Buntu Saat Menulis, Ini yang Dilakukan Buya Hamka Saat Menulis Tafsir Al-Azhar

Writer block (kebuntuan menulis) seringkali menghantui siapa saja. Entah itu, mahasiswa yang sedang mencari bahan-bahan skripsi, seorang dosen yang sedang melakukan riset penelitian, ataukah seorang content creator. Hal tersebut acapkali mengganggu performa kinerja penulis itu sendiri. Bagaimana motivasi Buya Hamka menulis tafsir al-Azhar?

Proses panjang menjadi seorang penulis handal layaknya Buya Hamka. Berangkat dari karyanya yang pertama, yaitu Khatibul Ummah, yang berisi jahitan untaian hasil khutbah teman-temanya, yang kemudian dibukukan menjadi sebuah buku. Hingga sebuah novel monumentalnya, yaitu Tenggelamnya Kapal Van Ser Wijck .hingga diangkatnya ke layar lebar, dan belakangan ini, penulis mendapat sebuah informasi terbaru perihal ditemukanya bongkahan-bongkahan awak kapal tersebut, di stasiun televise nasional, yaitu tvone.

Namun dalam kesempatan ini, penulis, ingin menelisik sosok Buya Hamka. Menyangkut daripada beragam karya tulisnya. Berikut dengan back ground (latar belakang) genre yang berbeda-beda, serta adakah kiranya kiat-kiat untuk menjadi seorang penulis handal. Berikut ulasanya:

Motivasi Hamka Menulis Tafsir Al-Azhar

Sebelum memberikan wejangan, perihal kiat-kiat menjadi seorang penulis handal. Agaknya kurang afdhol, jikalau untaian jahitan tulisan ini, terlebih dahulu sedikit mengurai alasan kepenulisan tafsir al-Azhar,  yang merupakan magnum opusnya. Berikut beberapa alasan yang melatar belakangi lahirnya tafsir al-Azhar, yang dituntaskanya dibalik bilik penjara, sebagai berikut:

Buya Hamka mulanya tidak terbetik dalam hatinya untuk menulis Tafsir al-Azhar. Namun, pengejawantahan akan karyanya, justru berangkat dari mengisi rutinitas kajian kuliah shubuh pada jama’ah masjid al-Azhar kebayoran baru DKI Jakarta. Sementara itu, nama tafsir al-Azhar sendiri, diambil daripada nama masjid tempat mengisi rutinitas kajian kuliah shubuh. Yaitu bernama masjid al-Azhar.

Wejangan interpretasi penafsiran pertamanya. Yaitu berangkat dari syarah (penjelasan) mengenai al-Qur’an surah al-Kahfi. Catatan yang ditulis Buya Hamka semenjak tahun 1959. Yang kemudian dipublikasikan dalam majalah tengah bulanan, yaitu Gema Islam yang terbit pertama kalinya pada tahun 15 januari 1962.

Yang fungsinya sebagai pengganti daripada majalah panji masyarakat, yang di bredel oleh Presiden Soekarno dua tahun sebelumnya. Yaitu pada tahun 1960. (Avif Alviyah, dalam Metode Penafsiranm Buya Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar, Ilmu Ushuluddin, (Vol. 15, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 28).

Selain itu, dinamika yang dijadikan motivasi tersendiri bagi Buya Hamka untuk menulis tafsir al-Azhar. Yang diantaranya berangkat dari empat dorongan. Berikut ulasanya:

Pertama, banyak para mufassir-mufassir klasik ta’asub (fanatik) terhadap madzhab yang mereka nakhodai. Sehingga terdapat diantaranya yang menggiring redaksi daripada ayat-ayat kitab suci al-Qur’an, yang pengejawantahanya cenderung kedalam madzhab pegangnya. Walaupun nyatanya redaksi tersebut cenderung diluar madzhab yang mereka jadikan pegangan.

Kedua, adanya sebuah nuansa religiusitas baru di tanah air Indonesia. Yang mana merupakan sebuah negara yang berpenduduk mayoritas penganut agama Islam, yang sangat haus akan bimbingan agamanya. Yang kala itu sangat haus juga akan menelaah serta memahami isi-isi kandungan daripada kitab suci al-Qur’an.

Ketiga, tokoh Muhammadiyyah ini yang satu ini, ingin meninggalkan sebuah pusaka warisan yang bernilai harganya bagi bangsa Indonesia. Yang mana mayoritas penduduknya beragama Islam.

Keempat, ingin membalas jasa kepada instansi Universitas al-Azhar. Yang mana negeri piramid Mesir yang telah memberikan penganugerahan prestisius kepada Hamka. Yaitu Gelar Doktor Honoris Causa. (Malkan, dalam Metode Penafsiran Buya Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar, Ilmu Ushuluddin, (Vol.15, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 35)

Nah, pasca pengulasan beberapa alasan-alasan kepenulisan tafsir al-Azhari di atas. Berikut penulis, uraikan konsen pembahasan untaian jahitan tulisan ini:

Empat Kepiawaian yang Harus Dimilki Penulis

Dunia literasi digital akan memproduksi  lembar-lembar peradaban yang serba maju, indah, serta eksotis. Jikalau banyak terlahir penulis yang mengisi ruang-ruang kosong serba-serbi bingkai peradaban kepenulisan.

Jika meminjam ungkapan sastrawan dan pujangga ulung, yaitu Buya Hamka,’’seorang politikus merupakan arsitektur struktur negara, tetapi penulislah, yang mengisinya dengan keindahan, perasaan, serta gagasan.’’. (Yanuardi Syukur Arlen Ara Guci, dalam Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama (Solo; Tinta Medina, 2017, hlm. 40)

Menilik lebih jauh, sosok yang masyhur dengan berbagai dimensi kepiawaian kepenulisanya ini. Yaitu berangkat sebagai seorang penulis, sastrawan, serta wartawan. Ayalnya diramu serta diracik dengan kepiawaianya dalam dunia kepenulisan itu sendiri. Berikut empat prasyarat-prasyarat menjadi seorang pengarang atau penulis handal:

Ponit yang pertama, seorang penulis harus memilki daya khayal serta imajinasi, kedua, seorang penulis mesti memilki ingatan yang tajam, ketiga, seorang penulis harus juga memilki daya hafal yang kuat, keempat, seorang penulis harus mampu mengejawantahkan ketiga kemampuanya tersebut kedalam sebuah untaian jahitan tulisan. (Yanuardi Syukur Arlen Ara Guci, dalam Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama (Solo; Tinta Medina, 2017, hlm. 38) Wallahua’lam

BINCANG SYARIAH

Shalat atau Sembahyang? Ini Jawaban Buya Hamka

Buya Hamka menjawab pertanyaan mana yang harus dipakai shalat atau sembahyang.

Pada tahun 1963, Prof DR Hamka atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka, mendapatkan surat dari umat Islam tentang mana yang benar penyebutan shalat atau sembahyang. Pengirim surat itu menanyakan mana yang lebih tepat digunakan untuk diucapkan.

Ahzab  ayat 56, yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi; Wahai orang beriman, bershalawatlah atasnya dan mengucapkan salamlah, sebenar-benar salam.”

Menurut Buya Hamka, jika kita hendak mencari tafsir dari kalimat shalat di sini, niscaya bukan dari Hamka, dan bukan dari yang lain-lain. Buya kemudian mengajak untuk mencarinya ke pangkal dengan mengutip hadis Nabi:

“Shalat Allah Ta’ala atas Nabi-Nya ialah pujian-Nya di sisi malaikat. Dan, shalat malaikat kepada Nabi ialah doanya.”

Kemudian, Buya mengutip hadis lainnya yang berbunyi: Shalat Rabbi (Tuhan) ialah Rahmat-Nya. Shalat malaikat ialah istigfar.” (HR Tirmidzi)

Ada lagi yang sangat berjauhan artinya. Menurut pengetahuan kita dalam bahasa Arab, jama’ dari shalat ialah shalawat. Tetapi di dalam Surat Al Hajj ayat 40, bertemu kalimat shalawatun, bukan sembahyang dengan arti jama’ (banyak). Melainkan berarti gereja atau tabernackle atau kemah suci orang Yahudi.

Di dalam Surat Al Baraah (At Taubah) ayat 103 tertulis, “Dan shalatlah atas mereka, sesungguhnya shalat engkau adalah ketentraman bagi mereka, dan Allah adalah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Menurut Buya Hamka, ahli-ahli tafsir, sebagaimana tersebut di dalam tafsir Ibnu Katsir, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa arti shalatlah atas mereka, artinya adalah: “Dan doakanlah mereka dan mohonkan ampunlah atas mereka.” Sebab ada tersebut dalam shahih Muslim itu dari Abdullah bin Abi Aufaa, seketika Ibnu Abi Aufaa menyerahkan zakatnya kepada Nabi, maka Nabi mendoakannya:

“Ya Allah beri shalawatlah atas Ibnu Abi Aufaa.”

Karena itu, lanjut Buya Hamka, dari segala keterangan itu jelaslah bahwa dengan kata-kata shalat saja belumlah tentu bahwa yang dimaksudkan ialah khusus untuk sembahyang. Nahkan, sebagaimana ditulis oleh Tuan Syekh A Hassan dalam tafsir Al Furqaan yang disebutkan bahwa shalat atau shalawat itu mempunyai beberapa arti; sembahyang, puji, beri rahmat.

Sedang kata sembahyang, bagi pemeluk agama Islam yang berbahasa Melayu sudah khusus artinya, tidak meragukan lagi. Sehingga, kalau seseorang didoakan tidaklah dikatakan “Sembahyanglah olehmu”, dan kalau Allah mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW tidaklah dikatakan Allah menyembahyangkan Nabi, dan kalau Ibnu Abi Aufaa menyerahkan zakatnya, tidaklah ada ahli hadis memberi arti bahwa Rasulullah menyembahyangkan Ibnu Abi Aufaa, melainkan mendoakan, meskipun yang dipakai kalimat shalli.

Buya Hamka juga merujuk pada tafir Turjuman Al Mustafii yang ditulis oleh Syekh Abdurrauf bin Syekh Ali Al Fanshuri pada sekitar tahun 1620 masehi, menyebutkan juga dalam tafsirnya yang telah lebih dari tiga abad itu, menurut kebiasaan kita sekarang. Yaitu, shalat beliau terjemahkan dengan sembahyang.

Artinya, sudah sangat lama hal ini terpakai, sehingga sudah menjadi urf pada bangsa Indonesia. Yang urf itu menjadi salah satu dasar pemikiran agama, bahkan menjadi kaidah ushluddin: Al ‘Urfu Qaadhin (Kebiasaan itu pun berlaku).

Dalam pertimbangan hukum barat disebut Historisrecht. Sehingga, untuk membatalkan atau menghukum haram atau makruh memakainya, mestilah kita memakai dasar-dasar hukum yang kuat pula. Sehingga, dapat sah menjadi dasar hukum.

“Sebab itu saya sendiri masih berpendapat bahwa memakai kalimat sembahyang tidak salah, bahkan memakai kalimat shalat itulah yang akan meminta keterangan lebih jelas, sebab dia mengandung akan berbagai makna sebagaimana tersebut dari keterangan ahli-ahli yang telah saya salinkan itu,” tulis Buya Hamka mengutarakan pendapatnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Teladan Peduli Hamka pada Kaum Papa

Kali kedua kaki Kons Kleden menginjakkan kaki ke rumah Buya Hamka di Kebayoran Baru. Pada kunjungan pertama, Desember 1980, wartawan Katolik ini gagal mewawancarai Hamka. Pasalnya, pada waktu yang telah disepakati, sang tuan rumah mendadak ada acara yang tidak bisa ditepikan. Istri Buya Hamka, mewakili sang suami, memohonkan maaf pada sang wartawan. Lalu janji pertemuan pengganti pun dibuat.

Pada kunjungan kedua untuk meliput pandangan sang ulama terhadap masa depan Islam di tanah air, Kons memiliki kans bersua Hamka. Pukul lima sore ia dijadwalkan bersua penulis Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial ini. Kons bukan tak tahu tamu sang tuan rumah berjibun bak pasien mengantre di rumah dokter spesialis satu-satunya di daerah pinggiran. Tebersit di hati apakah dirinya bisa diterima pada waktu yang dijanjikan.

Ada aneka latar tamu yang datang hari itu. Dari yang berpenampilan kaya, intelek hingga—maaf—compang-camping. Tatkala waktu mendekati pukul lima, tamu yang berbusana kumal menyalip Kons. Sebenarnya, Kons mestilah diterima lebih dulu kendati waktu belum tepat di angka lima. Ternyata lelaki dengan penampilan tak sedap dipandang itulah yang dipanggil lebih dulu tuan rumah.

Buya Hamka menerima para tamunya di beranda rumah. Apa yang dilakukan tuan rumah pada salah satu tamu, diketahui tamu-tamu lainnya.

“Sama hangatnya, sama penuh perhatiannya, seperti Buya menerima tamu-tamu yang datang bermobil atau berdasi,” sebut Kons terhadap penerimaan Hamka pada tamu yang menyalipnya itu.

Sang tamu yang menyalip Kons tampak menyampaikan berkas pada Hamka. Di kolom harian Pelita yang kemudian dimuat ulang dalam Perjalanan Terakhir Buya Hamka, buku hasil suntingan tim wartawan Panjimas (1982), Kons bercerita lebih lanjut.

Setelah berbincang sebentar dengan lelaki serupa gelandangan itu, Hamka masuk ke rumah. Tak lama menghampiri sang tamu itu dan menyerahkan sesuatu ke dalam tangannya.

“Mataku masih sempat melirik bahwa di dalam tangan Buya terselip beberapa lembar uang ribuan,” jelas Kons bersaksi.

Perasaan kecil hadir dalam hati Kons mendapati adegan di hadapannya itu. Sampai akhirnya namanya disebut tepat pada pukul lima.

Tidak hanya kali itu saja orang-orang yang datang bertamu menghajatkan soal suramnya dapur rumah tangga mereka. Sebabnya beragam musibah. Seperti disebutkan putra Hamka, Rusjdi, dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr K.H. Hamka (1981), hal biasa apabila rumah mereka didatangi perempuan gelandangan yang menggendong anak dan meminta bantuan.

“Untuk orang-orang yang malang itu, biasanya dikasih makan dan diberi uang ala kadarnya, Rp 1000,- atau Rp 500,-, kadang-kadang Ayah tak punya uang dan anak-anak tak ada di rumah. Mereka (para tamu itu) pulang dengan hampa tangan, setelah dihibur dan dibujuk dengan nasihat-nasihat,” cerita Rusjdi.

Orang yang tahu keseharian Buya Hamka mafhum, sang ulama ini bukan orang yang kaya raya secara harta benda. Reputasi namanyalah yang membuat orang percaya hingga tak enggan membantu. Tapi Hamka tentunya pantang meminta-minta. Di luar sebagai juru dakwah, menulis buku adalah profesinya, dengan honorarium dari royalti inilah yang bisa dijadikan pegangan menghidupkan anak dan istrinya. Ada keberkahan dalam kecukupan harta yang ada, kendati menurut penglihatan orang banyak jumlahnya itu kecil secara nominal. Yang jelas, tatkala ada orang yang menitipkan atau mengamanahi uang padanya, uang itu pula yang kemudian diberikan Buya kepada para tamu.

Mengapa Buya Hamka berbelas kasih pada para papa yang hanya memenuhi beranda rumahnya saban hari itu?

“Kadang-kadang musuh itu bukanlah berupa perbarangan, tetapi berupa keadaan. Di dalam seluruh dunia sekarang ini, dan di dalam negeri kita sendiri pun terdapatlah pula tiga musuh besar, …  ialah kebodohan, kemelaratan alias kemiskinan, dan penyakit.” Demikian Buya Hamka berkhutbah dalam shalat Idul Adha 1382 Hijriah di halaman Masjid Al Azhar (materi khutbah dimuat ulang dalam Gema Islam No 32, 15 Maret 1963).

Ini tampaknya hujjah dan jawaban mengapa Hamka ringan tangan membantu kalangan dhuafa, selain tentunya untuk menuruti sang junjungan Rasulullah. Jihad melawan kemiskinan sudah menjadi agenda lama Buya Hamka. Ia pahami betul denyut nadi sebagai anak dari keluarga yang lebih mementingkan ilmu ketimbang menghimpun harta benda. Merantau ke negeri orang diniati bukan untuk memperkaya diri, selain dalam soal kedalaman ilmu. Risiko ini yang belum mesti dipedomani saudara seagamanya yang “ditakdirkan” sebagai orang miskin harta. Maka, Hamka terpanggil untuk menyerukan Muslimin untuk saling membuka tangan membantu sesama. Agar saudara mereka tidak dicaplok oleh orang beriman lain tapi menyimpan misi lain.

Yang disaksikan banyak orang, semisal Kons Kleden, adalah bukti realisasi komitmen Buya Hamka untuk membantu mereka yang berada dalam posisi di bawah. Tak semata nasihat penyemangat untuk terus gigih bekerja, tapi juga bekal meski jumlahnya ala kadar dalam amplop di sebalik jabatan pada para tetamu berhajat itu. Buya tentu ingin mengajarkan dirinya yang acap diundang dan bicara soal Islam di mana-mana perlu memberikan contoh. Ia yang terbatas tetap perlu memberi, sekecil apa pun. Hingga yang lain, para muhsinin jamaah pengajiannya atau simpatisan dakwahnya yang dikaruniai rezeki berlimpah, tergerak mengikuti. Teladan nyata dari alim akan membekas dalam ingatan dan tindakan umat.

Teladan yang bersahaja dan praktis seperti di atas, lebih dinantikan umat ketimbang seruan mengagetkan yang terkesan “menegakkan syariat” tetapi melupakan keteladanan para penyerunya pada aspek syariat lainnya. Semisal wacana menarik zakat maal sebesar 2,5% pada aparat sipil negara tiap bulannya. Seolah peduli pada mengentaskan kemiskinan dengan instrumen zakat, tapi disebalik itu tidak disiapkan kesungguhan dan kejujuran mengajak kebaikan pada syariat lainnya. Yang gamblang, pada waktu lain justru teladan yang menyakitkan umatlah yang ada.

Oleh: Yusuf Maulana, Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku “Mufakat Firasat”, dan “Nuun, Berjibaku Mencandu Buku”.

 

REPUBLIKA

Kisah Buya Hamka Ditawari Tidur dengan Perempuan Muda di Hotel Amerika

Buya Hamka adalah sosok ulama tangguh. Bukan hanya dalam memegang prinsip dan memperjuangkan Islam, namun juga menghadapi godaan dunia.

Usia Buya Hamka 44 tahun ketika ia diundang sebagai tamu kehormatan di Amerika Serikat pada tahun 1952. Selama dua bulan, ia keliling negeri Paman Sam itu. Sendirian, tidak ditemani oleh istri maupun keluarga.

Malam itu, Buya Hamka beristirahat di sebuah hotel di Denver. Terdengar suara ketuk pintu, beberapa saat setelah ia shalat. Rupanya, seorang pelayan hotel. Dengan senyum simpul penuh hormat, pelayan itu menawarkan barangkali butuh ditemani perempuan muda.

Buya Hamka mengakui, saat itu dorongan hasrat lelaki memang sedang bergetar. Hampir dua bulan ia sendirian di negeri yang jauh ini. Pun tidak ada orang yang mengenalnya; tidak santri tidak pula kawannya. Tidak ada yang tahu seandainya ia menerima tawaran itu.

Namun, Buya Hamka sadar dirinya baru saja sholat jamak qashar Maghrib dan Isya’. Bahkan bekas wudhu masih basah.

“Yang teringat saat melihat senyum simpul pemuda itu adalah sholat. Kalau tidur dengan perempuan lain meskipun istriku tidak tahu, bagaimana besok saya sholat Subuh? Bagaimana saya membaca dalam iftitah (yang artinya) ‘Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku semuanya untuk Allah Rabbul ‘alamin. Tiada sekutu bagiNya. Demikianlah aku diperintahkan dan aku adalah salah seorang yang berserah diri,’” kenangnya mengabadikan peristiwa itu dalam Tafsir Al Azhar saat menjelaskan surat Al Ankabut ayat 45.

“No, thank you,” demikian jawaban tegasnya lalu menutup pintu kamar hotel itu dan beristirahat.

Paginya, ketika sholat Subuh, Buya Hamka merasakan sholat kali itu lebih khusyu’ dan jauh lebih berkesan daripada sebelumnya.

Demikianlah sholat yang benar, mampu mencegah seorang mukmin dari perbuatan keji dan munkar.

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Dirikanlah shalat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari yang keji dan munkar… (QS. Al Ankabut: 45)

Bagaimana dengan sholat kita? Semoga juga bisa mencegah kita dari perbuatan keji dan munkar sebagaimana sholatnya Buya Hamka. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

 

BERSAMA DAKWAH

Asal Usul Nama Masjid Al-Azhar di Kebayoran

MASYARAKAT DKI Jakarta tahukah Anda apa masjid agung tertua di kota metropolitan ini? Masjid Agung Al-Azhar lah jawabannya.

Masjid ini mulai dibangun pada 19 November 1953 selesai dibangun pada 1958. Masjid yang memakan waktu 5 tahu ini masih berdiri kokoh nan cantik hingga kini.

Berada dikawasan Kebayoran, membuat masjid agung tersebut sempat bernama Masjid Agung Kebayoran pada awal berdirinya. Dahulu, ada seorang yang meramaikan kegiatan keagamaan di masjid tersebut, yaitu Buya Hamka.

Buya Hamka adalah figur ulama dan sasatrawan, sekaligus imam masjid pada 1958. Cerita berubahnya nama masjid agung sendiri berawal dari sosok Buya Hamka yang mengenal Rektor Universitas Al-Azhar Kairo pada waktu itu.

Mulanya, pada 1959 Buya Hamka diundang ke Universitas Al-Azhar Kairo untuk mendapat gelar doktor Honoris Causa. Kemudian, pada kunjungannya Rektor Universitas Al-Azhar Prof. Dr. Mahmoud Zakzouk, pada 1960, diakhir sambutannya ia menambahkan nama di belakang masjid, menjadi Masjid Agung Al-Azhar.

Bangunan masjid terpengaruh dari Arab Saudi dan Mesir, membuat masjid masih tampak anggun, walau sudah berumur. Masjid Agung Al-Azhar dapat menampung sebanyak 3.500 orang jamaah.

Suasana sejuk dan nyaman akan Anda rasakan ketika beribadah salat di masjid tersebut. Masjid memiliki langit-langit yang tinggi sehingga memberikan kesan luas, ditambah dengan terdapatnya banyak pintu dan jendela membuat ruangan salat kian sejuk, karena pertukaran udara yang cepat.

Tidak hanya itu, karpet yang menjadi alas salat para jamaah pun terasa begitu lembut dan tebal, hingga terasa empuk ketika bersujud.

Warna Masjid Agung Al-Azhar yang didominasi putih membuat masjid terlihat seperti Masjid Quba di Madinah. Bentuk kubahnya juga terlihat mirip walau Masjid Agung Al-Azhar hanya memiliki satu kubah.

“Majid Agung Al-Azhar memiliki 4 orang imam tetap. Namun, khusus Ramadan selain ada imam tetap, ada juga Hasanudin Sinaga yang suaranya khas itu,” ucap H. Zainul Arifin, Sekretaris Pengurus Masjid Agung Al-Azhar, saat diwawancarai Okezone.

(fid)

 

OKEZONE

Fakta Unik Buya Hamka, Sang Ayah, dan Universitas Al-Azhar

Umat Islam Indonesia boleh berbangga hati memiliki sosok Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981). Tokoh yang akrab disapa Buya Hamka itu bukan hanya ulama terkemuka, melainkan juga sastrawan dan intelektual sekaligus.

Rupanya, kepiawaian Buya Hamka seturut dengan ayahanda, Syekh Abdul Karim Amrullah. Ayah beliau merupakan pendiri dan sekaligus guru Sumatera Thawalib Padang Panjang.

Dalam sebuah bukunya, Taufiq Ismail (2011) menuliskan fakta unik tentang hubungan ayah-anak tersebut. Khususnya, soal pengakuan dunia internasional akan taraf keilmuan mereka.

(Ayahanda Buya Hamka) dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Al-Azhar, Kairo, pada tahun 1926. Beliau lebih dikenal dengan julukan Haji Rasul, Inyik Doktor atau Inyik DR. Buya Hamka mendapat penghargaan yang serupa 35 tahun kemudian, pada tahun 1961, orang ketiga dari Indonesia. Sebagai ayah dan anak, mereka (Buya Hamka dan ayahnya) pasangan pertama yang mendapat kehormatan tinggi tersebut,” tulis Taufiq Ismail dalam KH A. Gaffar Ismail Setengah Abad Membina Ummat di Pekalongan. (2011, hlm.12).

Di buku itu, Taufiq Ismail antara lain memaparkan keunggulan generasi ulama lulusan sekolah-sekolah di Bukittinggi dan Padang Panjang dasawarsa 1930-an. Salah satunya, KH Abdul Gaffar Ismail, yakni ayahanda Taufiq Ismail sendiri. Kiai Gaffar merupakan alumnus Sumatera Thawalib Padang Panjang. Dengan demikian, satu kelas dengan Buya Hamka.

Karena itu, persahabatan Kiai Gaffar dan Buya Hamka sebenarnya sudah terbina sejak belia. Keduanya—dan para murid Sumatera Thawalib lainnya—merupakan murid Syekh Ibrahim Musa. Sang guru pernah belajar di Masjidil Haram pada Syekh Ahmad Chatib, ulama kharismatik asal Koto Gadang, Sumatra Barat.

Sebagai informasi, pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari juga merupakan murid Syekh Ahmad Chatib selama di Mekkah. Lantas, siapa orang ketiga asal Indonesia yang dianugerahi gelar kehormatan dari Universitas Al-Azhar? Dialah pendiri Diniyah Puteri Padang Panjang, Syaikhah Rahmah el-Yunusiah.

“Etek Rahmah adalah perempuan pertama yang mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo, pada tahun 1957, orang kedua dari Indonesia sesudah Haji Rasul,” jelas Taufiq menambahkan.

 

 

sumber: Republika Online

Tips Buya Hamka Menyelamatkan Diri dari Ganasnya Siksaan Penjara

Tips Buya Hamka Menyelamatkan Diri dari Ganasnya Siksaan Penjara. Cukuplah Allah sebagai Pelindung!!

 

Betapapun beratnya ujian hidup, seorang muslim harus tetap bertauhid kepada Allah Ta’ala. Sadisnya siksaan penjara dan ganasnya intimidasi rezim yang mengancam nyawa sekalipun, tak boleh membuat para aktivis, pejuang dan mujahid Islam mengorbankan aqidahnya. Dalam kondisi nyawa terancam diujung bedil maupun setrum, harus diteguhkan dalam jiwa bahwa “Cukuplah Allah sebagai Pelindung!!”

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ وَيُخَوِّفُونَكَ بِالَّذِينَ مِنْ دُونِهِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya. Dan mereka mempertakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah? Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak seorangpun pemberi petunjuk baginya” (Qs Az-Zumar 36).

Kekuatan aqidah seperti itu ditulis Buya Prof Dr Yuhanar Ilyas dalam rubrik Khazanah REPUBLIKA, berikut ikhtisarnya:

Saat menulis Tafsir Al-Azhar Surah Az-Zumar ayat 36 Buya Hamka memasukkan beberapa pengalamannya saat berada di penjara.

“Bukankah Allah cukup sebagai Pelindung hamba-Nya…” Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati. Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam tahanan di Sukabumi, akhir Maret 1964, sebagai berikut:

…Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di tahanan, Buya Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Hamka tetap dengan pendirian, bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya…

“Inspektur polisi yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder buat menyadap pengakuan saya.

Dia masuk dengan muka garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai menurun.

Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata, “Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah dahulu malam ini,” ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.

Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas tidak ada orang yang melihat, dia bersalam dengan saya sambil menangis, diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, “Alhamdulillah bapak selamat! Alhamdulillah!”

“Mengapa,” tanya saya.

“Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan Bapak, Bapak bisa pingsan dan kalau sampai maksimum bisa mati,” jawabnya dengan berlinang air mata.

“Bapak sangka tape recorder,” jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada Tuhan.

“Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik,” kata anak itu.

Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di tahanan, Buya Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M datang membawa bungkusan malam itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya. [AW/Infaq Dakwah Center]

 

sumber:Panji Mas

Terima Ajakan Agus Salim, Hamka Pulang

Waktu berhaji jatuh pada musim panas. Wukuf di Arafah bukan main panasnya. Banyak orang mati. Hamka pun tak luput dari serangan panas. Ia ditimpa sakit kepala dan tak dapat berjalan ke mana-mana.

Darah mengalir dari hidung. Ia tak sadarkan diri hingga lepas tengah malam. Hamka teringat ayah bundanya. Begitu mudah orang mati, sampai ia merasa barangkali tentu akan mati.

Syukur, ia kembali sehat dan melengkapkan rukun haji. Kebiasaan zaman itu, selepas menunaikan haji, semua berkumpul di hadapan syeikh masing-masing.

Syeikh akan memasangkan serban dan mengganti nama haji yang diinginkan si empu. Uang seringgit tak lupa melompat ke kantong Syekh setelah prosesi.

Tapi, Hamka tak mau mengikuti adat itu. “Buat apa? Serban itu bagiku tak perlu, dan nama yang telah diberikan ayahku kepadaku tidak akan kutukar! Ini hanya perbuatan khurafat semua,” kata Hamka membatin.

Saat orang sibuk membicarakan kepulangan, Hamka terbelah; mukim atau pulang. Seorang teman menyarankan untuk mukim barang setahun. Hamka sempat ragu.

Apalagi, Tuan Hamid sedia menerimanya kembali. Niat mukim itu lenyap setelah Hamka bertemu Haji Agus Salim. Hampir seminggu Hamka menyediakan diri jadi khadam (pelayan) Agus Salim.

“Apa yang akan engkau tunggui di sini? Lebih baik pulang. Banyak pekerjaan penting berhubung dengan pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat dikerjakan di Indonesia,” kata Agus Salim pada anak muda yang belum genap 20 itu.

Perjalanan pulang dari Makkah ke Jeddah terpaksa ditempuhnya dengan berjalan kaki. Hamka sudah tak punya uang. Payah, letih, ia berjalan bersama seorang kawan yang juga kehabisan uang.

Di tengah jalan, mereka kehabisan roti dan air minum. Beruntung, tampak dua orang Afghanistan bernaung di bawah pohon, juga dalam perjalanan ke Jeddah. Mereka berbagi makanan. Sampai di Bahra, tak kuat lagi Hamka dan kawannya berjalan.

Terpaksalah mereka menyewa keledai dengan uang seadanya. Sore berangkat, tengah malam tiba di Jeddah. Hanya dua malam di kota itu, kapal ke Buitenzorg berangkat. Sabang tampak dari kejauhan setelah 15 hari terapung di lautan.

Memoar ini termasuk kisah perjalanan haji yang mula-mula ditulis pribumi. Hamka dalam hal ini menggunakan sudut pandang orang ketiga dia’ dengan ungkapan pemuda kita.

Artinya, ia menempatkan diri sebagai objek pengamatan yang berjarak, sekaligus hendak menjadi bagian dari pembaca. Suatu gaya yang menurut Indonesianis asal Perancis, Henri Chambert-Loir, “modern, pintar, dan menarik.”

 

sumber: Republika Online

Bila Hamka Naik Haji

“Pada permulaan Februari 1927, pemuda kita meninggalkan pelabuhan Belawan, menuju Jeddah; menumpang kapal Karimata kepunyaan Sttomvaart Maatschappij Netherland,” tulis pemuda kita dalam Kenang-Kenangan Hidup (1950), sebuah memoar perjalanan haji keluaran penerbit Gapura, Jakarta.

Pemuda kita itu bernama Hamka. Lengkapnya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia ulama, aktivis, mubaligh, sekaligus sastrawan yang masyhur. Hamka menunaikan ibadah haji tahun 1927, tapi memoar ini ditulisnya tahun 1950.

Sewaktu Hamka lahir, Haji Rasul pernah berjanji mengirim anak laki-laki pertamanya ini ke Makkah setelah berusia 10 tahun. Tapi, janji itu tak dapat ditepati lantaran beberapa alasan. Karena itu, keputusan Hamka naik haji tahun 1927 adalah semacam pembuktian, sekaligus pemenuhan.

Kepada ayah dan andung-nya, pemuda itu tak menuturkan kemana hendak pergi. Ia hanya berkata hendak pergi ke tempat yang jauh. Tak ada uang saku. Hanya andung-nya, yang memberikan dua gulden hasil penjualan kapuk.

Hamka memperoleh uang untuk membeli tiket pulang pergi berkat bantuan Isa, temannya di Siantar. Ia baru berusia 19 tahun, saat kapalnya meninggalkan laut Ceylon.

Lantaran pandai mengaji Alquran, di atas kapal Hamka amat dihormati. Orang memanggil dengan sebutanajengan.

Ia bahkan ditawari kawin dengan seorang gadis Bandung yang memang telah menawan hatinya, tapi Hamka menolak. Sewaktu itu, kata Hamka, biasa saja orang menikah di atas kapal.

Orang sangat banyak naik haji tahun itu. Tak kurang 64 ribu orang dari Indonesia. Kabar kemenangan Ibnu Sa’ud dan kenaikan harga getah, menyebabkan orang banyak naik haji.

Tahun sebelumnya, dua pemimpin besar Indonesia, HOS Tjokroaminoto dan KH Mas Mansur juga baru saja pulang dari Makkah menghadiri Muktamar Islam. Semangat pergerakan Islam sedang berkembang.

Pemuda kita tak ketinggalan dalam aktivitas pergerakan. Bahasa Arabnya paling fasih dari yang lain. Ia pun dipercaya memimpin delegasi menemui putra Raja Saud, Amir Faishal, serta Imam Besar Masjidil Haram.

Pada kesempatan lain, Hamka bahkan sempat menjajal bertemu Raja Saud, meski gagal. Mereka minta izin memberi ceramah agama dan manasik haji bagi jamaah Indonesia di Masjidil Haram.

Ini memicu pertengkaran pertama Hamka dengan syekh (pemandu haji)-nya, yang berlanjut sampai akhir perjalanan berhaji.

Selama di Tanah Suci, Hamka sangat kekurangan uang. Ia bekerja di percetakan Tuan Hamid Kurdi, mertua ulama Minangkabau, Syekh Ahmad Chatib.

