Safinatun Najah: Sebab Tayamum

Apa saja sebab tayamum? Kita pelajari lagi dari Safinatun Najah.

Safinatun Najah #11

Oleh: Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami Asy-Syafi’i

أَسْبَابُ التَّيَمُّمِ ثَلاَثَةٌ:

1- فَقْدُ الْمَاءِ

وَ2- الْمَرَضُ.

وَ3-الاحْتِيَاجُ إِلَيْهِ لِعَطَشِ حَيَوَانٍ مُحْتَرِمٍ.

Fasal: Sebab tayammum ada tiga, yaitu [1] tidak ada air, [2] sakit, dan [3] airnya dibutuhkan untuk memberi minum binatang (makhluk) yang kehausan yang muhtarom (yang dimuliakan syara’).

غَيْرُ الْمُحْتَرَم سِتَّةٌ:

1- تَارِكُ الصَّلاَةِ.

وَ2- الزَّانِيْ الْمُحْصَنُ.

وَ3- الْمُرْتَدُّ.

وَ4-الكَافِرُ الْحَرْبِيُّ.

وَ5- الْكَلْبُ الْعَقُوْرُ.

وَ6- الْخِنْزِيْرُ.

Yang tidak masuk muhtarom (tidak dihormati) ada enam, yaitu [1] orang yang meninggalkan shalat, [2] pezina yang sudah menikah, [3] murtad, [4] kafir harbi, [5] anjing galak, dan [6] babi.

 

Catatan Dalil

Pertama: Pengertian Tayamum

Tayamum secara bahasa berarti al-qashdu (berkehendak). Secara istilah, tayamum berarti sampainya debu untuk bersuci dengan mengusap wajah dan kedua tangan dengan niat tertentu dan dengan tata cara tertentu. Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:92.

 

Kedua: Dalil Disyariatkannya Tayamum dalam Al-Quran dan As-Sunnah

Allah Ta’ala berfirman,

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang suci; usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6)

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الأَنْبِيَاءِ قَبْلِي ، نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ ، وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا ، فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَة ُفَلْيُصَلِّ ، وَأُحِلَّتْ لِي الغَنَائِمُ ، وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي ، وَأُعْطِيْتُ الشَّفَاعَةُ ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ لِلنَّاسِ عَامَّةً

Aku dianugerahi lima perkara yang tidak pernah diberikan seorang pun dari Rasul-Rasul sebelumku, yaitu (1) aku diberikan pertolongan dengan takutnya musuh mendekatiku dari jarak sebulan perjalanan, (2) dijadikan bumi bagiku sebagai tempat shalat dan bersuci (untuk tayammum, pen.), maka siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, maka hendaklah ia shalat, (3) dihalalkan rampasan perang bagiku dan tidak dihalalkan kepada seorang Nabi pun sebelumku, (4) dan aku diberikan kekuasaan memberikan syafa’at (dengan izin Allah), (5) Nabi-Nabi diutus hanya untuk kaumnya saja sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 438 dan Muslim, no. 521, 523)

 

Ketiga: Tidak adanya air ketika safar

Ada empat keadaan untuk musafir, yaitu:

  1. Meyakini tidak ada air di sekitarnya, maka boleh tayamum dalam keadaan ini.
  2. Bisa mendapatkan air di sekitarnya dekat atau jauh, maka wajib air tersebut dicari. Hal ini dengan syarat kalau sudah masuk waktu shalat. Karena tayamum adalah bersuci darurat, maka tidak disebut darurat ketika mampu bersuci dengan air dan tidak disebut darurat jika bersuci sebelum waktunya.
  3. Yakin adanya air di sekitarnya selama tidak jauh. Standar jauh adalah jika air tersebut dicari, keluarlah waktu shalat, dan dipilihlah tayamum karena sudah tidak mendapati air pada waktu tersebut.
  4. Air sulit dijangkau karena terlalu padat orang yang ingin memakainya dan alat untuk mengambil air hanyalah satu, dalam kondisi ini—menurut pendapat yang kuat—boleh bertayamum, dan tidak perlu diulangi menurut madzhab.

Lihat bahasan Kasyifah As-Saja, hlm. 137.

Yang dijadikan patokan jarak untuk dikatakan jauh adalah sekitar setengah farsakh. Jarak ini sama dengan 2,5 km. Ketika keadaan air ada pada jarak tersebut, dianggap jauh, maka boleh tayamum karena kesulitan mendapati air. Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:93 dan Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 1:101.

Sebab tayamum karena safar disebutkan dalam ayat,

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6)

Syaikh As-Sa’di menerangkan dalam Taysir Al-Lathif Al-Mannan, “Adapun penyebutan safar dalam ayat karena safar diduga kuat lebih butuh pada tayamum dan sulitnya mendapatkan air. Sama seperti dikaitkannya gadai dengan safar (dalam ayat yang lain). Namun bukanlah safar jadi sebab orang bertayamum sebagaimana sangkaan sebagian orang. Pemahaman seperti itu dapat disanggah dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘lalu kamu tidak memperoleh air’.”

Dengan catatan lagi menurut Syaikh Muhammad Az-Zuhaili, safar yang boleh mengambil keringanan tayamum adalah bukan safar maksiat karena rukhsah (keringanan) tidaklah berlaku pada maksiat.

