Belajar Agama demi Mendapatkan Ijazah?

Para ulama, yaitu orang-orang yang mempelajari dan mendalami ilmu agama, mereka adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah Ta’ala di antara manusia yang lainnyaSebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء

“Sesungguhnya (hanyalah) yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, adalah para ulama.” (QS. Faathir [35]: 28)

Inilah buah dari niat mereka yang ikhlas ketika mempelajari ilmu agama, yaitu menumbuhkan rasa takut kepada Allah Ta’ala. Ilmu agama yang dipelajari menumbuhkan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Berdasarkan ayat ini, dapat disimpulkan bahwa ciri khas ulama adalah takut kepada Allah Ta’ala.

Ancaman bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama demi mendapatkan dunia

Terdapat hadis-hadis yang menunjukkan ancaman bagi orang-orang yang belajar ilmu agama hanya demi dunia. Di antaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa menuntut ilmu (agama) yang seharusnya untuk Allah, namun dia tidak menuntutnya kecuali untuk mencari dunia, maka pada hari kiamat dia tidak akan mendapatkan bau surga” (HR. Ibnu Majah no. 252, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ، وَيُجَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ جَهَنَّمَ

“Barang siapa mempelajari ilmu untuk mendebat ulama, merendahkan orang-orang bodoh, serta memalingkan perhatian manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka jahanam” (HR. Ibnu Majah no. 260, dinilai hasan oleh Al-Albani).

Menuntut ilmu agama demi mendapatkan ijazah?

Berhubungan dengan pembahasan di atas adalah pertanyaan (masalah), apabila seseorang menuntut ilmu agama di lembaga pendidikan formal, yang dengannya dia mendapatkan ijazah, apakah hal itu termasuk dalam larangan sebagaimana yang tercantum dalam hadis-hadis tersebut di atas?

Perlu diketahui bahwa ilmu yang dicari untuk mengharap wajah Allah Ta’ala adalah ilmu syariat, yaitu ilmu yang mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika niat seseorang ketika mempelajari ilmu tentang Al-Quran dan As-Sunnah adalah semata-mata untuk tujuan mendapatkan dunia (tidak ada niat untuk akhirat sedikit pun), dia tidak akan mencium bau surga. Padahal, bau surga itu bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian. Makna dari “tidak dapat mencium bau surga” adalah haram (tidak boleh) masuk surga.

Adapun mempelajari ilmu duniawi, yang bukan mempelajari Al-Quran dan As-Sunnah, dengan tujuan mendapat harta, maka hukumnya diperbolehkan. Karena memang ilmu tersebut adalah ilmu duniawi, sehingga wajar jika tujuannya untuk meraih duniawi. Meskipun demikian, hendaknya seorang muslim meniatkan ketika mempelajari ilmu duniawi tersebut agar dia dapat memberikan manfaat kepada kaum muslimin, atau sebagai sarana menegakkan dan mempermudah pelaksanaan ibadah-ibadah, sehingga dengannya dia mendulang pahala akhirat sesuai dengan niatnya tersebut.

Terdapat rincian hukum tentang seseorang yang mempelajari Al-Quran dan As-Sunnah dengan tujuan mendapatkan ijazah. Hadis yang menjadi pokok pembahasan hal ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya seluruh amal perbuatan manusia tergantung dari niatnya” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Pertama, jika gelar atau ijazah yang dimaksudkan adalah semata-mata hanya untuk tujuan mendapat pekerjaan, tidak ada niat untuk mendapatkan pahala akhirat, maka orang tersebut dinilai belajar agama hanya untuk tujuan dunia.

Kedua, jika gelar atau ijazah yang didapat dia maksudkan untuk bisa menempati suatu kedudukan sehingga dengan kedudukan (posisi) tersebut dia bisa memberikan banyak manfaat kepada manusia secara luas dan didengarkan oleh mereka, misalnya menjadi pengajar di masjid yang bisa memberikan pengarahan kepada para jamaah ataupun menjadi pengelola lembaga pendidikan Islam, maka hukumnya tidak mengapa.

Hal ini karena pada zaman sekarang ini manusia bisa jadi tidak dinilai berdasarkan ilmunya, tetapi berdasarkan ijazah yang dimilikinya. Oleh karena itu, dia belajar dan mengambil ijazah agar bisa mengajar dan memberi manfaat kepada kaum muslimin secara umum. Untuk rincian kedua ini berarti niatnya baik dan hukumnya tidak mengapa (boleh).

***

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD.

Sumber: https://muslim.or.id/67892-belajar-agama-demi-mendapatkan-ijazah.html

Muslim Harus Punya Motivasi Tinggi dalam Belajar Agama

Kita harus punya motivasi tinggi dalam belajar agama. Bagaimana kita bisa termotivasi dalam hal ini? Coba baca baik-baik tulisan berikut.

Kita mungkin banyak menyaksikan realita di sekitar kita, ketika seorang muslim saling berlomba untuk menjadi yang terdepan dan nomor satu dalam masalah dunia. Akan tetapi untuk masalah akhirat, dia sangat rela ketika orang lain yang menjadi “sang juara”. Hal ini bertolak belakang dengan seruan Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar setiap muslim saling berlomba dalam ketaatan dan ketakwaan untuk meraih berbagai kenikmatan di surga.

Islam Mendorong Seseorang untuk Memiliki Semangat dan Motivasi yang Tinggi

Islam adalah agama yang memotivasi agar umatnya memiliki semangat beramal yang tinggi serta menyibukkan diri dan memperhatikan masalah-masalah yang penting dan memiliki keutamaan yang agung. Islam juga menyeru kita untuk menjauhkan diri dari tenggelam ke dalam permasalahan-permasalahan sepele yang tidak banyak manfaatnya, baik manfaat di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak.

Marilah kita merenungkan firman Allah Ta’ala,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegaralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)

Allah Ta’ala juga menyifati hamba-hambaNya yang shalih karena mereka bersegera dalam kebaikan, ketika Allah Ta’ala berfirman tentang mereka,

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.” (QS. Al-Anbiyaa’: 90)

Begitu pula dengan firman Allah Ta’ala yang menyeru kita untuk bersegera dalam kebaikan dan berlomba-lomba untuk dalam mengerjakan amal shalih yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

Dan untuk yang demikian itu hendaknya manusia berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifin: 26)

Apakah Cita-Citamu yang Paling Tinggi?

Ketika ditanya tentang cita-cita, mungkin sebagian besar di antara kita menjawab dengan menyebutkan berbagai cita-cita yang berkaitan dengan urusan duniawi. Dalam hal duniawi pula, sebagian besar di antara kita berlomba-lomba di dunia ini, entah untuk meraih gelar akademik tertinggi; berlomba-lomba untuk meraih pangkat, jabatan, atau popularitas; atau bersaing dalam masalah harta dan kemewahan hidup di dunia. Sedikit di antara kita yang memposisikan akhirat sebagai cita-cita tertinggi dalam hidup kita di dunia ini.

Marilah kita merenungkan tentang cita-cita seorang shahabat yang mulia, Rabi’ah bin Ka’ab Al-Aslami radhiyallahu ‘anha ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Wahai Rabi’ah, memintalah kepadaku!” Rabi’ah berkata,”Aku meminta kepadamu agar aku bisa menemanimu di surga!”  Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  berkata, “Atau selain hal itu?” Rabi’ah berkata,”Ya, itu saja.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata,

فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

Maka bantulah aku dengan Engkau memperbanyak sujud.” (HR. Bukhari, no. 489)

Oleh karena itu, sangat jauhlah perbedaan antara orang yang cita-citanya tertuju pada makanan, minuman dan syahwat, dengan orang yang cita-citanya tertuju pada istana di surga!

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya cita-cita itu ada dua macam, (pertama) cita-cita yang kembalinya kepada dubur (makanan) dan qubul (seks); dan (ke dua) cita-cita yang terikat dengan yang berada di atas ‘Arsy, yaitu Allah Ta’ala.”  (Al-Fawaa’id karya Ibnul Qayyim rahimahullah. Dikutip dari Kaifa Tatahammas li Tholab Al-‘Ilmi Syar’i, hlm. 16-17.)

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Jika Engkau melihat ada seseorang yang menyaingimu dalam masalah dunia, maka saingilah dia dalam masalah akhirat.” (Lathaf Al-Ma’arif, hlm. 428.)

Wuhaib bin Warad rahimahullah mengatakan, “Jika Engkau mampu agar tidak ada seorang pun yang mendahuluimu menuju Allah, maka lakukanlah!”  (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 428.)

Niat yang ikhlas dan motivasi yang tinggi hendaknya menjadi jiwa yang menerangi langkah seorang muslim dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Sebagaimana seseorang bisa memiliki semangat yang membara untuk mengejar dunia, maka semangat yang lebih besar dan lebih tinggi harus dimiliki oleh seorang muslim untuk mengejar akhirat. Siapa saja yang bersungguh-sungguh, maka dialah yang akan menuai hasilnya karena surga Allah Ta’ala itu sangat mahal harganya.

Setiap detik waktu yang dimiliki oleh seorang mukmin hendaknya diisi dengan semangat, karena dia mengetahui betapa mulianya waktu tersebut. Barangsiapa yang menginginkan pahala, maka akan terasa ringanlah segala beban yang dia rasakan. Semakin tinggi cita-cita seseorang, maka segala rintangan, hambatan, kesulitan, dan keletihan yang dia alami akan terasa sangat kecil dan ringan. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Sungguh aku telah mengerahkan seluruh kemampuanku (untuk menuntut ilmu, pent.).” Dan ketika Imam Ahmad rahimahullah ditanya, “Kapankah seorang hamba merasakan nikmat istirahat (dari menuntut ilmu dan beramal, pent.)?, maka beliau rahimahullah menjawab, “Ketika dia pertama kali menginjakkan kakinya di surga.” (Ar-Raqa’iq karya Muhammad Ar-Rasyid. Dikutip dari Kaifa Tatahammas li Tholab Al-‘Ilmi Syar’i,hlm. 17.)

Oleh karena itu, cita-cita harus kita arahkan pada idealisme tertinggi demi meraih ilmu. Seorang tholibul ‘ilmi hendaklah memiliki cita-cita yang tinggi di dalam menuntut ilmu. Inilah salah satu adab yang harus dimiliki oleh seorang tholibul ‘ilmi dalam kehidupan ilmiyahnya.

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah berkata, ”Di antara akhlak Islam adalah berhias diri dengan cita-cita tinggi, yang menjadi titik sentral dan faktor pendorong bagi dirimu, juga yang mengawasi gerak-gerik badanmu. Cita-cita yang tinggi bisa mendatangkan kebaikan yang tidak terputus dengan izin Allah, agar Engkau bisa mencapai derajat yang sempurna. Cita-cita itu akan mengalirkan darah kesatriaan dalam urat nadimu dan mengayunkan langkah untuk menjalani dunia ilmu dan amal.”  (Hilyah Tholib Al-‘Ilmi, hlm. 35.)

Perkataan ini lantas dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Cita-cita tinggi inilah jadi sebab seseorang bisa semangat dalam mencari ilmu. Oleh karenanya seorang penuntut ilmu harusnya memiliki suatu target ketika ia belajar. Jangan sampai ia menyia-nyiakan waktu untuk menggapai cita-cita tersebut.” (Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi, hlm. 161)

Sumber: Buku “Mahasantri” karya M. Abduh Tuasikal dan M. Saifudin Hakim

Artikel Rumasyho.Com

‘Bahaya’ Belajar Agama secara Autodidak

DI TERAS kehidupan dunia, mencari ilmu  sangatlah penting. Bahkan dalam kacamata Islam  mencari ilmu bukan semata-mata dianjurkan, tetapi diwajibkan atas setiap laki-laki dan perempuan. Kewajiban menuntut ilmu adalah satu proses yang berkelanjutan, dimana titik akhirnya adalah ketika seseorang meninggal dunia.

Islam merupakan agama yang sangat menghormati, memuliakan dan memberi penekanan pada kepentingan ilmu. Apa pun yang dihubungkan dengan ilmu akan menjadi mulia. Para ulama mulia karena penguasaan dan pengamalannya terhadap ilmu. Suatu tempat menjadi mulia bila ditempati untuk majelis ilmu. Allah Ta’ala berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Allah Ta’ala akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Dia Mahatahu atas apa yang kalian kerjakan.” (QS:  al-Mujadalah: 11).

Dari situ nampak jelas, bahwa sebuah kemuliaan bermula dari ilmu. Ilmu merubah seseorang yang mulanya hina menjadi mulia, yang bukan siapa-siapa menjadi didengar suaranya. Maka seyogyanya seorang muslim juga memuliakan ilmu. Diantaranya adalah dengan menjaga karakteristik ilmu itu sendiri. Khususnya ilmu agama Islam.

Ilmu agama tidak bisa dipahami hanya dengan modal membaca buku (autodidak) dan searching di internet saja. Melainkan juga perlu adanya bimbingan dari ustadz yang ahli di bidangnya.

Said bin Ya’kub suatu saat bertanya kepada Imam Ibnu Mubarak, “Kami menemui nasihat-nasihat di buku-buku, apakah kami bisa mengambilnya?” Imam Ibnu Mubarak menjawab, ”Tidak mengapa jika engkau mendapati di tembok tertulis nasihat-nasihat, ambilah maka engkau memperoleh nasihat.” Dikatakan lagi kepada Imam Ibnu Mubarak, ”Bagaimana dengan fiqih?” Imam Ibnu Mubarak menjawab, ”Tidak lurus (fiqih) kecuali dengan menyimak.” (al-Jami’ li al-Akhlak ar-Rawi, 2/318-319)

Berkaca kepada para ulama, ditemukan keteladanan yang sudah semestinya diamalkan kaum muslimin saat ini. Mari buka mata, lihatlah! Lihatlah  lembaran-lembaran sejarah generasi terbaik umat ini. Biarkan hidung meraba, mencium harum jejak kebaikan yang mereka tapaki.

Betapa menakjubkan, mereka sangat ketat dalam menjaga sanad keilmuan. Para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, juga ulama salaf terdahulu belajar langsung dari sumbernya, face to face (bertatap muka).

Perjalanan jauh ditempuh untuk menuntut ilmu, tidak peduli meski jaraknya ribuan kilo meter. Guru di negeri seberang didatangi, tidak peduli meski terik matahari memanggang sekujur tubuh. Karenanya, seorang ulama bernama Abdullah bin al-Mubarak menyebutkan;

Sanad adalah bagian dari agama. Tanpa adanya sanad, maka siapa saja akan berbicara sesuka hatinya .” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/15)

Sanad terbagi menjadi dua; riwayah dan dirayah. Kajian kelimuan secara sanad riwayah berguna agar teks yang dikaji tidak ada penyelewengan baik berupa pemalsuan teks maupun kesalahan tulisan yang akan berimplikasi terhadap kesalahan makna dan arti teks yang tertulis. Sementara kajian kelimuan berlandaskan sanad dirayah (kontekstual) mempunyai tujuan agar tidak terjadi kesalahan pemahaman dalam mengkaji suatu teks keilmuan.

Realita hari ini

Dalam bukunya A History of Knowledge: Past, Present, and Future, Charles Van Doren, seorang cendikiawan asal Amerika, menggambarkan bahwa zaman sekarang dikenal dengan zaman ledakan ilmu pengetahuan (knowledge explosion).  Gambaran Van Doren tersebut benar adanya.

Setiap tahun, ratusan buku dan jurnal diterbitkan. Ilmu pengetahuan baru dan laman web selalu bermunculan dan tersebar di mana-mana. Hanya dalam hitungan detik saja, melalui teknologi internet misalnya, kita dapat mengetahui berbagai kejadian di berbagai belahan dunia, dari ufuk Timur hingga ufuk Barat.

Dizaman yang serba canggih seperti  ini banyak hal instant yang mudah diperoleh. Dimanapun, dalam kondisi bagaimanapun, dan kapanpun kita dapat mengakses ilmu agama yang sedang dibutuhkan lewat media cetak, internet, dan lainnya.

Mengkaitkan dengan hukum pemanfaatnnya, tentu kesemuanya sah-sah saja, boleh hukumnya dalam Islam. Seandainya ada seorang muslim belajar dari sumber tersebut ia tidak berdosa sama sekali.

Hanya saja, alangkah lebih baiknya jika pemahaman dari buku bacaan dikonfirmasikan dengan bimbingan dari ustadz yang mumpuni di bidangnya. Orang bisa saja menggali ilmu sendiri secara autodidak, namun yakinlah bahwa ilmunya tidak akan sempurna.

Bahaya, selalu waspadai!

Lebih parahnya, belajar agama tanpa bimbingan ustadz sangat rawan gagal paham ilmu agama. Taruhlah seseorang yang ingin mengetahui makna al-Qur’an. Sesungguhnya lafadz al-Qur’an bisa berupa metafora, mengandung makna ganda dan sifatnya global. Sehingga perlu rincian untuk menemukan hakikat makna sebenarnya.

Tanpa belajar dan tanpa bertanya ke salah seorang ustadz, guru atau orang alim, maka dapat dipastikan dia akan menemui kesulitan. Dan seringnya kesulitan maupun kebingungan yang tidak terarah menyebabkan seorang gagal paham. Jika sudah gagal paham, justru kesimpulan yang dia ambil berpotensi salah dan menyesatkan.

Oleh karena itu, fungsi dari mencari ustadz merupakan satu proses untuk menjaga kemurnian agama dan memastikan keotentikan disiplin ilmu yang diwarisi. Hal ini berdasarkan perintah Allah Ta’ala di dalam al-Qur’an bahwa umat Islam diperintahkan untuk mengembalikan amanah kepada mereka yang berhak.

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا

Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil.” (QS: An-Nisa’: 58)

Juga memerintahkan untuk bertanya kepada orang yang berilmu (ahlu dzikir) jika tidak mengetahui sesuatu.

فَسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl: 43). Wallahua’lam bish showab.*

Oleh: M Rizka Arrosyid , Ma’had Aly Annur, Waru Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah

HIDAYATULLAH



Buku-Buku Dasar untuk Belajar Aqidah dan Tauhid

Cukup banyak kaum muslimin yang bertanya buku-buku apa yang perlu dipelajari untuk memahami dasar-dasar tauhid dan aqidah. Alhamdulillah, dakwah tauhid dan aqidah mulai gencar dan banyak kaum muslimin yang mulai menerimanya karena memang dakwah tauhid dan aqudah yang lurus itu sesuai dengan fitrah dan akal sehat manusia.

Ada beberapa buku-buku dasar tentang tauhid dan aqidah yang cocok bagi pemula. Berikut kami sebutkan beberapa buku dasar tauhid dan aqidah. Buku-buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Perlu kami tekankan bahwa buku-buku yang kami sebutkan, ini bukanlah pembatasan, masih banyak buku-buku lainnya yang lebih baik, tetapi belum kami sebutkan.

Berikut buku-buku tersebut:

  1. Tsalatsah Al-Ushul (Tiga Landasan Utama) karya Syaikh Muhammad At-Tamimi.
  2. Qawa’id Al-Arba’ (Empat Kaedah Memahami Tauhid dan Syirik) karya Syaikh Muhammad At-Tamimi.
  3. Lum’atul I’tiqad karya Ibnu Qudamah.
  4. Ushul As-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hambal.
  5. Syarhu As-Sunnah karya Al-Imam Al-Barbahariy 
  6. Al Waajibaat karya Syaikh Abdullah Al-Qar’awiy 
  7. Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
  8. Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Ath-Thahawi
  9. Kitab At-Tauhid karya Syaikh Muhammad At-Tamimi.
  10. Kasyfu Asy-Syubuhaat  karya Syaikh Muhammad At-Tamimi.
  11. Ushul As-Sittah karya Syaikh Muhammad At-Tamimi.
  12. Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan.

Sekali lagi masih banyak buku-buku lainnya yang lebih baik dan lebih berkualitas. Kelebihan buku-buku yang kami sebutkan ini adalah buku yang ringkas, to the point, yang tidak berpanjang lebar sehingga cocok bagi pemula.

Hendaknya kita bersemangat mempelajari agama ini dari dasarnya dan pelajaran dasar dari agama ini adalah tauhid dan aqidah. Dengan mempelajari dasar ilmu kita akan mudah mempelajari ilmu selanjutnya dan lebih kokoh. Sebagaimana ungkapan dari ulama,

من حرم الأصول حرم الوصول

“Barangsiapa yang tidak menguasai hal-hal dasar, maka ia tidak akan bisa mencapai (pemahaman yang benar dan utuh)”

Ketika kita akan belajar dan mengajarkan, hendaknya kita memulai dari dasar, inilah yang disebut dengan “rabbaniy”.

Allah berfirman,

ﻛُﻮﻧُﻮﺍ ﺭَﺑَّﺎﻧِﻴِّﻴﻦَ ﺑِﻤَﺎ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗُﻌَﻠِّﻤُﻮﻥَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﻭَﺑِﻤَﺎ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﺪْﺭُﺳُﻮﻥ

“… Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbaniy, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (Al-Imran : 79)

Syaikh As-Sa’diy menjelaskan makna Rabbaniy,

علماء حكماء حلماء معلمين للناس ومربيهم، بصغار العلم قبل كباره، عاملين بذلك

“Ulama, hakim, orang yang sabar/lembut yang mengajarkan dan membimbing manusia dengan ilmu-ilmu dasar dahulu sebelum ilmu-ilmu lanjutan (advanced)” (Lihat Tafsir As-Sa’diy)

Semoga kita dimudahkan mempelajari dasar-dasar ilmu agama yaitu tauhid dan aqidah yang benar.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Kumpulan buku-buku digital untuk mempelajari ISlam, undu aplikasinya di sini!

Belajar Agama Kepada Siapa? Bag. 2

Metode Dalam Meraih Ilmu

Ada dua metode dalam meraih ilmu, yaitu:

1. Otodidak
Maksudnya adalah mempelajari ilmu dengan membaca buku saja tanpa bimbingan guru yang mumpuni. Orang yang mengambil langkah ini akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki kesalahan yang lebih banyak dibanding kebenarannya atau kekeliruannya akan mengalahkan kebenarannya. Barangsiapa yang mempelajari ilmu secara otodidak maka mayoritas akan tersesat karena di hadapannya terbentang laut yang tidak bertepi dan kedalaman yang tidak dapat diselami.

2. Mengambil ilmu dari guru
Metode ini lebih singkat, bebannya lebih sedikit dan lebih mengarah kepada kebenaran karena jika mempelajari ilmu dari guru yang ahli maka ia akan memberikan ilmu yang sudah matang dan jika guru tersebut amanah maka ia akan memerintahkan untuk muthala’ah dan muraja’ah.

Kriteria Guru Agama Yang Baik

Agar terhindar dari kesalahan dalam memahami ilmu maka perlu bimbingan dari guru dan ilmu adalah agama maka kita tidak boleh mengambil ilmu dari sembarang orang. Di antara kriteria guru agama yang baik adalah:

1. Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan as-Sunnah dan memahami keduanya dengan pemahaman para salaf

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari Al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berusaha memahami kandungan maknanya dengan mendasari pemahaman tersebut dari penjelasan para Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam memahami kandungan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Begitu pula dalam memahami penjelasan mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud, amalan hati, pengenalan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya dengan terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahih dan meninggalkan riwayat-riwayat yang tidak shahih, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf, hal. 6).

2. Mengajak ke jalan Allah

Guru agama yang baik adalah yang mengajak pada Allah bukan mengajak pada organisasinya, partainya dan lain sebagainya. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri).” (Q.S Fushshilat: 33)

3. Memiliki keahlian dan amanah

Menuntut ilmu sebaiknya dilakukan secara ta’shil dan ta’sis, hal ini hanya bisa didapatkan dengan mengambil ilmu kepada guru yang ahli bukan kepada guru yang sedikit tingkatan ilmunya di atasnya. Sebagian orang jika melihat pelajar lain memiliki kelebihan darinya dalam beberapa masalah ilmu maka ia akan menjadikannya guru, hal ini merupakan tindakan yang keliru. Yang benar ialah seharusnya ia memilih guru yang memiliki keahlian jauh di atasnya dan amanah. Keahlian adalah kekuatan dan kekuatan membutuhkan amanah. Jika mengambil ilmu dari seorang ‘alim yang memiliki keahlian, ilmu yang luas, kemampuan untuk memetakan dan membagi masalah dan lain sebagainya akan tetapi ia tidak amanah maka mungkin saja ia akan menyesatkan tanpa disadari.

4. Tidak menuntut ilmu agama kepada ahlul bid’ah

Imam Malik rahimahullah berkata : “Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang :
a. Orang bodoh yang nyata kebodohannya,
b. Shahibu hawa’ (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya,
c. Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walau pun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
d. Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih (2/821) no. 1542 dengan sanad yang hasan dan ia meriwayatkan pula di al-Tamhid (1/66)).

Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh mengambil ilmu dari ahli bid’ah, bahkan ilmu yang tidak ada kaitannya dengan kebid’ahannya, karena dapat menyebabkan dua kerusakan yaitu :

  • Ahlul bid’ah tersebut akan tertipu dengan dirinya sendiri, ia akan mengira dirinya berada dalam kebenaran
  • Orang awam akan tertipu dengan si ahlul bid’ah karena melihat banyak orang yang mengambil ilmu kepadanya.

Orang yang mempelajari ilmu agama hakikatnya ia sedang membangun ideologi. Jika ia mengambil ilmu dari sumber yang salah maka salah pula ideologinya begitu pun sebaliknya-biidznillah-. Oleh karena itu pandai-pandailah dalam memilih sumber ilmu.

Wallahu a’lam.

**

Penulis: Atma Beauty Muslimawati

Referensi :
– Terjemah Syarah Hilyah Thalibil ‘Ilmi, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Akbar Media, Jakarta
– Kitabul ‘Ilmi, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Addarul ‘Alamiyyah, Mesir
– Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, Imam Badruddin Ibnu Jama’ah, Addarul ‘Alamiyyah, Mesir

– https://konsultasisyariah.com/28473-hati-hati-mengambil-sumber-ilmu.html

– https://muslim.or.id/18980-keutamaan-ilmu-yang-bermanfaat.html
https://quran.com

Muraji’: Ustadz Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11813-belajar-agama-kepada-siapa-bag-2.html

Dosa Bagi Orang yang tak Belajar Agama

ORANG yang jahil (tidak paham agama) tidak boleh tetap ingin berada dalam kejahilannya.

Bahkan wajib baginya untuk belajar (agama) dalam perkara-perkara yang memang wajib untuk dipelajari dalam agama, yang tidak diberi toleransi untuk tidak mengetahuinya. Dan wajib baginya untuk bertanya kepada ahli ilmu (dalam masalah tersebut).

Allah Taala berfirman:

“Bertanyalah kepada ahludz dzikri jika kalian tidak mengetahui” (QS. An Nahl: 43).

Jika orang tersebut tetap berada dalam kejahilannya (baca: tidak mau belajar), padahal ada orang yang bisa mengajarinya al haq atau tempat ia bertanya tentang al haq, maka ia berdosa. []

INILAH MZOAIK

Metode yang Benar dalam Mempelajari Ilmu Agama (Bag. 1)

Sebagian kita mungkin telah memiliki keinginan dan semangat untuk mempelajari ilmu agama. Namun, bisa jadi kita kebingungan, bagaimana kita bisa memulai untuk belajar ilmu agama? Bukankah ilmu agama adalah ilmu yang sangat luas? Bagaimana metode yang paling tepat untuk mempelajarinya?

Apabila seseorang tidak memahami tentang hal ini, maka bisa jadi kita telah menghabiskan banyak waktu, biaya, dan tenaga untuk menuntut ilmu, namun kita tidak meraih hasil apa-apa. Yang kita dapatkan hanyalah rasa lelah semata, sedangkan ilmu yang kita peroleh sangatlah sedikit dan tidak menancap dalam hati.

Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk menyampaikan metode penting dalam menuntut ilmu yang telah dijelaskan oleh para ulama, yaitu menuntut ilmu secara bertahap dan dimulai dari yang paling mudah dan paling dasar.

Menuntut Ilmu secara Bertahap

Jika kita telah memiliki semangat untuk mempelajari ilmu, maka kita harus membulatkan tekad agar jangan sampai kita terputus dari jalan ilmu. Kita harus terus bersemangat dalam berusaha semampu kita untuk menghilangkan sebab-sebab kebodohan dari dalam diri kita yang telah kita ketahui. Namun, tidak berarti karena semangat itu kita kemudian menuntut ilmu secara sekaligus dalam waktu sekejap. Karena jalan untuk meraih ilmu itu sangatlah panjang. Sebagian salaf berkata,

اطلبوا العلم من المهد إلى اللحد

”Tuntutlah ilmu dari buaian (ketika masih kecil) hingga liang lahat (sampai meninggal dunia).”

Kita tidak boleh tergesa-gesa dalam menuntut ilmu. Ibnu Syihab Az-Zuhri rahimahullah berkata ketika menasihati orang-orang yang tergesa-gesa dalam menuntut ilmu,

من رام العلم جملة ذهب عنه جملة

”Barangsiapa yang menuntut ilmu sekaligus, maka akan hilang sekaligus juga.”

Menuntut ilmu agama itu hanyalah dengan sedikit demi sedikit seiring dengan perjalanan waktu, siang, dan malam. Seandainya kita tidaklah memperoleh ilmu dalam dua hari kecuali hanya satu masalah saja -yang kita pahami dengan kuat dan jelas beserta dalil-dalilnya-, maka setelah satu tahun kita akan menguasai 180 masalah. Dan setelah dua tahun, kita akan menguasai 360 masalah. Setelah sepuluh tahun akan menjadi 1800 masalah. Dan jika dihitung setelah 30 tahun, maka kita akan menjadi salah seorang alim yang kokoh ilmunya. Kita akan memahami masalah-masalah tersebut dengan jelas tanpa disertai kerancuan. Hal ini jika setiap dua hari kita mempelajari satu masalah. Maka bagaimana lagi kalau seandainya dalam sehari kita mempelajari satu masalah? Atau seandainya dalam sehari kita mempelajari 2 masalah?

Dalam mencari ilmu, haruslah disesuaikan dengan kemampuan, namun dibutuhkan kontinuitas (rutin dan tidak terputus). Hujan lebat yang jatuh ke tanah, maka air hujan tersebut mungkin diam tertampung di atas tanah atau mungkin mengalir ke lembah dan tanaman karena hujannya yang memang lebat. Akan tetapi, apakah tanah yang baru pertama kali mendapat air hujan dengan lebat manfaatnya sama seperti tanah yang telah lama menampung air di atasnya?

Permisalan ini hanyalah untuk pendekatan saja. Ini adalah suatu permisalan yang sesuai dengan ilmu, ketika kita merasa bahwa diri kita dapat memberikan manfaat bagi orang lain dengan sedikit ilmu yang kita miliki. Contohnya kita dapati di antara penuntut ilmu yang terkadang menjelaskan beberapa kalimat, akan tetapi hati kita tidak merasa puas, padahal dia adalah seorang penuntut ilmu. Hal ini karena ketika dia menjelaskan, penjelasan tersebut bukan merupakan hasil dari pemahaman yang kokoh dan mantap. Kita perhatikan di dalam penjelasannya terdapat sedikit kebingungan, karena tidak adanya pemahaman. Dia tidak mampu untuk menjelaskan dengan penjelasan yang jelas dan sempurna. Mengapa demikian?

Karena dia tidaklah kokoh pemahamannya dalam masalah tersebut. Demikianlah penuntut ilmu atau seorang yang ‘alim. Dia memahami dengan baik sebanyak 90 dari 100 masalah, dan 10 sisanya tidak dia pahami dengan jelas. Maka kita dapati bahwa hal itu menyebabkan kerancuan bagi dirinya. Dia tidak mampu untuk menjelaskan hal-hal yang rancu tersebut. Jika ilmunya kokoh dan mantap, yang didapatkan dengan belajar sedikit demi sedikit, maka ilmu itu akan menancap di dalam hati. Setelah itu, barulah memungkinkan baginya untuk dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

