Mencaci Maki di Medsos Bukan Ciri Muslim dan Beriman

AKHIR-AKHIR ini makin nyata adanya kelompok orang yang mengaku muslim dan beriman tetapi tidak menampakkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-harinya. Gejala ini sangat banyak kita temui baik dalam rutinitas keseharian apalagi di media sosial. Sumpah serapah dan caci maki, tak urung mewarnai “komunikasi” (kalau boleh disebut komunikasi) yang terjadi.

Kita pun dibuat bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin seorang yang mengaku Islam, melakukan hal-hal seperti itu?” Untuk memahaminya, perlu dijelaskan adanya perbedaan antara orang-orang muslim (ber-Islam), mukmin (beriman), dan muhsin (ber-ihsan).

Definisi keislaman dipaparkan dalam Al-Hujurat ayat 14: “Orang-orang Arab Badui (a’rab, pengembara Badui yang belum mengembangkan peradaban, bukan ‘arab) itu berkata: Kami telah beriman…. Katakanlah: Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah menjadi muslim (tunduk)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.”

Sedang definisi keimanan dipaparkan dalam Al-Anfal ayat 2 -3: “Sesungguhnya orang2 beriman ialah mereka yg bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Jadi kira-kira Muslim itu yang melaksanakan kewajiban syariah secara lahiriah, sedangkan Mukmin adalah sikap hati (batiniyah). Orang beriman (Mukmin) adalah yang gemetar hatinya bila mendengar kata Allah dan bertambah terus imannya ketika membaca ayat Allah. Mukmin menjaga dan menghayati shalatnya–yakni menghadirkan hati dalam ibadah–dan melahirkan amal-amal saleh antara lain dalam bentuk sedekah.

Sedang berkenaan dengan Ihsan, Allah Swt. berfirman dalam Al-Mulk, ayat 23: “… Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih sempurna amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Dalam hadis Jibril disebutkan ihsan adalah menyembahNya dalam keadaan kita (seolah-olah, yakni bukan dengan mata fisik) melihat Allah Swt. Atau kalau kita tidak bisa merasa seolah melihatNya, kita yakin bahwa Allah melihat/mengawasi kita. Dalam hadis lain dikatakan: “Allah Swt. cinta pada orang yang jika menyelesaikan pekerjaan, dia selesaikannya dengan ihsan (sempurna).”

Ada juga dalam hadis lain disebutkan: “Allah telah menetapkan al-ihsan dalam semua hal.” (HR Muslim)

Ada 166 ayat yang mengandung kata ihsan dan turunannya. Salah satunya yang populer: “Sungguh Allah menyuruh berlaku adil & berbuat ihsan serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (An-Nahl: 90 )

Segera tampak bahwa ihsan terkait erat dengan kepemilikan dan penerapan akhlak mulia secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, orang yang berihsan tak hanya menahan marah, tetapi juga memaafkan orang yang bersalah padanya dan menyempurnakannya dengan berbuat baik padanya.

Sebagaimana firmanNya dalam QS. Ali Imran: 134; “Dan orang yang menahan marahnya & yg memaafkan kesalahan org2. Dan Allah mencintai org yang menyempurnakan kebaikan (berbuat ihsan).”

Yang menarik dalam ayat di atas adalah bahwa Allah sendiri tidak pernah menyebut diriNya “mencintai orang-orang beriman” atau “orang-orang Muslim”, tetapi “mencintai orang-orang yang berihsan”.

Ihsan adalah menyempurnakan seluruh amal agar secara spiritual kita makin dekat kepadaNya. Maka tak sedikit ulama mengidentikkan Ihsan dengan tasawuf.

Dan bukan kebetulan juga tasawuf disebut mazhab cinta, yang mempromosikan hubungan saling cinta manusia dengan Allah (dan dengan manusia serta makhluk-makhluk lain). Penjelasan lbh panjang tentang tasawuf sbg mazhab cinta al. ada di buku saya: ISLAM Risalah Cinta dan Kebahagiaan.

Jadi, Islam-Iman-Ihsan sejajar dengan Syariah-Akidah-Tasawuf (akhlak). Ketiganya tak terpisahkan, tapi puncaknya adalah akhlak. Dengan kata lain, puncak keislaman kita harus terwujud pada kepemilikan/penerapan akhlak mulia. Tak akan banyak berarti bila kita mengaku Islam, dan tak akan terbukti mengaku beriman, kecuali jika kita telah benar-benar memiliki/menerapkan akhlak mulia. Inilah makna hadis Nabi Saw.: “Aku tak diutus kecuali untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Demikian juga inti dari firmanNya yang sering kita ulang-ulang: “Dan tak Kami utus kau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat (kasih-sayang) untuk alam semesta.”

Maka, orang-orang yang mengaku Muslim tapi tak berakhlak mulia bisa jadi baru mencapai tahap Islam, mungkin iman, tetapi belum ihsan. WalLah a’lam. [haidar bagir dalam islamindonesia]

Islam Agama Santun: Jangan Mencela dan Caci Maki

ISLAM adalah agama santun dan penuh adab. Di dalam Islam tidak dikenal istilah mencela, apalagi mencaci maki. Islam tidak membenarkan apabila ada pemeluknya yang mencela dan mencaci maki pemeluk agama lain. Bahkan Islam mengancam orang yang kerjanya mencela dan mengumpat dengan neraka Wail, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela” (QS. Al-Humazah:1)

Dan kita pun dilarang memaki berhala-berhala yang disembah oleh orang kafir. Kita dibenarkan untuk memberikan penjelasan bahwa berhala itu tidak layak disembah. Dan bahwa benda yang tidak bisa bergerak, tidak makan tidak minum itu tidak pantas dijadikan sesembahan manusia. Namun caranya bukan dengan memaki berhala-berhala itu, sebab para penyembah berhala akan sakit hati dan akan balas memaki Allah Ta’ala. Itulah yang dilarang Alquran.

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 108)

Bagaimana dengan diskusi perbandingan agama?

Memang ada sebagian pemeluk agama yang terbiasa didoktrin dengan dogma-dogma oleh tokoh agama mereka, sehingga mereka sangat anti dengan diskusi masalah perbandingan agama. Bagi mereka, mau masuk akal atau tidak, pokoknya itulah dogma yang harus ditelan bulat-bulat. Berbeda dengan agama Islam yang sangat terbuka dengan diskusi dan dialog antar agama. Semua bisa dijawab, baik dengan cara logika apalagi dengan dalil-dalil wahyu.

Dan namanya diskusi agama, tentu kita bicara tentang argumentasi yang mendasari kenapa kita memilih dan memeluk suatu agama. Kalau dibilang tidak boleh mencari-cari kebenaran, tentu kurang tepat. Justru diskusi itu bertujuan untuk mencari konsep yang benar tentang sebuah agama. Tentu tidak sama antara berdiskusi tentang agama dengan mencela suatu agama. Sebagai muslim, kita diwajibkan menjelaskan kebenaran agama, sesuai dengan logika dan kebenaran yang turun dari Allah.

Kita tidak salah ketika melakukan studi komparasi titik kebenaran antara satu agama dengan agama lain. Bukan dalam rangka menjelekkan atau menghina, tetapi dalam rangka menjelaskan anatomi agama Islam. Sebab kita memang diwajibkan untuk menjelaskan seperti apakah Islam itu. Tapi kita tidak pernah diwajibkan untuk memastikan orang-orang untuk masuk Islam.

Maka tentu saja diskusi memberikan penjelasan tentang sistem ketuhanan dalam agama Islam adalah hal yang wajar, masuk akal, logis dan santun. Kita diwajibkan untuk mengenalkan konsep Islam kepada orang di luar Islam, tanpa diharuskan agar mereka masuk Islam. []