“Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukan buat dirinya sendiri,” ujar Buya Hamka
SATU bukti Islam sebagai agama yang menghargai akal dapat dibuktikan dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an, baik yang tersurat maupun tersirat memerintahkan umatnya untuk berpikir dengan memperhatikan apa saja yang ada di dunia ini, bahkan di dalam diri manusia itu sendiri.
Sebagaimana firman-Nya:
وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 21).
Dengan demikian, sungguh beruntung umat Islam, karena kitab sucinya justru mendorongnya untuk mempergunakan akalnya secara maksimal guna mengetahui hingga haqqul yaqin kebenaran ajaran Islam. Oleh karena itu seorang Muslim itu idealnya adalah orang yang benar-benar memanfaatkan akalnya.
Menurut Buya Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam bukunya Falsafah Hidup orang berakal itu memiliki tanda-tanda nyata dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.
Pertama, orang berakal itu luas pandangannya kepada sesuatu yang menyakiti atau yang menyenangkan. Pandai memilih perkara yang memberi manfaat dan menjauhi yang akan menyakiti. Dia memilih mana yang lebih kekal walaupun sulit jalannya daripada yang mudah didapat padahal rapuh. Jadi, akhirat lebih utama bagi mereka dibanding dunia.
Kedua, orang berakal selalu menaksir harga dirinya, yakni dengan cara menilik hari-hari yang telah dilalui, adakah dipergunakan kepada perbuatan-perbuatan yang berguna, dan hari yang masih tinggal ke manakah akan dimanfaatkan. Jadi, tidak ada waktu yang digunakan untuk hal-hal yang tidak berfaedah, apalagi sampai menguliti kesalahan atau aib orang lain.
Ketiga, orang berakal senantiasa berbantah dengan dirinya. Sebelum melakukan suatu tindakan, ada timbangan yang digunakan, apakah yang dilakukannya baik atau jahat dan berbahaya. Kalau baik, maka diteruskan, jika berbahaya segera dihentikan.
Keempat, orang berakal selalu mengingat kekurangannya. Bahkan, kata Buya Hamka, “Kalau perlu dituliskannya di dalam suatu buku peringatan sehari-hari. Baik kekurangan pada agama, atau pada akhlak dan kesopanan. Peringatan diulang-ulangnya dan buku itu kerapkali dilihatnya untuk direnungi dan diikhtiarkan mengasur-angsur mengubah segala kekurangan itu.”
Kelima, orang berakal tidak berdukacita lantaran ada cita-citanya di dunia yang tidak sampai atau nikmat yang meninggalkannya. Buya Hamka menulis, “Diterimanya apa yang terjadi atas dirinya dengan tidak merasa kecewa dan tidak putus-putusnya berusaha. Jika rugi tidaklah cemas, dan jika berlaba tidaklah bangga. Karena cemas merendahkan hikmah dan bangga mengihilangkan timbangan.”
Keenam, orang berakal enggan menjauhi orang yang berakal pula. Artinya, temannya adalah orang yang berhati-hati dalam hidupnya, sehingga terjaga komitmennya dalam memegang risalah kebenaran.
Ketujuh, orang yang berakal tidak memandang remeh suatu kesalahan.
“Walaupun bagaimana kecilnya di mata orang lain. Dia tidak mau memandang kecil suatu kesalahan. Karena bila kita memandang kecil suatu kesalahan, yang kedua, ketiga, dan seterusnya, kita tidak merasa bahwa kesalahan itu besar, atau tak dapat membedakan lagi mana yang kecil dan mana yang besar.”
Kedelapan, orang yang berakal tidak bersedih hati. Buya Hamka menulis, “Orang yang berakal tidak berduka hati. Karena kedukaan itu tiada ada faedahnya. Banyak duka mengaburkan akal. Tidak dia bersedih, karena kesedihan tidaklah memperbaiki perkara yang telah terlanjur. Dan, banyak sedih mengurangi akal.”
Kesembilan, orang berakal hidup bukan untuk dirinya semata, tetapi untuk manusia dan seluruh kehidupan. Buya Hamka menulis, “Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukat buat dirinya sendiri.”
Demikianlah sembilan tanda orang berakal menurut Buya Hamka. Dan, lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa orang berakal itu hanya memiliki kerinduan kuat pada tiga perkara. Pertama, menyediakan bekal untuk hari kemudian. Kedua, mencari kelezatan buat jiwa. Dan, ketiga, menyelidiki arti hidup.
Subhanallah, uraian Buya Hamka ini sangat berfaedah buat kita semua untuk mengukur diri, apakah selama ini telah memanfaatkan akal sebaik-baiknya, atau justru sebaliknya. Tetapi, apapun yang telah berlalu, sekarang adalah saatnya kita meningkatkan iman dan taqwa dengan memaksimalkan fungsi dan peran akal sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Wallahu a’lam.*
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar