Lima Tuntunan Tatkala Mendengar Azan

Mengagungkan suara azan

Azan adalah syiar Islam yang agung, merupakan tanda iman, penangkal setan, membuat hati menjadi tentram, dan membuat jiwa menjadi tenang. Di dalam sunah-sunah yang meyertai azan terdapat pahala yang melimpah. Di sana ada pengampunan dosa, janji untuk dimasukkan ke surga, dan mendapat syafaat Nabi yang mulia. Oleh karena itu, seorang muslim selayaknya memuliakan dan mengagungkan suara azan yang didengarnya.

Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari Al-Hafidz ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij rahimahullah,

«حُدِّثت أن ناسا كانوا فيما مضى كانوا ينصتون للتأذين كإنصاتهم للقرآن فلا يقول المؤذن شيئا الا قالوا مثله»

Diceritakan bahwa dahulu orang-orang diam tatkala mendengarkan azan sebagaimana diamnya mereka ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Tidaklah muazin mengumandangkan azan, kecuali mereka menirukan suara yang diucapkan olehnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

«لا ينبغي لأحد أن يدع إجابة النداء »

Tidak layak bagi orang yang beriman untuk meninggalkan menjawab seruan azan.

Lima tuntunan ketika mendengar azan

Pertama: Mengucapakan seperti yang diucapkan oleh muazin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

((إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» فَقَالَ أَحَدُكُمُ «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» ، ثُمَّ قَالَ «أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» قَالَ «أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» ، ثُمَّ قَالَ «أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ» قَالَ «أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ» ، ثُمَّ قَالَ «حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ» قَالَ «لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ» ، ثُمَّ قَالَ «حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ» قَالَ «لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ» ، ثُمَّ قَالَ «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» قَالَ اللَّهُ «أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» ، ثُمَّ قَالَ «لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» قَالَ «لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ))

Jika muazin mengucapkan «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» dan salah seorang dari kalian juga mengucapkan «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ». Kemudian muazin mengucapkan «أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» dan dia pun mengucapkan «أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ». Kemudian muazin mengucapkan «أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ» dan dia pun mengucapkan «أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ». Kemudian muazin mengucapkan «حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ» dan dia mengucapkan «لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ». Kemudian muazin mengucapkan «حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ» dan dia mengucapkan «لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ». Kemudian muazin mengucapkan «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» dan dia pun mengucapkan «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ». Kemudian muazin mengucapkan «لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» dan dia pun mengucapkan «لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ». (Dan dia mengucapkan itu semua dengan penghayatan) dalam hatinya, maka dia akan masuk surga.” (H.R Muslim)

Kedua: Mengucapkan dua kalimat syahadat setelah selesai mendengar azan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

((مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ وَأَنَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا؛ غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ))

Barangsiapa ketika selesai mendengar muazin mengumandangkan azan mengucapkan,

وَأَنَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا

(Dan aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah Ta’ala semata, sesembahan satu-satunya, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Aku rida Allah sebagai Rabbku, Muhammad sebagai rasulku, dan Islam sebagai agamaku); maka akan diampuni dosa-dosanya. “ (HR. Muslim)

Ketiga: Mengucapakan selawat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

((إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ

Jika kalian mendengar muazin mengumandangkan azan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muazin kemudian berselawatlah kepadaku.“ (HR. Muslim)

Keempat: Mengucapkan doa setelah azan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

((مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ : اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ ؛ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ))

Barangsiapa ketika selesai mendengar azan mengucapkan :

(اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ )

(Ya Allah, Tuhan Pemilik seruan yang sempurna ini dan salat yang tegak, berilah Muhammad kedudukan dan keutamaan, dan bangkitkan beliau pada tempat terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya.); maka akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.” (HR. Bukhari)

Kelima: Berdoa antara azan dan ikamah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

((الدَّعْوَةُ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ لاَ تُرَدُّ ؛ فَادْعُوا))

Doa antara azan dan ikamah tidak akan ditolak, maka berdoalah di waktu tersebut!“ (HR. Abu Dawud)

***

Penulis :  Adika Mianoki

Sumber: https://muslim.or.id/74458-lima-tuntunan-tatkala-mendengar-azan.html

Kapan Adzan Boleh Nyaring dan Kapan Harus Pelan, Ini Tinjauan Fikih

SE Menag soal pengaturan volume Toa sampai hari ini terus menuai perdebatan, sebagian bahkan sampai mempolitisir pernyataan Menag dengan penafsiran yang menyudutkan. Niat baik menjaga harmonisasi kehidupan di tengah masyarakat Indonesia yang multi agama berubah menjadi atmosfer adu wacana yang saling mengejek dan ada yang sampai menuduh Menag mendustakan agama.

Karenanya, penting untuk menghadirkan pemahaman tentang fenomena ini sebagaimana mestinya. Suatu pemahaman yang didalilkan kepada argumen-argumen keagamaan sehingga penilaian terhadap keputusan Menag tidak didasarkan pada emosi, kebencian, dan faktor-faktor lain.

Dalam kitab Shahih Bukhari ada satu hadis yang menganjurkan untuk mengeraskan suara adzan. Abdullah bin Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah mendapat informasi dari Abu Sa’id al Khudri bahwa Nabi menganjurkan mengeraskan suara adzan karena pada hari kiamat nanti makhluk apapun yang mendengarnya akan menjadi saksi yang baik bagi muadzdzin.

Begitu jelas, Nabi menganjurkan supaya adzan dilantunkan dengan suara yang keras. Namun demikian, tentu harus bijak menilai hadist ini dan tidak boleh begitu saja ditafsirkan secara literal.

Perlu dipahami anjuran disini menggunakan suara tanpa alat bantu. Bagaimana kalau mengeraskan adzan dengan alat bantu pengeras suara seperti toa yang lazim dipakai saat ini? Apakah masih masuk dalam kesunnahan hadis?

Untuk selain ibadah berlaku kaidah, “Hal apa saja boleh kalau tidak ada dalil yang mengharamkan”. Artinya, apa saja boleh lakukan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Seperti toa yang digunakan sebagai alat bantu untuk mengeraskan suara adzan. Meskipun alat ini tidak ada pada masa Nabi, karena tidak ada dalil yang melarangnya hukumnya menjadi boleh.

Kaidah lain mengatakan, “Semua yang berfungsi sebagai perantara hukumnya sama dengan objek yang dituju”. Karena mengeraskan suara adzan merupakan anjuran, maka penggunaan toa secara otomatis juga sunnah. Sebab, penggunaan toa tidak membawa mafsadah dan sesuai dengan kemaslahatan agama. Karenanya, selama membawa kemaslahatan dan tidak menimbulkan kemadharatan penggunaan pengeras suara boleh, malahan sunnah.

Akan tetapi, kalau penggunaan toa atau pengeras suara bisa mendatangkan kemudharatan hukumnya beda lagi. Kaidah fikih berbunyi, “Hukum Islam dibangun atas prinsip menolak mafsadat dan mendatangkan kemaslahatan”. Maka, jika toa atau pengeras suara menjadi sebab datangnya kemudharatan hukumnya tidak boleh/haram.

Zain bin Muhammad bin Husein al Idrus dalam karyanya I’lamul Khas wal ‘Am bi anna Iz’ajan Nasi bil Mikrufon Haram, mengutip pendapat Sayyid Muhammad Alawi al Maliki, penggunaan mikrofon dalam ketika khutbah jum’at dan shalat memiliki kemaslahatan yang tidak diragukan lagi. Fatwa Sayyid Muhammad Alawi al Maliki tentang bolehnya memakai mikrofon konteksnya adalah mikrofon dengan speaker dalam seperti ini.

Sedangkan penggunaan mikrofon dengan speaker luar mafsadat dan kerusakannya telah jelas, tidak samar lagi bagi mereka yang berakal sehat (mengganggu orang lain). Karenanya, menurut Sayyid Muhammad Alawi al Maliki, kalau efeknya bisa menggangu orang lain maka wajib menghentikannya karena tujuan awalnya terabaikan.

Pendapat ini dikatakan oleh Sayyid Muhammad Alawi al Maliki dalam karyanya Majmu’ Fatawa wa Rasail.

Dengan demikian sangat jelas, bahwa pengaturan volume toa sejatinya berangkat dari kerangka berpikir yang berpijak pada dalil-dalil syariat Islam. Apalagi dalam konteks ke Indonesia an yang multi agama. Pertimbangan kemudharatan dan kemaslahatannya menjadi sangat penting supaya dalam menjalankan syariat Islam tidak malah melanggar syariat itu sendiri.

ISLAM KAFFAH

Belajar Adab Mendengarkan Adzan Dari Habib Umar

Adzanialah seruan yang ditujukan kepada umat Islam untuk sebagai pertanda masuknya waktu sholat atau panggilan untuk menunaikan sholat. Hukum mengumandangkan adzan ialah sunah muakadah dalam syariat, namun adapula yang berpendapat hukumnya fardhu kifayah dan ini lebih kuat. Dalam fiqh Syafi’iyyah adzan dikumandangkan tidak hanya ketika masuk waktu sholat, melainkan dalam beberapa keadaan, seperti saat kelahiran bayi, kematian seseorang, dan ketika terjadi badai, gempa bumi, kebakaran, dll.

Syariat juga mengajurkan untuk umat Islam yang mendengarkan adzan agar khusyu’ dan menjawab adzan dengan lafaz yang sama sebagaimana yang muadzin kumandangkan, hanya saja ketika sampai seruan hayya ‘alash sholah dan hayya ‘alal falah, orang yang mendengarnya mengucapkan laa haula wa laa quwwata illa billaah.

Disunahkan pula untuk menghentikan berbagai aktifitas ketika mendengar suara adzan berkumandang, guna mendengarkan adzan dengan khusyu’ dan menjawab seruannya. Jika tidak memungkinkan untuk menghentikan aktifitas yang sedang dikerjakan, maka cukup mendengarkannya dan menjawabnya.

Dari Sahabat Sa’id al Khudriy bahwasanya Nabi Muhammad Saw. bersabda “Apabila kalian mendengar Adzan, maka jawablah seperti yang diucapkan oleh muadzin (orang yang mengumandangkan adzan).”

Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ini, Nabi Muhammad Saw. sendirilah yang memerintahkan Sahabat dan umatnya untuk menjawab panggilan adzan. Nabi Saw. juga menjelaskan tentang ganjaran untuk orang-orang yang mau menjawab adzan.

Begitu juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i, dari Sahabat Abu Hurairah bahwasanya, pernah suatu saat kami bersama Rasulullah Saw., lalu Beliau Saw. memerintahkan Sahabat Bilal untuk berdiri mengumandangkan adzan. Setelah selesai adzan. Rasulullah Saw. bersabda “Siapa orang yang mengucapkan seperti yang diucapkan seorang muadzin dengan yakin, maka dia masuk surga.”

Bagi pecinta Nabi Muhammad Saw. sudah pastilah akan mengamalkan setiap kesunahan yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Karena pembuktian dari cinta adalah perbuatan (amal). Termasuk kesunahan untuk mendengarkan adzan dan menjawabnya. Di akhir zaman ini sudah banyak yang telah meninggalkan kesunahan-kesunahan Nabi Saw. bahkan ada yang menganggapnya sebagai suatu hal yang remeh –Na’udzubillah–.

Sayyidil Habib Umar bin Hafidz ketika memberikan nasehatnya pada acara Haul Syeikh Abu Bakr bin Salim, Habib Umar menghentikan ceramahnya dikarenakan Beliau mendengar suara adzan dan Beliau pun mengumandangkan adzan.
Banyak hikmah yang dapat diambil dari kejadian tersebut.

Pertama, Adzan ialah suatu syiar di dalam Islam yang harus dimuliakan. Dan setiap Muslim dianjurkan untuk memuliakan syiar ini, dengan cara mendengarkannya secara khusyu’ dan menjawabnya serta memenuhi panggilannya. Maka, sungguh hal yang aneh jika ada seorang Muslim yang tidak merasakan hal yang istimewa dikala ia mendengarkan adzan atau justru ia cenderung merasa biasa saja.

Kedua, Sunah yang diajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. hendaknya dilakukan semaksimal mungkin, mengingat bahwa setiap kesunahan yang diajarkan oleh Nabi Saw. adalah petunjuk berkehidupan untuk meraih kebahagiaan dan keselamatan.
Ketiga, Berpegangteguhlah akan ajaran dan syariat Nabi Muhammad Saw. karena tidak ada kebaikan untuk umat Islam melainkan di dalam menjalankan syariat Nabi Saw. dengan penuh kecintaan dan keikhlasan.

Keempat, Meneladani kehidupan Nabi Saw. adalah metode menjaga diri dari fitnahnya akhir zaman ini. Akhir zaman ini pastilah akan dipenuhi dengan berbagai fitnah dan bala bencana dan untuk membentengi diri ini dari hal-hal tersebut ialah dengan meneladani Nabi Saw.

Kelima, Hendaknya seorang figur atau tokoh mempraktekkan ilmu yang diajarkannya secara langsung dihadapan umat atau jamaahnya. Biasanya, hal itu lebih membekas di dalam hati jamaahnya ketimbang Sang Tokoh hanya memberikannya teori-teori tanpa adanya penerapan secara langsung.

Keenam, Seorang tokoh adalah buku pandunan yang sangat mudah dilihat dan dibaca oleh umat, sehingga setiap perilaku sang tokoh akan lebih mudah diingat dan diamalkan oleh jamaahnya. Jika sang tokoh mengamalkan amalan kebaikan maka niscaya jamaahnya akan melakukannya.

Sayyidil Habib Umar bin Hafidz adalah seorang Ulama yang sangat berpengaruh di dunia. Dakwahnya yang sangat indah sesuai ajaran Nabi Muhammad Saw. itulah yang menjadikan Beliau Hafidzahullaah dirindukan oleh jamaahnya di berbagai negara. Nasehatnya bagaikan mutiara yang sangat berharga. Perilakunya menjadi teladan untuk pecintanya.

Semoga Allah memudahkan kita dalam menjalankan kesunahan Nabi Muhammad Saw. Wallaahu a’lam

BINCANG SYARIAH

Mengapa Lafal Adzan Ada yang Diulang-ulang dan Ada yang Tidak?

Adzan secara etimologi bermakna memberi informasi (I’lam). Adapun secara terminologi, adzan berarti kalimat yang jamak diketahui oleh khalayak yang dikumandangkan sebelum shalat. Definisi adzan dan iqomah sama saja, yang membedakan adalah kalimat yang dikumandangkan (Fath Al-muin bi syarh qurrat al-ain bi muhimmat ad-din). Mengapa Lafal Adzan Ada yang Diulang-ulang dan Ada yang Tidak?

Lafadz adzan diulangi itu berdasar pada perintahnya Rasulullah SAW terhadap sahabat Bilal bin Rabbah, berikut adalah redaksi hadisnya;

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: «أُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَيُوتِرَ الْإِقَامَةَ»

Dari Anas yang bercerita bahwa Bilal diperintah (oleh Rasulullah SAW) untuk menggenapkan (bacaan) adzan, dan mengganjilkan (bacaan) iqamah” (HR Muslim No.378)

Jadi adzan diulangi dan iqomah tidak, itu berdasar pada perintahnya Rasulullah SAW. Imam An-nawawi (676 H) ketika mengomentari hadis ini, beliau menjelaskan mengenai hikmah diperintahkannya mengulangi lafadz adzan dan mensatu kali kan lafadz iqamah, berikut adalah penjelasan beliau yang tertera dalam kitab Al-minhaj syarah sahih muslim;

وَالْحِكْمَةُ فِي إِفْرَادِ الْإِقَامَةِ وَتَثْنِيَةِ الْأَذَانِ أَنَّ الْأَذَانَ لِإِعْلَامِ الْغَائِبِينَ فَيُكَرِّرُ لِيَكُونَ أَبْلَغَ فِي إِعْلَامِهِمْ وَالْإِقَامَةُ لِلْحَاضِرِينَ فَلَا حَاجَةَ إِلَى تَكْرَارِهَا وَلِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ يَكُونُ رَفْعُ الصَّوْتِ فِي الْإِقَامَةِ دُونَهُ فِي الْأَذَانِ

“Hikmah diperintahkannya mengulangi lafadz adzan adalah karena adzan diserukan guna memberi informasi kepada segenap masyarakat (bahwa waktu sholat sudah masuk), maka dari itu adzan diulangi. Agar informasi ini terdengar oleh mereka. Adapun iqamah, tidak ada kebutuhan untuk mengulanginya (sebab masyarakat sudah berada di masjid). Oleh karena itu, ada ulama’ yang berpendapat bahwasanya volume iqamah itu seyogyanya lebih rendah dari volume adzan” (Imam An-nawawi, Al-minhaj Syarah Sahih Muslim, juz 4 halaman 79)

Meski demikian, ada pengecualian tersendiri. Baik dalam lafadz adzan, maupun iqomah. Maka dari itu, memang tidak semua lafadz adzan diulangi dua kali dan lafadz iqomah tidak diulangi. Hanya saja mayoritas lafadz adzan itu dua kali, sebab takbir di awal adzan itu terjumlah 4 kali. Dan kalimat penutupnya (Tauhid), berjumlah 1 kali. Adapun iqomah, tidak semuanya dikumandangkan satu kali saja. Takbir di awal dan pra akhir, serta lafadz “qad qamat as-shalat” itu diserukan sebanyak dua kali. (Sulaiman Al-bujairimi, Tuhfat al-habib ala syarah al-khatib, juz 2 halaman 49). Jika dikalkulasikan, lafadz adzan berjumlah 19, dan lafadz iqamah berjumlah 11. (Khatib Syarbini, Iqna’ fi hall alfadz abi syuja’, juz 1 halaman 140)

Fungsi Adzan dikumandangkan adalah untuk memberikan informasi bahwa ibadah shalat hendak didirikan. Setiap hari adzan pasti dikumandangkan sebanyak 5 kali, namun meski sudah sering kali didengar, agaknya makna dan filosofi adzan belum banyak diketahui.

Menurut Qadhi Iyad, kalimat adzan itu sudah mencakup teologi keimanan secara komprehensif, baik yang berupa aqliyyat maupun samiyyat (perkara yang diketahui dari media pendengaran, seperti hari kebangkitan dan pembalasan). Adzan diawali dengan kalimat “Allahu Akbar”, yang  mana dengan itu kita berikrar atas eksistensi Allah, sekaligus penetapan dzatnya Allah Azza wa jalla. Di samping itu, kalimat ini merupakan bentuk pujian atas kesempurnaan-Nya, yakni Allah itu lebih agung dari makhluk yang lainnya dalam segi kemuliaannya, bukan jasmaninya.

Kemudian pada lafadz “Asyhadu an la ilaha illa Allah, saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah” dan “Asyhadu anna muhammadan rasulullah, saya bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah utusan Allah” adalah sebuah persaksian mengenai keesaan Allah SWT serta persaksian atas kerasulannya Nabi Muhammad SAW.

Lafadz “Hayya Ala As-shalat, mari menunaikan shalat” adalah sebuah bentuk ajakan untuk menunaikan shalat dengan tanpa adanya rasa malas, apalagi merasa terbebani. Lalu pada lafadz “Hayya Ala Al-falah, marilah menuju keberuntungan”, filosofinya adalah bahwa untuk menuju keberuntungan atau kebahagiaan, maka tunaikanlah kewajiban shalat. Atas izin Allah SWT, pasti akan diberikan jalan menuju keberuntungan. Di samping itu, melalui lafadz ini, kita juga harus percaya dengan perkara akhirat seperti halnya hari kebangkitan dan pembalasan.

Kemudian takbir yang kedua, lafadz ini diulangi karena untuk mengagungkan (Ta’dzim) Allah SWT. Lantas ditutup dengan kalimat tauhid, sebab porosnya perkara itu ada padanya.

Demikianlah filosofi dan makna adzan yang Disarikan dari kitab I’anah At-thalibin fi hall alfadz  fath al-muin (juz 1 halaman 265).

BINCANG SYRAIAH

Apakah Perintah Mengeraskan Suara Adzan Harus Memakai TOA?

Sejak pertama kali ditemukannya teknologi mutakhir dengan Branding TOA, hingga saat ini ia menjadi branding terkenal di seluruh dunia dan media pengeras suara yang paling banyak diminati. Baik untuk hal-hal yang bersifat hiburan maupun yang ada kaitannya dengan ritual keagamaan seperti adzan bagi umat Islam.

Dalam ajaran agama Islam ada hadis yang menganjurkan untuk mengeraskan suara adzan.

Dari Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Sha’sha’ah, bahwa Abu Sa’id al Khudri berkata kepadanya, “Sungguh aku melihatmu menyenangi kambing dan daerah pedalaman (Badui). Maka bila kamu sedang (menggembala) kambingmu atau sedang di daerah pedalaman lalu adzan untuk shalat, maka keraskanlah suara adzanmu. Sebab, sungguh, tidaklah jin, manusia dan makhluk apapun yang mendengar ujung suara muadzin kecuali menjadi saksi yang menguntungkan baginya di hari kiamat”. Abu Sa’id al Khudri berkata, “Seperti ini yang aku dengan dari Rasulullah”. (HR. Bukhari).

Kita sepakat bahwa saat itu belum ada pengeras speaker atau TOA. Namun, hadis di atas sangat jelas menganjurkan untuk mengeraskan suara adzan. Dengan demikian, penggunaan TOA sebagai media untuk membantu suara muadzin supaya lebih nyaring tentu sesuai dengan konteks hadis di atas. Dengan kata lain, penggunaan TOA untuk kumandang adzan adalah boleh.

Tetapi, dalam relasi kehidupan yang beragam tentu ada hal-hal yang harus diperhatikan supaya satu dengan yang lain tidak saling mengganggu. Sebab dalam Islam juga diatur tentang keharusan menjaga hubungan baik dengan tetangga. Tidak boleh saling mengganggu apalagi menyakiti.

Untuk itu, memahami hadis Nabi di atas harus dibaca secara kompleks. Maka, pertanyaannya adalah, apakah anjuran mengeraskan suara adzan boleh dengan suara yang sangat keras, sekeras-kerasnya, atau ada batasnya?

Dalam fikih klasik, seperti ditulis oleh Syaikh Zainuddin al Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in dijelaskan, disunnahkan mengeraskan suara adzan bagi orang yang shalat sendirian di atas volume suara yang dapat didengar oleh dirinya. Sementara adzan untuk shalat berjamaah sunnah dinyaringkan sampai salah seorang dari mereka mendengar suara adzan tersebut.

Abu Bakr Syatha dalam kitabnya I’anatu al Thalibin yang mensyarahi kitab Fathul Mu’in menjelaskan lebih lanjut, muadzin yang mengumandangkan adzan untuk shalat berjamaah disyaratkan harus didengar minimal oleh satu orang jamaah, dan disunnahkan mengeraskan suaranya sampai didengar oleh lebih dari satu orang jamaah.

Penjelasan ini menjadi penegasan bahwa mengeraskan volume adzan ada batasnya. Tidak boleh terlalu keras sehingga mengganggu orang lain, khususnya yang non muslim. Ukuran mengganggu dan tidaknya didasarkan pada kondisi disekitar. Apabila mayoritas muslim tentu no problem dengan penggunaan TOA dengan volume yang nyaring. Sedangkan dalam suatu daerah yang dihuni oleh penganut beragam agama, maka harus memperhatikan keadaban supaya jangan sampai mengganggu, apalagi membuat resah.

Hal ini sebenarnya bukan hanya untuk adzan, tetapi juga acara hiburan dan sebagainya yang menggunakan TOA harus memperhatikan kondisi lingkungan sekitarnya. Karena, keimanan itu tidak sempurna kalau tetangga masih belum aman dari mulut kita, tangan kita, juga suara kita, termasuk TOA yang kita bunyikan.

ISLAM KAFFAH

Hukum Azan dan Iqamah jika Salat Sendirian

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Apakah azan sebelum salat itu wajib bagi setiap individu? Apakah tidak mencukupkan diri dengan azan dari masjid? Jazakumullahu khairan.

Jawaban:

Tidak diragukan lagi bahwa azan merupakan simbol syiar Islam yang agung dan paling dikenal. Azan juga merupakan bagian dari ibadah kepada Allah Ta’ala yang berupa pemberitahuan tentang masuknya waktu salat dengan lafaz zikir tertentu. Azan ini pun disyariatkan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, antara wajib atau sunnah muakkadah.

Adapun pendapat yang rajih (lebih kuat), hukumnya adalah wajib kifayah. Yaitu, jika sudah ada azan dan iqamah dari seorang muazin, itu sudah cukup bagi jamaah. Hal itu didasarkan pada beberapa dalil hadis yang menunjukkan kewajiban azan dan iqamah. Di antaranya adalah hadis Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu secara marfu‘,

مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لاَ يُؤَذَّنُ وَلاَ تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلاَةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ

“Tidaklah tiga orang di suatu desa, tidak mengumandangkan azan dan tidak didirikan salat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka.” (HR. Abu Daud [547], an-Nasa’i [847] dan Ahmad [21710]. Dihasankan oleh al-Albani dalam kitabnya as-Tsamar al-Mustathab [II7/1]).

Hadis ini merupakan dalil atas wajibnya azan dan iqamah. Hal ini disebabkan setan dapat menguasai orang yang meninggalkan azan dan salat. Oleh karenanya, hukum azan menjadi wajib yang tidak boleh ditinggalkan.

Begitu pula hadis Malik bin Huwairis radhiyallahu ‘anhu,

إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

“Apabila datang waktu salat, maka hendaknya salah seorang kalian mengumandangkan azan dan yang paling tua di antara kalian menjadi imam (salat).” (Muttafaqun ‘alahi)

Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis-hadis di atas menunjukkan wajibnya azan dan iqamah. Hadis-hadis di atas juga mengisyaratkan kewajiban tersebut tanpa pengkhususan kondisi harus berjamaah. Sebagaimana hadis Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dan selainnya secara marfu’,

إِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ أَوْ بَادِيَتِكَ فَأَذَّنْتَ بِالصَّلاَةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jika Engkau berada di tengah-tengah kambing gembalaanmu atau lembahmu, lalu Engkau hendak mengumandangkan azan untuk salat, maka keraskanlah suaramu. Sebab tidaklah jin, manusia, atau sesuatu yang mendengar suara muazin kecuali mereka akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat.”  (HR. Bukhari [609]).

