Pada Desember 2017, serombongan relawan asal Indonesia melakukan misi kemanusiaan dengan mengunjungi beberapa kamp pengungsi Palestina. Melalui Hayat Yolu, sebuah lembaga non-pemerintah asal Turki yang menangani pengungsi Palestina di Beirut, mereka menyerahkan bantuan untuk musim dingin senilai 250 ribu dolar Amerika.
“Alhamdulillah, bantuan untuk pengungsian Palestina di Beirut Lebanon sudah sampai melalui Hayat Yolu. Kami tidak bisa menyaksikan secara langsung karena pemerintah setempat tidak menjamin keselamatan kami di sana,” kata artis Melly Goeslaw, yang bersama penyanyi religi Opick ikut dalam rombongan, di akun Instagram-nya, @melly_goeslaw, 23 Desember 2017.
Pemberian bantuan untuk musim dingin itu sejatinya bukan yang pertama dilakukan Indonesia. Pada pertengahan Desember 1953, Menlu Sunario Sastrowardoyo –kakak dari kakek aktris Dian Sastrowardoyo– mengirim Duta Besar Keliling (mantan menteri luar negeri di Kabinet Presidensil) Ahmad Subardjo dan anggota parlemen dari Partai Persatuan Tarbiyah Islam (Perti) Siradjuddin Abbas ke Yerusalem guna memenuhi undangan dari General Islamic Congress/Conference atau Muktamar Umum Islam. Kedua wakil Indonesia itu datang sebagai peninjau.
Muktamar tersebut diprakarsai Ikhwanul Muslimin dengan sokongan dana 100 ribu dolar Amerika dari pemerintah Arab Saudi. Namanya sengaja mengambil nama sama dengan muktamar sebelumnya yang dipimpin Mufti Besar Yerusalem Mohammad Amin al-Husayni pada 1931. Harapannya, ujar pakar politik Islam dan Timur Tengah Martin Kramer mengutip Al Ahram edisi 10 Desember 1953 di laman pribadinya, martinkramer.org, “Amin bersedia memimpin muktamar itu lagi. Ketika itu Amin bermukim di Damaskus, namun otoritas Yordania mencekalnya (ke Palestina).”
Kedua wakil Indonesia itu berangkat dari Jakarta pada 1 Desember via Singapura, Bangkok, Karachi, Baghdad dan mendarat di Kairo pagi dua hari kemudian. Siangnya, mereka menemui mantan sekjen Liga Arab Abdurrachman Azam di Kairo.
“Haji Abbas dan saya diterima di kediamannya. Dinyatakan penghargaan tinggi atas beleid pemerintah Indonesia untuk mengirim peninjau-peninjau ke Muktamar Islam di Yerusalem. Ini berarti betapa besar minat rakyat Indonesia terhadap perkembangan Islam di dunia,” tulis Subardjo dalam Kesadaran Nasional, Sebuah Otobiografi.
Hari berikutnya, Subardjo dan Abbas terbang ke Yerusalem menggunakan pesawat Air Jordan. Di Yerusalem, anggota peninjau Indonesia di muktamar itu bertambah dua dengan masuknya Salim al-Rasjidi (staf perwakilan Indonesia di Mesir) dan Abdul Mukti Ali (mahasiswa merangkap perwakilan Indonesia di Karachi).
Muktamar yang sedianya dibuka sejak 3 Desember itu menjadi forum masing-masing perwakilan negara peserta menyuarakan pandangan tentang situasi Palestina, terutama setelah Israel merebut sebagian besar Yerusalem. Hanya Yerusalem Timur kala itu satu-satunya wilayah yang masih dikuasai militer Yordania.
Usai muktamar, keesokan harinya para partisipan diajak mengunjungi sejumlah situs di kota tua Yerusalem. Mereka juga mengunjungi kamp-kamp pengungsian di perbatasan Israel-Palestina seperti di Deheisha dan Qibya. Subardjo dan ketiga koleganya melihat sendiri betapa memprihatinkan keadaan kamp-kamp pengungsian itu. Kondisi para pengungsi begitu mengenaskan. Mereka tak hanya kekurangan makanan tapi juga pakaian tebal untuk melewati musim dingin. Beberapa utusan yang berpidato di hadapan para pengungsi tak jarang diiringi emosi dan air mata.
“Saya mengunjungi Qibya dan meragukan apakah kita semua manusia. Semoga keraguan ini tak bertahan lama,” cetus Sayyid Qutb, salah satu petinggi Ikhwanul Muslimin, dikutip Kramer dari suratkabar Ha-Po’el Ha-Tza’ir, 22 Desember 1953.
Bantuan yang mengalir masih jauh dari tuntutan kebutuhan para pengungsi. Meski ada UNRWA atau Badan PBB untuk Pengungsi Palestina, kala itu masih sedikit negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mendonasikan bantuan. Indonesia termasuk di dalamnya –itu menjadi sumbangan nyata pertama Indonesia untuk Palestina. “Indonesia juga turut menyumbangnya, kira-kira 60 ribu dolar Amerika, khusus untuk Palestine Relief Fund (Sumbangan Pengungsi Palestina),” lanjut Subardjo.
Subardjo dan Abbas sempat menghadiri jamuan Raja Yordania Hussein bin Talal sebelum kembali ke tanah air keesokan harinya. Setibanya di Jakarta, Subardjo dan Abbas menyampaikan hasil dan kesimpulan muktamar berupa resolusi dan anjuran. Inti resolusi, persoalan Palestina harus menjadi tanggung jawab umat Islam di seluruh dunia dengan bersatu dalam persaudaraan. Adapun usulan lain yang diharapkan adalah dibangunnya jalur keretapi Hejaz-Amman, dan pendirian konsulat di Yerusalem oleh negara-negara Islam.
Sementara, anjuran yang dihasilkan dari muktamar itu berisi tujuh poin desakan kepada pemerintah negeri peserta. Antara lain, pemerintah negara peserta muktamara memikul persoalan Palestina sebagai persoalan setiap Muslim dan memaknai bahwa mempertahankan tanah suci di Yerusalem sebagai kewajiban fardlu ain, menurut kesanggupan masing-masing; menentang dan mengharamkan setiap hubungan perdagangan dengan Israel; melakukan tindakan nyata untuk membuka jalan bagi beraneka bantuan terhadap para pengungsi Palestina; memperingatkan negara-negara yang pro-Israel bahwa sokongannya terhadap Israel berarti permusuhan terhadap negara-negara yang pro-Palestina; dan menjadikan tanggal 27 Rajab sebagai Hari Palestina. Tanggal ini merujuk pada hari pembuka muktamar, 3 Desember 1953 yang bertepatan dengan 27 Rajab dalam kalender Islam.(kl/historia)
Penulis: Randhy Wirayudha