menjadi guru
Ketika kita diingatkan sebuah kesalahan, sering muncul keangkuhan
Padahal tanda keikhlasan adalah menerima kritikan yang baik
Kita terkadang tidak siap untuk menjadi besar, mudah terkena ujub dan merasa nikmat dengan kehormatan
Jika kita merasa direndahkan kesombongan seringkali muncul menggelapkan hati
(Ustadz Abu Yahya Badrussalam, dikutip dari salamdakwah.com).

Menyentuh jiwa sekali ungkapan hikmah di atas, betapa kritikan seakan terasa pedas menyayat hati ketika dimaknai berbeda, sejatinya kritikan yang disampaikan dengan perasaan cinta ingin menasehati saudaranya dan berharap cinta Allah niscaya berbuah kebaikan. Terkadang seseorang berat menerima saran atau kritikan dan merasa dirinya dipojokkan tatkala cara mengkritiknya tak beradab. Hal ini diperparah lagi ketika yang bersangkutan memiliki karakter sensitif atau mudah tersinggung secara berlebihan.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Siapa berpikir dengan jernih dan melatih dirinya untuk tenang dengan kebaikan, maka sebenarnya kritikan lebih menguntungkan dari pada pujian, karena pujian bila sesuai fakta membuat orang ujub dan dan hancurlah semua kelebihannya, bila mengada-ada lalu ia bangga dengan kepalsuan dan demikian itu jelas suatu bentuk cacat berat. Sementara kritikan orang bila sesuai fakta maka mendorong untuk mengoreksi kekurangan tersebut dan demikian itu suatu keuntungan besar yang semua orang butuh kecuali orang kerdil. Jika kritikan tersebut mengada-ada sedang ia bersabar maka ia terlatih untuk bersabar dan lapang dada lalu ia meraup kebaikan, karena kebaikan orang yang mengkritik akan diberikan kepadanya pada hari pembalasan sehingga ia meraup pahala tanpa susah payah. Yang demikian itu semua orang pasti senang kecuali orang gila” (Siyar wal Akhlak, hal. 114).

Seorang mukmin hendaklah tawadhu’ ketika dinasehati dan menasehati orang lain. Berbaik sangkalah karena setiap diri pasti punya aib dan kekurangan. Yakinlah saat orang lain mengoreksi aib kita berarti ia perhatian pada kita dan berharap kita senantiasa dalam kebaikan. Ketika orang yang mengkritik dan pihak yang dikritik sama-sama memiliki iman kuat dan akhlak mulia niscaya kritikan akan dianggap hadiah yang diberikan dengan perasaan suka cita. Dan yang menerima juga akan merasa bahagia karena tujuannya untuk kebaikan dan taqwa, asal disampaikan dengan hikmah dan bijaksana.

Hikmah menurut Ibnu Qoyyim rahimahullah adalah sesuatu yang tepat dengan cara yang tepat dalam waktu dan tempat yang tepat (Madarijus Salikin: 2/479).

Kritikan adalah media untuk memperbaiki diri agar seorang mukmin senantiasa instropeksi diri dan segera berbenah sehingga berada di level tertinggi dalam segala kebaikan. Hindari sikap apriori (praanggapan_ed) dan pikiran-pikiran negatif atau su’udzon pada orang lain. Jangan biarkan dendam dan hasad menguasai, baik ketika menasehati atau dinasehati orang lain. Bukankah dengan kritikan atau nasehat seorang akan mengetahui kekurangan kita?

Ibnu Hibban Al Busti rahimahullah pernah menyampaikan: “Seorang yang berakal, aib-aib dirinya tidak akan tersembunyi olehnya. Seorang yang tidak mengetahui aibnya, iapun tidak mengetahui kebaikan-kebaikan orang lain. Sesungguhnya hukuman terberat atas seseorang adalah ia tidak mengetahui aibnya sendiri. Karena, orang yang tidak mengetahui aibnya maka ia tidak dapat menghilangkannya dari dirinya” (Raudhatul ‘Uqala, I/22).

Ibnu Rajab berkata: “Konon para salaf jika ingin menasehati seorang mereka menyampaikannya secara rahasia, sampai-sampai ada yang mengatakan barangsiapa yang menasehati saudaranya secara rahasia berarti ia betul-betul menasehati saudaranya dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak, berarti ia hanya ingin menjatuhkan martabatnya” (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, I/225).

Wallahu a’lam.

Referensi :
1. One Heart, Rumah Tangga satu hati satu langkah, Zainal Abidin bin Syamsuddin, Lc, Pustaka Imam Bonjol, Jakarta, 2014
2. Majalah Tashfiyah, edisi 19. Vol.02, 1443 H
3. Majalah Usroti, edisi 09. Vol I
4. Langkah Pasti Menuju Bahagia (terjemah), Dr. Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qosim, Dar An-Naba’, Surakarta

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11915-hikmah-dalam-mengkritik.html

Terkena Najis di Tengah Salat, Lakukanlah Ini…

ABU Said al-Khudri radhiyallahu anhu bercerita,

Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang shalat mengimami para sahabat, tiba-tiba beliau melepaskan kedua sandalnya, lalu beliau letakkan di sebelah kirinya. Para jamaah yang melihat itu langsung melepaskan sandal mereka. Seusai shalat, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya,

Mengapa kalian melepas sandal kalian?
Kami melihat anda melepaskan sandal anda, kamipun melepaskan sandal kami. Jawab para sahabat.
Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya Jibril alaihis shalatu was salam mendatangiku, beliau menyampaikan bahwa di kedua sandalku ada kotoran (HR. Abu Daud 605 dan dishahihkan al-Albani).

Hadis ini merupakan dalil, wajibnya menjauhkan diri dari najis ketika shalat. Dan jika tidak diketahui maka dimaafkan. (Aunul Mabud, Syarh Abu Daud, 2/37).

Sampaipun harus melepas sebagian yang kita pakai, seperti sandal atau tutup kepala atau semacamnya, selama tidak menyebabkan terbuka aurat. Namun jika yang terkena najis adalah pakaian yang menutupi aurat, maka tidak perlu dilepas. Misal mukena bagi wanita, yang jika dilepas rambut kepalanya akan terbuka, atau sarung bagi lelaki, yang jika dilepas pahanya akan terbuka.Baca jugaBolehkah Minum Vitamin Pencegah Uban?


Bolehkah Setubuhi Istri yang Hamil dan Menyusui?


Jika Azan dan Iqamah Salah, Bagaimana Salatnya?

Jika tidak boleh melepas, lalu apa yang harus dilakukan? Ada 2 rincian dalam hal ini,
[1] Jika masih memiliki pakaian ganti, shalat dibatalkan dan ganti pakaian yang suci.
[2] Jika tidak memiliki pakaian ganti dan tidak mungkin untuk mencucinya, tetap lanjutkan shalat, meskipun ada najisnya.

Imam Ibnu Utsaimin mengatakan, “Jika seseorang mengetahui ada najis ketika sedang shalat, dan memungkinkan baginya untuk melepaskan pakaian yang ada najisnya, maka dia lepas dan dia bisa melanjutkan shalat. Demikian pula ketika dia tidak ingat ada najis, dan baru ingat di tengah shalat, maka dia lepaskan bagian pakaian yang terkena najis dan lanjutkan shalatnya.”

Maksud keterangan beliau, jika pakaian yang dilepas tidak sampai menyebabkan terbukanya aurat. Kemudian beliau melanjutkan, “Namun jika najisnya mengenai baju, sementara dia tidak memakai lapisan baju lain, lalu dia teringat bahwa bajunya ada najisnya, maka dia harus membatalkan shalat. Karena dia tidak mungkin melepas bajunya. Sebab jika dilepas, dia bisa telanjang. Dalam hal ini kita sarankan, batalkan shalatmu, cuci bajumu dan mulai shalat dari awal.”

Sementara untuk mereka yang tidak mungkin mengganti pakaiannya, beliau menyarankan, “Sementara yang tidak mungkin dilepaskan atau najisnnya dikurangi, maka tidak masalah baginya. Allah berfirman (yang artinya), Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian. Anda bisa shalat meskipun ada najis, dan tidak perlu diulangi, menurut pendapat yang lebih kuat. Karena ini bagian dari taqwa kepada Allah semampunya.”

Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Musuh Kita Adalah Penyakit Bukan Penderitanya

ISLAM rahmatan lil alamin atau Islam rahmat bagi seluruh alam. Adalah Islam yang bisa merangkul semuanya. Memberikan sinarnya bagi setiap umat manusia. Dan muslim adalah penganutnya.

Senantiasa berakhlak karimah dan dekat kepada sesama. Maka yang utama adalah berbagi kebaikan dan bukan menebar kebencian. Mengajak kepada kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Yang menolak kepada kemaksiatan dan bukan menghindar kepada si pelaku perbuatan.

Karena Islam untuk kita semua dan bukan hanya untuk sebagian. Bagaimana bisa orang mengerti indahnya Islam, jika kita tolak mereka sebelum masuk ke dalam?

Terinspirasi dari perkataan Ustadz Salim A, Fillah bahwa,

“Bencilah maksiat, tapi sayangi pendosanya. Kritiklah pernyataan, tapi muliakan penyampainya. Musuh kita adalah penyakit, dan bukan penderitanya.”

Sehingga inilah akhlak muslim seharusnya. Mengetahui mana yang lebih utama. Walau sampai hari ini dari kita masih banyak yang lupa, akan tetapi tetaplah berusaha untuk memperbaikinya. Menjadi muslim yang lebih baik serta peduli kepada manusia yang lainnya. [inspirasi-islami]

INILAH MOZAIK

Nasehat Guru: Apa yang Harus Dijaga di Bulan Rajab

SEJAK hari kemarin kita memasuki bulan Rajab, bulan penuh kemuliaan dan keistimewaan. Apa yang harus kita lakukan? Banyak sudah bahasan menjawab pertanyaan itu. Kali ini saya ingin berbagi dawuh guru hati saya, Habib Umar bin Hafidz Yaman.

Beliau berkata begini: “Hati-hatilah kalian jangan sampai masuk bulan Rajab dalam keadaan sementara silaturrahim kita dengan keluarga ada yang terputus…”

“Hati-hatilah kalian jangan sampai kalian menjalani malam-malam di bulan Rajab ini, sementara salah seorang diantara kalian membuat sedih hati kedua orang tuanya, setelah tahu wasiat Allah Pencipta Alam menyuruh kita berkenaan dengan kedua orang tua dengan firmanNya: “agar bersyukur kepadaKu dan kedua orang tuamu.”

Singkat taushiyah di atas, namun dalam maknanya. Memperbaiki hati kita memasuki bulan baik adalah kebaikan yang akan berbuah kebaikan yang lain. Hati-hati dengan hati kita, karena dari hati itulah sikap dan ucapan kita lahir ke permukaan. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Tak Ada yang Terlalu Buruk untuk Memulai Hal Baik

KEBAIKAN bisa dilakukan oleh siapa saja. Tanpa memandang orang itu bagaimana. Kebaikan bisa dilakukan kapan saja. Tanpa khawatir akan waktu yang tepat untuk melakukannya. Kebaikan bisa dilakukan di mana saja. Tanpa bimbang akan tempat yang bagus untuk mempertahankannya.

Tidak ada yang terlalu buruk tuk memulai hal baik. Sehingga seburuk apapun manusia, tetap berhak untuk melakukan perintah-Nya. Yaitu melakukan hal baik kepada sesama. Seburuk apapun keadaan, tetap berusaha untuk terus melakukan kebaikan. Karena sekecil apapun kebaikan, Allah pasti memberi ganjaran.

Tidak ada yang terlalu baik tuk berhenti dari berkebaikan. Karena kebaikan itu mulia. Dampaknya bisa selamanya. Membuat pelaku dan sekitarnya bahagia. Lalu mengapa berhenti darinya?

Jangan sampai pikiran ini terlintas pada kita. Semoga dalam hal kebaikan, kita senantiasa diberi semangat untuk berusaha. Karena kebaikan pula, berkah dan rahmat Allah turun tak terhingga.

[inspirasi-islami]

INILAH MOZAIK

Jika Azan dan Iqamah Salah, Bagaimana Salatnya?

KETIKA adzan salah, hingga bernilai batal sebagai adzan, bagaimana dengan shalat wajib yang dikerjakan?

Diantara syarat sah shalat adalah masuknya waktu shalat. Sementara adzan bukan termasuk syarat sah shalat. Adzan dikumandangkan sebagai pengumuman masuknya waktu shalat, dan bukan batas masuknya waktu shalat. Misalnya,

Terbitnya fajar shadiq adalah tanda masuknya waktu shalat subuh. Ketika itu, disyariatkan melakukan adzan subuh sebagai pengumuman akan masuknya waktu subuh. Karena itu, adzan bukan termasuk syarat sah shalat. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama mengenai hukum adzan sebelum shalat wajib.

Ini sebagaimana hubungan antara jumatan dengan mandi jumat. Mandi jumat hukumnya wajib menurut sebagian ulama. Namun jumatan tetap sah, meskipun belum mandi wajib.

Ibnu Qudamah mengatakan,

“Jika ada orang yang shalat tanpa adzan dan iqamah, shalatnya sah, baik menurut pendapat yang mengatakan adzan itu wajib atau adzan itu sunah. Berdasarkan riwayat dari Alqamah dan al-Aswad, bahwa mereka pernah bercerita, Kami pernah menemui Abdullah bin Masud. Lalu beliau mengimami kami, tanpa adzan dan tanpa iqamah. Diriwayatkan al-Atsram. Dan saya tidak mengetahui adanya seorangpun ulama yang berbeda pendapatnya dalam masalah ini, selain Atha.” (al-Mughni, 1/250).

Kesimpulannya, boleh shalat wajib tanpa adzan.

Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]