Peran Jama’ah Haji Era Belanda dalam Perubahan Sosial di Indonesia

Peran Jama’ah Haji Era Belanda dalam Perubahan Sosial di Indonesia

Kepulangan jama’ah haji juga membawa dampak signifikan dalam bidang sosial dan politik, di antaranya membangkitkan perlawanan pada penjajah Belanda

DALAM sejarah Islam di Indonesia, jama’ah haji memiliki peran penting dalam pembaharuan dan penyebaran Islam. Terkait hal ini, Drs. H. Aqib Suminto di majalah Panji Masyarakat No. 373 mengulas bagaimana interaksi dan pengalaman jama’ah haji selama perjalanan ke

 Makkah berkontribusi pada perubahan sosial dan religius di tanah air.

Ulasan ia diterbitkan dengan judul “Pembaharuan Islam di Indonesia Peranan Haji Abad XIX”. Berikut ini adalah analisis lebih panjang dan mendalam berdasarkan data dari tulisan tersebut.

Ia mengawali artikelnya dengan kajian historis yang mengatakan bahwa para sarjana Barat berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia melalui India pada abad XIII.

Pendapat ini didukung oleh bukti arkeologis dan sejarah yang menunjukkan adanya hubungan antara kerajaan Pasai dengan dunia Islam internasional.

Marco Polo, seorang penjelajah dari Venesia, mencatat keberadaan kerajaan Islam Pasai pada tahun 1292. Namun, Islam yang datang melalui jalur ini masih sangat bercampur dengan adat dan budaya lokal, menghasilkan bentuk Islam sinkretis yang mencampurkan ajaran Islam dengan tradisi lokal.

Sinkretisme ini tampak jelas dalam praktik keagamaan yang ada di Nusantara pada masa itu. Meskipun masyarakat memeluk Islam, banyak dari mereka yang tetap menjalankan tradisi dan kepercayaan lokal.

Hal ini menyebabkan Islam yang dipraktikkan di Indonesia pada masa itu berbeda dengan Islam yang ada di Timur Tengah, terutama dalam hal tauhid dan pemahaman dasar keislaman.

Peranan Haji dalam Pembaharuan

Perjalanan haji menjadi momen penting bagi umat Islam di Indonesia untuk berinteraksi langsung dengan pusat-pusat keislaman di

 Makkah dan Madinah.

Jama’ah haji yang kembali ke Indonesia membawa pemahaman Islam yang lebih murni dan otentik. Mereka memperoleh pengetahuan dari para ulama dan sarjana Islam di Tanah Suci, yang kemudian mereka sebarkan di Indonesia.

Dalam tulisannya, Aqib Suminto mencatat bahwa jama’ah haji sering kali menjadi agen pembaharuan di komunitas mereka. Mereka memperkenalkan ajaran-ajaran baru yang mereka pelajari di

 Makkah dan Madinah, yang lebih sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks. Hal ini termasuk pemahaman yang lebih dalam tentang tauhid, syariat, dan ajaran Islam lainnya.

Kepulangan jama’ah haji juga membawa dampak signifikan dalam bidang sosial dan politik. Banyak dari mereka yang menjadi pemimpin masyarakat dan tokoh berpengaruh di daerah mereka.

Mereka menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang mereka dapatkan selama haji untuk memperbaiki sistem sosial dan politik yang ada.

Sikap kritis dan pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam membuat mereka mampu melakukan reformasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Mereka mengajarkan pentingnya keadilan, kejujuran, dan integritas dalam pemerintahan dan kehidupan sosial. Hal ini berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih Islami dan berkeadilan.

Meskipun membawa perubahan positif, jama’ah haji juga menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Pemerintah kolonial Belanda sering kali melihat kegiatan haji sebagai ancaman potensial terhadap kekuasaan mereka.

Mereka khawatir bahwa interaksi dengan dunia Islam internasional akan membangkitkan semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajahan.

Pada tahun 1859, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi jumlah jama’ah haji dengan alasan untuk mengontrol dan mengawasi mereka yang pergi haji.

Namun, langkah ini justru meningkatkan semangat dan tekad umat Islam untuk menunaikan ibadah haji, meskipun harus melalui jalur yang lebih sulit dan berbahaya.

Terkait hal ini, Dr. Deliar Noer dalam buku “Gerakan Modern Islam di Indonesia” (1980: 30) juga mencatat;

“Bahaya lain yang dilihat Belanda pada Islam itu ialah sifat internasionalnya. Sifat ini di Indonesia tercermin dalam dua saluran: pertama dalam ibadah haji yang menyuruh penganut-penganut Islam dari seluruh bagian dunia untuk berkumpul di Makkah sekurang-kurangnya sekali setahun. Gambaran lain dari sifat internasional Islam itu terdapat pada kedudukan khalifah.”