Demikian juga dalam hadis ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَعْجَبُ رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ، يُؤَذِّنُ بِالصَّلاَةِ، وَيُصَلِّي، فَيَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ، وَيُقِيمُ الصَّلاَةَ، يَخَافُ مِنِّي، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ

‘Rabbmu ‘Azza wa Jalla kagum terhadap seorang penggembala domba di sebuah kaki bukit yang menyerukan azan untuk salat, kemudian dia melaksanakan salat. Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Lihatlah kepada hamba-Ku ini! Ia mengumandangkan azan dan menegakkan salat. Ia takut kepada-Ku. Sungguh Kuampuni dosa hamba-Ku ini dan Kumasukkan dia ke dalam surga.” (HR. Abu Dawud [1203], an-Nasa’i [666]. Disahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah [41]).

فإذا كان المنفرد ببلدةٍ أُذِّن فيها، أو فاتته جماعةُ المسجد؛ فإنه يُشرع له الأذانُ والإقامة مِن باب ذكر الله بالألفاظ التوقيفية لا للإعلام بدخول الوقت، تحصيلًا لفضيلة الأذان كما ثبت في حديث أبي سعيدٍ الخدريِّ وعقبةَ بن عامرٍ رضي الله عنهما السابقَيْن

Apabila seseorang salat sendirian di suatu daerah yang sudah dikumandangkan azan, atau dia tertinggal salat berjama’ah di masjid, maka disyariatkan baginya untuk azan dan iqamah. (Hal ini) dalam rangka zikir kepada Allah dengan lafaz-lafaz yang telah ditetapkan syariat. Bukan dalam rangka mengumumkan masuknya waktu salat. (Serta) untuk mendapatkan keutamaan azan, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Abi Sa’id al-Khudri dan Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhuma yang telah diuraikan di atas.”

وقد صحَّ ذلك -أيضًا- مِن فعلِ أنسِ بن مالكٍ رضي الله عنه: فعن أبي عثمان قال: «مَرَّ بِنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فِي مَسْجِدِ بَنِي ثَعْلَبَةَ فَقَالَ: «أَصَلَّيْتُمْ؟»، قَالَ: قُلْنَا: «نَعَمْ»، وَذَاكَ صَلَاةُ الصُّبْحِ، فَأَمَرَ رَجُلًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ ثُمَّ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ

“Terdapat juga riwayat yang sahih dari praktik Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dari Abi Usman, dia berkata, ‘Anas bin Malik pernah bertemu kami di masjid Bani Tsa’labah. Beliau bertanya, ‘Apakah kalian sudah salat?’ Kami menjawab, ‘Sudah.’ Dan ketika itu (waktu) salat subuh. Lalu beliau menyuruh salah seorang untuk azan dan iqamah, kemudian beliau mengimami salat subuh bersama rombongannya.” (HR. Abu Ya’la [4355])

Apabila azan yang dikumandangkan sebelumnya sudah cukup, tentu Anas radhiyallahu ‘anhu membiarkannya (tanpa menyuruh salah seorang untuk kembali mengumandangkan azan -pent.). Maka yang lebih utama adalah apa yang dikuatkan oleh mazhab asy-Syafi’i dan Ahmad.

Oleh karena itu, disyariatkan pula bagi para wanita untuk mengumandangkan azan dan iqamah apabila mereka jauh dari laki-laki. Dan juga karena pensyariatan azan dan iqamah adalah dalam rangka zikir kepada Allah Ta’ala dengan lafaz-lafaz yang telah ditetapkan syariat, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ

“Wanita adalah saudari kandung dari pria.” (HR. Abu Daud [236], At-Tirmidzi [113], dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. Disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’ [2333]).

Maksudnya, wanita memiliki hukum yang sama dengan laki-laki.

Ini juga dikuatkan oleh riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika beliau ditanya,

هَلْ عَلَى النِّسَاءِ أَذَانٌ؟ فَغَضِبَ، قَالَ: أَنَا أَنْهَى عَنْ ذِكْرِ اللهِ؟

“Apakah wanita melakukan azan?” Lalu beliau marah, kemudian berkata, “Apakah aku melarang zikir kepada Allah?” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf [2324], dihasankan oleh Al-Albani dalam Tamamul Minnah [153]).

Begitu pula Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika ketika ditanya,

هَلْ عَلَى النِّسَاءِ أَذَانٌ وَإِقَامَةٌ؟ قَالَ: لَا، وَإِنْ فَعَلْنَ فَهُوَ ذِكْرٌ

Apakah wanita melakukan azan dan iqamah?” Beliau kemudian menjawab, “Tidak perlu. Namun, apabila mereka melakukannya, maka itu adalah bentuk zikir.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf [2317]).

والعلم عند الله تعالى، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على نبيِّنا محمَّدٍ وعلى آله وصحبِه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، وسلَّم تسليمًا

Kesimpulan:

Disyariatkan untuk azan dan iqamah bagi orang yang salat sendirian atau tertinggal dari jamaah di masjid. Demikian juga bagi wanita selama tidak ada laki-laki di sekitarnya.

