Adab Merupakan Dua Pertiga Agama

Kita telah lama meremehkan pendidikan adab dan akhlak, padahal adab dan akhlak merupakan dua pertiga bagian dari agama

ADA seorang remaja putri mengadukan ibunya ke Polisi karena ibunya melarang-larang dia pacaran. Ada seorang remaja putri yang lain yang kecanduan seks dengan pacarnya.

Ada remaja pengangguran membunuh keluarganya dengan meracun mereka. Pasalnya, dia kesal karena keluarganya sering menyuruh dia agar mencari pekerjaan.

Yang tak kalah bejat adalah banyaknya penyimpangan seksual di negeri ini. Jumlah pelaku penyimpangan seksual LGBT di sejumlah propinsi saat ini telah mencapai angka yang sangat mengkhawatirkan. Mencapai puluhan hingga ratusan ribu orang. Dalam satu kabupaten ada yang penambahan jumlah LGBT-nya rata-rata 6-10 orang perbulan.

Tentu masih banyak lagi fenomena kerusakan moral (akhlak/adab) di negeri ini.  Mengapa semua ini bisa terjadi di negeri yang justru mayoritas penduduknya Muslim?

Tidak lain karena–salah satunya–kita telah lama meremehkan pendidikan adab/akhlak (budi pekerti). Akar penyebabnya tidak lain adalah sekularisme dan sistem pendidikan sekuler yang diadopsi negeri ini.

Berbeda dengan generasi salafush-shalih dulu. Mereka begitu mementingkan adab/akhlak.  

Tentang ini, Imam al-Dzahabi rahimahulLaah, misalnya, menceritakan bagaimana kondisi majelis para ulama dulu yang biasa dihadiri oleh ribuan orang. Kebanyakan mereka mempelajari adab/akhlak melebihi usaha dan waktu mereka dalam mempelajari ilmu-ilmu agama Islam.

Misalnya saja di Majelis Imam Ahmad bin Hanbal rahalimahulLaah. Dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi:

“Sekitar lima ribu atau lebih jamaah biasa berkumpul di Majelis Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulLaah. Sekitar 500 orang menuliskan ilmu, sementara sisanya belajar adab/akhlak yang baik dari beliau.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’laam an-Nubalaa’, 2/947).

Terkait pentingnya adab/akhlak juga ditunjukkan oleh Imam Ibnu al-Mubarak rahimahulLaah. Kata beliau, “Aku belajar adab/akhlak selama 30 tahun dan belajar ilmu selama 20 tahun. Para ulama  memang biasa belajar adab/akhlak sebelum belajar ilmu.” (Ibnu al-Jauzi, Ghaayah an-Nihaayah fii Thabaqaat al-Quraa, 1/198).

Mengapa demikian? Sebabnya, juga menurut Imam Ibnu al-Mubarak:

كاد الأدب أن يكون ثُلُثي الدِّين

“Hampir saja adab/akhlak itu merupakan dua pertiga bagian dari agama ini.” (Ibnu al-Jauzi, Shifah ash-Shafwah, 2/330).

Alhasil, jangan sekali-kali kita mengabaikan pendidikan adab/akhlak untuk generasi kita. Jangan sampai anak-anak kita semata-mata dididik dengan ilmu, tetapi minus pendidikan adab/akhlak.

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. */Al-Faqir Arief B. Iskandar, khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

HIDAYATULLAH

Kenali 6 Adab di dalam Masjid

Penulis akan menyampaikan mengenai tema tentang adab-adab yang harus kita jaga dan lakukan terhadap tempat yang paling mulia di muka bumi, yaitu masjid. Masjid adalah bagian bumi yang paling dicintai oleh Allah karena ia dibangun untuk beribadah kepada Allah. Di dalamnya ditegakkan shalat, dilantunkan bacaan-bacaan Al-Qur’an, dilaksanakan i’tikaf serta ketaatan-ketaatan dan kebaikan-kebaikan lainnya.

Kita tanyai diri kita masing-masing, apakah kita pernah beri’tikaf dan beribadah di masjid? Apakah hati kita sudah terpaut dan tertambat dengan masjid ataukah justru kita disibukkan dengan berbagai urusan dunia sehingga tidak pernah menginjakkan kaki di masjid? Seseorang yang hatinya telah tertaut dengan masjid, maka ia diberi kabar gembira oleh Rasulullah akan masuk dalam naungan ‘arsy pada hari kiamat.

Seandainya semua orang mengetahui tentang sekian banyak kebaikan dan keberkahan di masjid, niscaya akan kita saksikan mereka saling berlomba untuk mendatanginya. Sungguh menyedihkan keadaan banyak orang, mereka tidak datang ke masjid kecuali sekali dalam seminggu untuk melaksanakan shalat Jumat saja. Bahkan sebagian orang tidak datang ke masjid kecuali hanya dua kali dalam setahun, yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha saja. Kita memohon kepada Allah agar senantiasa menunjukkan kepada kita hal-hal yang membawa kebaikan bagi kita.

Allah subhanahu wa ta’ala telah mengagungkan masjid serta memuliakannya, sehingga masjid menjadi salah satu syi’ar agama Allah. Allah ta’ala berfirman:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (سورة الحج: ٣٢)

Maknanya: “Demikianlah (perintah Allah) dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar agama Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati” (QS al-Hajj: 32).

Adab-adab di dalam Masjid

Pertama, Tidak Mengotori Masjid

Salah satu adab yang harus kita lakukan terhadap masjid adalah tidak mengotorinya dengan benda-benda yang kotor meskipun tidak najis, lebih-lebih lagi dengan hal-hal yang najis. Hukumnya adalah haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ هٰذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هٰذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ (رواه مسلم)

Maknanya: “Sesungguhnya masjid ini tidak boleh dimasukkan ke dalamnya air kencing dan kotoran manusia, masjid tidak lain adalah tempat untuk berdzikir, menyebut asma Allah dan membaca Al-Qur’an” (HR Muslim).

Marilah kita semua turut berperan dalam membersihkan masjid, memberinya wewangian dengan kayu gaharu atau lainnya, sebagaimana hal ini telah dilakukan oleh kaum Muslimin terhadap Masjid Nabawi sejak masa khalifah Umar bin Khatthab radliyallahu ‘anhu hingga kini setiap hari Jumat.

Kedua, Tidak Melakukan Transaksi Jual Beli

Di antara adab kita terhadap masjid adalah tidak melakukan transaksi jual beli di dalamnya. Hukumnya makruh. Masjid bukanlah pasar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُوْلُوْا لَا أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيْهِ الضَّالَّةَ فَقُوْلُوْا لَا رَدَّ اللهُ عَلَيْكَ (رواه الترمذي)

Maknanya: “Jika kalian melihat seseorang yang menjual atau membeli di masjid, maka katakanlah, “Semoga Allah menjadikan perdaganganmu ini tidak menghasilkan keuntungan.” Dan jika kalian melihat seseorang mencari barang hilang di masjid, maka katakanlah, “Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang tersebut padamu” (HR at-Tirmidzi).

Ketiga, Membaca Doa Ketika Berangkat Menuju Masjid

Di antara adab terhadap masjid yang fadlilahnya sangat besar jika kita lakukan adalah membaca doa ketika berangkat menuju masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang keluar dari rumah untuk melakukan shalat di masjid kemudian ia berdoa yang artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan wasilah orang-orang yang saleh yang berdoa kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan wasilah langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya’ (ingin dilihat) dan sum’ah (ingin didengar), aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu agar Engkau menyelamatkanku dari api neraka dan mengampuni dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau,” orang yang membaca doa ini ketika menuju masjid, maka Allah akan meridhainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya” (Hadits shahih riwayat Imam Ahmad dan lainnya).

Ketika kita masuk ke dalam masjid, kita baca doa masuk masjid, yaitu:

بِسْمِ اللهِ اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَافْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

“Dengan nama Allah, ya Allah berikanlah tambahan keagungan kepada Nabi Muhammad, ya Allah ampunilah dosaku dan bukalah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.”

Keempat, Mengerjakan Dua Rakaat Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid

Adab berikutnya adalah mengerjakan dua rakaat shalat sunnah tahiyyatul masjid sebelum duduk. Kemudian kita perbanyak berdzikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an, berdoa meminta kepada Allah kebaikan untuk diri sendiri atau pun untuk orang lain, karena di antara doa yang mustajab adalah doa antara adzan dan iqamah.

Kelima, Tidak Mengobrol Obrolan yang diharamkan

Penting untuk kita ketahui bersama bahwa tidaklah benar pernyataan sebagian kalangan yang mengharamkan obrolan yang tidak mengandung dosa tentang urusan dunia yang dilakukan di masjid. Pembicaraan seperti itu tidaklah haram selama tidak mengganggu orang yang sedang shalat atau tengah membaca Al-Qur’an.

Dalam hadits tsabit yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di suatu malam berada di masjid bersama beberapa orang sahabatnya. Pada saat itu para sahabat saling bercerita tentang apa yang terjadi di masa jahiliyah mengenai keadaan beberapa orang serta perbuatan-perbuatan mereka. Mereka saling tertawa dan Rasulullah hanya tersenyum melihat hal itu.

Obrolan yang diharamkan di masjid adalah obrolan yang juga diharamkan di luar masjid, seperti ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang, dan lainnya. Adapun perkataan sebagian kalangan yang menyatakan bahwa:

“الكَلاَمُ في الْمَسْجِدِ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْـحَطَبَ

Berbicara di masjid akan menghapus kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar,” maka pernyataan ini adalah hadits palsu yang tidak bisa dijadikan pedoman.

Keenam, Tidak Mengganggu Orang yang Beribadah

Di antara adab yang harus kita indahkan ketika kita berada di dalam masjid adalah tidak mengganggu orang-orang yang sedang mengerjakan shalat atau membaca Al-Qur’an di dalam masjid. Al Baihaqi dalam kitab as-Sunan al Kubra dan lainnya meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beri’tikaf di masjid, lalu beliau mendengar orang-orang membaca Al-Qur’an dengan suara yang keras. Nabi kemudian bersabda:

أَلَا إِنَّ كُلَّكُم يُنَاجِي رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكمُ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعَنَّ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي القِرَاءَةِ فِي الصَّلاَةِ

Maknanya: “Sungguh, masing-masing dari kalian sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah kalian saling menyakiti satu sama lain, dan janganlah masing-masing kalian mengeraskan bacaannya saat shalat (sehingga mengganggu orang lain yang sedang shalat)”

Janganlah kita menyakiti saudara-saudara kita di masjid dengan bau-bauan yang tidak enak dan mengganggu, terlebih di hari Jumat. Oleh karenanya, hendaklah kita mandi sunnah Jumat sebelum berangkat menuju masjid, sebab hal ini merupakan sunnah muakkadah (sunnah yang ditekankan). Marilah kita gunakan pakaian yang berwarna putih ketika menghadiri shalat Jumat, memotong kuku dan memakai wewangian.

Sebelum pergi ke masjid hindarilah memakan bawang putih dan bawang merah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memakan bawang merah, bawang putih atau bawang pre, maka janganlah memasuki masjidku, karena sesungguhnya malaikat terganggu oleh sesuatu yang manusia terganggu dengannya” (HR Muslim).

Marilah kita bersegera menuju masjid lebih awal pada hari Jumat, karena pahala akan semakin bertambah besar dengan semakin awalnya kita pergi ke masjid di hari Jumat. Jika kita masuk masjid dan ternyata imam sedang berkhutbah, hendaklah kita melakukan shalat sunnah dua rakaat dengan cepat sebelum duduk, lalu kita duduk dengan tenang dan tidak berbicara kepada siapa pun karena berbicara saat imam sedang berkhuthbah adalah perkara yang dilarang.

Mari kita dengar dan simak dengan seksama apa yang disampakan khatib. Apabila khutbah Jumat telah usai dan imam turun dari atas mimbar serta iqamah dikumandangkan, maka marilah kita memulai shalat dengan penuh khusyu’ dan anggaplah bahwa kita tengah berada dalam shalat terakhir yang bisa kita kerjakan.

ISLAM KAFFAH

Cara Allah SWT Ajarkan Adab kepada Hamba-Nya

Allah SWT menekankan pentingnya adab bagi Muslim

Mantan Mufti Agung Mesir, Syekh Ali Jumah menyampaikan soal bagaimana Allah SWT mengajari adab atau tata krama kepada para hamba-Nya melalui Nabi Muhammad SAW.

“Allah SWT mengajarkan tata krama kepada kita semua melalui Nabi Muhammad, ketika beliau SAW menyapa para nabi yang lain,” terang Syekh Jum’ah dilansir dari Elbalad, Jumat (5/11).

Namun, Nabi Muhammad SAW tidak memanggil mereka dengan nama saja, tetapi dengan dilengkapi ‘Ya Ayyuhannabi’, ‘Ya Ayyuharrosul’. Nabi SAW menunjukkan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk bersikap sopan santun kepada para Nabi dan juga menghormatinya.

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

“Sesungguhnya Kami mengutus engkau (Muhammad) sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS Al Fath ayat 8-9)

Syekh Jumah melanjutkan, seorang Muslim dilarang mendahului Allah SWT dan Rasul-Nya. Tak hanya itu, setiap Muslim juga diperingatkan untuk tidak meninggikan suara terhadap suara yang mulia atau berbicara dengan suara yang lantang atau keras kepadanya. Allah SWT berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS Al Hujurat ayat 2). Dalam ayat berikutnya surat Al Hujurat 3, Allah SWT berfirman: 

إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَىٰ ۚ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.”

Karena itu, Syekh Jum’ah mengatakan, hak sebagai seorang Muslim adalah mematuhi perintah Allah SWT dan mencintai Rasulullah SAW dengan belajar adab dari beliau SAW serta mendoakannya setiap kali kita berdoa.

“Dan (saat berdoa) tidak menyebut dengan namanya karena rasa hormat yang kita taruh kepada beliau SAW,” jelas Syekh Jumah.

Sumber: elbalad 

KHAZANAH REPUBLIKA

Adab dan Syarat dalam Berbicara

Sebagai seorang muslim tentu kita telah dibekali dan mendapat bimbingan tentang cara dan adab dalam berbicara.

Nah, kali ini kita akan mengkaji apa saja syarat dan adab yang harus diperhatikan saat kita berbicara ?

Simak ayat-ayat berikut ini :

1. Berbicara harus berlandaskan ilmu, bukan hanya prasangka atas dugaan.

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولٗا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS.Al-Isra’:36)

2. Hendaknya kita melakukan apa yang kita bicarakan.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (QS.Ash-Shaf:2)

3. Hendaknya kita berbicara dengan adil dan proporsional.

وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُواْ

“Apabila kamu berbicara, bicaralah dengan adil.” (QS.Al-An’am:152)

4. Hendaknya kita berbicara dengan kalimat yang tepat dan benar.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS.Al-Ahzab:70)

5. Hendaknya berbicara dengan lembut, tidak kasar dan mengagetkan.

فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut.” (QS.Tha-Ha;44)

6. Hendaknya berbicara yang mudah dipahami.

فَقُل لَّهُمۡ قَوۡلٗا مَّيۡسُورٗا

“Maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut.” (QS.Al-Isra’:28)

7. Hendaknya kita berbicara dengan jujur, tegas dan memberi kesan.

وَقُل لَّهُمۡ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَوۡلَۢا بَلِيغٗا

“Dan an katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.” (QS.An-Nisa’:63)

Itulah beberapa adab dan syarat yang kita serap dari ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Semoga kita termasuk mereka yang menjaga adab dalam berucap.

KHAZANAH ALQURAN

Pentingnya Mengajarkan Adab kepada Anak Sejak Dini

Jika anak sudah besar, sulit mengajarkan adab kepada anak.

Begitu pentingnya bagi orang tua untuk mengajarkan adab pada anak sedini mungkin. Syekh Umar bin Achmad Baradja, seorang ulama karismatik asal Surabaya, dalam kitabnya, Akhlaq Lil Banin, menuliskan sebuah cerita sederhana tentang betapa pentingnya adab bagi seorang anak.

Pada pembahasan keempat, ulama yang lahir di Kampung Ampel Maghfur, Surabaya, pada 1913 M itu menuliskan secuil cerita tentang seorang anak kecil yang mempunyai adab dan dicintai oleh ayahnya. Ia pun suka bertanya tentang berbagai hal yang tak diketahuinya. Suatu saat ia melihat pohon bunga, tetapi pohon tersebut bentuknya bengkok. Anak itu pun lantas menanyakan pada ayahnya, mengapa pohon itu bentuknya bengkok. Ayahnya menjawab:

لِأَنَّ الْبُسْتَانِيَّ لَمْ يَعْتَنِ بِتَقْوِيْمِهَا, مِنْ صِغَرِهَا , فَصَارَتْ مُعْوَجَّةً

“Karena tukang kebun tidak memperhatikan serta tidak meluruskannya sejak kecil maka jadilah bengkok”

Anak itu pun kemudian mengajak ayahnya untuk meluruskan pohon yang bengkok itu. Namun, ayahnya berkata bahwa hal itu tidak mudah karena pohon itu sudah tumbuh besar dan rantingnya pun sudah tebal. Pada bagian terakhir cerita sederhana itu, Syekh Umar menuliskan pesan ayah kepada anak itu: 

فَكَذَلِكَ الْوَلَدُ, الَّذِي لَمْ يَتَأَدَّبْ مِنْ صِغَرِهِ, لَا يُمْكِنُ تَأْدِيْبُهُ فِي كِبَرِهِ.

“Maka, seperti itulah seorang anak yang tidak mempunyai adab sejak kecil. Tidak mungkin ia beradab saat dewasa.”

Dari cerita sederhana yang dituliskan Syekh Umar dalam Akhlaq Lil Banin dapat dipetik hikmah bahwa seorang anak haruslah beradab sejak kecil. Maka itu, peran orang tua pun sangat penting dalam membentuk anak yang beradab. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Bercakap tentang Adab

 

NAMUN Syafi’i muda bukanlah kita, yang –jangankan hafal-, tau sedikit tentang sesuatu saja, kadang kita merasa tidak perlu belajar lagi.
———–

Ceritanya hari itu seorang professor masuk ke kelas kami. Mengajar sebuah pelajaran sederhana: pengukuran tekanan darah. Bahasa awamnya, tensi.

Beliau cukup sepuh dibanding kami yang baru semester satu. Ekspektasi kami sederhana: ini orang pasti jagoan.

Izinkan saya potong sejenak. Secara umum, di dunia kami ada dua cabang besar dalam pembagian jalur kelimuan. Pertama jalur akademik, dan kedua jalur profesi. Yang pertama ini berkutat dengan pendidikan dan penelitian. Mereka yang memilihnya akan menjadi akademisi atau peneliti.

Dan yang kedua akan berkutat dengan kasus-kasus di lapangan. Mereka yang menekuninya akan menjadi seorang klinisi. Seorang calon dokter bisa memilih satu jalur atau dua-duanya. Menjadi peneliti, klinisi, atau klinisi yang terus meneliti.

Nah, professor kami tadi, beliau murni seorang peneliti. Sama sekali tidak bersentuhan dengan urusan klinis. Mungkin tersebab tidak pernah lagi memegang tensimeter –karena bukan klinisi-, beliau sedikit gelagapan saat mengajarkan tentang cara mengukur tekanan darah. Sesuatu yang –bahkan sebenarnya-, anda tidak harus menjadi dokter untuk bisa melakukannya.

Begitu beliau selesai dengan kelasnya, mulailah satu persatu reaksi bermunculan. “Amarah” yang dipendam selama pelajaran berlangsung kini seperti menemukan muaranya.

“Gimana sih, masak iya jadi dosen ngajarnya kayak gitu?”. Atau “Masak iya sih ngajar tensi aja nggak bisa?” Dan berbagai macam “umpatan-umpatan” lain yang sepertinya sudah tak kuasa ditahan lebih lama lagi.

Wajar sebenarnya. Toh professor itu memang tidak bisa memenuhi ekspektasi murid-muridnya. Tapi petanyaannya, apakah pantas? Nah, mari kita pelajari.
——
Kita tahu apa itu adab. Sederhananya, adab adalah bagaimana kita menempatkan diri kita pada sesuatu yang sedang kita hadapi. Itu adab.

Seberapa penting pembahasan adab ini kita masukan pada saat kita membahas tentang tema menuntut ilmu?

Maka jawabannya adalah persis seperti apa yang disampaikan oleh abddullah ibnul mubarak. Kata beliau, “belajarlah adab sebelum belajar ilmu, karena ilmu tidak akan berguna tanpa adab. Demi Allah, jika suatu saat kita mati saat mempelajari adab meskipun kita belum selesai mempelajari ilmu, maka itu sudah cukup bagi kita untuk menghadap Allah.”

Suatu hari Ibnu Sina sedang mendengarkan gurunya menyampaikan pengajarannya. Dengan kepandaian tingkat dewa yang dia punya, dia ajukan pertanyaan kepada sang guru, dengan maksud untuk menguji pemahaman gurunya. Jadi sebenarnya dia tahu apa jawabannya, namun dia ingin menguji seberapa hebat kemampuan gurunya. Tiba-tiba berdirilah seorang murid senior dan mengatakan tepat di depan Ibnu Sina.

“Perbaikilah adabmu, wahai putra Sina. Demi Allah aku sendiri yang akan menjawab pertanyaanmu. Tidak perlu guru yang turun tangan menjawab pertanyaanmu!”

Berbicara tentang adab menuntut ilmu, maka sebenarnya kita sedang berbicara tentang sesuatu yang jauh lebih penting daripada ilmu itu sendiri.