 

Keempat: Tayamum karena uzur tidak bisa menggunakan air

Misal yaitu air memang dekat namun ada musuh di dekat sumber air tersebut yang ditakuti.

Bisa juga ada uzur menggunakan air karena sakit yaitu:

  1. Karena takut muncul penyakit.
  2. Karena takut penyakitnya bertambah parah.
  3. Karena takut penyakitnya makin lama kesembuhannya.

Seperti ini dibolehkan untuk tayamum. Dalilnya adalah hadits berikut.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ « قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلاَّ سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ»

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah keluar pada saat safar, lalu seseorang di antara kami ada yang terkena batu dan kepalanya terluka. Kemudian ia mimpi basah dan bertanya pada temannya, “Apakah aku mendapati keringanan untuk bertayamum?” Mereka menjawab, “Kami tidak mendapati padamu adanya keringanan padahal engkau mampu menggunakan air.” Orang tersebut kemudian mandi (junub), lalu meninggal dunia. Ketika tiba dan menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menceritakan kejadian orang yang mati tadi. Beliau lantas bersabda, “Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membinasakan mereka. Hendaklah mereka bertanya jika tidak punya ilmu karena obat dari kebodohan adalah bertanya. Cukup baginya bertayamum dan mengusap lukanya.” (HR. Abu Daud, no. 336; Ibnu Majah, no. 572 dan Ahmad, 1:330. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasanselain perkataan ‘cukup baginya bertayamum’)

Bisa pula uzur lainnya karena keadaan sangat dingin dan sulit memanaskan air seperti kejadian ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu bertayamum ketika junub karena takut binasa ketika sangat dingin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujui hal ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan padanya,

يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ

“Wahai ‘Amr, engkau shalat dengan sahabat-sahabatmu sedangkan engkau dalam keadaan junub.” ‘Amr lantas memberitahukan beliau apa yang menyebabkan ia tidak mandi junub. ‘Amr menjawab,

وَقُلْتُ إِنِّى سَمِعْتُ اللَّهَ يَقُولُ (وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا) فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا

Aku berkata, ‘Aku mendengar firman Allah: Janganlah membunuh diri kalian sendiri sesungguhnya Allah terhadap kalian itu Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’: 29). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa dan tidak berkata apa-apa.” (HR. Abu Daud, no. 334 dan Ahmad, 4:203. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Lihat bahasan dalam Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:93.

Catatan:

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam nasihat di telegram beliau (@almunajjid) menyatakan, “Tayamum tidaklah sah ketika masih terdapat air atau mampu untuk mencari air tanpa ada kesulitan apa pun. Di antara bentuk bergampang-gampangan yang tercela adalah memilih tayamum di saat dingin padahal mampu untuk menggunakan air atau dengan cara menghangatkan air. Ingat, yang dibolehkan untuk tayamum hanyalah mereka yang tidak mendapatkan air atau jauh dari air, atau air yang ada hanya cukup untuk minum, atau tidak mampunya menggunakan air karena sakit atau semisal itu.”

 

Keempat: Air hanya cukup untuk minum

Keadaan ketika memiliki air namun hanya cukup untuk minum saja, dibolehkan untuk tayamum berdasarkan dalil,

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا

Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah.” (QS. Al-Maidah: 6). Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:93.

Namun air tidak diberikan kepada enam dengan alasan untuk berganti pada tayamum sebagaimana disebut dalam Safinatun Najah yaitu: [1] orang yang meninggalkan shalat, [2] pezina yang sudah beristri, [3] murtad, [4] kafir harbi (kafir yang diajak perang), [5] anjing galak, dan [6] babi.

Untuk diberikan kepada hewan yang haus, boleh dijadikan alasan untuk tayamum, berarti dianggap tidak mendapati air.

 

Kelima: Setelah terbukti air tidak ada, barulah tayamum

Dalam Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i (1:101), Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili menyebutkan bahwa tidak bioleh dikatakan air itu tidak ada sebagai alasan tayamum kecuali setelah mencarinya karena dalam ayat disebutkan “falam tajiduu maa-an” (ketika tidak mendapati air). Tayamum itu badal (pengganti). Badal itu ada setelah yang digantikan (mubdal) itu tidak ada.

 

Keenam: Air mampu dibeli, bolehkah tayamum?

Jika ada air dengan harga yang wajar, maka wajib air tersebut dibeli dan tidak sah untuk tayamum saat itu selama mampu membeli air. Lihat Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 1:101.

 

Ketujuh: Jika mendapati air namun hanya bisa wudhu sebagian

Jika air hanya bisa membasuh sebagian anggota wudhu, maka air digunakan untuk wudhu terlebih dahulu kemudian untuk sisanya dilanjutkan dengan tayamum karena dalam ayat disebutkan “falam tajiduu maa-an” (ketika tidak mendapati air). Karena air masih didapati, maka tidak bisa beralih langsung kepada tayamum sedangkan ia masih mendapati air. LihatAl-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 1:101-102.

Masih berlanjut dengan bahasan tayamum insya Allah.

Pagi hari diselesaikan di #darushsholihin, 13 Rajab 1440 H (Rabu pagi)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/19940-safinatun-najah-sebab-tayamum.html