Serial Fikih Muamalah

Serial Fikih Muamalah (Bag. 6): Sebab-Sebab Memperoleh Kepemilikan Sempurna

Mencari nafkah atau berusaha memperoleh harta merupakan salah satu tujuan syariat ini. Islam telah mengajak dan mendesak umatnya untuk bekerja dan berusaha di banyak ayat dan hadis (sebagaimana yang sudah kita bahas pada pembahasan sumber harta dan ajakan untuk berinvestasi). Islam tidak hanya mendesak dan mengajak umatnya untuk bekerja saja. Namun, Islam juga merinci berbagi cara untuk mencari nafkah dan berusaha yang diperbolehkan oleh syariat. Secara umum pembahasan ini terbagi menjadi 2 bagian:

Pertama: Sebab dan cara memperoleh kepemilikan sempurna.

Kedua: Sebab dan cara memperoleh kepemilikan tidak sempurna.

Pada pembahasan kali ini yang akan kita bahas adalah sebab-sebab memperoleh kepemilikan sempurna. Adapun sebab-sebab memperoleh kepemilikan tidak sempurna, maka akan kita bahas pada artikel selanjutnya.

Apa itu kepemilikan sempurna?

Sebagaimana yang sudah kita bahas pada artikel Kepemilikan, Syarat Utama Sahnya Transaksi”, kepemilikan sempurna dapat disimpulkan sebagai hak untuk memiliki fisik sebuah harta beserta manfaatnya.

Agama Islam memberikan hak kepemilikan sempurna bagi siapa pun. Bahkan, jika pemiliknya masih berupa janin di dalam perut ibunya. Jika sebuah benda (harta) telah menjadi hak milik sempurna seseorang, maka harta tersebut tidak boleh dirampas dan diambil dari tangan orang tersebut, kecuali dengan cara yang diperbolehkan oleh syariat.

Sebab dan cara untuk memperoleh kepemilikan sempurna

Pertama: Memanfaatkan harta mubah (yang belum dimiliki seseorang)

Maksudnya adalah sesuatu yang hukum asalnya boleh dimanfaatkan oleh seseorang. Contohnya: rerumputan di padang rumput, kayu bakar di hutan, air yang mengalir di sungai dan di lautan, serta hewan buruan yang ada di darat dan laut.

Kesemuanya itu bisa diperoleh dengan 2 cara. Pertama, hanya dengan dimanfaatkan dan diambil langsung, maka itu sudah menjadi hak milik kita. Atau kedua, harta tersebut tidak bisa kita manfaatkan, kecuali dengan berusaha dan mengeluarkan keringat, seperti memperbaiki dan menghidupkan tanah tandus mati yang tak terawat.

Apa yang bisa kita peroleh dengan sekadar mengambilnya saja jumlahnya sangatlah banyak, bisa berupa air, rumput, harta karun, barang tambang, ataupun hewan buruan. Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا

“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 29)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

المسلمونَ شركاءُ في ثلاثةٍ : في النارِ ، والكلأِ ، والماءِ

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara yaitu api, padang rumput, dan air.” (HR. Abu Dawud no. 3477 dan Ahmad no. 23132)

Hukum ini berlaku apabila benda-benda tersebut belum diakuisisi oleh seseorang. Adapun jika telah diakuisisi, maka benda tersebut berubah menjadi hak miliknya. Hanya saja masih tersisa sebuah syubhat (ketidakjelasan), di dalam hadis dijelaskan bahwa kesemuanya itu adalah kepemilikan bersama dan bukan materi yang bisa diakuisisi oleh seseorang. Berdasarkan syubhat ini, jika ada seseorang yang mencuri sejumlah air yang sudah disimpan oleh seseorang dengan jumlah yang melebihi nishab mencuri, maka ia tidak boleh dipotong tangannya. Hal ini karena ada sebuah kaedah fikih yang berbunyi,

الحدود تدرأ بالشبهات

“Hukuman-hukuman (had) itu bisa gugur karena syubhat (ketidak jelasan).” (Al-Madkhal fii Al-Fiqhi Al-Islami Hal. 359)

Sebagaimana juga saat seseorang sangat membutuhkan air untuk mencegah kematian dari dirinya, maka ia diperbolehkan untuk mengambil air yang dimiliki orang lain walaupun dengan kekerasan, apabila orang yang memiliki air tersebut jumlah airnya melebihi kebutuhannya.

Memanfaatkan dan menghidupkan tanah yang dimaksudkan oleh ahli fikih adalah memanfaatkan dan memperbaiki tanah yang tidak diketahui pemiliknya dan tidak ada seorang pun yang memanfaatkannya, baik itu dengan dijadikan sawah, ladang, kebun, atau dibangun di atasnya sesuatu sehingga tanah tersebut bisa menghasilkan. Di antara dalil yang membolehkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

هُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا 

“Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya,” (QS. Hud: 61)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَن أحْيا أرْضًا مَيْتةً، فلَه فيها أجْرٌ، وما أكَلَتِ العافيةُ منها، فهو له صَدَقةٌ

“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka baginya pahala dari hal tersebut. Dan segala apa yang dimakan oleh makhluk dari tanamannya, maka itu merupakan sedekah.” (HR. Tirmidzi no. 1379, Nasa’i no. 5757 dan Ahmad no. 14839)

Kedua: Akad yang memindahkan kepemilikan

Yaitu akad-akad yang menjadikan pindahnya kepemilikan atas sebuah harta antara seseorang dengan yang lainnya, dan ini hanya berlaku pada harta mutaqawwim (harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh syariat untuk memanfaatkannya, seperti makanan, pakaian, kebun apel, dan lainnya).

Sehingga akad-akad ini tidak boleh dilakukan pada harta yang mubah yang belum dicapai dan dimiliki oleh seseorang, seperti burung yang masih terbang di langit dan ikan yang masih berada di lautan, sebagaimana juga tidak berlaku pada harta yang haram dimanfaatkan, seperti: miras, babi, dan lain sebagainya.

Akad ini ada banyak macamnya, bisa berupa akad jual beli, akad pemberian, akad wasiat, ataupun yang lainnya.

Ketiga: Apa yang terlahir, keluar, ataupun keuntungan dari harta yang sudah kita miliki

Baik itu sebuah produk, keuntungan, pertumbuhan, dan lain sebagainya, kesemuanya itu menjadi hak milik bagi pemilik harta yang keluar darinya semua itu. Contohnya, jika hewan ternak melahirkan, maka peranakannya menjadi hak bagi pemilik induk betinanya, karena terdapat sebuah kaidah fikih,

النتاج تبع الأم في الملكية

“Hewan peranakan itu mengikuti induknya dalam hal kepemilkan.”

Sehingga jika si A memiliki kuda jantan dan si B memiliki kuda betina, lalu dari keduanya terlahir seekor anak kuda, maka anak kuda tersebut menjadi hak si B.

Keempat: Peninggalan

Secara istilah memiliki 2 makna:

Pertama, peninggalan seseorang untuk orang lainnya (warisan)

Agama ini sangat memperhatikan pembagian warisan dengan melihat kedekatan seseorang kepada si mayit. Semakin dekat hubungan seseorang dengan si mayit, maka bagiannya dari warisan semakin besar. Allah Ta’ala sendiri yang telah menjelaskan dan mengatur pembagian tiap pewaris di dalam Al-Qur’an secara mendetail. Ia berfirman,

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa’: 11)

Kedua, jaminan dan kompensasi

Secara istilah, jaminan dan kompensasi artinya adalah apa yang ditanggung oleh seseorang jika ia menghilangkan atau merusakkan harta orang lain, baik itu dengan mengembalikan benda yang semisalnya (jika benda tersebut mudah didapatkan yang semisal atau sejenis di pasaran), ataupun dengan mengembalikan uang senilai harga barang (jika benda tersebut adalah sesuatu yang tidak memiliki padanan dan tidak ada yang sejenis atau semisal di pasaran).

Landasan wajibnya kompensasi adalah firman Allah Ta’ala,

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa’: 58)

Serta hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعيّتِهِ, والأميرُ راعٍ, والرّجُلُ راعٍ على أهلِ بيتِهِ, والمرأةُ رَاعِيَّةٌ على بيتِ زوجِها وَوَلَدِهِ, فكلّكم راعٍ وكلّكم مسئولٌ عنْ رَعِيَّتِهِ.

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban dalam urusan rumah tangga suaminya dan anaknya. Sungguh setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 5200 dan Muslim no. 1829)

Jika seseorang yang merusak atau menghilangkan benda orang lain wajib untuk membayar kompensasi, maka kepemilikan harta kompensasi tersebut otomatis berpindah dari si pelaku kepada korban.

Di dalam permasalahan kompensasi ini para ulama memberikan beberapa persyaratan:

Syarat pertama: Perkara yang mewajibkan adanya kompensasi ini haruslah sesuatu yang membahayakan dan merugikan. Ini tidak hanya berlaku pada perbuatan tangan saja, namun mencakup juga perkataan yang merugikan dan perangai yang buruk, seperti penipuan, pemalsuan, dan sumpah palsu.

Syarat kedua: Hendaknya bahaya dan kerugian tersebut terjadi dengan cara penyerangan dan pelanggaran yang melebihi hak dan aturan yang berlaku, dan disertai kezaliman ataupun rasa permusuhan. Adapun perbuatan yang masih dalam batas wajar yang diperbolehkan syariat, maka hal itu meniadakan kompensasi.

Contohnya, jika seseorang menyewa sebuah kendaraan untuk mengangkut benda tertentu, kemudian ia menaruh di atasnya apa yang masih dalam batas wajar beban muatan kendaraan tersebut atau bahkan kurang darinya. Kemudian kendaraan tersebut rusak, maka orang yang menyewa tersebut tidak wajib membayar kompensasi. Karena orang yang menyewa sebuah kendaraan, maka ia boleh dan berhak untuk membawa beban yang masih dalam batas kewajarannya atau kurang darinya.

Ada beberapa keadaan yang dikecualikan dari syarat ini. Contohnya, seseorang yang tidur kemudian ia membalikkan badannya dan menindih barang orang lain sehingga barang tersebut rusak, maka ia wajib membayar kompensasi. Contoh lainnya, jika seseorang tidak sengaja menginjak dan merusakkan benda orang lain, maka ia juga wajib membayar kompensasi.

Syarat ketiga: Hendaknya kesalahan tersebut merupakan perbuatan langsung pelakunya atau ia merupakan sebab terjadinya perbuatan tersebut.

Maksudnya, seseorang dituntut membayar kompensasi jika dirinya sendirilah yang merusak atau menghilangkan sesuatu tanpa adanya perantara orang lain. Adapun orang yang menjadi sebab, seperti seseorang yang menggali sebuah lubang di jalanan umum. Lalu seekor hewan milik orang lain jatuh ke dalam lubang tersebut, maka ia juga diwajibkan untuk membayar kompensasi.

Wallahu A’lam Bisshowaab.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77435-serial-fikih-muamalah-bag-6.html