Batasan Israf (Berlebih-lebihan) adalah ‘Urf

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Penanya:

Seorang lelaki membeli baju seharga 300 riyal dengan ada yang lainnya seharga 50 riyal dan kualitasnya dekat. Apakah ini termasuk al-Israf (menghambur-hamburkan uang)?

Syekh:

Jika kualitasnya hampir sama, bagaimana bisa yang satu 300 riyal dan yang lain 50 riyal?

Penanya:

Orang-orang mengatakan ini buatan Jepang, sedangkan yang ini buatan Inggris. Buatan Jepang dan Koerea, masyaallah.

Syekh:

Saya tidak terlalu paham bagaimana barang buatan Jepang maupun Korea.

Penanya:

Bagaimana dengan buatan Inggris Syekh?

Syekh:

Intinya, belilah barang karena melihat kualitasnya.

Penanya:

Akan tetapi yang murah ini bagus, dan sudah dipakai bertahun-tahun. Dan orang tadi yang akan membeli barang seharga 300 riyal ini memakainya selama setahun juga, lalu membuangnya.

Syekh:

Al-israf adalah melampaui batas dalam membelanjakan harta. Dan Anda tahu bahwa masyarakat berbeda-beda kondisinya dalam masalah ini. Seseorang yang memiliki berjuta-juta riyal mungkin untuk membeli harga 300 riyal ia tidak disebut musrif (orang yang berlebihan). Sedangkan orang yang punya hutang, dan tidak memiliki harta yang cukup, bahkan untuk nafkah keluarganya (jika ia membeli barang 300 riyal), kita katakan ini melebihi batas. Maka al-israf itu intinya adalah melebihi batas sesuai dengan kondisi masing-masing orang.

Penanya:

Berarti apakah patokan israf tergantung ‘urf (adat kebiasaan) wahai Syekh?”

Syekh:

Betul, tergantung ‘urf.

——–

Referensi:

Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, “Dhabit Al-Israf Huwal-israf”, hal. 42, https://al-maktaba.org/book/7687/42#p5.

Baca Juga:

Penerjemah: Muhammad Fadhli

Sumber: https://muslim.or.id/70069-batasan-israf-adalah-urf.html

Kencenderungan Melebih-lebihkan Sesuatu

SUATU saat di sebuah kesempatan, Socrates sang filosof kenamaan itu berkata: “Manusia itu memiliki kecenderungan melebih-lebihkan sesuatu, kecuali kesalahan-kesalahan mereka. Mereka memandang kesalahan-kesalahan dirinya sebagai sesuatu yang tak boleh diuji dan dikritik.” Tentu, kalimat itu tidak dimaksudkan meliputi semua manusia. Ada eksepsi, pengecualian, yakni manusia-manusia istimewa.

Kecenderungan melebih-lebihkan sesuatu itu bisa jadi karena ada kekaguman, kejengkelan, cinta, kebencian, dan penghormatan atau penjelekan. Namun juga bisa jadi karena motif-motif tertentu yang bersifat personal. Lalu, bagaimanakah sikap terbaik menurut Islam dalam menyikapi dan menghadapi sesuatu itu? Jawabnya adalah yang fair saja, yang adil, yang moderat.

Melebih-lebihkan sesuatu itu sesungguhnya bermakna menempatkan sesuatu tidak pada tempat yang sesungguhnya, yang sewajarnya. Dalam bahasa agama ini disebut dengan DZALIM. Kedzaliman adalah kegelapan. Gelap efeknya di dunia dan terlebih nanti di akhirat. Pasti ada ketaknyamanan di belakang hari dari aksi melebih-lebihkan itu. Ketaknyamanan itu ada berbagai bentuk. Tinggal menunggu waktu saja.

Inilah alasan mengapa ajaran tengah-tengah, tawassuth, itu penting. Jangan terlalu ke kanan, jangan terlalu ke kiri. Sabda Nabi yag sangat terkenal adalah: “Cintailah kekasihmu dengan sederhana saja, siapa tahu nanti suatu saat berubah menjadi musuhmu. Bencilah musuhmu juga dengan sederhana saja, siapa tahu nanti suatu saat menjadi kekasihmu.” Ada banyak dalil dan maqalah yang mendukung sifat adil, fair, apa adanya. Salam AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK


Jangan Beribadah secara Berlebihan

Sikap berlebih-lebihan dalam semua aspek kehidupan dilarang oleh Allah Ta’ala dan tidak disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika dalam hal ibadah sikap berlebih-lebihan saja dilarang, maka lebih-lebih lagi larangan berlebih-lebihan dalam hal-hal yang dibolehkan seperti makan, minum, tidur, dan lain sebagainya.

Disebutkan dalam surat al-A’raf, Allah Ta’ala memerintahkan makan dan minum, serta melarang tindakan berlebih-lebihan dengan redaksi, “Dan janganlah berlebih-lebihan.” Sebab, Allah Ta’ala tidak menyukai sikap tersebut. Dia Menghendaki hamba-hamba-Nya berlaku tawazun, seimbang dalam segala aspek kebaikan dan yang dibolehkan.

Maka ketika ada sekelompok sahabat yang berhasrat melakukan puasa di sepanjang siang dan begadang setiap malam untuk melakukan shalat malam, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya. Beliaulah sebaik-baik teladan dalam ibadah yang tiada dijumpai sedikit pun kekurangan atau kesalahan di dalamnya.

Selanjutnya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mensyariatkan shalat malam sebanyak setengah malam, sepertiga malam, atau sebagian kecil dari malam. Diatur dengan baik, agar sesuai dengan sifat manusiawi umatnya yang membutuhkan istirahat.

Terkait puasa, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mensyariatkan puasa sunnah hari Senin dan Kamis, puasa Tengah Bulan Hijriyah sebanyak tiga hari, puasa Daud dan puasa-puasa sunnah lainnya. Sebab, seorang hamba berkewajiban menafkahi keluarganya dengan bekerja, dan juga memenuhi hak istrinya dalam hubungan biologis.

Karena itu, yang terbaik adalah bersikap tawazun. Pertengahan. Ada waktunya ibadah, istirahat, mencari nafkah, berhibur dengan yang halal dan dibolehkan, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, amat penting menjadi catatan tentang definisi berlebih-lebihan dalam hal ini. Ialah kondisi seimbang sehingga tidak ada yang dizalimi. Semuanya dilakukan dengan baik dan sesuai aturan.

Artinya, jika seseorang mampu melakukan shalat sunnah selama setengah malam penuh, dilanjutkan dengan puasa sunnah Daud, membaca al-Qur’an, dan ibadah lainnya dengan tidak menzalimi hak-hak diri berupa makan dan minum secara cukup, memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya dalam hal nafkah, dan lain sebagainya, maka ianya tidak disebut berlebih-lebihan.

Pasalnya, larangan berlebih-lebihan ini sering digunakan dalil bagi segelintir oknum untuk bermalas-malasan dalam beribadah.

Wallahu a’lam.

[Pirman/BersamaDakwah]