Kisah Di Balik Fatwa Natal Buya Hamka

Menelisik fatwa Natal dari Buya Hamka

Beberapa waktu lalu, aksi kristenisasi di Indonesia menuai berbagai kecaman dan meresahkan masyarakat, terutama umat Islam. Masih hangat di ingatan kita, seorang nenek berjilbab yang sedang berjalan kaki dalam Car Free Day (CFD), tiba-tiba dijegat dan dipaksa berdoa kepada Yesus oleh misionaris.[1] Kemudian pada kasus lain, Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) tidak menyetujui aturan Polri tentang pemakaian jilbab bagi Polwan.[2] Tampaknya kristenisasi di Indonesia bak barang bekas yang terus didaur ulang.

Sebab sejak masa penjajahan, negeri Muslim terbesar di dunia ini dibidik sebagai sasaran empuk oleh Misi Kristen. Ketika penjajah Portugis berhasil menduduki Malaka, Panglima Perang Alfonso Dalbuquerque berpidato,

 “Adalah suatu pemujaan yang sangat suci dari kita untuk Tuhan dengan mengusir dan mengikis habis orang Arab dari negeri ini, dan dengan menghembus padam pelita pengikut Muhammad sehingga tidak akan ada lagi cahayanya di sini buat selama-lamanya,”

Kemudian disambungnya,” Sebab saya yakin kalau perniagaan di Malaka ini telah kita rampas dari tangan kaum muslimin, habislah riwayat Kairo dan Makkah, dan Venesia tidak akan dapat lagi berniaga rempah-rempah kalau tidak berhubungan dengan Portugis.”[3]

Penjajah Belanda juga sangat berambisi melakukan aksi kristenisasi. Alb C Kruyt (Tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum mengakui, “Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini diakui bahwa kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.”[4]

Pemerintah kolonial juga telah mencoba untuk mengatur perkawinan di masyarakat, yang secara langsung bersinggungan dengan umat Islam di Indonesia, sebagai mayoritas rakyat Indonesia.

Pada tahun 1937, Pemerintah kolonial Belanda mencoba mengajukan undang-undang perkawinan yang mewajibkan umat Islam untuk mencatatkan pernikahannya, dan mewajibkan monogami serta melarang suami menceraikan istri secara sepihak.

Sontak undang-undang ini menuai reaksi keras dari umat Islam saat itu, sehingga pemerintah kolonial pun membatalkannya. Namun di lain sisi, sejak tahun 1933, pemerintah kolonial telah memberlakukan Undang-undang perkawinan untuk Kristen pribumi yang disebut HOCI(Huwelijkes Ordonnantie Christen Indonesiers), dan tetap dipertahankan oleh pemerintah Indonesia setelah merdeka.[5]

Momentum kristenisasi di Indonesia terjadi ketika konflik besar ideologis antara Islam bersama kaum nasionalis melawan komunisme yang diwakili Partai Komunis Indonesia (PKI).

Eskalasi konflik ini mampu ditangkap pihak gereja dengan menawarkan jaminan keselamatan politik bagi mereka yang menganut Kristen. Sebagaimana diungkapkan oleh Jeff Hammond, misionaris asal Amerika Serikat yang berkarya di Indonesia.

“Setelah peristiwa G30S/PKI, terjadi masa kairos (bahasa Yunani untuk waktu kesempatan) di Indonesia sehingga dalam enam tahun (1965-1971) ada lebih dari tujuh juta orang di pulau Jawa yang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Tuaian itu telah berjalan terus dan banyak gereja di mana-mana telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan berbagai gerakan yang mulai lahir telah berdampk selama tahun 1970-1980-an.”[6]

Aksi-aksi zending dan misi Kristen Barat kala itu dilakukan dengan memaksakan berbagai jalan serta tipu daya, seperti bujukan dengan uang dan harta, mulut manis, beras, gula-gula permen dan bonbon agar umat Islam menukar agamanya dengan agama Kristen.[7]Ketegangan antar umat Islam dan umat Kristen pun akhirnya terjadi.

Di Makassar, seorang guru beragama Kristen memuntahkan kata-kata nista kepada murid-muridnya yang mayoritas muslim.  Dia katakan, “Nabi Muhammad SAW adalah seorang pezina. Nabi Muhammad adalah seorang yang bodoh dan tolol. Sebab dia tidak pandai menulis dan membaca.”

Akibatnya pada malam 1 Oktober 1967, beberapa gereja di Makassar dirusak dan dipecah kaca-kacanya oleh para pemuda Islam.[8]  Sungguh aksi pemuda Islam ini melukai Kaum Kristen dan kita sesali kejadian yang  tidak baik itu.

Namun Tokoh Masyumi, M.Natsir memandang hendaknya persoalan ini tidak dilihat secara symptomatis approach, yaitu dengan hanya melayani gejala yang kelihatan. Ibarat orang yang sakit malaria, kepalanya panas lantas diberi kompres dengan es, tidaklah akan menghilangkan penyakit malaria itu. Harus dicari sebab hakiki dari penyakit itu sendiri. Karena panas kepala hanya suatu gejala dari orang yang sakit malaria. Islam punya kode yang positif tentang toleransi sesama beragama yang tidak perlu dikhawatirkan oleh orang beragama lain. Tetapi kalau pihak Kristen yang unggul dalam arti materiil dan intelektuil mengkristenkan orang-orang Islam, ini melahirkan satu ekses yang serius. [9]

Apabila guru Kristen tadi tidak memancing-mancing dengan menghina Nabi Muhammad SAW di depan murid-muridnya, tentu umat Islam tidak akan merusak gereja-gereja itu. Kalau merusak gereja, memang ajaran Islam, sudah lamalah beratus-ratus gereja di Makassar dirusak. Namun puluhan tahun sebelum pemuda tadi merusak, telah banyak gereja-gereja berdiri di tengah kota Makassar.

Kemudian aksi kristenisasi di Meulaboh, Aceh yang 100% penduduknya Islam, kaum Kristen mendirikan gereja. Di Toba, mereka berpindah ke daerah kampung-kampung orang Islam, lalu mereka melepaskan babi dan membakar anjing untuk dimakan. Lantaran merasa jijik, orang Islam itu lari meninggalkan kampung halamannya.

Akibatnya, langgar-langgar menjadi sepi, dan gereja-gereja banyak berdiri. Di Sumatera Barat, ratusan orang zending Kristen berkedok jadi penjual kain. Lalu terjadi kekacauan –kekacauan yang tidak diinginkan. Akhirnya, pemerintah daerah terpaksa mempersilahkan mereka pulang saja ke kampung halamannya.

Di Bukittinggi, dengan topeng mendirikan rumah sakit, mereka mempropagandakan agama Kristen. Masyarakat Bukittinggi yang dipimpin ninik-mamak dan ulama keberatan dengan hal itu. Kemudian menteri agama melarang pembangunan gereja di dalam rumah sakit itu demi menjaga keamanan.

Setelah keluar larangan Menteri Agama, tiba-tiba dalam masa beberapa Minggu saja, keluarlah maklumat dari pihak Tentara di Bukittinggi, bahwa tentara mengizinkan Baptist membangunan rumah sakit dengan segala fasilitasnya, termasuk gereja, di atas tanah milik militer. Jelas sekali bahwa Baptist yang dipimpin oleh warga negara Amerika itu telah mengadu domba Kementerian Agama dan Militer.

Kemudian di Pulau Banyak. Sudah puluhan tahun orang Aceh di Pulau Banyak dan orang Nias di Pulau Nias hidup berdampingan secara damai. Banyak orang Nias yang beragama Kristen datang ke Pulau Banyak, mencari penghidupan di sana. Dan tidak ada gangu mengganggu.

Namun, program zending dan misi mengacaukan kedamaian itu. Akibatnya, kedatangan mereka menjadi agresif. Mereka menyerbu wilayah Pulau Banyak dan memaksakan kehendak untuk mendirikan gereja di atas tanah umat Islam yang jumlahnya 90% itu. Mereka seakan-akan menjadi tuan di pulau itu.

Ulama Besar Aceh, Teungku Daud Beureueh lalu menegur cara curang mereka. Kemudian ributlah surat-surat kabar Kristen memutar-balikkan duduk persoalan. Mereka kampanye bahwa orang-orang Aceh mengusir orang-orang Kristen dari Aceh.  Di Ambon, kaum Kristen leluasa membakar kedai-kedai dan toko-toko orang Islam.  Di Flores, beberapa pemimpin dan pemuka Islam hilang.[10]

Ketegangan juga terjadi di pemerintahan. Menghadapi wabah kristenisasi tadi, pada tahun 1967, Presiden Soeharto menganjurkan pemimpin-pemimpin agama mengadakan musyawarah untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama.

Maka, dibuatlah oleh Presiden Soeharto sebuah piagam yang isinya mengatur pelaksanaan dakwah agar tidak terjadi bentrokan.

Di antara draft konsep piagam itu disebutkan agar penyebaran satu agama tidak ditujukan pada orang yang telah menganut agama lainnya. Dan supaya bantuan-bantuan untuk organisasi agama yang datang dari luar negeri, diketahui oleh pemerintah.

Kedua isi piagam itu disebabkan oleh propaganda Kristen yang selalu ditujukan pada orang Islam.  Sehingga orang Islam merasa resah dan terganggu oleh propaganda itu. Juga karena dana propaganda Kristen masuk ke Indonesia dari sumber-sumber di luar negeri yang berlimpah tanpa sepengetahuan pemerintah.

Namun, pihak Kristen dengan sangat arogan menolak piagam itu. Mereka dengan terus terang mengatakan penyebaran agama Nasrani kepada orang Islam adalah sebagai missi suci. M. Natsir yang turut hadir dalam musyawarah itu kemudian menyatakan bahwa bagi umat Islam, dakwah Islam juga suatu missi yang suci,

“Kalau orang Kristen karena missinya tak mau tunduk aturan, kami pun boleh melakukannya. Kalau kami mati untuk itu, kami syahid, akan tetapi negara dan bangsa Indonesia akan hancur,” tangkis perdana menteri pertama Indonesia ini.

Karena musyawarah tak bisa diteruskan. Akhirnya Menteri Agama Alamsyah berdasarkan pada seruan Presiden Soeharto itu, mengeluarkan dua buah Surat Keputusan yang bernomor 70 dan 77. Kedua surat keputusan menteri agama itu berisi peraturan penyebaran agama. Masing-masing orang tidak boleh dengan secara leluasa memurtadkan orang dari agama yang telah dianutnya apalagi  dengan bujukan uang dan beras. Tidak boleh pula ada bantuan luar negeri kepada badan-badan agama, kecuali dengan izin pemerintah. Surat keputusan menteri agama itu disetujui oleh Presiden Soeharto dan anggota-anggota kabinet seluruhnya. Namun pihak Kristen dan Katholik menentangnya dengan keras.

Semua organisasi Kristen mengeluarkan bantahan. Dewan Tertinggi Gereja Katholik dan Protestan mengeluarkan buku putih menuduh Menteri Agama Alamsyah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Koran-koran mereka setiap hari melancarkan kritik kepada menteri agama. Meskipun demikian pemerintah Indonesia, terutama Soeharto sendiri menyatakan bahwa surat keputusan menteri agama itu juga keputusan pemerintah.

Mendengar keputusan pemerintah itu, orang Kristen dan Katholik untuk sementara waktu berdiam diri. Akan tetapi dengan secara rahasia mereka mengatur siasat. Mereka memanggil ahli-ahli hukum Kristen untuk menyusun konsep menuntut Menteri Agama Alamsyah ke muka mahkamah. Kemudian mereka mengadakan kampanye secara besar-besaran menyambut hari “Hak Asasi Manusia” yang jatuh setiap tanggal 10 Desember.

Menurut pihak Kristen, Menteri Agama Alamsjah telah melanggar HAM. Puncak dari kampanye menentang agama itu pada waktu hari Natal saat itu.[11]

Setahun kemudian, pada tahun 1968, dalam pidato di muka DPR-GR, Soeharto sekali lagi memberikan peringatan. Suharto menegaskan,

” Oleh karena itu praktik-praktik penyebaran agama dengan paksaan atau tipu daya adalah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Orang yang merasakan bahwa agamanya terdesak, sebenarnya orang yang lemah imannya dan kurang mengamalkan ajaran agama itu sebaik-baiknya.”[12]

Demi menjaga stabilitas antar umat Islam dan Kristen, muncul perintah  yang menggelikan dari beberapa orang Kepala Jawatan dan juga beberapa orang Menteri Kabinet Pembangunan, yaitu menyatukan peringatan hari lebaran idul fitri dan natal menjadi lebaran natal.

Seperti diketahui, tahun 1968 adalah tahun yang unik di Indonesia. Sebab umat Islam berhari raya Idul fitri sampai dua kali, yaitu 1 Januari dan 21 Desember 1968. Secara panjang lebar, dalam buku Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik, Buya Hamka mengisahkan situasi saat itu:

“Dalam sambutan peringatan hari lebaran natal itu, Kepala Jawatan atau Menteri, atau Jenderal menyampaikan demi kesaktian Pancasila yang wajib kita amalkan dan amankan dalam lebaran natal ini, kita menanamkan dalam hati kita sedalam-dalamnya tentang arti toleransi. Dan diaturlah acara mula-mula membaca Al-Qur’an oleh seorang pegawai yang pandai mengaji.

Kemudian diiringi oleh seorang pendeta atau Pastor yang sengaja diundang, dengan membacakan ayat-ayat injil, terutama yang berkenaan dengan kelahiran ‘Tuhan’ Yesus. Yesus Kristus Juru Selamat Dunia, Anak Alah yang Tunggal, tetapi dia sendiri adalah Alah Bapak juga, menjelma ke dalam tubuh Santa Maria yang suci, untuk kemudian lahir sebagai manusia.

Tentu saja yang lebih banyak hadir dalam pertemuan lebaran natal itu adalah orang-orang Islam daripada orang-orang Kristen. Orang Islam diharuskan mendengarkan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Alah beranak, dan Yesus ialah Alah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad SAW dengan tenang. Padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi, melainkan penjahat. Dan Al-Qur’an bukanlah kitab suci, melankan buku karangan Muhammad saja.

Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Al-Qur’an, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima. Kemudian datanglah komentar dari protokol, bahwa semuanya itulah yang bernama toleransi, demi kesaktian Pancasila!

Dan sebagai penutup disuruh kemuka seorang Kyai membaca do’a, seluruh hadirin yang Islam membaca amin. Pihak Kristen duduk berdiam diri, dan kita tahu apa yang terasa dalam hatinya, yaitu muak dan mual. Kemudian naik pula yang pendeta menyebut do’a-do’a hari natal. Dan semua orang Islam berdiam diri saja, dan kita pun tahu apa yang ada dalam hati mereka.

Pada hakikatnya, mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keteragan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau tidak diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.

Sementara sang Pastor dan Pendeta menerangkan dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus. Telinga orang islam muntah mendengarkan.

Bertambah mendalam orang-orang beragama itu meyakini agamanya, bertambah muntah telinganya mendengarkan kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan pokok akidah agamanya.

Pimpinan Pusat Ikatan Pemuda Muhammadiyah sudah menjelaskan bahwa do’a bersama dalam hari-hari peringatan, tidaklah dibolehkan dalam ajaran Islam. Do’a demikian pun tidak akan dapat diterima karena do’a adalah ibadah dan ada sendiri ketentuannya. Orang Islam meminta kepada Tuhan Allah yang satu, yang tidak ada syarikat bagi-Nya. Sedankan Pastor dan Pendeta akan berdo’a kepada Alah Bapak, Alah Putera, dan Alah Roh Kudus.

Semangat toleransi yang sejati dan logis ialah ketika orang Islam berdo’a, orang Kristen meninggalkan tempat berkumpul. Dan ketika Pastor berdo’a kepada Tiga Tuhan, orang Islam keluar.” [14]

Dalam sebuah khutbah Jum’at di Masjid Agung Al-Azhar, Buya Hamka mengingatkan,

” Haram hukumnya bahkan kafir bila ada orang Islam menghadiri upacara natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti dia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik. Ingat, dan katakan pada kawan-kawan yang tidak hadir di sini. Itulah aqidah tauhid kita,” tegasnya dengan suara lantang.[14]

Itulah sikap Buya Hamka mengenai acara lebaran natal bersama ini, yang berlanjut menjadi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Buya Hamka yang ketika itu menjadi ketuanya, memutuskan bahwa natal dan idul fitri bersama haram hukumnya.

Mendengar fatwa ini, pemerintah melalui Menteri Agama Alamsyah lalu meminta supaya fatwa itu dicabut. Namun Buya Hamka memilih meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI. Bagaimana sebenarnya Buya Hamka menghadapi permintaan pemerintah sampai akhirnya mengundurkan diri sebagai Ketua MUI?

Berikut penuturan anaknya, Rusydi Hamka  dalam buku yang berjudul Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr.Hamka:

“Setelah ayah bersama pimpinan harian MUI menghadiri pertemuan dengan Menteri Agama Alamsyah di Departemen Agama, baju kaos Ayah agak basah karena keringat dan wajahnya tampak murung. Berceritalah dia tentang kehebohan fatwa MUI. ‘Ada ketegangan antara MUI dengan Menteri Agama, tapi tadi bisa didinginkan… Tampaknya MUI akan sulit mengeluarkan fatwa-fatwa lagi nanti.’ 

Tiba-tiba saat kami sedang berbicara, Sekretaris Harian MUI Mas’udi masuk. Setelah duduk mendengarkan cerita ayah dan saya, Mas’udi dengan wajah sedih bercerita bahwa dia telah menerima surat keputusan, dia ditarik dari kedudukannya sebagai sekretaris MUI gara-gara menyiarkan fakta itu. 

Ayah terkejut mendengarnya. Setelah melihat surat itu, dia lalu menyuruh saya membacanya keras-keras.

Tiba-tiba ayah berdiri, mengambil telepon minta bicara dengan Menteri Agama. Jawabannya beliau tidak ada di tempat. 

‘Kalau begitu saya mau bicara dengan Sekjen,’ ujar ayah lagi.

Setelah menunggu beberapa saat, telepon pun tersambung dengan Pak Sekjen Ali Siregar. Saya tak tahu apa jawanban dari Sekjen Departemen Agama itu di seberang sana, yang saya dengar ialah suara ayah karena saya berada di situ. 

‘Saudara kan tahu, soalnya sudah selesai, saya sudah bilang tadi kepada Menteri bahwa beredarnya fatwa itu adalah tanggung jawab saya. Dan saya pun sudah menyatakan bahwa sayalah yang menerima akibat peredaran itu.’

Telepon diletakkan dengan keras, lalu ayah kembali ke tempat duduknya dengan menggelengkan kepalanya.

‘Apa jawabannya?’tanya saya

‘Perintah dari atas,’

Menyusul Pak Hasan Basri masuk ruangan. Merek masih menceritakan pertemuan dengan Menteri dan soal Mas’udi. Ayah dengan suara mantap berkata ‘Hati saya sudah patah.’

Kemudian Ayah mengalihkan pembicaraan. Dia menyuruh saya jam itu menemui Duta Besar Irak. ‘Bilang padanya supaya undangan ke Irak diundur bulan depan. Tiketnya dibatalkan saja. Kalau dia bertanya alasan pengunduran, bilang saja ayah sakit,’ Saya pun berangkat mengikuti perintahnya.

Hari-hari berikutnya saya membaca pernyataan Majelis Ulama yang ditandatangani oleh Ayah sebagai Ketua Umumnya dengan Sekretaris Jenderal Burhani Tjokrohandoko yang mencabut beredarnya fatwa Majelis Ulama soal natal itu. 

Tapi besoknya saya disuruh mengantar release yang dibuat atas nama pribadi ayah sendiri ke koran-koran , isinya menegaskan bahwa pencabutan itu tidak berarti bahwa fatwa itu batal. Fatwa itu sah, yang dicabut hanyalah peredarannya.

Tanggal 18 Mei 1981, ketika saya sedang bekerja di kantor Panji Masyarakat. Ayah menelpon menyuruh saya datang. Sehari sebelumnya ayah baru kembali dari Medan. Saya kira bakal ada oleh-oleh dari Medan untuk cucu-cucunya. Tapi saya dapati ayah  sedang duduk menghadapi mesin tiknya. Dia tersenyum ke arah saya, ‘Ayah sudah mengambil keputusan.’

Saya tahu keputusan itu ialah yang menyangkut Majelis Ulama, tapi saya belum tahu bagaimana cara yang bakal di tempuhnya. 

‘Sebentar lagi ada rapat pimpinan harian di kantor Majelis yang baru di Istiqlal. Inilah rapat pertama di kantor itu dan ini pula pertama kali ayah melihat kantor itu. Tapi kedatangan ayah ke sana juga untuk terakhir kalinya,’ ujarnya dengan wajah berseri-seri.

‘Jadi ayah sudah berhenti?’ tanya saya mengingatkan saran-saran yang melarang dia berhenti.

‘Soalnya sudah lain, sadang lamak beranti (sedang enak berhenti),’ katanya dengan nada humor. Tapi jelas dari wajahnya bahwa dia merasakan bahagia pagi itu. Saya tak dapat menahan haru, lalu saya merangkulnya. Saya menangisinya dan ayah menenangkan saya. Setelah menuntun tangannya ke kursi, ayah bercerita tentang Imam Malik pada saya. 

Saya kembali ke meja tulis membaca selembar surat di atas meja yang baru saja selesai dikarangnya. Dan ayah sudah siap hendak ke Masjid Istiqlal membawa dan akan membacakan surat itu. Inilah bunyinya:

Bismillahir Rahmaanir Rahim

  1.  Menteri Agama H.Alamsyah dalam pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia tanggal 23 April 1981 yang lalu telah menyatakan kecaman atas tersiarnya fatwa MUI. Dalam kecamannya itu H. Alamsyah telah menunjukkan kemarahannya dan menyatakan ingin mengundurkan diri dudukannya sebagai Menteri Agama.
  2. Menjawab ucapan-ucapan Menteri, maka saya mengatakan:Bukan Beliau, tapi sayalah yang lebih patut meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Dan saya bertanggung jawab atas tersiarnya Fatwa yang membuat Menteri Agama mau mengundurkan diri itu.
  3. Karena anggapan bahwa Majelis Ulama masih diperlukan adanya di Indonesia dan demi mengamankan kehidupannya setelah keberhentian saya, maka saya pun  menandatangani surat Keputusan Pencabutan peredaran itu dengan pengertian bahwa nilai Fatwa itu tetap shah sebagaimana yang telah diputuskan oleh Majelis Ulama Komisi Fatwa.
  4. Saya merasa perlu menyiarkan pernyataan pribadi akan shahnya isi Fatwa tersebut, sebagaimana telah dimuat oleh sementara surat-surat kabar. Namun demikian saya berharap pula kerja sama yang lebih baik antara ulama dan umara untuk masa-masa yang akan datang, terutama melalui pimpinan Majelis Ulama setelah saya meletakkan jabatan.
  5. Dengan ini saya meletakkan jabatan saya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia di hadapan rapat ini, karena saudara-saudaralah yang memilih saya melalui Munas MUI tahun 1980 yang lalu. Terimakasih.

Jakarta, 18 Mei 1981

(Hamka)[15]

 Akhirnya fatwa itu menjadi sebuah ketok palu yang menghantam runyamnya hubungan Islam dan Kristen yang sudah bertumpuk-tumpuk masalahnya. Sudah menjadi tugas seorang ulama untuk membimbing umat Islam agar tak terjerumus ke dalam lubang kerancuan atas nama toleransi.

Enam tahun sebelumnya, 27 Juli 1975, di Gedung Sasono langen Budoyo, Taman Mini Indonesia, saat Buya Hamka dilantik menjadi Ketua MUI, ia berkata,

“Kami ini bagaikan kue bika, dibakar antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat.”[16]

Kue bika itu begitu teguh berjuang. Alangkah  bebas dan merdeka jiwanya. Betapa mantap pada diri sendiri dan yakin pada jalan hidup yang telah dipilihnya. Sungguh tak bersyukur bila kini kita khianati fatwanya. [17]

Foot Note Referensi:

[1] Lihat https://www.youtube.com/watch?v=QUw11Tk6VnU[2]www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/12/ngghxd-ketua-pgi-tak-setuju-penerapan-jilbab-bagi-polwan[3] Dikutip Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik, Pustaka Panjimas:Jakarta, 2002, hlm.104 dari K M Panikkar, Asia and Western Domininge terjemahan bahasa Arab hlm. 42-1968[4]Kata Pengantar Adian Husaini dalam Susiyanto, Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa, Cakra Lintas Media:Jakarta, 2010, hlm x yang dikutip dari Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES:Jakarta, 1985, hlm. 26[5] Mujiburrahman, Disertasi Feeling Threatened: Muslim-Christian Realtions in Indonesia’s New Order, Amsterdam University Press:Leiden, 2006[6] Jeff Hammond, Transformasi-Kairos Bagi Indonesia dalam Niko Njotohardjo (et.al), Transformasi Indonesia; Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus, Metanoia:Jakarta, 2003, hlm.26 dalam Arif Wibowo, Kristenisasi Indonesia dari Masa ke Masa, INSISTS:Jakarta, 2014, hlm.7[7] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama, Sosial-Budaya, Politik, Ibid, hlm.165[8] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama ,Sosial-Budaya, Politik, Ibid, 159[9] M.Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, Peladjar dan Bulan Sabit:Bandung, 1969, hlm. 189[10] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama ,Sosial-Budaya, Politik, Ibid, 165-167[11] Hamka, Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi dan Sekularisasi, Pustaka Panjimas:Jakarta, 2003, hlm. 55-58[12] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama ,Sosial-Budaya, Politik, Ibid, 168[13] Buya Hamka, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama ,Sosial-Budaya, Politik, Ibid, hlm.208-210[14] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka, Pustaka Panjimas:Jakarta, 1981, hlm. 192[15] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka, Ibid, hlm.193-196[16] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka, Pustaka Panjimas:Jakarta, 1981, hlm. 181

[17] Bahkan saat ini bukan soal fatwa Buya Hamka saja, namun soal ucapan selamat Natal. Perihal ucapan ‘Selamat Natal’ Buya Hamka telah dijelaskan kebenarannya (http://www.fahmisalim.com/2014/12/buya-hamka-ucapkan-selamat-natal-adalah.html dan turut didukung oleh pihak keluarga Buya Hamka, sebagaimana telah dikonfirmasi oleh Kontributor JIB)

Oleh: Andi Ryansyah, Penulis Sejarah dan Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

KHAZANAH REPUBLIKA

Kebahagian Jiwa yang Hakiki Menurut Buya Hamka

Buya Hamka menilai kebahagian hakiki bukan sekadar dunia.

Sebagian orang mengatakan bahwa kebahagiaan itu letaknya pada harta. Akan tetapi yang berpikiran begini adalah orang yang putus asa dalam kemiskinannya. Hendak menjadi kaya namun selalu gagal. Kadang-kadang pendapatnya tak didengar orang lantaran ia miskin. Karena itu diputuskannyalah bahwa bahagia itu pada uang, bukan lainnya. Kaidahnya ini berasal dari hati yang kecewa.

Prof Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih akrab dipanggil, Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar, menjelaskan banyak juga yang tidak menemukan kebahagiaan meskipun ia sudah mencapai maksudnya. Contohnya adalah orang miskin yang mengejar kekayaan, sebab dalam bayangannya, jika kaya ia akan mampu menolong sesama. Akan tetapi, setelah kaya ia malah menjadi sombong dan kikir. Ada negarawan yang ketika menjadi anggota parlemen berjanji akan menolak segala kezalim an, namun setelah jadi Presiden atau Perdana Menteri justru ia sendiri yang menzalimi rakyatnya.

Pada dasarnya mereka yang menilai kebahagiaan dengan materi hanyalah orang-orang yang tertipu, karena segala sesuatu yang ada di dunia ini hanya memiliki harga sesuai kemampuan manusia untuk menghargainya. Buku yang sarat ilmu hanya akan dijual kiloan di pasar loak oleh para penjual yang tak mengerti isinya. Orang yang tak paham bedanya emas dan kuningan akan menjual keduanya dengan harga yang sama.

Manusia juga punya kecenderungan untuk rindu pada sesuatu yang belum ada padanya, sebab segala isi dunia ini indahnya sebelum ada di tangan. Contoh nya Rockefeller, yang sepanjang hidupnya mengejar kekayaan, namun setelah menjadi miliuner, semuanya itu tak lagi berarti. Di usianya yang sudah 97 tahun, ia hanya ingin agar dicukupkan hidupnya menjadi 100 tahun.

Ternyata harta yang banyak itu tak mampu sekadar untuk membeli kekurangan yang tiga tahun, karena pada tahun itu juga ia wafat. Sesuatu yang belum kita miliki sering disangka menjanjikan kebahagiaan, namun manusia kerap kali tidak mampu menghargai apa-apa yang sudah dimilikinya.

Menurut Hamka, Islam mengajarkan pada manusia empat jalan untuk menuju kebahagiaan. Pertama, harus ada i’tiqad, yaitu motivasi yang benarbenar berasal dari dirinya sendiri.

Kedua, yakin, yaitu keyakinan yang kuat akan sesuatu yang sedang dikerjakannya. Ketiga, iman, yaitu yang lebih tinggi dari sekedar keyakinan, sehingga dibuktikan oleh lisan dan perbuatan. Tahap terakhir adalah ad-diin, yaitu penyerahan diri secara total kepada Allah, penghambaan diri yang sempurna. Mereka yang menjalankan ad-diin secara sempurna tidaklah merasa sedih berkepanjangan, lantaran mereka benar-benar yakin akan jalan yang telah Allah pilihkan untuknya.

Ada pula sifat-sifat yang menjauhkan manusia dari kebahagiaan, antara lain adalah takut mati. Pada dasarnya perasaan ini menimpa mereka yang tak tahu mati. Mereka tidak tahu kemana jiwa raganya pergi sesudah mati, atau disangka setelah tubuhnya hancur maka jiwanya pun ikut hancur, sedangkan alam ini kekal dan orang lain terus mengecap nikmat, sementara dirinya tak ada lagi di sana.

Ada juga yang menyangka bahwa kematian itu adalah penyakit yang paling hebat. Akan tetapi semua penyakit ada obatnya, kecuali kematian, karena kematian itu bukanlah penyakit. Sebagian orang memang suka hidup lama tetapi tak suka tua.

Pikiran semacam ini, menurut Hamka, tidaklah waras. Dalam ajaran Islam, kematian adalah belas kasihan Tuhan kepada hambahamba- Nya. Manusia disuruh pergi ke dunia, dan kemudian dipanggil pulang.

Agama menyadarkan kita bahwa kematian itu telah pasti bagi kita, dan karenanya, kita sungguh-sungguh berusaha memperbaiki hidup, agar sesudah hidup itu kita beroleh kematian yang nikmat adanya, yaitu kematian dalam keadaan memperoleh ridha Allah. Orang seringkali membayangkan apa yang akan dijumpainya sesudah mati.

Mereka yang takut mati barangkali sudah menyadari dosanya lebih banyak daripada kebaikannya, sehingga takut kalau harus di-hisab. Tetapi ada pula orang seperti Bilal bin Rabah ra. yang mengatakan dirinya bahagia di saat menghadapi sakaratul mautnya, lantaran dengan kematian itulah ia bisa berkumpul kembali dengan Rasulullah saw. yang sangat ia cintai.

Oleh karena itu, pesan Hamka, jika ingin jadi orang kaya, maka cukupkanlah apa yang ada, peliharalah sifat qanaah, jangan bernafsu mendapatkan kepunyaan orang lain, hiduplah sepenuhnya dalam ketaatan kepada Allah saja. Kekayaan hakiki ialah mencukupkan apa yang ada, baik banyak maupun sedikitnya, sebab ia adalah nikmat dari Allah. 

Jika kekayaan melimpah, ingatlah bahwa harta itu untuk menyokong amal dan ibadah. Harta tidak dicintai karena ia harta, melainkan hanya karena ia pemberian Allah, dan ia dipergunakan untuk sesuatu yang bermanfaat. Inilah jiwa yang bahagia!

KHAZANAH REPUBLIKA

Shalat atau Sembahyang? Ini Jawaban Buya Hamka

Buya Hamka menjawab pertanyaan mana yang harus dipakai shalat atau sembahyang.

Pada tahun 1963, Prof DR Hamka atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka, mendapatkan surat dari umat Islam tentang mana yang benar penyebutan shalat atau sembahyang. Pengirim surat itu menanyakan mana yang lebih tepat digunakan untuk diucapkan.

Ahzab  ayat 56, yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi; Wahai orang beriman, bershalawatlah atasnya dan mengucapkan salamlah, sebenar-benar salam.”

Menurut Buya Hamka, jika kita hendak mencari tafsir dari kalimat shalat di sini, niscaya bukan dari Hamka, dan bukan dari yang lain-lain. Buya kemudian mengajak untuk mencarinya ke pangkal dengan mengutip hadis Nabi:

“Shalat Allah Ta’ala atas Nabi-Nya ialah pujian-Nya di sisi malaikat. Dan, shalat malaikat kepada Nabi ialah doanya.”

Kemudian, Buya mengutip hadis lainnya yang berbunyi: Shalat Rabbi (Tuhan) ialah Rahmat-Nya. Shalat malaikat ialah istigfar.” (HR Tirmidzi)

Ada lagi yang sangat berjauhan artinya. Menurut pengetahuan kita dalam bahasa Arab, jama’ dari shalat ialah shalawat. Tetapi di dalam Surat Al Hajj ayat 40, bertemu kalimat shalawatun, bukan sembahyang dengan arti jama’ (banyak). Melainkan berarti gereja atau tabernackle atau kemah suci orang Yahudi.

Di dalam Surat Al Baraah (At Taubah) ayat 103 tertulis, “Dan shalatlah atas mereka, sesungguhnya shalat engkau adalah ketentraman bagi mereka, dan Allah adalah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Menurut Buya Hamka, ahli-ahli tafsir, sebagaimana tersebut di dalam tafsir Ibnu Katsir, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa arti shalatlah atas mereka, artinya adalah: “Dan doakanlah mereka dan mohonkan ampunlah atas mereka.” Sebab ada tersebut dalam shahih Muslim itu dari Abdullah bin Abi Aufaa, seketika Ibnu Abi Aufaa menyerahkan zakatnya kepada Nabi, maka Nabi mendoakannya:

“Ya Allah beri shalawatlah atas Ibnu Abi Aufaa.”

Karena itu, lanjut Buya Hamka, dari segala keterangan itu jelaslah bahwa dengan kata-kata shalat saja belumlah tentu bahwa yang dimaksudkan ialah khusus untuk sembahyang. Nahkan, sebagaimana ditulis oleh Tuan Syekh A Hassan dalam tafsir Al Furqaan yang disebutkan bahwa shalat atau shalawat itu mempunyai beberapa arti; sembahyang, puji, beri rahmat.

Sedang kata sembahyang, bagi pemeluk agama Islam yang berbahasa Melayu sudah khusus artinya, tidak meragukan lagi. Sehingga, kalau seseorang didoakan tidaklah dikatakan “Sembahyanglah olehmu”, dan kalau Allah mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW tidaklah dikatakan Allah menyembahyangkan Nabi, dan kalau Ibnu Abi Aufaa menyerahkan zakatnya, tidaklah ada ahli hadis memberi arti bahwa Rasulullah menyembahyangkan Ibnu Abi Aufaa, melainkan mendoakan, meskipun yang dipakai kalimat shalli.

Buya Hamka juga merujuk pada tafir Turjuman Al Mustafii yang ditulis oleh Syekh Abdurrauf bin Syekh Ali Al Fanshuri pada sekitar tahun 1620 masehi, menyebutkan juga dalam tafsirnya yang telah lebih dari tiga abad itu, menurut kebiasaan kita sekarang. Yaitu, shalat beliau terjemahkan dengan sembahyang.

Artinya, sudah sangat lama hal ini terpakai, sehingga sudah menjadi urf pada bangsa Indonesia. Yang urf itu menjadi salah satu dasar pemikiran agama, bahkan menjadi kaidah ushluddin: Al ‘Urfu Qaadhin (Kebiasaan itu pun berlaku).

Dalam pertimbangan hukum barat disebut Historisrecht. Sehingga, untuk membatalkan atau menghukum haram atau makruh memakainya, mestilah kita memakai dasar-dasar hukum yang kuat pula. Sehingga, dapat sah menjadi dasar hukum.

“Sebab itu saya sendiri masih berpendapat bahwa memakai kalimat sembahyang tidak salah, bahkan memakai kalimat shalat itulah yang akan meminta keterangan lebih jelas, sebab dia mengandung akan berbagai makna sebagaimana tersebut dari keterangan ahli-ahli yang telah saya salinkan itu,” tulis Buya Hamka mengutarakan pendapatnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Siapakah Manusia yang Kaya Raya Menurut Buya Hamka?

Manusia kaya tidak ditentukan pada harta belaka.

Tiap orang tentu ingin menjadi kaya raya. Manusia bekerja sehari-hari baik sebagai pegawai, wiraswasta maupun tenaga lepas, berharap segala keinginan dan kebutuhannya dapat terpenuhi. 

Namun apa sebenarnya kaya itu? Dan apakah kaya menurut manusia kebanyakan adalah makna sebenarnya?

Adalah Buya Hamka, sosok ulama yang berupaya menjelaskan makna kaya yang sejati dalam bukunya “Tasawuf Modern”. 

Dalam bukunya tersebut, Hamka yang bernama asli Abdul Malik Karim Amrullah itu, menulis bahwa orang kaya ialah orang yang sedikit keperluannya.  

Menentukan apakah seseorang itu kaya atau miskin, pada dasarnya bukan atas dasar materi yang dimiliki, melainkan keperluannya. 

“Siapa yang paling sedikit keperluannya, itulah orang yang paling kaya dan siapa yang amat banyak keperluan itulah orang yang miskin,” tulis Hamka.

Bagi Hamka, Allah-lah yang paling kaya, karena tidak punya keperluan maupun keinginan. Sementara raja-raja adalah orang yang paling miskin karena memiliki banyak keperluan. Kehidupan di dunia akan selalu diikat dengan aturan dan keperluan. 

Karena itu, menurut Hamka, orang yang ingin menjadi kaya maka tipsnya adalah, cukupkan apa yang ada. Jangan tergoda dengan apa yang dimiliki orang lain. Tetap taat kepada Allah, dan miliki jiwa yang tenteram dalam menghadapi kehidupan.

Orang yang ingat pada sesuatu yang belum ada, ingin ini ingin itu, maka orang tersebut berarti menginginkan kemiskinan. Sedangkan orang yang menginginkan datangnya kekayaan, hidupnya berdiri di atas kesederhanaan karena menyalurkan hartanya pada sesuatu yang bermanfaat.

Dalam pandangan Hamka, kekayaan hakiki ialah mencukupkan apa yang ada, sudi menerima berapapun karena itulah nikmat Tuhan. Juga tidak kecewa bila jumlahnya berkurang, karena harta hanyalah titipan. Datang dan pergi. 

Jika dilimpahkan banyak harta, penggunaannya harus untuk amal dan ibadah, untuk membina keteguhan hati menyembah Tuhan. “Harta tidak dicintai karena dia harta. Harta hanya dicintai sebab dia pemberian Tuhan. Dipergunakan kepada yang berfaedah,” kata Hamka, yang lahir 17 Februari 1908, di Sungai Batang Maninjau, Sumatra Barat.

KHAZANAH REPUBLIKA


Teladan Peduli Hamka pada Kaum Papa

Kali kedua kaki Kons Kleden menginjakkan kaki ke rumah Buya Hamka di Kebayoran Baru. Pada kunjungan pertama, Desember 1980, wartawan Katolik ini gagal mewawancarai Hamka. Pasalnya, pada waktu yang telah disepakati, sang tuan rumah mendadak ada acara yang tidak bisa ditepikan. Istri Buya Hamka, mewakili sang suami, memohonkan maaf pada sang wartawan. Lalu janji pertemuan pengganti pun dibuat.

Pada kunjungan kedua untuk meliput pandangan sang ulama terhadap masa depan Islam di tanah air, Kons memiliki kans bersua Hamka. Pukul lima sore ia dijadwalkan bersua penulis Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial ini. Kons bukan tak tahu tamu sang tuan rumah berjibun bak pasien mengantre di rumah dokter spesialis satu-satunya di daerah pinggiran. Tebersit di hati apakah dirinya bisa diterima pada waktu yang dijanjikan.

Ada aneka latar tamu yang datang hari itu. Dari yang berpenampilan kaya, intelek hingga—maaf—compang-camping. Tatkala waktu mendekati pukul lima, tamu yang berbusana kumal menyalip Kons. Sebenarnya, Kons mestilah diterima lebih dulu kendati waktu belum tepat di angka lima. Ternyata lelaki dengan penampilan tak sedap dipandang itulah yang dipanggil lebih dulu tuan rumah.

Buya Hamka menerima para tamunya di beranda rumah. Apa yang dilakukan tuan rumah pada salah satu tamu, diketahui tamu-tamu lainnya.

“Sama hangatnya, sama penuh perhatiannya, seperti Buya menerima tamu-tamu yang datang bermobil atau berdasi,” sebut Kons terhadap penerimaan Hamka pada tamu yang menyalipnya itu.

Sang tamu yang menyalip Kons tampak menyampaikan berkas pada Hamka. Di kolom harian Pelita yang kemudian dimuat ulang dalam Perjalanan Terakhir Buya Hamka, buku hasil suntingan tim wartawan Panjimas (1982), Kons bercerita lebih lanjut.

Setelah berbincang sebentar dengan lelaki serupa gelandangan itu, Hamka masuk ke rumah. Tak lama menghampiri sang tamu itu dan menyerahkan sesuatu ke dalam tangannya.

“Mataku masih sempat melirik bahwa di dalam tangan Buya terselip beberapa lembar uang ribuan,” jelas Kons bersaksi.

Perasaan kecil hadir dalam hati Kons mendapati adegan di hadapannya itu. Sampai akhirnya namanya disebut tepat pada pukul lima.

Tidak hanya kali itu saja orang-orang yang datang bertamu menghajatkan soal suramnya dapur rumah tangga mereka. Sebabnya beragam musibah. Seperti disebutkan putra Hamka, Rusjdi, dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr K.H. Hamka (1981), hal biasa apabila rumah mereka didatangi perempuan gelandangan yang menggendong anak dan meminta bantuan.

“Untuk orang-orang yang malang itu, biasanya dikasih makan dan diberi uang ala kadarnya, Rp 1000,- atau Rp 500,-, kadang-kadang Ayah tak punya uang dan anak-anak tak ada di rumah. Mereka (para tamu itu) pulang dengan hampa tangan, setelah dihibur dan dibujuk dengan nasihat-nasihat,” cerita Rusjdi.

Orang yang tahu keseharian Buya Hamka mafhum, sang ulama ini bukan orang yang kaya raya secara harta benda. Reputasi namanyalah yang membuat orang percaya hingga tak enggan membantu. Tapi Hamka tentunya pantang meminta-minta. Di luar sebagai juru dakwah, menulis buku adalah profesinya, dengan honorarium dari royalti inilah yang bisa dijadikan pegangan menghidupkan anak dan istrinya. Ada keberkahan dalam kecukupan harta yang ada, kendati menurut penglihatan orang banyak jumlahnya itu kecil secara nominal. Yang jelas, tatkala ada orang yang menitipkan atau mengamanahi uang padanya, uang itu pula yang kemudian diberikan Buya kepada para tamu.

Mengapa Buya Hamka berbelas kasih pada para papa yang hanya memenuhi beranda rumahnya saban hari itu?

“Kadang-kadang musuh itu bukanlah berupa perbarangan, tetapi berupa keadaan. Di dalam seluruh dunia sekarang ini, dan di dalam negeri kita sendiri pun terdapatlah pula tiga musuh besar, …  ialah kebodohan, kemelaratan alias kemiskinan, dan penyakit.” Demikian Buya Hamka berkhutbah dalam shalat Idul Adha 1382 Hijriah di halaman Masjid Al Azhar (materi khutbah dimuat ulang dalam Gema Islam No 32, 15 Maret 1963).

Ini tampaknya hujjah dan jawaban mengapa Hamka ringan tangan membantu kalangan dhuafa, selain tentunya untuk menuruti sang junjungan Rasulullah. Jihad melawan kemiskinan sudah menjadi agenda lama Buya Hamka. Ia pahami betul denyut nadi sebagai anak dari keluarga yang lebih mementingkan ilmu ketimbang menghimpun harta benda. Merantau ke negeri orang diniati bukan untuk memperkaya diri, selain dalam soal kedalaman ilmu. Risiko ini yang belum mesti dipedomani saudara seagamanya yang “ditakdirkan” sebagai orang miskin harta. Maka, Hamka terpanggil untuk menyerukan Muslimin untuk saling membuka tangan membantu sesama. Agar saudara mereka tidak dicaplok oleh orang beriman lain tapi menyimpan misi lain.

Yang disaksikan banyak orang, semisal Kons Kleden, adalah bukti realisasi komitmen Buya Hamka untuk membantu mereka yang berada dalam posisi di bawah. Tak semata nasihat penyemangat untuk terus gigih bekerja, tapi juga bekal meski jumlahnya ala kadar dalam amplop di sebalik jabatan pada para tetamu berhajat itu. Buya tentu ingin mengajarkan dirinya yang acap diundang dan bicara soal Islam di mana-mana perlu memberikan contoh. Ia yang terbatas tetap perlu memberi, sekecil apa pun. Hingga yang lain, para muhsinin jamaah pengajiannya atau simpatisan dakwahnya yang dikaruniai rezeki berlimpah, tergerak mengikuti. Teladan nyata dari alim akan membekas dalam ingatan dan tindakan umat.

Teladan yang bersahaja dan praktis seperti di atas, lebih dinantikan umat ketimbang seruan mengagetkan yang terkesan “menegakkan syariat” tetapi melupakan keteladanan para penyerunya pada aspek syariat lainnya. Semisal wacana menarik zakat maal sebesar 2,5% pada aparat sipil negara tiap bulannya. Seolah peduli pada mengentaskan kemiskinan dengan instrumen zakat, tapi disebalik itu tidak disiapkan kesungguhan dan kejujuran mengajak kebaikan pada syariat lainnya. Yang gamblang, pada waktu lain justru teladan yang menyakitkan umatlah yang ada.

Oleh: Yusuf Maulana, Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku “Mufakat Firasat”, dan “Nuun, Berjibaku Mencandu Buku”.

 

REPUBLIKA

Buya Hamka Politisi dan Ulama yang Konsisten

Direktorat Dakwah dan Sosial Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al Azhar menyelenggarakan seminar nasional dengan tema Membedah Pemikiran Buya Hamka dalam bidang Teologi, Fiqh, Harakah, Sastra, Pendidikan dan Tasawuf. Seminar tersebut diselenggarakan dalam rangka Milad ke-66 YPI Al Azhar dan Milad ke-110 tahun Buya Hamka.

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Prof Yunan Yusuf menjadi salah satu narasumber dalam seminar tersebut. Menurutnya, Buya Hamka merupakan seorang politisi dan ulama yang konsisten.

Prof Yunan mengatakan, hal yang bisa ditiru dari sosok Buya Hamka di bidang keulamaan dan politik adalah sikapnya yang konsisten. Buya Hamka tidak pernah bergeser ke mana-mana sebagai seorang ulama. Jadi Buya Hamka memadukan antara keulamaan dan kepolitikan.

“Dulu beliau anggota Konstituante Masyumi, yang saya lihat, beliau tidak pernah terbawa oleh arus mana pun, kepolitikan Buya Hamka bernuansa ulama dan ada politiknya,” kata Prof Yunan kepada Republika di Aula Buya Hamka Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, Kamis (15/2).

Ia mengatakan, kalau Buya Hamka berbicara tentang politik, Buya Hamka juga berbicara nilai-nilai Keislaman. Buya Hamka juga termasuk seorang politisi yang piawai memainkan perannya.

Ia menceritakan, Buya Hamka sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa larangan mengucapkan selamat Natal bagi Muslim. Buya Hamka sangat konsisten saat itu. Ketika Buya Hamka berhadapan dengan pemerintah, beliau mengambil jalan mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI.

“Beliau tidak memisahkan agama dengan politik, tetapi memberi nuansa moral agama ke dalam politik,” ujarnya.

Mengenai pandangan Prof Yunan terhadap perpolitikan saat ini, menurutnya secara menyeluruh perpolitikan di Indonesia sekarang ada yang berubah. Sekarang politiknya adalah politik kepentingan. Jadi kepentingan politik dikedepankan, sementara nilai-nilai moral dan agama dikebelakangkan.

Ia berharap, para politisi kembali menjunjung nilai-nilai kenegaraan, kebangsaan dan agama. Agar para politisi tidak terbawa arus dan terjerat kepentingan sesaat dan uang. “Sekarang kita tidak bisa menghindarkan diri dari politik transaksi yang disebut-sebut itu, sekarang ini biaya pilkada mahal sekali dan tidak mungkin tanpa uang,” ujarnya.

 

REPUBLIKA

Kisah Buya Hamka Ditawari Tidur dengan Perempuan Muda di Hotel Amerika

Buya Hamka adalah sosok ulama tangguh. Bukan hanya dalam memegang prinsip dan memperjuangkan Islam, namun juga menghadapi godaan dunia.

Usia Buya Hamka 44 tahun ketika ia diundang sebagai tamu kehormatan di Amerika Serikat pada tahun 1952. Selama dua bulan, ia keliling negeri Paman Sam itu. Sendirian, tidak ditemani oleh istri maupun keluarga.

Malam itu, Buya Hamka beristirahat di sebuah hotel di Denver. Terdengar suara ketuk pintu, beberapa saat setelah ia shalat. Rupanya, seorang pelayan hotel. Dengan senyum simpul penuh hormat, pelayan itu menawarkan barangkali butuh ditemani perempuan muda.

Buya Hamka mengakui, saat itu dorongan hasrat lelaki memang sedang bergetar. Hampir dua bulan ia sendirian di negeri yang jauh ini. Pun tidak ada orang yang mengenalnya; tidak santri tidak pula kawannya. Tidak ada yang tahu seandainya ia menerima tawaran itu.

Namun, Buya Hamka sadar dirinya baru saja sholat jamak qashar Maghrib dan Isya’. Bahkan bekas wudhu masih basah.

“Yang teringat saat melihat senyum simpul pemuda itu adalah sholat. Kalau tidur dengan perempuan lain meskipun istriku tidak tahu, bagaimana besok saya sholat Subuh? Bagaimana saya membaca dalam iftitah (yang artinya) ‘Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku semuanya untuk Allah Rabbul ‘alamin. Tiada sekutu bagiNya. Demikianlah aku diperintahkan dan aku adalah salah seorang yang berserah diri,’” kenangnya mengabadikan peristiwa itu dalam Tafsir Al Azhar saat menjelaskan surat Al Ankabut ayat 45.

“No, thank you,” demikian jawaban tegasnya lalu menutup pintu kamar hotel itu dan beristirahat.

Paginya, ketika sholat Subuh, Buya Hamka merasakan sholat kali itu lebih khusyu’ dan jauh lebih berkesan daripada sebelumnya.

Demikianlah sholat yang benar, mampu mencegah seorang mukmin dari perbuatan keji dan munkar.

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Dirikanlah shalat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari yang keji dan munkar… (QS. Al Ankabut: 45)

Bagaimana dengan sholat kita? Semoga juga bisa mencegah kita dari perbuatan keji dan munkar sebagaimana sholatnya Buya Hamka. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

 

BERSAMA DAKWAH

Haul Sukrno: Sukarno Minta Kesediaan Hamka Shalatkan Jenazahnya

Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) salah satu ulama besar yang pernah bersitegang dengan Sukarno. Meski menjadi lawan politik, Hamka tidak pernah menyimpan dendam kepada Sukarno, pria yang dianggap sahabat namun pernah mengurungnya di jeruji besi selama dua tahun empat bulan tanpa proses pengadilan. Tuduhan kepada Hamka tidak main-main; terlibat dalam rencana pembunuhan

Anak kelima Buya Hamka, Irfan Hamka, dalam buku Ayah menceritakan bagaimana ayahnya bersikap terhadap pemerintahan Sukarno. Dalam suatu acara yang digelar Dewan Kesenian Jakarta pada 1969, Buya Hamka memaparkan dua hal, pertama pelarangan peredaran buku-buku Pramoedya Ananta Toer, dan kedua bagaimana sikapnya terhadap Pramoedya yang menjadi penyebab Hamka dipenjara.

Buya Hamka, tulis Irfan Hamka, tidak pernah menyetujui pelarangan tersebut, karena filsafat hidup Buya Hamka adalah cinta. “Kalau tidak suka pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku pula, kata beliau,” tulis Taufiq Ismail menceritakan sosok Buya Hamka dalam pengantar buku Ayah.

Di sini kebesaran hati seorang Buya Hamka teruji. Ia memaafkan Pramoedya. Padahal, namanya dihancurkan Pramoedya lewat tulisan di surat kabar Bintang Timur yang merupakan media pro-PKI.

Dalam surat kabar ini terdapat kolom seni-budaya bernama Lentera. Kolom itu diasuh Pramoedya.

Dalam kolom itu, sejumlah satrawan yang kontra PKI diserang, seperti HB Jasin, Sutan Takdir Alisjahbana, Trisno Sumardjo, Asrul Sani, Misbach Yusa Biran, Bur Rasuanto, termasuk Buya Hamka. Hamka yang aktif di Muhammadiyah dan Masyumi yang jelas-jelas kontra PKI menjadi sasaran tembak.

