Ketika Timbangan Amal Baik dan Buruk Seimbang

Alquran menerangkan bahwa ada penghuni surga dan neraka, tapi ada juga orang-orang yang tidak masuk surga dan neraka. Mereka tertahan di A’raf yakni tempat mereka yang tidak masuk surga dan neraka karena timbangan amal baik dan buruknya seimbang.

Mereka yang tertahan di A’raf menanti keputusan Allah SWT. Hal ini dijelaskan dalam Surah Al-A’raf Ayat 46 dan tafsirnya.

وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌۚ وَعَلَى الْاَعْرَافِ رِجَالٌ يَّعْرِفُوْنَ كُلًّا ۢ بِسِيْمٰىهُمْۚ وَنَادَوْا اَصْحٰبَ الْجَنَّةِ اَنْ سَلٰمٌ عَلَيْكُمْۗ لَمْ يَدْخُلُوْهَا وَهُمْ يَطْمَعُوْنَ

Dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada tabir dan di atas A‘raf (tempat yang tertinggi) ada orang-orang yang saling mengenal, masing-masing dengan tanda-tandanya. Mereka menyeru penghuni surga, “Salamun ‘alaikum” (salam sejahtera bagimu). Mereka belum dapat masuk, tetapi mereka ingin segera (masuk). (QS Al-A’raf: 46).

Dalam Tafsir Kementerian Agama, ayat ini menerangkan bahwa antara penghuni surga dan penghuni neraka ada batas yang sangat kokoh. Batas itu berupa pagar tembok yang tidak memungkinkan masing-masing dari mereka keluar dan berpindah tempat.

Di atas pagar tembok itu ada suatu tempat yang tertinggi, tempat orang-orang yang belum dimasukkan ke dalam surga. Mereka bertahan di sana menunggu keputusan dari Allah SWT. Dari tempat yang tinggi itu mereka bisa melihat penghuni surga dan melihat penghuni neraka.

Kedua penghuni itu kenal dengan tanda yang ada pada mereka masing-masing. Seperti mengenal mukanya yang telah disifatkan Allah dalam Alquran.

Firman Allah, “Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup debu (suram), tertutup oleh kegelapan (ditimpa kehinaan dan kesusahan). Mereka itulah orang-orang kafir yang durhaka.” (QS Abasa: 38-42)

Mereka yang tinggal di tempat yang tinggi di atas pagar batas itu mempunyai kebaikan yang seimbang dengan kejahatannya, sehingga belum bisa dimasukkan ke dalam surga. Tetapi mereka juga tidak menjadi penghuni neraka. Mereka untuk sementara ditempatkan di sana, sambil menunggu rahmat dan karunia Allah untuk dapat masuk ke dalam surga.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Diletakkan timbangan pada hari Kiamat lalu ditimbanglah semua kebaikan dan kejahatan. Maka orang-orang yang lebih berat timbangan kebaikannya dari pada timbangan kejahatannya meskipun sebesar biji sawi atau atom dia akan masuk surga. Orang yang lebih berat timbangan kejahatannya dari pada timbangan kebaikannya meskipun sebesar biji sawi atau atom, ia akan masuk neraka.”

Dikatakan kepada Rasulullah, “Bagaimana orang yang sama timbangan kebaikannya dengan timbangan kejahatannya?” Rasulullah menjawab, “Mereka itulah penghuni A’raf, mereka itu belum memasuki surga tetapi mereka sangat ingin memasukinya.” (HR Ibnu Jarir dari Ibnu Mas’ud)

Sesudah itu Ibnu Mas’ud mengatakan, sesungguhnya timbangan itu bisa berat dan bisa ringan oleh sebuah biji yang kecil saja. Siapa yang timbangan kebaikan dan kejahatannya sama-sama berat, mereka penghuni A’raf, mereka berdiri menunggu di atas jembatan. Kemudian mereka dipalingkan melihat penghuni surga dan neraka. Apabila mereka melihat penghuni surga, mereka mengucapkan, “Keselamatan dan kesejahteraan bagimu.” Apabila pandangan mereka dipalingkan ke kiri, mereka melihat penghuni neraka, seraya berkata, “Ya Tuhan kami janganlah Engkau tempatkan kami bersama dengan orang-orang zalim.”

