Menjadi Haji Sesungguhnya

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

 

Ibadah haji terdiri dari rangkaian ritual yang saling berkesinambungan satu sama lain. Pemahaman pesan ritus-ritus ibadah haji sangat dibutuhkan ketika mengerjakannya. Tanpa pemahaman yang baik dan mendalam, seseorang bisa terjebak dalam kelelahan fisik semata dan bahkan bisa terjebak dalam kemusyrikan ritual.

Untuk menghindari itu, bekal ketakwaan mutlak diperlukan. Salah satu dari bekal ketakwaan ini adalah memahami simbol-simbol ibadah haji. Dan, sebagai bahan renungan, mari kita resapi kisah berikut ini.

Alkisah, antara al-Syibli dan seorang tokoh sufi bernama Zainal Abidin. Sepulang dari menunaikan ibadah haji, al-Syibli segera menemui Zainal Abidin, seorang sufi besar dari keluarga Rasulullah SAW. Dalam pertemuan itu, Zainal Abidin bertanya kepada al-Syibli secara bertubi-tubi.

Ketika engkau sampai di miqat di mana engkau menanggalkan pakaian berjahit sebagai simbol keduniawian, apakah engkau berniat juga menanggalkan pakaian kemaksiatan dan berganti dengan pakaian ketakwaan. Apakah saat itu saja engkau tanggalkan riya dalam segala hal. Apakah engkau juga menanggalkan sifat kemunafikan dan yang sibhat?

Ketika engkau berihram tanda engkau memulai kegiatan haji, apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah, lalu engkau mencari yang halal dan thayib. Ketika engkau menuju Kota Suci Makkah, apakah engkau berniat untuk berjalan menuju Allah karena di sana terdapat Baitullah.

Ketika engkau memasuki Masjidil Haram, di mana manusia dari seluruh dunia datang, apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak berucap apa pun kecuali berzikir kepada Allah Ketika engkau sa’i, apakah engkau merasa sedang menuju dan lari menuju Allah di antara cemas dan penuh harap, sebagaimana disimbolkan oleh Siti Hajar yang sedang mencari air demi kelangsungan hidup putranya, Ismail.

Ketika engkau wukuf di Arafah, adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan masa lalumu yang tersembunyi dan engkau sengaja menyembunyikannya. Ketika engkau berangkat ke Muna (Mina), apakah engaku bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu, dan hatimu seperti yang dilakukan oleh setan terhadap Nabi Ibrahim AS. Dan ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau juga berniat memerangi iblis yang sering bersarang di hatimu.

Mendengar pertanyaan Zainal Abidin yang bertubi-tubi itu, al-Syibli diam seribu bahasa. Ia hanya berkata, “Tidak”. Mendengar jawaban al-Syibli itu, Zainal Abidin lalu berkata, “Wahai kawan, Engkau belum pergi ke miqat, belum berihram, belum thawaf, belum sa’i, belum wukuf, belum ke Muna, dan belum melempar jumrah.”

Mendengar itu, al-Syibli menangis, karena pertanyaan yang diajukan Zainal Abidin bukan saja benar, malainkan telah menghunjam hatinya, hingga ia sadar bahwa ibadah hajinya baru kulit belum isi, baru lahiriah belum yang esensi. Kisah ini dapat menjadi cermin untuk kita semua, baik yang sudah pernah haji maupun untuk yang sedang melaksanakan haji, sehingga bisa lebih berhati-hati.

 

sumber: Republika Online

Berakhirnya Ramadhan, Manusia Dibagi Jadi Tiga Kelompok

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

Sebagai seorang Muslim, kita patut sedih dan berat hati berpisah dengan bulan Ramadhan. Kita berharap dan berdoa agar amal ibadah kita diterima, istiqamah dalam ibadah dan amal saleh, dan dipertemukan kembali dengan Ramadhan mendatang.

Berbagai keutamaan bulan Ramadhan telah memotivasi kita untuk meraihnya. Tidak mengherankan bila pada Ramadhan, masjid dan mushala penuh dengan jamaah shalat lima waktu, Tarawih, dan witir serta tadarus Alquran. Begitu pula, umat Islam berlomba-lomba berbuat kebaikan dengan berinfak, bersedekah, dan lainnya.

Berakhirnya Ramadhan, menjadikan manusia terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, golongan yang tetap taat dalam kebenaran dan kebaikan. Mereka menjadikan Ramadhan sebagai ghanimah rabbaniyah atau hadiah termahal dari Allah SWT untuk meraih takwa.

Kedua, golongan yang kembali kumat bakda Ramadhan. Inilah orang-orang yang dijajah oleh hawa nafsunya. Baginya, Ramadhan seperti obat nyamuk. Ketiga, golongan yang biasa-biasa saja, mau di bulan atau di luar Ramadhan, baginya sama saja, tak ada yang istimewa.

Golongan kedua dan ketiga, setali tiga uang. “Rugilah orang yang memasuki dan mengakhiri Ramadhan sementara dosanya tidak Allah ampuni.” (HR Tirmidzi). Ke mana pahala puasanya? Orang itu hanya kebagian haus dan lapar, hanya mendapat capai dan letih. Dan, inilah orang yang tekor, paling merugi tiada tara. (HR Nasa’i).

Golongan pertama ini, jika Ramadhan berlalu, berada di antara dua keadaan: antara khawatir dan harap. Khawatir jika umurnya tidak sampai ke Ramadhan berikutnya. Khawatir jika amalnya tidak bisa menebus dosa-dosanya. Dan, berharap semoga amal ibadah mereka diterima, dicatat sebagai amal saleh, dan keluar dari Ramadhan sebagai pemenang.

Sejatinya pasca-Ramadhan, kita tetap istiqamah dan mampu serta terbiasa melakukan aktivitas ibadah dan amal saleh untuk hari-hari berikutnya selama 11 bulan. Sungguh Ramadhan telah memberikan pembelajaran terhadap kepribadian seorang Muslim untuk melahirkan insan yang bertakwa.

Di antaranya, pertama, semangat beribadah dan beramal saleh secara kualitas maupun kuantitas. Kedua, menjaga diri dari maksiat. Ramadhan lalu telah mengajarkan kepada kita bagaimana mengendalikan diri dan hawa nafsu lewat ibadah puasa.

Maka, sudah sepatutnya setelah Ramadhan kita mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu dan maksiat, baik berupa perkataan yang haram, seperti ghibah, mencaci maki, menghina, menipu, memfitnah, maupun perbuatan yang haram, seperti mencuri, merampok, mencopet, korupsi, memukul, membunuh, dan sebagainya. Dengan begitu, pasca-Ramadhan perilaku kita menjadi lebih baik.

Ketiga, suka membantu dan mencintai saudara seiman. Keempat, selalu menjaga shalat berjamaah di masjid atau mushala. Sejatinya semangat shalat berjamaah ini bisa dipertahankan dan dilanjutkan pada shalat lima waktu setelah Ramadhan.

Kelima, menjaga shalat sunah. Keenam, suka membaca Alquran. Sepeninggal Ramadhan, kita diharapkan terbiasa membaca Alquran dan berinteraksi dengannya pada setiap saat.

Semoga nuansa Ramadhan senantiasa membekas dan memancar dalam hidup dan kehidupan kita pada bulan-bulan di luar Ramadhan sehingga tujuan ibadah Ramadhan menjadikan manusia sebagai insan takwa terus terpelihara dengan baik. Amin. n