Hampir dua bulan ia di sana. Tak hanya bekerja, tapi juga menyelami buku-buku Tuan Hamid. Baru setelah tiba musim haji, Hamka pamit.

 

sumber: Republika Online

9 Tanda Orang Berakal Menurut Buya Hamka

“Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukan buat dirinya sendiri,” ujar Buya Hamka

SATU bukti Islam sebagai agama yang menghargai akal dapat dibuktikan dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an, baik yang tersurat maupun tersirat memerintahkan umatnya untuk berpikir dengan memperhatikan apa saja yang ada di dunia ini, bahkan di dalam diri manusia itu sendiri.

Sebagaimana firman-Nya:

وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 21).

Dengan demikian, sungguh beruntung umat Islam, karena kitab sucinya justru mendorongnya untuk mempergunakan akalnya secara maksimal guna mengetahui hingga haqqul yaqin kebenaran ajaran Islam. Oleh karena itu seorang Muslim itu idealnya adalah orang yang benar-benar memanfaatkan akalnya.

Menurut Buya Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam bukunya Falsafah Hidup orang berakal itu memiliki tanda-tanda nyata dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.

Pertama, orang berakal itu luas pandangannya kepada sesuatu yang menyakiti atau yang menyenangkan. Pandai memilih perkara yang memberi manfaat dan menjauhi yang akan menyakiti. Dia memilih mana yang lebih kekal walaupun sulit jalannya daripada yang mudah didapat padahal rapuh. Jadi, akhirat lebih utama bagi mereka dibanding dunia.

Kedua, orang berakal selalu menaksir harga dirinya, yakni dengan cara menilik hari-hari yang telah dilalui, adakah dipergunakan kepada perbuatan-perbuatan yang berguna, dan hari yang masih tinggal ke manakah akan dimanfaatkan. Jadi, tidak ada waktu yang digunakan untuk hal-hal yang tidak berfaedah, apalagi sampai menguliti kesalahan atau aib orang lain.

Ketiga, orang berakal senantiasa berbantah dengan dirinya. Sebelum melakukan suatu tindakan, ada timbangan yang digunakan, apakah yang dilakukannya baik atau jahat dan berbahaya. Kalau baik, maka diteruskan, jika berbahaya segera dihentikan.

Keempat, orang berakal selalu mengingat kekurangannya. Bahkan, kata Buya Hamka, “Kalau perlu dituliskannya di dalam suatu buku peringatan sehari-hari. Baik kekurangan pada agama, atau pada akhlak dan kesopanan. Peringatan diulang-ulangnya dan buku itu kerapkali dilihatnya untuk direnungi dan diikhtiarkan mengasur-angsur mengubah segala kekurangan itu.”

Kelima, orang berakal tidak berdukacita lantaran ada cita-citanya di dunia yang tidak sampai atau nikmat yang meninggalkannya. Buya Hamka menulis, “Diterimanya apa yang terjadi atas dirinya dengan tidak merasa kecewa dan tidak putus-putusnya berusaha. Jika rugi tidaklah cemas, dan jika berlaba tidaklah bangga. Karena cemas merendahkan hikmah dan bangga mengihilangkan timbangan.”

Keenam, orang berakal enggan menjauhi orang yang berakal pula. Artinya, temannya adalah orang yang berhati-hati dalam hidupnya, sehingga terjaga komitmennya dalam memegang risalah kebenaran.

Ketujuh, orang yang berakal tidak memandang remeh suatu kesalahan.

“Walaupun bagaimana kecilnya di mata orang lain. Dia tidak mau memandang kecil suatu kesalahan. Karena bila kita memandang kecil suatu kesalahan, yang kedua, ketiga, dan seterusnya, kita tidak merasa bahwa kesalahan itu besar, atau tak dapat membedakan lagi mana yang kecil dan mana yang besar.”

Kedelapan, orang yang berakal tidak bersedih hati. Buya Hamka menulis, “Orang yang berakal tidak berduka hati. Karena kedukaan itu tiada ada faedahnya. Banyak duka mengaburkan akal. Tidak dia bersedih, karena kesedihan tidaklah memperbaiki perkara yang telah terlanjur. Dan, banyak sedih mengurangi akal.”

Kesembilan, orang berakal hidup bukan untuk dirinya semata, tetapi untuk manusia dan seluruh kehidupan. Buya Hamka menulis, “Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukat buat dirinya sendiri.”

Demikianlah sembilan tanda orang berakal menurut Buya Hamka. Dan, lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa orang berakal itu hanya memiliki kerinduan kuat pada tiga perkara. Pertama, menyediakan bekal untuk hari kemudian. Kedua, mencari kelezatan buat jiwa. Dan, ketiga, menyelidiki arti hidup.

Subhanallah, uraian Buya Hamka ini sangat berfaedah buat kita semua untuk mengukur diri, apakah selama ini telah memanfaatkan akal sebaik-baiknya, atau justru sebaliknya. Tetapi, apapun yang telah berlalu, sekarang adalah saatnya kita meningkatkan iman dan taqwa dengan memaksimalkan fungsi dan peran akal sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Wallahu a’lam.*

Rep: Imam Nawawi

Editor: Cholis Akbar