Imam Syafi’i dengan sangat cemerlang mengajari kita tentang hal ini. Beliau mempunyai dua guru. Imam Malik di madinah, dan Muslim bin Khalid Az-Zanji di makkah. Di dua tempat ini, seperti umumnya orang yang sedang berguru, imam syafi’i diberi kesempatan “magang” mengajar di majelis sang guru, dengan didampingi oleh beliau. Ada dua kursi di sana. Satu untuk Imam Syafi’i, satu untuk sang guru.

Di tengah-tengah beliau mengajar, beliau selalu menoleh ke arah sang guru, memastikan

bahwa apa yang beliau ucapkan sudah tepat, dan meminta koreksi jika apa yang beliau sampaikan ternyata keliru. Itu waktu gurunya masih hidup.

Hebatnya, begitu kedua gurunya meninggal, beliau sama sekali tidak merubah kebiasaan itu. Tetap ada dua kuris di sana. Yang satu kursi diduduki beliau, yang satu kursi dibiarkan kosong (seolah-olah sang guru akan datang dan menduduki kursi itu). Bahkan saat tengah asik mengajar, beberapa kali beliau menoleh ke kursi kosong itu, meminta persetujuan dan koreksi, seolah-olah sang guru sedang ada di sana mendampinginya. Hebat bukan?

Pada akhirnya kita mengerti. Kunci rahasia mengapa Imam Syafi’i begitu dihormati adalah karena beliau juga sangat menghormati guru-gurunya. Menempatkan mereka pada posisi dimana seharusnya mereka ditempatkan. Memperlakukan mereka dengan sebaik-baik perlakuan, dan memberi penghormatan dengan setulus-tulus penghormatan.

Mungkin akan selalu segar di ingatan kita bagaimana seorang Syafi’i muda, dengan azzam kuat yang beliau miliki, beliau membeli kitab al muwatho’ karangan Imam Malik. Lalu, begitu kitab itu ada di genggaman tangan, dia hafalkan kitab itu dari awal hingga akhir. Setelah itu dia pergi ke imam malik. Untuk apa? Untuk belajar Al Muwatho’ yang sudah dia hafal di luar kepala.

Namun Syafi’i muda bukanlah kita, yang –jangankan hafal-, tau sedikit tentang sesuatu saja, kadang kita merasa tidak perlu belajar lagi. Sekali lagi Syafi’i muda bukanlah seperti kita. Walau dia hafal betul semua detail tulisan di Al Muwatho’, dia tetap dengan seksama mendengar penjelasan Imam Malik.

Sebenarnya dia sudah tahu kata-kata apa yang akan disampaikan sang guru, namun dengan tekun dia dengarkan apa yang diajarkan gurunya itu, tanpa merasa sudah serba tahu. Hingga akhirnya imam malik yang justru menyadari “kejanggalan” ini.

“Nak, sepertinya kamu sudah tidak perlu aku ajari lagi. Sekarang gantian, kamu saja yang mengajar di sini.”

Dan ini yang menarik. Imam Malik, sang pengarang kitab Al Muwatho’ itu, beliau masih “membutuhkan” catatan saat mengajarkan kitabnya sendiri. Sedangkan Syafi’i? Dia tak perlu catatan lagi untuk mengajarkan kitab yang bahkan bukan karangannya.

Ikhwah, dari Imam Syafi’i kita belajar tentang sebuah hal besar. Ada sebuah rangkaian paling penting dalam keberjalanan kita menuntut ilmu. Dia dinamakan adab, utamanya adalah adab terhadap guru-guru kita yang dengan rela membagi ilmu yang mereka punya.

Tolak ukur kebermanfaatan ilmu kita adalah, dengan adanya ilmu yang kita punya, kita semakin dekat kepadaNya. Maka otomatis, kita akan semakin rendah hati, karena kita benar-benar menyadari bahwa kita tidak akan menjadi apa-apa kalau Allah tidak mengizinkannya.

Oleh karena itu, ketika ilmu yang kita punya justru membuat kita berani seenaknya menghina yang lainnya, menganggap rendah guru-guru kita, dan merasa tidak perlu lagi mendapat nasihat dari saudaranya, masihkah ia bisa dikatakan memberi manfaat untuk kita? Mari bertanya kepada diri kita masing-masing. Bisa jadi, belum manfaatnya ilmu kita selama ini hanya karena sebuah hal sederhana: buruknya adab kita. Maka, #MariBerbenah.

 

Oleh: Muhammad Syukri Kurnia Rahman, Ketua Puskomnas FSLDK

Penulis Buku “Hidup Sekali, Jangan Merugi

 

sumber: Islam Pos