Semakin hari, pengepungan terhadap Amirul Mukminin Utsman bin Affan pun semakin ketat. Sejumlah sahabat dan putra-putra terbaik mereka berdatangan untuk membela pemimpin mereka. Namun Utsman memerintahkan mereka untuk pulang. Abdullah bin Amir bin Rabi’ah berkata, “Aku bersama Utsman di dalam rumahnya. Ia berkata, ‘Tegaskan pada mereka yang masih menaatiku untuk menahan diri dan meletakkan senjata mereka’. Kemudian ia mengatakan, ‘Berdirilah hai Ibnu Umar. Kabarkan pada orang-orang (perintahku)’. Ibnu Umar keluar bersama Hasan bin Ali. Lalu Zaid bin Tsabit datang dan berkata pada Utsman, ‘Sesungguhnya orang-orang Anshar berada di depan rumah. Mereka berkata, ‘Kalau kau mau, kami akan menjadi pembela-pembela Allah (Ansharullah) yang kedua kalianya (setelah membela Rasulullah saat hijrah)’. Utsman menanggapi, ‘Aku tak butuh hal itu. Tahan diri kalian’.”
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Hari ini kami akan bersamamu dan akan berperang membelamu.” Utsman menjawab, “Aku tegaskan agar engkau keluar.”
Al-Hasan bin Ali adalah orang yang paling terakhir keluar dari rumah Utsman. Sebelumnya datang al-Hasan, al-Husein, Abdullah bin Umar, Abdullah bin az-Zubair, dan Marwan. Utsman memerintahkan mereka semua untuk meletakkan senjata. Ia tak ingin darah seorang muslim pun menetes demi membela dirinya. Ia kedepankan keselamatan semuanya dan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri. Seorang pemimpin yang luar biasa.
Abdullah bin Zubair dan Marwan berakta, “Kami pertaruhkan diri kami dan kami tak peduli.” Utsman membuka pintu. Keduanya lalu masuk (al-Qadhi ibnul Arabi: al-Awashim min al-Qawashim fi Tahqiq Mawaqif ash-Shahabah ba’da Wafat an-Nabi, Hal: 138-141). Peristiwa ini terjadi pada hari Jumat 18 Dzul Hijjah 35 H (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 3/7).
Akhirnya, Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu terbunuh. Ini merupakan musibah besar yang menimpa umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sepeninggal Utsman, kepemimpinan umat Islam kosong hingga lima hari lamanya (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 5/208).
Tentu saja orang yang paling pantas memegang amanah khalifah setelah Utsman adalah Ali bin Abu Thalib. Namun Ali dan tokoh-tokoh besar sahabat yang lain menolak jabatan tersebut. Tidak ada di antara mereka yang berhasrat mendudukinya. Mereka memandang betapa berat tanggung jawab itu. Mereka pun menjauhinya. Di sisi lain, para pemberontak terus mencari-cari pemimpin baru. Tapi tak ada yang menanggapi mereka.
Orang-orang Mesir mendatangi Ali. Ali bersembunyi di kebun-kebun Madinah menghindari mereka. Apabila berjumpa dengan mereka, ia menjauh. Ali tidak merespon permintaan mereka. Meskipun telah diucapkan berulang-ulang. Orang-orang Kufah mencari az-Zubair bin al-Awwam radhialahu ‘anhu. Mereka mengirim utusan untuk menemuinya. Namun ia menolak dan menjauhi mereka. Orang-orang Bashrah meminta Thalhah bin Ubaidillah radhiallahu ‘anhu untuk menjabat khalifah. Ia pun melakukan hal yang sama dengan dua orang sahabatnya. Ia menjauh dan tidak melayani permintaan orang-orang itu. Meskipun mereka mengajukannya berkali-kali.
Perhatikanlah! Para pembentontak ini bersepakat menjatuhkan Utsman, namun mereka beda pendapat tentang siapa penggantinya. Sepertinya, ini menjadi tradisi bagi orang-orang yang menggulingkan pemerintah setelah mereka.
Setelah mendapat penolakan dari tiga tokoh utama para sahabat tersebut. Mereka berkata, “Kita tak akan mengangkat ketiga orang itu menjadi pemimpin.” Lalu mereka menemui tokoh sahabat lainnya, yaitu Saad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu. Mereka berkata, “Sesungguhnya Anda termasuk salah seorang ahlu syura (tim musyawarah yang menunjuk khalifah setelah Umar). Kami sepakat mengangkat Anda. Majulah, kami akan membaiatmu.” Saad menjawab, “Aku dan Ibnu Umar tidak mau terlibat dalam hal ini. Saat ini, kami tidak merasa perlu untuk hal itu. Kemudian ia bersyair
لا تخلطنَّ خبيثات بطَيِّبة *** واخلع ثيابك منها وانجُ عريانا
Jangan campurkan keburukan dengan kebaikan
Lepaskan pakaian cari selamat walaupun bertelanjang
Para pemberontak belum menyerah, mereka lalu mendatangi Abdullah bin Umar. Mereka berkata, “Anda Ibnu Umar? Ambillah kepemimpinan ini.” Ibnu Umar menjawab, “Dalam permasalahan ini ada dendam. Demi Allah, aku tak akan menjerumuskan diriku di dalamnya. Carilah orang selainku.” Orang-orang itu pun kebingungan. Tak tau lagi apa yang harus mereka lakukan. Urusan berat ini sekarang menjadi tanggung jawab mereka (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 5/208). Demikianlah keadaan orang-orang yang bersemangat menjatuhkan pemimpin. Mereka menggulingkan pemimpin dengan alasan pemimpin sudah melakukan kerusakan. Tapi akhirnya mereka bingung. Malah menimbulkan kerusakan baru yang lebih besar.
Para ahlul fitnah ini mulai dihinggapi ketakutan. Mereka khawatir tak seorang sahabat pun mau menerima kekhalifahan. Mereka berkata, “Kalau kita kembali ke negeri kita masing-masing setelah terbunuhnya Utsman ini tanpa adanya seorang khalifah, pasti kita tak akan selamat.” (Ibnul Atsir: al-Kamil 3/99).
Mereka pun mengambil jalan pintas. Mereka kumpulkan penduduk Madinah dan berseru, “Hai penduduk Madinah, kalian adalah ahlu syura. Kalian adalah pemimpin. Kepemimpinan kalian layak diterima di tengah umat. Tunjuklah salah seorang dari kalian untuk menjadi pemimpin. Kami akan mengikuti kalian. Kami akan menghormati hari kalian ini. Demi Allah, sekiranya kalian tidak ada keputusan. Besok kami akan memerangi Ali, Thalhah, Zubair, dan banyak orang lainnya.”
Orang-orang bersegera menuju Ali. Mereka berkata, “Kami akan membaiatmu. Engkau telah melihat apa yang terjadi pada agama ini dan apa yang menimpa kita.” Ali menjawab, “Biarkan aku mencari orang selain diriku. Sesungguhnya kita sedang menghadapi kesimpang-siuran dan ketidak-jelasan. Keadaan yang membuat hati bimbang. Dan akal kebingungan.” Mereka berkata, “Kami bersaksi atas Allah padamu, tidakkah kau lihat kondisi kita sekarang? Bagaimana ancaman terhadap Islam? Tidakkah kau melihat fitnah? Tidakkah engkau takut kepada Allah?”
Ali berkata, “Kutanggapi permintaan kalian. Namun perlu kalian sadari, kalau kupenuhi permintaan kalian, aku berjalan bersama kalian sebatas pengetahuanku. Kalau kalian tidak menaatiku, maka tak ada beda antara aku (sebagai pemimpin) dengan kalian (sebagai rakyat). Ketauhilah, (sebagai seorang pemimpin) akulah orang yang paling didengarkan dan ditaati.” Mendengar Ali mulai menerima, orang-orang pun bubar. Dan mereka akan bertemu keesokan harinya.
Keesokan harinya, di pagi hari Jumat, orang-orang memenuhi masjid untuk membaiat Ali. Setelah itu, Ali naik mimbar. Ia berpidato. Ali berkata, “Saudara-saudara sekalian, sesungguhnya urusan kalian ini tidak ada seorang pun yang berhak kecuali orang yang memimpin kalian. Kemarin kita berbeda pendapat tentang masalah kepemimpinan ini. Kemarin aku tidak suka mengurusi perkara ini. Namun kalian menolak semua orang kecuali aku. Sadarilah, aku ini hanya sebagai kunci urusan kita bersama. Aku tidak akan mengambil satu dirham pun di belakang kalian. Kalau kalian mau kuserahkan perkara ini pada kalian. Kalau tidak, maka tak ada seorang pun yang mau.” Mereka menjawab, “Kami tetap bersama keputusan kami kemarin (bersamamu).” (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 5/210).
Ketika umat Islam semakin menegaskan keinginan membaiatnya, Ali berkata, “Lakukan baiat di masjid. Karena baiat padaku tidak akan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dan tidak akan terjadi kecuali atas ridha kaum muslimin.” Kemudian Muhajirin dan Anshar masuk masjid untuk berbaiat. Lalu diikuti oleh masyarakat secara umum (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, 7/238)
Awalnya, Ali tidak menyepakati ditunjuk seabgai khalifah. Bahkan beliau benci akan hal itu. Namun setelah menimbang maslahat dan melihat kondisi masyarakat, ia berubah pikiran. Ia ingin agar masyarakat bersatu dan kekacauan mereda. Artinya, ia menjabat bukan karena paksaan para pemberontak. Tapi memang benar-benar keinginan masyarakat. Al-Qadhi Ibnul Arabi mengatakan, “Terjadilah pembaiatan Ali. Kalau seandainya ia tidak cepat mengambil keputusan baiat. Pastilah orang yang tidak layak akan menduduki posisi. Ditambah lagi ia mendapat dukungan dari Muhajirin dan Anshar. Sehingga ia memandang wajib untuk memenuhinya. Kepemimpinan itu pun diberikan padanya (Ibnul Atsir: al-Kamil, 3/98).
Ali memulai kepemimpinannya di masa-masa kacau ini. Pikirannya pun tak tenang menghadapi tuntutan qishash terhadap pembunuh Utsman. Tidak diragukan lagi, qishash ini wajib ditegakkan. Dan tidak diragukan lagi, Ali pun berkeinginan untuk menegakkannya. Tapi tidak sesederhana itu masalahnya. Para pemberontak ini tengah mendominasi Madinah. Kalau seandainya ia memaksa untuk menegakkan hukuman sekarang juga, pasti para pemberontak akan melawan. Mereka bukan orang-orang yang bertakwa. Pasti mereka tak segan membunuhi penduduk Madinah dan merampas harta-harta mereka. Inilah alasan mengapa Ali menunda penegakan hukum.
Ali menginginkan agar kondisi Madinah tenang terlebih dahulu. Para pemberontak telah terpisah menuju daerah asal mereka masing-masing. Para pembunuh teridentifikasi secara pasti. Kemudian barulah qishahs ditegakkan. Asy-Sya’bi mengatakan, “Setelah terbunuhnya Utsman, Aisyah berangkat menuju Madinah dari Mekah. Ia berjumpa dengan seseorang kerabatnya. Aisyah bertanya, “Apa yang terjadi di Madinah”? Ia menjawab, “Utsman terbunuh. Dan orang-orang sepakat mengangkat Ali. Kondisi di sana kacau.” (Ibnul Atsir: al-Kamil, 3/107).
Meskipun banyak sahabat yang mendukung Ali, tapi saat itu ada dua kelompok sahabat lainnya yang memiliki pandangan berbeda. Ada yang berpendapat qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera ditegakkan. Inilah pendapatnya Aisyah, Thalhah bin Ubaidillah, dan az-Zubair bin al-Awwam radhiallahu ‘anhum. Mereka semua sama seperti Ali. Mereka adalah tokoh utama para sahabat. Dan orang-orang yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelompok lainnya adalah kelompok sahabat sekaligus keluarga Utsman bin Affan. Semisal Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.
Ali mengirim seorang utusan kepada Gubernur Syam, Muawiyah. Ia meminta agar Muawiyah dan penduduk Syam membaiatnya. Tapi, Muawiyah berpandangan -sebagai kerabat Utsman- ia meminta agar penegakan hukum qishash dilakukan terlebih dahulu. Baru ia berbaiat. Atau Ali membiarkan Muawiyah dan penduduk Syam menumpas pembunuh Utsman. Setelah itu, barulah Muawiyah dan penduduk Syam akan berbaiat kepada Ali. Tentu ini melampaui tugas khalifah. Sehingga Ali menolak usulan Muawiyah. Bahkan Ali memandang sikap Muawiyah ini sebagai bentuk pembangkangan. Ali pun mau mencopot Muawiyah dari kepemimpinan wilayah Syam. Ia mengirim Sahl bin Hunaif sebagai gubernur yang baru. Tapi, penduduk Syam sangat mencintai Muawiyah. Ia seorang pemimpin yang adil dan lembut terhadap rakyatnya. Mereka menolak kedatangan Sahl bin Hunaif radhiallahu ‘anhu.
Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)