Jadi, haji dianggap hal membahayakan oleh kolonial Belanda.

Lebih lanjut, Deliar juga menandaskan sekitar tahun 1804, pergerakan Paderi di Minangkabau yang dipicu oleh kedatangan pemimpin-pemimpin yang baru pulang dari  Makkah membawa pemikiran-pemikiran baru, menjadi hal yang perlu diwaspadai oleh Belanda.

Gerakan Paderi tersebut memang dimulai dengan kembalinya beberapa tokoh yang telah menimba ilmu di

 Makkah. Keyakinan bahwa orang-orang haji ini bisa menjadi ancaman bagi kekuasaan Belanda di Nusantara mungkin diperkuat oleh kenyataan bahwa banyak pemberontakan di Indonesia dipimpin oleh mereka yang telah melaksanakan rukun Islam kelima.

Perlawanan terakhir yang signifikan dari penduduk Indonesia terhadap Belanda datang dari Aceh, wilayah di mana pada zaman kapal layar, orang-orang sering berkumpul selama berbulan-bulan sebelum berangkat ke Tanah Suci. Aceh juga menjadi tujuan pertama bagi mereka yang baru pulang dari ibadah haji.

Dalam sudut pandang kolonial, mereka dinilai membahayakan; tapi pada saat bersamaan mereka telah membawa dampak positif bagi pembaharuan Islam, penyebaran Islam, bahkan usaha konkret dengan semangat jihadnya untuk melawan penjajahan.

Senada dengan fakta tersebut, C. Poensen, scorang tokoh missionaris Kristen di Jawa Tengah pernah berujar:

“Tanah Arab bukan saja merupakan pusat untuk menyatukan jemaah-jemaah haji yang taat, melainkan juga pusat untuk menyatukan politisi-politisi dan pemimpin-pemimpin berbagai bangsa-bangsa Islam yang berkumpul di sana dan yang juga membicarakan kepentingan-kepentingan dan rencana-rencana politik mereka; di sanalah mereka tukar-menukar pendapat, dan jemaah-jemaah yang pulang pun dibekali dengan kitab-kitab yang meningkatkan perasaan agama dan kesadaran beragama—hal-hal yang harus dianggap mencurigakan bagi kepentingan jaminan keamanan dan ketertiban di kalangan orang-orang Islam yang berada di bawah pemerintahan Kristen.”

Sebagai tambahan data, bila dilihat secara historis, pembaharuan Islam di Indonesia memang sangat kental dengan pengaruh jamaah haji yang menimbah ilmu di

 Makkah.

Bahkan di antara mereka menjadi penyalur dari gerakan pembaharuan yang kala itu mencuat di Mesir. Di antara contohnya adalah KH. Ahmad Pendiri Muhammadiyah.

Terkait ia, Syafiq Mughni dalam buku “Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal” (1980: 7) mencatat;

“Pergerakan yang menyerukan faham kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah itu timbul pula di kalangan masyarakat Jawa. Faham itu dikembangkan oleh Ahmad Dahlan setelah perjalanannya ke Mekah pada tahun 1902 dan mendapatkan pengaruh dari ajaran salaf, sebagaimana hasil karya Muhammad Abduh dan Ibnu Taimiyyah, juga dari majalah Al-'Urwatul Wutsqa dan Tafsir Al-Manar, maka sejak tahun 1905 ia mulai mengemukakan fikiran-fikirannya yaitu kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pada akhirnya ia mengorganisasi gerakan tersebut dengan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912.”

Gerakan Al-Irsyad dengan tokoh Syeikh Ahmad Syurkati, demikian juga Tuan A. Hassan dengan gerakan Persisnya, juga terpengaruh dengan gerakan-gerakan dari Mesir itu yang informasinya di antaranya didapat melalui majalah yang dikirim melalui jamaah haji atau memang bersinggungan langsung dengan yang pernah menimba ilmu saat di

 Makkah.

Dari beberapa keterangan tersebut, jelaslah bahwa peran jama’ah haji dalam pembaharuan Islam di Indonesia. Mereka tidak hanya membawa pemahaman ajaran Islam, tetapi juga menjadi agen perubahan dalam bidang sosial dan politik.

Pengalaman dan pengetahuan yang mereka peroleh selama haji membantu memperkuat ortodoksi Islam dan mengurangi pengaruh sinkretisme di Indonesia.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan dari pemerintah kolonial, jama’ah haji terus berjuang untuk menunaikan ibadah haji dan membawa perubahan positif bagi masyarakat Indonesia.

Peran mereka dalam pembaharuan Islam di Indonesia pada abad XIX menunjukkan betapa pentingnya perjalanan haji yang tak terbatas pada sisi ritual tapi juga memperkuat dan menyebarkan ajaran Islam yang lebih murni dan otentik.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH