Heboh Soal Agama yang Benar, Begini Fatwa MUI dan Dekrit Vatikan

Setiap muslim memang diwajibkan meyakini bahwa hanya Islam saja agama yang benar menurut Allah SWT. Setiap muslim pasti sudah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan Allah.

PADA  awal September ini, sejumlah media di Indonesia sedang ramai memuat berita hangat tentang ungkapan seorang pejabat tentang “kebenaran agama”. Katanya, “semua agama itu benar di mata Tuhan.”  Tentu saja, berita ini perlu diklarifikasi.

Tetapi, karena tersebar di media massa, maka persoalan itu perlu dijernihkan. Tulisan ini sekedar mengingatkan kembali fatwa MUI tentang Pluralisme dan Dekrit Vatikan “Dominus Iesus” yang juga membahas Pluralisme dan soal kebenaran agama-agama.

Tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang Aliran Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme. Judul lengkap fatwa MUI adalah: Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No : 7/Munas Vii/Mui/11/2005, tentang ALIRAN PLURALISME, SEKULARISME, DAN LIBERALISME.

Di antara pertimbangan dikeluarkannya fatwa tersebut, adalah bahwa: ”berkembangnya paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut.”

Dalam fatwa tersebut, Pluralisme Agama didefinisikan sebagai berikut;  “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

MUI memutuskan : (1) Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. (2) Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme Agama.

MUI mendasarkan fatwanya pada sejumlah ayat al-Quran dan hadits Nabi Muhammad ﷺ. Misalnya : ”Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS3:85).     ”Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS 3:19). ”Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS 109:6).

Hadits Nabi yang dijadikan landasan fatwa MUI ini antara lain: “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR: Muslim).

Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non muslim antara lain Kaisar Heraklius, raja Romawi yang beragama Nasrani, al Najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (Riwayat Ibn Sa`d dalam al Thabaqat al Kubra dan Imam al Bukhari dalam Shahih Bukhari).

*****

Begitulah fatwa MUI tentang kebenaran agama. Jadi, setiap muslim, memang diwajibkan meyakini bahwa hanya Islam saja agama yang benar menurut Allah SWT. Setiap muslim pasti sudah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan Allah.

Allah SWT mengutus Nabi Muhammad ﷺ kepada seluruh manusia, adalah untuk diimani. Utusan Allah kepada manusia itu memiliki tugas mulia untuk menegakkan Tauhid (QS 16:36) dan menyempurnakan akhlak manusia. Inilah ajaran Islam yang paling mendasar.

Bagaimana dengan agama Katolik? Bukan Tahun 2000, Vatikan mengeluarkan Dekrit Dominus Iesus (Baca: Dominus Yesus) yang menegaskan, bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan.

Dominus Iesus menolak paham Pluralisme Agama.  Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma. Dalam bukunya, Dupuis menyatakan, bahwa  ‘fullnes of thruth’  tidak akan terlahir sampai datangnya kiamat atau kedatangan Yesus Kedua. Jadi, katanya, semua agama terus berjalan– sebagaimana Kristen – menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam kerendahan hati karena kekurangan bersama dalam meraih kebenaran penuh tersebut.

Buku Toward a Christian theology  of Religious Pluralism pada intinya menyatakan, bahwa Yesus bukan satu-satunya jalan keselamatan. Penganut agama lain juga akan mengalami keselamatan, tanpa melalui Yesus.

Karena ajarannya itulah, pada Oktober 1988 ia mendapat notifikasi dari Kongregasi untuk Ajaran Iman. Ia dinyatakan “tidak bisa dipandang sebagai seorang teolog Katolik.” Surat itu ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger, yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI.

Jadi, Vatikan pun tidak bisa menerima pandangan yang menerima kebenaran semua agama. Vatikan bersikap tegas.

Untuk menegaskan kebenaran agama Katolik, pada 28 Januari 2000, Paus Yohanes Paulus II membuat pernyataan: “The Revelation of Jesus Christ is definitive and complete.” (Ajaran Jesus Kristus adalah sudah tetap dan komplit).

Karena itulah, menurut Paus Yohannes Paulus II: “Islam is not a religion of redemption.” “Islam bukan agama penyelamatan,” kata Paus.  Sebab, menurutnya, dalam Islam, tidak ada ruang untuk salib dan kebangkitan  (there is no room for the Cross and the Resurrection). (Lihat, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul II’s Papacy).

Lagi pula, jika dikatakan semua agama benar – menurut siapa saja – bisa kita tanyakan, agama mana saja. Jumlah agama di dunia sudah lebih dari 4.000. (https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5708636/agama-terbesar-di-dunia-2021-berdasarkan-jumlah-pemeluknya).  Ada agama yang ritualnya melakukan praktik minum darah dan seks bebas. (https://www.viva.co.id/berita/nasional/668989-ritual-minum-darah-dan-bersetubuh-raja-kertanegara). Tentu kita sudah paham, apakah agama semacam ini benar!  (Depok, 15 September 2021).*

Penulis Pengajar di Universitas Ibnu Khaldu, pengasuh Pondok Pesantren Attaqwa-Depok (ATCO)

HIDAYATULLAH

Agama Baru Bahaiyyah, Apakah Kafir?

Ajaran Bahaiyyah adalah agama yang baru di negeri ini bahkan diisukan sudah akan diresmikan oleh pemerintah. Bagaimana pandangan Islam mengenai ajaran agama bahaiyyah?

Syaikh Ibnu Baz pernah ditanya mengenai agama Bahaiyyah. Ajaran tersebut mengaku adanya nabi sepeninggal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah boleh menguburkan mereka di pemakaman kaum muslimin?

Jawaban dari Syaikh Ibnu Baz, “Jika memang ajaran dari Bahaiyyah sebagaimana yang kalian sebutkan, maka ia kafir. Tidak boleh menguburkan mereka di pemakaman kaum muslimin. Karena siapa saja yang mengklaim masih ada Nabi sepeninggal Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ia benar-benar pendusta dan kafir berdasarkan nash dan ijma’ -kata sepakat- kaum muslimin. Itu juga berarti telah mendustakan firman Allah Ta’ala,

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. ” (QS. Al Ahzab: 40).

Begitu pula terdapat hadits yang banyak yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa tidak ada Nabi lagi sepeninggal beliau dan beliau adalah penutup para nabi.

Begitu pula jika ada yang mengklaim bahwa Allah bersatu dengan nabi tadi atau bersatu dengan satu satu makhluk, ia pun kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Karena Allah Ta’ala tidaklah bersatu dengan salah satu dari makhluk-Nya. Allah itu begitu Agung dan Besar. Siapa yang berkeyakinan seperti itu, maka ia kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Ia telah mendustakan berbagai ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa sebenarnya Allah berada di atas ‘Arsy, menetap tinggi di atas seluruh makhluk-Nya. Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar, tidak ada yang serupa dan semisal dengan Allah. Allah Ta’ala telah memberitahukan pada hamba-Nya,

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al A’raaf: 54).

Begitu pula disebutkan dalam firman Allah,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thoha: 5)

Juga disebutkan dalam ayat lainnya,

فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ

Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Ghofir: 12)

Allah Ta’ala berfirman pula,

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik[1249] dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10).

Juga ada banyak ayat yang menyebutkan bahwa Allah itu menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya dan beristiwa’ sesuai dengan keagungan-Nya. Tidak ada satu makhluk pun yang serupa dengan Allah. Hanya Allah yang mengetahui hakekat Dia beristiwa’. Begitu pula mengenai hakekat Zat Allah, hanyalah Dia yang mengetahui. Itulah yang diterangkan oleh Allah dan inilah yang menjadi prinsip akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sudah dijelaskan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah juga yang menjadi keyakinan khulafaur rosyidin, para sahabat, tabi’in dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga saat ini.

Ketahuilah wahai saudaraku. Aku sendiri sebenarnya belum mengetahui mengenai kitab-kitab ajaran Bahaiyyah hingga saat ini. Namun aku telah mengetahui dari berbagai info, aliran ini kusimpulkan sebagai aliran sesat, ajarannya ajaran kafir, bukanlah Islam. Dari apa yang telah kusebutkan bisa menjawab pertanyaan di atas.

Setelah itu aku menelaah dan meneliti, terdapat dalam Majalah Al Hadyu An Nabawi yang diterbitkan di Mesir sebanyak empat jilid, terbit di bulan Ramadhan dan Dzulqo’dah tahun 1368 H, yang ketiga diterbitkan pada bulan Rabi’uts Tsani 1369. Diterangkan di situ bahwa Bahaullah adalah Rasul dari aliran Bahaiyyah. Ia mengaku sebagai penghapus syari’at sebelumnya dan meluruskannya. Setiap masa pun dibutuhkan Rasul. Mereka juga mengingkari adanya Malaikat. Hakekat malaikat menurut mereka adalah  arwah mukmin yang berada di atas. Mereka pun mengingkari hari berbangkit. Juga yang mereka ingkari adalah Dajjal. Jelas sekali bahwa mengaku dibutuhkannya Rasul sepeninggal Nabi kita Muhammad seperti yang diyakini oleh aliran Bahaiyyah adalah suatu kekufuran yang nyata.

Allah-lah yang memberi taufik. Tidak ada daya dan kekuatan selain Dia. Kami memohon pada Allah agar kalian dan saudara kita lainnya dari kaum mukminin mendapatkan taufik untuk mengenal kebenaran dan mengikutinya. Dialah yang Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Muhammad selaku hamba dan utusan Allah, sayyid dan pemimpin kita, begitu pula kepada keluarga dan sahabat, juga yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz, juz ke-13).

Alhamdulillah, semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://muslim.or.id/22226-agama-baru-bahaiyyah-apakah-kafir.html

Tidak Ada Paksaan dalam Agama

BERIKUT ini penafsiran tentang ayat Laa ikraha Fiddin, sebagaimana ditulis muslimorid. Semoga kita semua dapat memertik hikmahnya.

Allah Taala berfirman, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Sebagian orang salah dalam memahami ayat ini sehingga terjebak dalam pemahaman pluralisme agama. Yaitu bahwa semua agama itu benar, dan Islam bukanlah agama yang paling benar. Paham ini juga mengajarkan bahwa Islam memberi kebebasan kepada manusia untuk memeluk agama apa saja, dan agama apapun dapat mengantarkan pemeluknya kepada Surga Allah Taala. Dengan demikian, menurut para pluralis, dalam Islam tidak ada konsep mumin dan kafir.

Padahal Islam sama sekali tidak mengajarkan pluralisme agama, bahkan Islam mengajarkan tauhid. Dan Allah Subhanahu Wa Taala sama sekali tidak ridha terhadap agama selain Islam, serta segala bentuk kemusyrikan. Lalu bagaimana dengan ayat di atas? Mari kita simak pembahasannya.

Penafsiran Ahli Tafsir

Islam mengajarkan kepada ummatnya agar mengembalikan setiap permasalahan kepada ahlinya. Allah Taala berfirman, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu” (QS. An Nahl: 43)

Bahkan, dalam urusan duniawi, harus dikembalikan kepada orang yang ahli dalam urusan tersebut. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda, “Engkau lebih tahu urusan dunia kalian” (HR Muslim no.2363)

Dan setiap orang berakal tentu akan menerima konsep kembalikanlah setiap urusan kepada ahlinya. Kita tentu tidak akan menanyakan obat suatu penyakit kepada ahli matematika, melainkan kepada dokter bukan?Oleh karena itu marilah kita bersikap bijak untuk mengembalikan urusan penafsiran Al Quran kepada ulama ahli tafsir, bukan opini masing-masing atau opini dari orang yang bukan ulama ahli tafsir.

Seorang imam ahli tafsir yang terkemuka, Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan:”Para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini dalam enam pendapat:

-Ada yang berpendapat bahwa ayat ini mansukh (dihapus). Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memaksa orang arab untuk masuk Islam dan memerangi mereka. Beliau tidak ridha kepada mereka hingga mereka masuk Islam”. Sulaiman bin Musa berkata, Ayat ini dinasakh (dihapus) oleh ayat “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya” (QS. At Taubah: 73). Pendapat pertama ini diriwayatkan pula dari Ibnu Masud dan dari banyak ahli tafsir.

-Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus), namun ayat ini ditujukan bagi ahli kitab saja. Sehingga ahli kitab tidak dipaksa masuk Islam selama mereka membayar jizyah. Yang dipaksa adalah kaum kuffar penyembah berhala. Merekalah yang dimaksud oleh surat At Taubah ayat 73. Inilah pendapat Asy Syabi, Qatadah dan Adh Dhahhak.

-Berdasarkan yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas Radhiallahuanhu, beliau berkata, “Ayat ini diturunkan kepada kaum Anshar. Ketika itu ada seorang wanita selama hidupnya tidak memiliki anak. Ia berjanji pada dirinya, jika ia memiliki anak, anak tersebut akan dijadikan beragama Yahudi. Sampai suatu ketika datanglah Bani Nadhir yang juga membawa beberapa anak dari kaum Anshar bersama mereka. Kaum Anshar berkata, “Kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Ketika itu kami (kaum Anshar) memandang agama yang mereka bawa (Yahudi) lebih baik. Namun ketika kami masuk Islam, kami ingin memaksa anak-anak kami”. Kemudian turunlah ayat ini. Ini adalah pendapat Said bin Jubair, Asy Syabi dan Mujahid.

-As Sudiy berkata, “Ayat ini turun kepada seorang lelaki kaum Anshar yang bernama Abul Hushain yang memiliki dua orang anak. Ketika itu datang para pedagang dari Syam yang membawa biji-bijian. Ketika mereka hendak pergi dari Madinah, mereka mengajak dua anak Abul Hushain untuk memeluk agama Nashrani. Mereka berdua pun akhirnya menjadi Nashrani dan ikut para pedagang tersebut ke Syam. Maka Abul Hushain pun datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sambil menangis dan memohon kepada Rasulullah agar mengutus seseorang untuk mengambil mereka berdua. Lalu turunlah ayat ini”

-Makna ayat ini: “Orang yang ber-Islam karena kalah perang tidak boleh mengatakan bahwa ia dipaksa masuk Islam”

6. Ayat ini turun bagi tawanan yang berasal dari golongan ahli kitab yang sudah tua. Karena tawanan yang berasal dari golongan Majusi dan penyembah berhala, semua dipaksa masuk Islam baik yang tua maupun muda. Ini pendapat Asyhab.” (Dinukil dari Tafsir Al Qurthubi secara ringkas)

Adanya perbedaan pendapat ini juga dipaparkan oleh Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari, Abu Hatim dalam Tafsir Abi Hatim, Asy Syaukani dalam Fathul Qadhir, dan beberapa ulama ahli tafsir yang lain.

Namun sebagian ulama menafsirkan ayat ini secara mujmal (umum). Sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni. Ash Shabuni menafsirkan ayat ini, “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam karena telah jelas perbedaan antara kebenaran dan kebatilan dan hidayah telah terbedakan dari kesesatan” (Shafwatut Tafasir)

Pendapat yang lebih kuat, wallahualam, sebagaimana yang dikuatkan oleh imam ahli tafsir yang lain, Ibnu Jarir Ath Thabari, setelah memberikan sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan ayat ini mansukh (dihapus), beliau menyimpulkan makna ayat, “Sehingga jelas bahwa makna ayat ini adalah: Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam bagi orang kafir yang dikenai jizyah dan telah membayarnya dan mereka ridha terhadap hukum Islam.” (Tafsir Ath Thabari)

Telah Jelas Kebenaran dan Kebatilan

Perbedaan di antara ahli tafsir tersebut masing-masing didasari oleh riwayat-riwayat dari para sahabat, atau dari para ulama tabiin dan tabiut tabiin. Sehingga setiap pendapat dapat diterima dan dapat ditoleransi. Jika demikian, andaikan seseorang mengambil pendapat ulama ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini tidak mansukh (dihapus) dan menafsirkan ayat ini secara umum, yaitu tidak ada paksaan untuk memeluk Islam bagi siapa pun, sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni, pendapat ini tetap tidak sejalan dengan konsep pluralisme agama. Sama sekali tidak! Karena Allah Taala berfirman, “Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Jelas bahwa pendapat ini menetapkan bahwa telah jelaskan kebenaran Islam dan telah jelaslah kebatilan agama selain Islam. Sehingga orang yang berhati bersih dan memandang dengan jernih tentu akan melihat kebenaran itu dan dengan sendirinya masuk Islam tanpa perlu dipaksa. Sedangkan orang yang enggan masuk Islam seolah-olah ia buta dan tertutup hatinya sehingga tidak dapat melihat kebenaran yang begitu jelas ini.

Ibnu Katsir menyatakan, “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehingga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk Islam” (Tafsir Ibnu Katsir)

Senada dengan beliau, Ibnu Jarir Ath Thabari juga berkata: “Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kebatilan. Dan telah jelas sudah sisi kebenaran bagi para pencari kebenaran. Dan kebenaran ini telah terbedakan dari kesesatan. Sehingga tidak perlu lagi memaksa para ahli kitab dan orang-orang kafir yang dikenai jizyah untuk memeluk agama Islam, agama yang benar. Dan orang-orang yang berpaling dari kebenaran ini setelah jelas baginya, biarlah Allah yang mengurusnya. Sungguh Allahlah yang akan mempersiapkan hukuman bagi mereka di akhirat kelak” (Tafsir Ath Thabari)

Maka jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka, bukan membenarkan semua agama yang ada, dan bukan menghilangkan status kafir dari diri mereka sebagaimana diklaim oleh para pluralis.

