Bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,Daftar Isisembunyikan 1. Tafisr surah Al-Fatihah ayat keenam 1.1. Faedah ayat keenam 1.2. Kesimpulan tafsir ayat keenam 2. Tafsir surah Al-Fatihah ayat ketujuh 2.1. Kesimpulan tafsir ayat ketujuh
Tafisr surah Al-Fatihah ayat keenam
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
Maksud (ٱهۡدِنَا)
adalah memohon seluruh macam petunjuk (hidayah) Allah.
Karena firman Allah Ta’ala
(ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) ini mengandung makna yang menyeluruh, yaitu:
Pertama, teguhkanlah kami di atas agama Islam.
Kedua, tunjukilah kami perincian agama Islam, baik ilmu syar’i maupun pengamalannya.[1]
Oleh karena inilah, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan bahwa maksud ayat ini adalah berilah kami petunjuk, taufik, dan ilham.[2]
Sedangkan macam-macam hidayah Allah dalam ayat keenam ini, yaitu:
Ditinjau dari sisi ilmu dan amal, maka hidayah Allah Ta’ala dalam ayat yang agung ini terbagi dua, yaitu:[3]
Pertama, hidayatul irsyad berupa ilmu syar’i.
Kedua, hidayatut taufiq berupa amal saleh.
Ditinjau dari sisi Islam dan perinciannya, maka hidayah Allah Ta’ala dalam ayat yang agung ini terbagi dua, yaitu:
Pertama, hidayah agar istikamah tetap di atas agama Islam dan meninggalkan agama selainnya dan perkara yang membatalkan keislaman, berupa kesyirikan dan kekafiran. Oleh karena inilah, Ali radhiyallahu ‘anhu menafsirkan (ٱهۡدِنَا) dengan “Teguhkanlah kami”.[4]
Kedua, hidayah berupa tambahan petunjuk dalam bentuk perincian ajaran Islam, baik ilmu syar’i maupun pengamalannya, baik dalam hal akidah dan tauhid, muamalah, ibadah, akhlak, dan selainnya.[5]
Dengan demikian, petunjuk Allah Ta’ala sangat dibutuhkan oleh makhluk dalam semua kondisinya, seperti petunjuk ilmu tentang jenis amal saleh, petunjuk agar hati bisa menghendakinya (kehendak melakukan amal saleh), petunjuk mampu mengamalkannya dengan benar dan terhindar dari penghalang-penghalangnya, petunjuk setelah beramal untuk bisa istikamah dan bisa menghindari penggugur amalan, petunjuk mendakwahkannya serta bersabar atas gangguan di jalan dakwah[6], serta petunjuk berdoa agar mampu melakukan amal ibadah dengan terpenuhi dua syarat diterima amal ibadah, serta agar diterima amalannya oleh Allah Ta’ala.
Karena demikan luasnya kandungan ayat ini, maka doa dalam ayat ini disebutkan dalam Tafsir As-Sa’di rahimahullah, sebagai doa yang paling lengkap, paling menyeluruh, dan paling bermanfaat bagi seorang hamba.
Maksud (ٱلصِّرَ ٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ)
Berdasarkan surah Al-Ahqaf ayat 30 dan surah Asy-Syura ayat 52, maka (ٱلصِّرَ ٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) adalah jalan Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah, atau dengan kata lain adalah jalan Islam, karena keduanya adalah dasar ajaran agama Islam.
Oleh karena itu, ulama ahli tafsir di kalangan sahabat, Abdullah Ibnu Abbas dan Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma, serta dari kalangan tabi’in Al-Hasan dan Abul ‘Aliyah rahimahumallah menafsirkan (ٱلصِّرَ ٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) dengan agama Islam.
Inilah dalil bahwa jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah jalan yang lurus (Ash-Sirath Al-Mustaqim). Allah Ta’ala berfirman,
یَهۡدِیۤ إِلَى ٱلۡحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِیقࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ
“Al-Qur’an membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Ahqaf : 30)
وَإِنَّكَ لَتَهۡدِیۤ إِلَىٰ صِرَ ٰطࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ
“Dan sungguh, Engkau (Rasulullah) benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52)
Faedah ayat keenam
Pertama, karena kandungan ayat ini adalah memohon hidayah Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam melaksanakan agama Islam ini, maka hakikatnya ayat ini adalah isyarat kepada kewajiban memenuhi salah satu dari dua syarat diterimanya amal ibadah, yaitu al-mutaba’ah. Al-mutaba’ah adalah meniti jalan lurus yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah kepada-Nya.
Sedangkan syarat diterimanya amal ibadah yang satu lagi adalah ikhlas, mencari rida Allah Ta’ala semata dalam melaksanakan agama Islam ini, beribadah kepada-Nya. Hal ini ditunjukkan dalam ayat kelima (إِيَّاكَ نَعْبُدُ).
Kedua, dalam ayat ini, “ash-sirath al-mustaqim” disebutkan dalam bentuk tunggal. Sedangkan dalam ayat yang lain di surah Al-An’am ayat 153, “jalan kesesatan” disebutkan dalam bentuk jamak. Hal ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu, yaitu Islam, sedangkan jalan kesesatan itu banyak.
Kesimpulan tafsir ayat keenam
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ
Bermakna,
“Teguhkanlah kami di atas agama Islam dan jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman. Serta berilah kami tambahan petunjuk ilmu perincian ajaran Islam dan perincian pengamalannya.”
Tafsir surah Al-Fatihah ayat ketujuh
صِرَ ٰطَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”
Maksud (صِرَ ٰطَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ)
Maksud dari “Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”, yaitu:
Pertama, Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa mereka adalah ahli hidayah (orang-orang yang berilmu syar’i) dan istikamah beramal saleh lagi ta’at kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana juga Ibnul Qoyyim rahimahullah menafsirkan mereka ini adalah orang-orang yang berilmu syar’i dan beramal saleh.
Kedua, Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya menukilkan tafsir Salaf Shalih:
Ahli tafsir dari kalangan tabi’ut tabi’in, Abdur Rahman bin Zaid rahimahullah menafsirkan bahwa mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.
Pakar tafsir dari kalangan tabi’in, Abul ‘Aliyah rahimahullah menyatakan bahwa mereka adalah para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar bin Al-Khaththab, dan ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sorang ulama besar tabi’in, Syahr bin Hausyab rahimahullah menafsirkan bahwa mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahli baitnya.
Ketiga, Ibnul Qoyyim rahimahullah menukilkan tafsir seorang ulama tafsir kota Madinah dari kalangan tabi’in, Zaid bin Aslam rahimahullah yang menyatakan bahwa mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhum.[7]
Pelajaran besar dari tafsir para Salaf Shalih terhadap ayat (صِرَ ٰطَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ)[8]
Pertama, jika Anda ingin meniti ash-sirath al-mustaqim, maka ikutilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Bagaimanakah jalan mereka dalam memahami agama Islam dan mengamalkannya.
Kedua, jika Anda ingin memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah (ash-sirath al-mustaqim) dengan benar, maka ikuti pemahaman dan pengamalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Inilah yang dimaksud dengan bermanhaj Salaf Shalih dalam beragama Islam.
Dengan demikian, ayat ketujuh ini mengisyaratkan bahwa tidak cukup kita hanya berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah saja, namun haruslah ditambah dengan pemahaman dan pengamalan Salaf Shalih terhadap keduanya. Sehingga pilar beragama Islam itu tiga, yaitu: 1) Al-Qur’an; 2) As-Sunnah; 3) manhaj Salaf Shalih. Salaf Shalih adalah sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, serta murid-muridnya (tabi’in), dan murid-murid tabi’in (tabi’ut tabi’in) berdasarkan hadis yang muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
Ketiga, barangsiapa yang dalam beragama Islam menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, maka pastilah berada dalam kesesatan, sebagaimana di dalam surah An-Nisa’ ayat 115 dan diancam neraka Jahannam.
Maksud (غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ)
Maksud “bukan (jalan) mereka yang dimurkai” adalah bukan jalan orang-orang yang berilmu tapi meninggalkan amal, seperti Yahudi. Karena Allah Ta’ala menghukumi Yahudi dengan mendapatkan kemurkaan-Nya, sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 60,
قُلۡ هَلۡ أُنَبِّئُكُم بِشَرࣲّ مِّن ذَ ٰلِكَ مَثُوبَةً عِندَ ٱللَّهِۚ مَن لَّعَنَهُ ٱللَّهُ وَغَضِبَ عَلَیۡهِ
“Katakanlah (Muhammad), “Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) di sisi Allah? Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah.” (QS. Al.Maidah: 60)
Maksud (وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ)
Maksud “dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” adalah bukan jalan orang-orang yang beramal tanpa dasar ilmu, seperti nashara. Karena Allah Ta’ala menghukumi nashara dengan sesat sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 77,
قُلۡ یَـٰۤأَهۡلَ ٱلۡكِتَـٰبِ لَا تَغۡلُوا۟ فِی دِینِكُمۡ غَیۡرَ ٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوۤا۟ أَهۡوَاۤءَ قَوۡمࣲ قَدۡ ضَلُّوا۟ مِن قَبۡلُ وَأَضَلُّوا۟ كَثِیرࣰا وَضَلُّوا۟ عَن سَوَاۤءِ ٱلسَّبِیلِ
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah: 77)
Kesimpulan tafsir ayat ketujuh
صِرَ ٰطَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ
Bermakna,
“Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka berupa ilmu syar’i dan amal saleh, bukan jalan mereka yang dimurkai, yaitu mereka yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya dan bukan pula jalan mereka yang sesat, yaitu mereka yang beramal tanpa ilmu.”
[Bersambung]
Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah
Sumber: https://muslim.or.id/72512-tafsir-ringkas-surah-al-fatihah-bag-3.html