Perempuan difabel ini sempat menangis. Sesaat setelah dilarang mengenakan hijab.
Miftahul Jannah, nama perempuan itu. Ia enggan mengikuti instruksi wasit agar bertanding tanpa penutup kepala. Penggunaan hijab dinilai panitia melanggar aturan keselamatan olahraga para judo.
Miftah mengambil keputusan “jantan”. Ia memilih mundur dan akhirnya, dia diskualifikasi.
Gadis Aceh itu dianggap kalah dan lawan tandingnya wakil Mongolia, Oyun Gantulga berhasil jadi pahlawan di balik hijab.
Meski ada desas-desus peraturan bahwa memang “diperbolehkan” menggunakan hijab tapi harus berupa “turban”, hanya menutup kepala tapi leher masih jelas tampak.
Produsen pakaian olahraga Nike sendiri pernah mengeluarkan produk serupa turban. Namun produk tersebut dikecam habis-habisan oleh kaum feminis.
Miftahul Jannah bukan yang pertama. Aulia, siswi SMPIT Harapan Umat, Ngawi, Jawa Timur, memilih mengundurkan diri dari kejuaraan karate se-Jawa Timur. Setali tiga uang, ia tak mau melepas dan mengganti jilbabnya.
Kembali ke Miftah. Jika memang dilarang mengapa sedari awal panitia pada saat technical meeting tidak memberi tahu bahwa ia dilarang melapang di laga judo?
Miftahul Jannah. Barangkali dia seperti namanya; kunci surga. Keputusannya mudah-mudahan menjadi jalan menuju surga.
Ia telah berhasil bertanding dengan diri sendiri dan menaklukkan diri dengan keputusan-keputusan yang tak ringan.
“Saya bangga karena sudah bisa melawan diri sendiri, melawan ego sendiri. Saya punya prinsip tak mau dipandang terbaik di mata dunia, tapi di mata Allah,” tuturnya.
Miftah, kaulah juara bela diri itu!