Agama yang Benar Hanya Islam

Satu hal yang wajib dijadikan pegangan setiap muslim, yaitu bahwa ayat-ayat Al Quran tidak ada yang saling bertentangan. Allah Taala berfirman, Apakah kalian tidak mentadabburi Al Quran? Andaikan Al Quran bukan diturunkan dari sisi Allah, tentu akan banyak pertentangan di dalamnya” (QS. An Nisa: 82)

Dan di dalam ayat lain, pemahaman bahwa semua agama sama dan semua agama itu benar telah dibantah oleh Allah Taala sendiri. Allah Taala berfirman, “Agama yang diridai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)

Allah Taala juga berfirman, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al Imran: 85)

Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan Islam dalam ayat-ayat ini dengan berserah diri. Menurut mereka, semua agama itu benar asalkan berserah diri kepada Tuhan. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam,

“Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8)

Sehingga ber-Islam bukanlah hanya sekedar berserah diri kepada Tuhan, siapapun Tuhan-nya. Namun Islam yang diinginkan oleh Allah Taala adalah berserah diri kepada Allah Taala saja dengan menyembah Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada yang lain.

Inilah inti ajaran Islam. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda,

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallah” (HR. Bukhari no. 1399, Muslim no. 124)

Oleh karena itu jelaslah, bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak mengakui bahwa Islam itu agamanya yang paling benar dan agama yang hanya diridhai oleh Allah Taala.

Dari sini kita pun melihat keanehan dan kelemahan argumen para pluralis, mereka mencomot sebuah dalil namun di sisi lain menginjak-injak dalil yang lain.

Tidak Memaksa Bukan Tidak Membenci

Inti ajaran Islam adalah mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Taala semata. Karena hanya Allah Taala-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah. Allah Taala-lah Dzat yang paling berhak mendapat kecintaan dan ketundukan terbesar dari setiap manusia. Konsekuensinya, seorang mukmin akan membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah dan kecintaan terhadap sesembahan selain Allah, serta membenci orang-orang yang melakukan demikian.

Sebagaimana firman Allah Taala,

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)

Sebagai bentuk kebencian itu, Allah Taala juga melarang kaum muminin menjadi teman akrab, merendahkan diri, serta tunduk kepada orang kafir,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, sebagai wali. (Yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)

Wali secara bahasa artinya orang yang dicintai, teman akrab, atau penolong (Lihat Qamush Al Muhith). Selain itu, rasa benci terhadap kekufuran ini adalah tuntutan iman dan syarat sempurnanya iman.

Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam juga bersabda,

“Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Dengan demikian jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak membenci mereka. Kita tidak memaksa mereka, namun tetap menyimpan rasa benci kepada mereka selama mereka belum mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah dan memeluk Islam.

Namun perlu digaris bawahi, rasa benci terhadap kekufuran dan orang kafir wajib ada di hati setiap muslim. Akan tetapi kebencian ini bukan berarti harus menyakiti, menzhalimi atau bahkan membunuh setiap orang kafir yang kita jumpai. Karena dalam aturan Islam, orang kafir dibagi menjadi beberapa jenis, ada yang boleh disakiti dan diperangi, ada pula orang kafir yang haram untuk disakiti dan diperangi. Hal ini telah kami singgung dalam artikel “Salah Kaprah Memahami Islam Sebagai Rahmatan Lil Alamin”. Walau demikian tetap tidak boleh memberikan kasih sayang dan loyalitas kepada mereka.

Demikian penjelasan singkat mengenai tafsir ayat ini. Mudah-mudahan Allah Taala senantiasa memberikan kita keteguhan hati untuk terus meniti di atas jalan-Nya yang lurus.

 

MOZAIK

—————————————————————-
Download-lah Aplikasi CEK PORSI HAJI dari Smartphone Android Anda agar Anda juga bisa menerima artikel keislaman ( termasuk bisa cek Porsi Haji dan Status Visa Umrah Anda) setiap hari!
—————————————————————-