SUDAH biasa kakek kita ini bergaya hidup tradisional. “Kembali pada masa lalu untuk menjalani masa depan karena kebijakan masa lalu cukup jitu dijadikan pegangan.” Demikian tertulis di dinding anyaman bambu di bagian beranda rumah tradisionalnya. Malam ini kami beruntung saur bersama dengan kakek nenek unik ini. Menunya: tempe jaket, yakni tempe goreng berselimutkan tepung.
Tempe gorengnya hangat sekali. Bahasa politiknya, “tempenya masih aktual.” Tapi sayang sekali sikap kakek agak dingin, tak seperti biasanya yang lancar berfatwa menyampaikan mutiara-mutiara kehidupan. Nenek berkata: “Bulan Ramadlan ini kakekmu puasa bicara.” Kamipun mengangguk paham.
Setelah makan dan cuci tangan, kakekpun bicara. Satu kalimat saja. Tak banyak, tapi bernas dan sangan urgen diperhatikan manusia zaman now yang ingin tampak cerdas sehingga over aktif berfatwa lewat medsos sementara dirinya tak memenuhi syarat rukunnya. Sebetulnya saya tersindir, sepertinya sayalah orang yang over aktif itu.
Begini kalimat si kakek: “Menutup mulut sampai orang lain menganggapmu bodoh adalah lebih baik dari pada membuka mulut sampai orang yakin bahwa dirimu memang bodoh.” Waduh, mukul sekali bukan?