Buya kemudian ditahan karena dianggap melanggar UU Anti-Subversif Pempres No. 11. Ia dituding terlibat dalam upaya pembunuhan Sukarno dan Menteri Agama saat itu, Syaifuddin Zuhri. Namanya dihancurkan, perekonomiannya dimiskinkan, kariernya dimatikan dan buku-bukunya dilarang beredar sejak itu.

Tetapi, Hamka yang seorang ulama besar Indonesia tidak pernah menyimpan dendam. Bukti shahihnya adalah saat Kafrawi, Sekjen Departemen Agama dan Mayjen Soeryo, ajudan Presiden Soeharto, datang ke rumah Hamka membawa pesan dari keluarga Sukarno pada 16 Juni 1970. Pesannya, Buya Hamka dengan sangat hormat diminta mengimami shalat jenazah Sukarno.

“Jadi beliau sudah wafat?” kata Hamka bertanya kepada Kafrawi.

“Iya Buya. Bapak telah wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah dibawa ke Wisma Yaso.”

“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku,” kata Sukarno berpesan.

Hamka terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian Sukarno. Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat Sukarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah mantan presiden yang pernah menjebloskannya ke penjara itu.

Hamka bahkan memuji Sukarno yang membangun Masjid Baitul Rahim di Istana Negara dan Masjid Istiqlal. Ia pun menyelesaikan tafsir Al-Azhar yang menjadi karya fenomenalnya berkat andil Sukarno. Sebab, tafsir yang mahsyur seantero Asia itu diselesaikan saat ia berada di penjara.

“Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…”

 

Terima Ajakan Agus Salim, Hamka Pulang

Waktu berhaji jatuh pada musim panas. Wukuf di Arafah bukan main panasnya. Banyak orang mati. Hamka pun tak luput dari serangan panas. Ia ditimpa sakit kepala dan tak dapat berjalan ke mana-mana.

Darah mengalir dari hidung. Ia tak sadarkan diri hingga lepas tengah malam. Hamka teringat ayah bundanya. Begitu mudah orang mati, sampai ia merasa barangkali tentu akan mati.

Syukur, ia kembali sehat dan melengkapkan rukun haji. Kebiasaan zaman itu, selepas menunaikan haji, semua berkumpul di hadapan syeikh masing-masing.

Syeikh akan memasangkan serban dan mengganti nama haji yang diinginkan si empu. Uang seringgit tak lupa melompat ke kantong Syekh setelah prosesi.

Tapi, Hamka tak mau mengikuti adat itu. “Buat apa? Serban itu bagiku tak perlu, dan nama yang telah diberikan ayahku kepadaku tidak akan kutukar! Ini hanya perbuatan khurafat semua,” kata Hamka membatin.

Saat orang sibuk membicarakan kepulangan, Hamka terbelah; mukim atau pulang. Seorang teman menyarankan untuk mukim barang setahun. Hamka sempat ragu.

Apalagi, Tuan Hamid sedia menerimanya kembali. Niat mukim itu lenyap setelah Hamka bertemu Haji Agus Salim. Hampir seminggu Hamka menyediakan diri jadi khadam (pelayan) Agus Salim.

“Apa yang akan engkau tunggui di sini? Lebih baik pulang. Banyak pekerjaan penting berhubung dengan pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat dikerjakan di Indonesia,” kata Agus Salim pada anak muda yang belum genap 20 itu.

Perjalanan pulang dari Makkah ke Jeddah terpaksa ditempuhnya dengan berjalan kaki. Hamka sudah tak punya uang. Payah, letih, ia berjalan bersama seorang kawan yang juga kehabisan uang.

Di tengah jalan, mereka kehabisan roti dan air minum. Beruntung, tampak dua orang Afghanistan bernaung di bawah pohon, juga dalam perjalanan ke Jeddah. Mereka berbagi makanan. Sampai di Bahra, tak kuat lagi Hamka dan kawannya berjalan.

Terpaksalah mereka menyewa keledai dengan uang seadanya. Sore berangkat, tengah malam tiba di Jeddah. Hanya dua malam di kota itu, kapal ke Buitenzorg berangkat. Sabang tampak dari kejauhan setelah 15 hari terapung di lautan.

Memoar ini termasuk kisah perjalanan haji yang mula-mula ditulis pribumi. Hamka dalam hal ini menggunakan sudut pandang orang ketiga dia’ dengan ungkapan pemuda kita.

Artinya, ia menempatkan diri sebagai objek pengamatan yang berjarak, sekaligus hendak menjadi bagian dari pembaca. Suatu gaya yang menurut Indonesianis asal Perancis, Henri Chambert-Loir, “modern, pintar, dan menarik.”

 

sumber: Republika Online

Bila Hamka Naik Haji

“Pada permulaan Februari 1927, pemuda kita meninggalkan pelabuhan Belawan, menuju Jeddah; menumpang kapal Karimata kepunyaan Sttomvaart Maatschappij Netherland,” tulis pemuda kita dalam Kenang-Kenangan Hidup (1950), sebuah memoar perjalanan haji keluaran penerbit Gapura, Jakarta.

Pemuda kita itu bernama Hamka. Lengkapnya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia ulama, aktivis, mubaligh, sekaligus sastrawan yang masyhur. Hamka menunaikan ibadah haji tahun 1927, tapi memoar ini ditulisnya tahun 1950.

Sewaktu Hamka lahir, Haji Rasul pernah berjanji mengirim anak laki-laki pertamanya ini ke Makkah setelah berusia 10 tahun. Tapi, janji itu tak dapat ditepati lantaran beberapa alasan. Karena itu, keputusan Hamka naik haji tahun 1927 adalah semacam pembuktian, sekaligus pemenuhan.

Kepada ayah dan andung-nya, pemuda itu tak menuturkan kemana hendak pergi. Ia hanya berkata hendak pergi ke tempat yang jauh. Tak ada uang saku. Hanya andung-nya, yang memberikan dua gulden hasil penjualan kapuk.

Hamka memperoleh uang untuk membeli tiket pulang pergi berkat bantuan Isa, temannya di Siantar. Ia baru berusia 19 tahun, saat kapalnya meninggalkan laut Ceylon.

Lantaran pandai mengaji Alquran, di atas kapal Hamka amat dihormati. Orang memanggil dengan sebutanajengan.

Ia bahkan ditawari kawin dengan seorang gadis Bandung yang memang telah menawan hatinya, tapi Hamka menolak. Sewaktu itu, kata Hamka, biasa saja orang menikah di atas kapal.

Orang sangat banyak naik haji tahun itu. Tak kurang 64 ribu orang dari Indonesia. Kabar kemenangan Ibnu Sa’ud dan kenaikan harga getah, menyebabkan orang banyak naik haji.

Tahun sebelumnya, dua pemimpin besar Indonesia, HOS Tjokroaminoto dan KH Mas Mansur juga baru saja pulang dari Makkah menghadiri Muktamar Islam. Semangat pergerakan Islam sedang berkembang.

Pemuda kita tak ketinggalan dalam aktivitas pergerakan. Bahasa Arabnya paling fasih dari yang lain. Ia pun dipercaya memimpin delegasi menemui putra Raja Saud, Amir Faishal, serta Imam Besar Masjidil Haram.

Pada kesempatan lain, Hamka bahkan sempat menjajal bertemu Raja Saud, meski gagal. Mereka minta izin memberi ceramah agama dan manasik haji bagi jamaah Indonesia di Masjidil Haram.

Ini memicu pertengkaran pertama Hamka dengan syekh (pemandu haji)-nya, yang berlanjut sampai akhir perjalanan berhaji.

Selama di Tanah Suci, Hamka sangat kekurangan uang. Ia bekerja di percetakan Tuan Hamid Kurdi, mertua ulama Minangkabau, Syekh Ahmad Chatib.

Hampir dua bulan ia di sana. Tak hanya bekerja, tapi juga menyelami buku-buku Tuan Hamid. Baru setelah tiba musim haji, Hamka pamit.

 

sumber: Republika Online