Oleh karena itu, janganlah kita melupakan kaidah ini. Yaitu, ilmu itu dicari sedikit demi sedikit. Adapun kalau dicari dengan jalan atau metode ”tadhawwuq”, maka hal ini bukanlah termasuk ilmu sama sekali. Apakah yang dimaksud dengan ”tadhawwuq”? Yaitu apa yang kita lihat pada kebanyakan manusia, dia belajar kepada seorang ustadz atau ulama dalam waktu hanya satu bulan, kemudian setelah itu dia meninggalkannya. Dia pergi untuk belajar kepada orang lain, kemudian belajar lagi kepada orang yang ketiga. Maka dia tidak akan mendapatkan manfaat sama sekali karena menempuh metode seperti ini. Sehingga kita dapati saudara-saudara kita yang mempelajari ilmu hanya dalam satu dua tahun, atau hanya sebulan dua bulan, dia menerjuni ilmu tersebut tanpa ada kelanjutannya. Sehingga masa-masa belajarnya itu tidaklah bermanfaat baginya. Dan akhirnya dia terputus dari menuntut ilmu, kemudian menjadi seperti orang awam lagi. Adapun orang-orang yang bersabar dan mengokohkan kesabarannya seiring dengan berjalannya waktu, maka dia akan berhasil sesuai dengan apa yang telah Allah Ta’ala tetapkan baginya.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51246-metode-mempelajari-ilmu-agama-bag-1.html

Berdosa, Orang tak Mau Belajar Agama

ORANG yang jahil (tidak paham agama) tidak boleh tetap ingin berada dalam kejahilannya.

Bahkan wajib baginya untuk belajar (agama) dalam perkara-perkara yang memang wajib untuk dipelajari dalam agama, yang tidak diberi toleransi untuk tidak mengetahuinya. Dan wajib baginya untuk bertanya kepada ahli ilmu (dalam masalah tersebut).

Allah Taala berfirman:

“Bertanyalah kepada ahludz dzikri jika kalian tidak mengetahui” (QS. An Nahl: 43).

Jika orang tersebut tetap berada dalam kejahilannya (baca: tidak mau belajar), padahal ada orang yang bisa mengajarinya al haq atau tempat ia bertanya tentang al haq, maka ia berdosa. []

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2363595/orang-tak-mau-belajar-agama-berdosa#sthash.8DDGT6aX.dpuf

 

———————————————————————————————
Umrah resmi, Hemat, Bergaransi
(No MLM, No Money Game, No Waiting 1-2 years)
Kunjungi www.umrohumat.com atau hubungi handphone/WA 08119303297

Bagaimana Jika Ulama Mengajar Lewat Internet?

KALAU di masa lalu seorang guru agama mengajarkan ilmunya dengan cara didatangi oleh murid-muridnya, baik di madrasah, pesantren atau perguruan tinggi, maka di era informasi teknologi sekarang ini, ada banyak cara yang lebih mudah, cepat dan lebih massif yang bisa dilakukan.

Katakanlah seorang ulama besar sekelas Dr. Yusuf Al-Qaradawi, kalau kita ingin belajar kepada beliau, kita perlu terbang 9 jam non-stop ke Doha Qatar, negeri dimana beliau bertempat tinggal. Atau kalau kita mau belajar kepada Syeikh Ali Jum’ah, mufti Negara Mesir, maka kita harus menghabiskan paling tidak 10-11 jam terbang ke negeri Piramid Mesir.

Disana, belum tentu beliau-beliau itu punya waktu, sebab mereka adalah orang-orang sibuk, tiap hari banyak jadwal yang padat saling tumpang tindih. Itulah yang saya alami ketika berkesempatan mampir ke Doha, jauh-jauh pergi kesana, ternyata beliau sedang kunjungan ke Eropa dan berdakwah disana.

Maka kalau beliau berceramah secara live di depan kamera televisi Al-Jazeera misalnya, bisa dipastikan orang yang bisa belajar dari ilmu beliau akan menjadi jutaan jumlahnya. Sebab tanpa harus jauh-jauh datang ke Qatar atau ke Mesir, kita bisa menyaksikan ceramah beliau lewat layar kaca. Boleh dibilang nyaris tanpa biaya.

Dan apa yang beliau ceramahkan itu oleh pihak televisi Al-Jazeera ternyata juga diposting di internet (youtube.com), sehingga kapan saja kita bisa memutar videonya, bahkan mereka yang tidak punya antena parabola di rumahnya, bisa dengan mudah mendownload filenya dan diputar lewat komputer.

Tentu kita tidak mengatakan bahwa cara ini adalah sesat, sebab gurunya jelas-jelas orang yang berilmu. Beliau berdua, Al-Qaradawi dan Ali Jumah, masing-masing adalah mufti resmi Qatar dan Mesir. Rakyat di kedua negera itu mendengarkan fatwa-fatwa mereka.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2316633/bagaimana-jika-ulama-mengajar-lewat-internet#sthash.pOYTkOF0.dpuf