***

Sumber : https://ferkous.com/home/?q=fatwa-54

Penerjemah: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA

Sumber: https://muslim.or.id/68404-hukum-azan-dan-iqamah-jika-shalat-sendirian.html

Menjawab Adzan Saat Sedang Shalat, Apakah Shalat Batal?

Menjawab kumandang adzan merupakan sebuah kesunnahan bagi setiap orang yang mendengarnya. Namun, apakah kesunnahan ini berlaku secara umum bagi setiap orang yang mendengar adzan? Masihkah disunnahkan menjawab adzan saat sedang shalat?

Adzan merupakan salah satu ibadah sunnah yang dilakukan untuk memberi tahu bahwa telah masuk waktu shalat. Menjawab Adzan, di kalangan Hanafiyah, dihukumi wajib, sedangkan madzhab-madzhab yang lain menghukumi sunnah. Bagi seseorang yang hendak melakukan sholat disunnahkan untuk menunggu adzan selesai. Ini dimaksudkan untuk dapat melakukan kedua ibadah tersebut dengan sempurna. Hal ini sebagaimana  keterangan dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Juz 1 hal. 555,

 قال الشافعية : وإذا دخل المسجد، والمؤذن قد شرع في الأذان، لم يأت بتحية ولا بغيرها، بل يجيب المؤذن واقفاً حتى يفرغ من أذانه ليجمع بين أجر الإجابة والتحية

Artinya : “Kalangan madzhab Syafi’i mengatakan: jika seseorang masuk ke masjid sedangkan muadzin (orang yang adzan) mengumandangkan adzan, maka dia hendaknya tidak melakukan shalat sunnah tahiyyatul masjid atau yang lain, akan tetapi menjawab adzan dalam keadaan berdiri sampai adzan selesai. Ini dilakukan untuk mendapatkan pahala menjawab adzan dan sekaligus pahala shalat tahiyyatul masjid.”

Kesunnahan menjawab adzan rupanya tidak berlaku di setiap kondisi, sebab menjawab adzan saat sedang shalat hukumnya makruh, namun tidak sampai membatalkan shalat, kecuali apabila jawabannya berupa redaksi  “sadaqta wa bararta” dalam adzan subuh maka tidak dihukumi makruh.  Hal ini sebagaimana dalam keterangan kitab Maraqil ubudiyah ‘ala matni bidayatil hidayah berikut,

واشتغل بجواب المؤذن، فلو أجبته في الصلاة كره ذلك الجواب ولم تبطل صلاتك إلا اذا قلت صدقت وبررت الخ. اه‍

Artinya : “Dan menyibukkan diri seseorang dari menjawab muadzin (orang yang adzan). Dimakruhkan bagi seseorang menjawab adzan di dalam sholat, tetapi tidak sampai membatalkan sholatnya kecuali apabila menjawab dengan redaksi ‘sadaqta wa bararta’maka tidak dihukumi makruh.”

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa menjawab adzan saat sedang shalat hukumnya makruh, namun tidak sampai membatalkan shalat. Tetapi, apabila jawabannya berupa redaksi  “sadaqta wa bararta” dalam adzan subuh maka tidak dihukumi makruh. Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Jika Azan dan Iqamah Salah, Bagaimana Salatnya?

KETIKA adzan salah, hingga bernilai batal sebagai adzan, bagaimana dengan shalat wajib yang dikerjakan?

Diantara syarat sah shalat adalah masuknya waktu shalat. Sementara adzan bukan termasuk syarat sah shalat. Adzan dikumandangkan sebagai pengumuman masuknya waktu shalat, dan bukan batas masuknya waktu shalat. Misalnya,

Terbitnya fajar shadiq adalah tanda masuknya waktu shalat subuh. Ketika itu, disyariatkan melakukan adzan subuh sebagai pengumuman akan masuknya waktu subuh. Karena itu, adzan bukan termasuk syarat sah shalat. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama mengenai hukum adzan sebelum shalat wajib.

Ini sebagaimana hubungan antara jumatan dengan mandi jumat. Mandi jumat hukumnya wajib menurut sebagian ulama. Namun jumatan tetap sah, meskipun belum mandi wajib.

Ibnu Qudamah mengatakan,

“Jika ada orang yang shalat tanpa adzan dan iqamah, shalatnya sah, baik menurut pendapat yang mengatakan adzan itu wajib atau adzan itu sunah. Berdasarkan riwayat dari Alqamah dan al-Aswad, bahwa mereka pernah bercerita, Kami pernah menemui Abdullah bin Masud. Lalu beliau mengimami kami, tanpa adzan dan tanpa iqamah. Diriwayatkan al-Atsram. Dan saya tidak mengetahui adanya seorangpun ulama yang berbeda pendapatnya dalam masalah ini, selain Atha.” (al-Mughni, 1/250).

Kesimpulannya, boleh shalat wajib tanpa adzan.

Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

Alasan di Balik Nyaringnya Kumandang Azan

NABI Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan wahyu untuk salat wajib dalam mikrajnya. Beliau terpesona melihat para malaikat di sekelilingnya rukuk dan bersujud sambil memuji Tuhan.

Salat, demikian Nabi menyadari, adalah soal memuji dan bersyukur kepada Tuhan serta menggunakan anugerah tubuhnya untuk mengungkapkan pemujaan ini.