Mereka sama-sama berlindung diri kepada Allah dari tempat mereka. Ibnu Mas’ud mengatakan, orang yang mempunyai kebaikan, mereka diberi cahaya yang menerangi bagian depan dan kanan mereka. Tiap-tiap orang dan tiap-tiap umat diberi cahaya setibanya mereka di atas jembatan, Allah padamkan cahaya orang-orang munafik laki-laki dan munafik perempuan. Tatkala penghuni surga melihat apa yang di hadapan orang-orang munafik, mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah cahaya kami.”

Adapun penghuni A’raf, cahaya mereka ada di tangan mereka, tidak akan tanggal. Pada waktu itu Allah berfirman, “Mereka belum dapat masuk, tetapi mereka ingin segera (masuk).” (QS Al-A’raf: 46) 

Yang dimaksud dalam ayat ini, bahwa penghuni A’raf itu menyeru penghuni surga, mengucapkan selamat sejahtera, karena kerinduan mereka atas nikmat yang telah diberikan Allah kepada penghuni surga. Mereka belum juga dapat masuk ke dalamnya, sedang hati mereka sudah sangat rindu untuk masuk.

IHRAM

Merasa Senang karena Orang Lain Tahu Amal Baik Kita, Apakah Termasuk Riya?

Bismillahirrahmanirrahim..

Anda sudah berusaha menyembunyikan amal shalih, namun Allah buka sehingga orang lain tahu. Lalu, hati Anda bahagia dengan kenyataan tersebut. Apakah seperti ini termasuk riya’?

Termasuk atau tidaknya, tergantung pada motivasi bahagianya. Jika bahagia karena kemampuan dirinya yang bisa melakukan amal-amal kebaikan yang diketahui orang-orang, maka ini berbahaya. Karena bisa terjatuh ke dalam dosa ujub yang berdampak pada gugurnya pahala. Jika bahagianya karena kuasa dan rahmat Allah yang telah menampakkan kebaikan dan menutupi aib-aibnya, maka ini bukan ujub dan bukan riya’. Bahkan ini adalah nikmat dari Allah ‘azza wa jalla dan membuahkan pahala karena ada unsur syukur di dalamnya. Di antara bentuk syukur adalah bahagia atas nikmat yang telah Allah berikan.

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَعْمَلُ الْعَمَلَ فَيُطَّلَعُ عَلَيْهِ فَيُعْجِبُنِي

“Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah melakukan suatu amalan, lantas amalan tersebut diperlihatkan kepadaku hingga saya kagum.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لَكَ أَجْرَانِ أَجْرُ السِّرِّ وَأَجْرُ الْعَلَانِيَةِ

“Kamu mendapatkan dua pahala, pahala amalan yang dilakukan saat tak seorang pun yang melihat dan ketika ditampakkan.” (HR. Ibnu Majah)

Di dalam hadis yang lain, riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu,

يا رسول الله، أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير ويحمده الناس عليه؟

“Ya Rasulullah, seorang telah melakukan amal baik, lalu orang-orang memujinya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

تلك عاجل بشرى المؤمن

“Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk orang mukmin.”

Di dalam kitab Mukhtasar Minhaj Al-Qosidin (hal. 213 – 214), Ibnu Qudamah rahimahullah menerangkan,

أن السرور ينقسم إلى محمود ومذموم، فالمحمود: أن يكون قصده إخفاء الطاعة، والإخلاص لله، ولكن لما اطلع عليه الخلق، علم أن الله أطلعهم، وأظهر الجميل من أحواله، فيُسَرُّ بحسن صنع الله، ونظره له، ولطفه به، حيث كان يستر الطاعة والمعصية, فأظهر الله عليه الطاعة، وستر عليه المعصية، ولا لطف أعظم من ستر القبيح، وإظهار الجميل، فيكون فرحه بذلك، لا بحمد الناس وقيام المنزلة في قلوبهم، أو يستدل بإظهار الله الجميل، وستر القبيح في الدنيا، أنه كذلك يفعل به في الآخرة. فَأَمَّا إن كان فرحه باطلاع الناس عليه؛ لقيام منزلته عندهم حتى يمدحوه، ويعظموه، ويقضوا حوائجه، فهذا مكروه مذموم

