4 Ulama yang Belum Pernah Haji

Meskipun haji merupakan salah satu rukun  Islam dan menjadi kemuliaan bagi umat Muslim yang mampu melaksanakannya, dalam sejarah, terdapat beberapa ulama besar yang justru tidak pernah naik haji seumur hidup mereka. Hal ini dikarenakan berbagai faktor.

Haji itu rukun Islam. Haji itu kemuliaan. Haji itu sejarah agung umat Islam. Betul semua. Semua itu tak terbantahkan. Tapi kita harus akui juga, haji itu bukan segala-galanya. Dari sisi mana kita menilai haji bukan segala-galanya?

Salah satunya dari sisi bahwa banyak ulama, tokoh penting dalam sejarah Islam, tidak sempat, atau tidak ditakdirkan naik haji. Siapa ulama yang belum pernah haji?

Pertama, Imam Syirazi. Beliau bernama lengkap Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali al-Syirazi dan lahir di Kota Fairuzabad pada awal abad 10 Masehi. Beliau adalah pengarang al-Muhadzdzab, sebuah matan ensiklopedik tentang fikih Mazhab Syafi’i.

Kenapa Imam Syirazzi tidak haji? Kekurangan materi menjadi penyebab beliau tidak mampu pergi berhaji.Dalam Siyar A’lam al-Nubala’, al-Dzahabi menceritakan bahwa makanan sehari-hari beliau adalah bubur tsarid yang dicampur dengan kuah sayuran. Namun beliau tetap sabar menerima keadaannya.

Meski tidak pernah pergi berhaji, dalam kitab fikihnya terutama al-Muhadzdzab beliau sanggup menjelaskan detil-detil ibadah haji, bahkan hingga tata letak Kakbah dan tempat-tempat sekitarnya beliau mampu menjelaskannya. Di kalangan pesantren (namun penulis tidak pernah menemukan referensinya) jamak dikisahkan bahwa beliau pergi berhaji secara kasyaf.

Kedua, tokoh selanjutnya adalah ‘Ali bin Ahmad Ibnu Hazm. Seorang penghafal puluhan ribu hadis dari Andalus. Beliau lahir di Kordoba pada November 994 Masehi dari ayah seorang pejabat ternama di Dinasti Umayyah kedua yang berkuasa di Andalus.

Beliau dikenal karena ketajaman pikiran beliau, keteguhan dalam mempertahankan pandangan, serta pelestari mazhab Zhahiriyyah yang saat itu hampir punah di Timur Tengah. Al-Muhalla Bil Atsar adalah masterpiece beliau dalam menuangkan pandangan-pandangan beliau.

Abu Zahrah ketika menjelaskan biografi Ibnu Hazm mengatakan bahwa meski beliau terlahir dari keluarga berkecukupan pada awalnya, namun ketika ayah beliau meninggal beliau tinggal di sebuah perkebunan dan membuat gubuk sederhana untuk mengajar murid-murid beliau. Hal ini dikarenakan sebuah konflik yang menimpa beliau. Hal ini juga tak terlepas dari pribadi beliau yang teguh dalam memegang pendapat—namun diiringi pula oleh keilmuan yang mumpuni.

Kondisi geografis yang jauh membuat beliau tidak mampu pergi berhaji. Maklum saja, jika kita melihat catatan harian Ibn Jubair dari Granada dalam Rihlat ibnu Jubair membutuhkan waktu tujuh bulan perjalanan menunaikan ibadah haji.

Tidak sedikit pula para ulama yang berkata bahwa orang Maghrib (nama bagi daerah Islam yang paling barat mencakup Maroko, Spanyol, Portugal, dan lain-lain) sudah tidak berwajib melaksanakan haji di masa itu. Meskipun fatwa ini berlebihan, namun kondisi yang ada memang tidak memungkinkan untuk melaksanakan haji.

Menariknya, dalam Zadul Ma’ad, Ibnu Jauzi menukil bahwa Ibnu Hazm pernah berkata bahwa Sa’i antara Shafa dan Marwah dilakukan sebanyak empat belas kali. Hal ini bisa dimaklumi karena Ibnu Hazm belum pernah berhaji.

Meskipun demikian, nukilan Ibnu Jauzi ini tidak penulis temukan di al-Muhalla, karya fikih Ibnu Hazm yang terbesar. Dalam forum-forum internet ramai dibincangkan bahwa Abu Turab al-Zhahiri (seorang alim dari India, peneliti Ibnu Hazm, dan pengajar di Al-Azhar) yang meninggal pada tahun 2002, pernah melakukan badal haji untuk Ibnu Hazm.

Ketiga, lama berikutnya adalah Qadhi ‘Iyadh, seorang hakim agung dari tanah Maroko yang meninggal tragis (anggota tubuhnya dipotong-potong) karena dituduh Yahudi hanya karena beliau tidak pernah keluar ketika hari Sabtu. Padahal beliau mengkhususkan hari itu untuk mengarang kitab. Versi lain mengatakan bahwa beliau dibunuh karena tidak mau mengakui Ibnu Tumart sebagai Imam Mahdi, versi ini lebih masyhur.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani mencatat bahwa Qadhi ‘Iyadh mengatakan tawaf wada’ harus dilakukan dua kali karena dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa setelah tawaf wada’ Nabi saw pergi ke Abthah yang ada di utara Makkah dan beliau mengulangi tawafnya ketika beliau hendak pulang ke Madinah.

Mengomentari ini Ibnu Hajar berkata, “Hal ini bisa dimaklumi karena Qadhi ‘Iyadh belum pernah menyaksikan Makkah secara langsung.”

Keempat, Ibnu Sidah seorang ahli bahasa dan penghafal hadis dari Andalus pernah mengatakan bahwa lempar jumrah dilakukan di ‘Arafah. Kenapa? Karena belum haji.

Demikianlah, banyak tokoh-tokoh lain yang belum sempat melaksanakan haji karena beberapa uzur seperti Sultan Salahuddin al-Ayyubi (baca: Siyar A’lam Nubala’), Imam al-Baghawi, atau pun raja-raja Kesultanan Utsmani di dekade-dekade akhir yang dikatakan tidak sempat menunaikan ibadah haji. Semoga kelumit ini membuat kita yang mampu dan tidak punya uzur untuk segera menunaikan ibadah haji.

Tulisan ini dipublikasikan sebelumnya di Alif.id

BINCANG SYARIAH