Allah SWT Perintahkan Kita untuk Bermuhasabah

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yunahar Ilyas menyampaikan Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk memuhasabah atau mengevaluasi diri. Hal ini tercantum dalam Alquran surah Al-Hasyr ayat ke-18.

“Hendaknya setiap orang di antara kita mengevaluasi apa yang telah kita perbuat selama satu tahun ini. Hal tersebut dapat menjadi modal bagi kita untuk menghadapi kehidupan ke depan,” ujar Yunahar dalam Tabligh Akbar Akhir Tahun Republika di Masjid Syuhada, Yogyakarta, Sabtu (31/12).

Menurut dia, evaluasi harus dilakukan sesuai dengan standar yang telah diterapkan Alquran, yaitu standar ketakwaan. Yunahar menjelaskan, takwa terdiri dari tiga unsur, yaitu muslim, mukmin, dan muhsin.

Oleh karena itu, segala sesuatu yang tidak mencakup ketiga hal tersebut sama sekali tidak ada baiknya. Misalkan, meski tidak shalat, yang penting menyantuni anak jalanan, atau shalat tapi buruk ahlaknya.

“Kita tidak bisa berpikir dari pada ini mending ini,” kata Yunahar.

Berdasarkan surah Al-Baqarah ayat ke-177, setiap Muslim harus memuhasabah keimanannya selama beberapa waktu yang telah lalu. Cukup dengan pertanyaan dasar saja, apakah kita bisa mempertahankan keimanan selama satu tahun sebelumnya.

Jika sudah terjawab, pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita bisa meningkatkan keimanan kita. Yunahar mengemukakan, cara meningkatkan keimanan tidak lain adalah dengan meningkatan ketaatan kita pada Allah SWT

Karena iman naik sejalan dengan ketaatan. Selain mengevaluasi diri sendiri, sebagai bagian dari Indonesia, sudah seharusnya kita mengevaluasi kondisi bangsa.

Adapun permasalahan besar yang dihadapi bangsa ini mencakup dua hal, yaitu ahlak dan kesenjangan ekonomi yang tinggi. Bangsa ini, ujar Yunahar, sedang mengalami degradasi moral, baik berupa ahlak pribadi, ahlak sosial, maupun ahlak di ruang publik.

Selain itu, Yunahar juga menyampaikan kiat-kiat mencapai kemenangan berdasarkan Alquran antara lain teguh pendirian atau istiqamah dalam mengerjakan sesuatu, banyak mengingat Allah SWT, taat pada Allah SWT dan Rasulullah SAW, jangan berdebat dan bercerai berai untuk mencari kemenangan, sabar, dan ikhlas.

 

sumber: Republika Online

Jangan Abai dalam Bermuhasabah

Muhasabah atau mengevaluasi diri sendiri perlu kita lakukan setiap saat, terlebih pada saat pergantian tahun Hijriyah seperti sekarang ini. Kita tak boleh bertindak lengah dan abai dalam bermuhasabah. Dengan bermuhasabah, kita menjadi lebih tahu diri dan tak telanjur berlarut-larut membuat kesalahan yang akan menimbulkan berbagai penyesalan yang tiada berguna.

Introspeksi dan mawas diri harus secepatnya dilakukan. Terkait hal ini, Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, “Perhitungkanlah dirimu sebelum kamu diperhitungkan oleh Allah dan timbanglah dahulu amalannya sebelum ditimbang di hari qiyamah.”

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Hibban, “Bila engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu-nunggu datangnya waktu sore, dan jika engkau berada di waktu sore jangan pula menunggu datangnya waktu pagi. Ambillah kemanfaatan sewaktu hidupmu ini untuk mempersiapkan bekal kematianmu, dan sewaktu engkau masih sehat untuk bekal di waktu sakitmu.

Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menekankan perlunya evaluasi terhadap diri sendiri. Muhasabah dinyatakan bagai seorang pedagang yang memperhitungkan harta perniagaannya, ia perlu meneliti kembali modal asalnya, kemudian keuntungan atau kerugiannya, sehingga dapat diketahui secara jelas apakah harta perniagaannya bertambah atau berkurang.

Apabila bertambah, harta perlu disyukuri dan apabila berkurang, harta perlu diteliti dan diselidiki latar belakang kekurangan tersebut dan diusahakan bagaimana cara penanggulangannya.

Menurut Imam Al-Ghazali, orang yang beragama diibaratkan sebagai pedagang. Modal pokok seseorang beragama adalah amalan-amalan yang wajib. Keuntungannya adalah amalan-amalan yang sunah. Adapun kerugian-kerugiannya bagi orang yang beragama itu adalah perbuatan-perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dilarang agama.

Pertama-tama, hendaklah dibuat perhitungan tentang ibadah-ibadah wajib. Jika ibadah wajib  telah dikerjakan sebagaimana mestinya, bersyukurlah kepada Allah SWT. Dengan suatu harapan kepada-Nya, semoga untuk selanjutnya kita tetap senang berbuat dan beribadah sebagaimana yang sudah-sudah, sambil terus meningkatkan mutu dan kualitas ibadah tersebut.

Namun, apabila dalam mengerjakan ibadah-ibadah wajib itu masih terdapat kekurangan, hendaklah kita tutupi kekurangan-kekurangan tersebut dalam menunaikan ibadah-ibadah wajib itu, lebih baik lagi disertai memperbanyak mengerjakan ibadah-ibadah sunah. Mengerjakan ibadah-ibadah sunah tidak hanya dikerjakan sebagai penutup kekurangan-kekurangan di dalam mengerjakan ibadah wajib, tetapi ibadah sunah itu dikerjakan sebagai bekal dan keuntungan kita kelak.

Kemudian, apabila kita merasa telah berbuat kemaksiatan, bersegeralah bertobat kepada Allah dengan penyesalan yang mendalam dan bertekad tidak akan mengulangi perbuatan maksiat tersebut untuk selama-lamanya.

Allah  SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu menutupi kesalahan-kesalahan kamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai.” (QS At-Tahrim [66] :8)

Bulan Muharram merupakan momentum untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Mari kita bersihkan akidah kita dari berbagai sikap dan perkataan yang menjurus pada kemusyrikan. Kita sirnakan dendam kesumat dan buruk sangka terhadap orang lain, sehingga apa yang kita harapkan dari-Nya cepat atau lambat akan terwujud, sesuai dengan permohonan kita setiap saat.

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka.” (QS Al-Baqarah [2)] :201). Semoga.

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

sumber: Republika Online