“Bahagia karena amalan dilihat orang, hukumnya terbagi menjadi dua:

1. Terpuji

2. Tercela

Terpuji, jika tujuan awalnya menyembunyikan amal dan niatnya ikhlas. Akan tetapi, ketika kebaikannya itu dilihat orang lain, dia menyadari bahwa Allah yang telah menampakkan amal baiknya, Allah yang menampakkan keindahannya.

Dia pun bahagia atas kebaikan Allah, perhatian, dan kelembutan-Nya kepada dirinya. Dia berusaha menutupi amalan baik dan dosa, namun Allah tampakkan amalan baiknya dan Allah tutup dosa-dosanya. Tak ada kelembutan yang lebih berkesan dari kelembutan berupa ditutupi semua aib, kemudian ditampakkan keindahan.

Sehingga bahagianya karena itu, bukan karena pujian manusia atau kedudukan yang dia dapatkan di hati mereka.

Atau ia bahagia karena di saat Allah menampakkan kebaikannya di dunia dan Allah tutupi dosa-dosanya, itu isyarat bahwa Allah akan bersikap demikian pula di akhirat kelak.

Adapun jika bahagianya semata karena orang-orang tahu amal shalihnya, penghormatan orang-orang kepadanya sampai mereka menyanjung kebaikannya, memuliakan dan menuju kebutuhan-kebutuhannya, maka bahagia yang seperti ini dibenci Allah dan tercela.”

Wallahul Muwaffiq.

***

Ditulis oleh: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/69238-merasa-senang-karena-orang-lain-tahu-amal-baik-kita-apakah-termasuk-riya.html

Menunda Amal Baik Penyakit Hati Sangat Tercela

TASWIF adalah menangguhkan amal baik sampai waktu yang diinginkan, padahal saat itu seseorang sudah mampu dan tidak ada halangan untuk melakukannya.

Sikap ini termasuk penyakit hati yang sangat tercela, apalagi jika yang ditangguhkannya itu amal-amal akhirat, seperti menangguhkan tobat sampai puas berbuat dosa, menangguhkan infak sampai kaya terlebih dahulu, menangguhkan salat sampai betul-betul tidak sibuk, menangguhkan menutup aurat sampai menjadi tua.

Sikap taswif mengakibatkan hal-hal berikut:
1. Meninggalkan amal ibadah. Karena, apa yang tersirat dalam hati itu sebenarnya tipuan setan untuk melemahkan kemauan seseorang, menghabiskan waktu, dan membuatnya lelah dengan kesibukan lain sehingga kekuatan untuk melaksanakan ibadah menjadi terkuras.

2. Tidak sungguh-sungguh dalam beribadah. Ibadah dianggapnya belum perlu dilakukan.
3. Pesimis dalam setiap pekerjaan.
4. Tertinggal oleh orang yang sudah berlomba dan bersegera meraih kesuksesan.

Allah dan Rasul-Nya membenci sikap ini. Artinya, kita mesti bersegera menjalankan kebaikan. Allah berfirman, “Bersegeralah kamu pada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga.” (QS. Ali Imran, 133).

Rasulullah Saw bersabda, “Kamu harus mengambil keuntungan dari yang lima sebelum datang yang lima, yaitu (1) ambil keuntungan masa mudamu sebelum datang masa tuamu, (2) ambil keuntungan waktu sehatmu sebelum datang sakitmu, (3) ambil keuntungan masa kayamu sebelum datang masa fakirmu, (4) ambil keuntungan waktu senggangmu sebelum datang waktu sibukmu, dan (5) ambil keuntungan dari hidupmu sebelum datang masa kematianmu.” (H.R.Hakim) [Uwes Al-Qorni, 60 Penyakit Hati]