Syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Murni Ibadah ataukah Ada Manfaat Kesehatan?
Ibadah dan mentauhidkan Allah Ta’ala merupakan tujuan penciptaan manusia. Allah Ta’ala berfirman,
وَما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Di atas pondasi inilah, seluruh ajaran dan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpangkal, yaitu untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dan menjauhkan umatnya dari kemusyrikan. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul untuk tiap-tiap umat (untuk menyerukan),’Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl [16]: 36)
Sehingga tujuan utama dari amal yang kita lakukan adalah beribadah dan mengharap pahala dari-Nya, bukan tujuan-tujuan rendah yang sifatnya duniawi semata, termasuk tujuan kesehatan.
Oleh karena itu, berkaitan dengan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manfaat kesehatan, harus kita bedakan beberapa jenis ini:
Pertama, murni ibadah atau mencari keberkahan (tabarruk).
Jenis pertama, yaitu syariat yang dicontohkan atau diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena murni ibadah kepada Allah Ta’ala atau dalam rangka mencari berkah (tabarruk). Tidak ada kaitannya dengan manfaat kesehatan tertentu. Ada atau tidak ada manfaat kesehatan yang diperoleh, amal tersebut hukumnya bisa jadi sunnah atau wajib.
Contoh, tahnik bayi baru lahir. Hukum tahnik kepada bayi baru lahir adalah sunnah, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dalam rangka tabarruk (mencari berkah dengan beribadah kepada Allah Ta’ala). Tidak ada kaitannya dengan manfaat kesehatan tertentu yang diterima oleh sang bayi. Oleh karena kita, kita pun melakukan tahnik dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala (bukan karena mencari berkah dari air liur pentahnik).
Kami jumpai beberapa pendapat yang mencoba menjelaskan manfaat tahnik bagi kesehatan bayi, misalnya untuk meningkatkan kadar glukosa darah bayi. Namun, tampaknya jauh sekali dan tidak didukung oleh pembuktian yang valid. Karena kuantitas lumatan kurma tentu sangat sedikit (minimal) sekali dan juga bervariasi antar individu pentahnik. Oleh karena itu, hendaknya kita mencukupkan diri dengan penjelasan ulama bahwa hikmah tahnik adalah agar yang pertama kali masuk ke perut bayi adalah sesuatu yang manis dan tidak perlu menghubung-hubungkan atau mencari-cari manfaat kesehatannya jika kita tidak memiliki bukti yang valid.
Contoh ke dua, yaitu perintah memanjangkan jenggot bagi kaum laki-laki. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْهَكُوا الشَّوَارِبَ، وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Pangkaslah kumis dan lebatkanlah jenggot.” (HR. Bukhari no. 5893 dan Muslim no. 259)
Berdasarkan perintah ini, memanjangkan jenggot hukumnya wajib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengaitkannya dengan manfaat kesehatan tertentu. Oleh karena itu, kewajiban kita sebagai seorang muslim yang baik adalah melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun tidak ada manfaat kesehatan yang nyata bagi tubuh kita.
Ke dua, perbuatan yang beliau kerjakan karena ada manfaat kesehatan tertentu.
Contohnya adalah bekam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bekam, dan beliau jelaskan bahwa ada manfaat kesehatan, bahkan beliau sebut sebagai sebaik-baik metode pengobatan. Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah bekam itu sunnah atau mubah, maka jelas sekali bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan bekam dengan manfaat kesehatan.
Oleh karena itu, jika kita berbekam, kita bisa meniatkan untuk mengikuti (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga berpahala. Di samping kita juga menginginkan adanya manfaat langsung bekam tersebut untuk kesehatan tubuh kita.
Dua hal ini hendaknya bisa dibedakan dan tidak dicampur-adukkan. Oleh karena itu, kita tidak boleh meng-klaim perbuatan yang dilakukan Nabi dalam rangka murni ibadah (jenis pertama), lalu kita katakan bahwa perbuatan tersebut memiliki manfaat kesehatan tertentu, tanpa ada dalil yang valid atau penjelasan para ulama terpercaya.
Perhatian Penting:
Sebagai sebuah metode pengobatan, thibb nabawi tidak hanya berbicara tentang jenis teknik (misalnya bekam) atau bahan (misalnya madu) yang digunakan. Akan tetapi, thibb nabawi adalah metode atau konsep yang kompleks, mencakup bagaimana mengetahui (mendiagnosis) penyakit, mengetahui dosis, indikasi, dan kontraindikasi suatu obat tertentu, dan sebagainya. Hal ini agar metode thibb nabawi tersebut menjadi metode pengobatan yang manjur (mujarab). Jika tidak terpenuhi, maka metode pengobatan tersebut, meskipun metode thibb nabawi, tidak akan memberikan kesembuhan.
Kompleksnya konsep metode thibb nabawi ini dapat kita ketahui dari penjelasan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu Ta’ala, salah seorang ulama pakar thibb nabawi, tentang syarat-syarat agar suatu metode pengobatan itu manjur (mujarab). Hal ini telah kami bahas di tulisan kami yang lain, sehingga silakan merujuk ke sana. [1]
[Bersambung]
Penulis: M. Saifudin Hakim
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47425-pengertian-thibb-nabawi-dan-cara-menyikapinya-bag-2.html