Ada kisah dalam Islam bahwa saat turun ke bumi seusai menghadap Tuhan, Rasulullah bertemu Nabi Musa dan memberitahunya bahwa Tuhan meminta umatnya salat 50 kali sehari.

“Segeralah menghadap Allah kembali,” Musa menasehati, “Mintalah jumlah rakaat salat yang lebih sedikit. Aku tahu manusia, mereka tidak akan bisa memenuhinya.” Beberapa kali Rasulullah kembali ke tempat berdiam misterius itu dan jumlah rakaat salatnya kemudian berkurang hingga lima kali.

Saat Nabi Musa mendesak Rasul untuk meminta pengurangan lagi, Rasulullah menjawab bahwa ia merasa malu untuk meminta lagi.

Salat wajib lima waktu per hari didahului oleh azan dan wudu. Azan dikumandangkan oleh muazin yang menyerukan Kebesaran Tuhan dan menyuruh setiap orang untuk salat demi kebaikan mereka.

Ada yang bertanya-tanya mengapa muazin harus mengumandangkan demikian keras dan berulang kali bahwa Allah Mahabesar. Jelas, Allah yang mendengar gelang kaki di kaki serangga mengetahui ini.

Para syekh Islam menjelaskan bahwa kumandang kencang ini bukanlah untuk Tuhan, melainkan untuk manusia. Tenggelam dalam hiruk-pikuk hidup, kita manusia dengan mudah melupakan apa yang Paling Nyata. Demi kebaikan kita sendiri, kita perlu senantiasa diingatkan.

Ritual wudu perlu karena untuk menghadap yang Maha Cemerlang, kita harus dalam kondisi suci. Pembersihan diri lahiriah kita dilakukan dengan doa di dalam hati meminta pengampunan, rahmat, dan petunjuk. Rasulullah bersabda, “Wudu di atas wudu adalah cahaya di atas cahaya.”

[Buku Wajah Sejuk Agama]

INILAH MOZAIK

Kumandang Azan Berawal dari Mimpi Sahabat Nabi

ABDULLAH bin Zaid bin Tsalabah adalah sahabat Nabi dari suku Khajraz yang menyaksikan baiat Aqabah kedua. Ia ikut dalam perang badar dan menyaksikan kehancuran dahsyat kaum Quraisy yang saat itu jumlahnya tiga kali kaum Muslim.

Ketika Rasulullah telah menetap dengan tenang di Madinah bersama para sahabat dari kaum Muhajirin and Anshar, Islam telah kokoh, salat telah ditegakkan, zakat dan puasa telah diwajibkan, hukum pidana telah ditegakkan, halal dan haram telah disyari’atkan, Islam telah tegak di tengah-tengah mereka dan kaum Anshar telah menyerahkan tanah air mereka dan beriman kepada Allah dan RasulNya.

Awal mula ketika Rasulullah menetap di kota Madinah, kaum muslimin mengerjakan salat bersama Rasulullah apabila waktu salat telah datang tanpa ada panggilan atau seruan. Pada awalnya Rasulullah ingin menjadikan terompet seperti yang digunakan orang-orang Yahudi untuk panggilan ibadah mereka. Akan tetapi kemudian Rasulullah tidak menyukainya. Kemudian beliau memerintahkan agar membuat lonceng yang dipukul untuk memanggil kaum muslimin mengerjakan salat.

Dalam keadaan demikian, Abdullah bin Zaid bin Tsa’labah saudara Al-Harits bin Al-Khazraj mendengar seruan azan dalam mimpinya. Kemudian ia datang menemui Rasulullah dan berkata,” Wahai Rasulullah, tadi malam aku bermimpi didatangi seseorang, lalu seorang laki-laki yang mengenakan baju berwarna hijau lewat di hadapanku. Ia membawa lonceng di tangannya. Aku berkata padanya,” Wahai hamba Allah maukah engkau menjual lonceng itu ?

“Untuk apa?” Ia balik bertanya.

“Untuk kami jadikan alat memanggil kaum muslimin berkumpul mengerjakan salat,”kataku. Lelaki itu berkata,” Maukah engkau aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik daripada itu?”

“Apa itu?” aku balik bertanya.

Dia menjawab:” ucapkanlah:

“Allahu akbar Allahu akbar, Allahu akbar Allahu akbar. Asyhadu allaa ilaaha illallah, Asyhadu allaa ilaaha illallah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Hayya ‘alash sholah, Hayya ‘alash sholah. Hayya ‘alal falah, Hayya ‘alal falah. Allahu akbar Allahu akbar, Laailaaha illallah.”

Ketika Abdullah bin Zaid mengabarkan mimpinya itu kepada Rasulullah saw, Beliau bersabda,” Sesungguhnya itu adalah mimpi yang haq. Pergi dan temui Bilal, lalu ajarkan lafadz itu agar ia mengumandangkannya. Karena suara Bilal lebih keras dari suaramu.

Ketika Umar bin Khattab mendengar Bilal mengumandangkan seruan adzan itu, dia keluar menemui Rasulullah lalu berkata,” Wahai Nabi Allah, demi Allah yang telah mengutus engkau dengan haq, sungguh aku telah mendengar seruan itu dalam mimpiku.”

Rasulullah bersabda,” segala puji bagi Allah atas semua itu.” (Tahdzib Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Abdussalam Harun 158)

 

INILAH MOZAIK