Pernahkah Rasulullah Memaksa Manusia Memeluk Agama Islam? Ini Jawabannya

Nabi sejak awal Islam tak pernah memaksakan manusia untuk memeluk agama Islam. Para sahabat yang masuk dalam Islam, murni dari kehendak dan nurani mereka. Tak ada sedikit pun paksaan. Pasalnya, tindakakan “pemaksaan” bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Pada Q.S al-Baqarah ayat 256, Allah berfirman tentang larangan memaksa manusia untuk masuk agama Islam.

 لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Artinya; Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Pada ayat ini jelas sekali,  Tuhan tak menginginkan manusia dipaksa dalam memeluk agama.  Untuk itu kemudian, Fakhruddin Ar Razi dalam tafsir Mafatih al Ghaib menyebutkan keimanan pada hakikatnya merupakan suatu pilihan  sadar manusia, dan tidak atas paksaan dan tekanan pihak mana pun. Untuk itu, pemaksaan untuk memeluk agama Islam, bertentangan dengan asas dasar syariat Islam.

Dalam buku, Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, karangan Abdul Moqsuth Ghazali disebutkan bahwa ayat ini sejatinya merupakan teks fondasi Islam terhadap jaminan kebebasan beragama. Terlebih posisi ayat Al-Baqarah ayat 256 tersebut terletak setelah ayat kursi (ayat tentang kesucian Allah), maka ayat 256 itu seolah menegaskan penghormatan pada manusia—menjamin hak kebebasan dalam beragama.

Ada kisah menarik. Terjadi pada masa hidup Rasulullah. Syahdan, ada seorang laki-laki Anshor bernama Abu Husain. Sahabat Anshar ini merupakan seorang muslim yang memiliki dua anak Kristen. Mendapati buah hatinya masih dalam Kristen, Ia lantas mengadu pada baginda Nabi, apakah dirinya boleh memaksa dua anaknya untuk masuk memeluk agama Islam—sementara ketika itu anaknya cenderung pada agama Krsiten.

Ia mencoba menegaskan kepada Nabi, bila tidak memaksa anaknya pada Islam, maka itu akan membuat mereka masuk ke dalam nereka. Ia tampaknya tak rela kedua putranya kelak dipanggang dalam bara api neraka. Ia menjadi dilema. Sementara putranya, berat pada agama Kristen. Dengan kejadian yang menimpa Abu Husain ini turunlah ayat Q.S al-Baqarah, ayat 256.

Sementara itu, Rasyid Ridha dalam kitab Tafsir al-Qur’an al- Hakim,  menjelaskan keimanan merupakan fondasi dasar agama, maka ia tak bisa dipaksakan. Rasyid Ridha berkata;

لان الايمان هو الاصل الدين وجوهره عبارة عن اذعان النفس و يستحيل ان يكون الاذعان بالالزام والاكراه

Artinya; Sesungguhnya iman merupakan fondasi agama, yang pada esensinya adalah ketundukan  diri, maka agama itu tidak akan bisa dijalankan dengan penuh pemaksaan dan dipaksa.

Agama yang dipaksakan, persis cinta yang dipaksakan. Begitu kata Jawwad Sa’id dalam kitabnya, La Ikraha  fi al Din. Cinta yang dipksakan, akan berakhir dengan duka dan air mata. Tidak ada kebahagiaan.  Agama pun demikian. Bila cenderung dipaksakan akan berakibat fatal. Tidak akan memperoleh manfaat yang alami. Memeluk suatu agama, sejatinya harus dibarengi dengan keyakinan dan keimanan.

Muncul persoalan, kenapa manusia taidak boleh dipaksankan dalam memeluk agama? Jawabannya, manusia memiliki akal untuk berpikir. Akal anugerah tertinggi Tuhan pada manusia. Akal sumber pengetahuan. Pun dengan akal, manusia akan mampu memilih agama yang terbaik buat dirinya. Allah berfirman dalam Q.S al-Kahfi ayat 29;

وَقُلِ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّآ أَعْتَدْنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِن يَسْتَغِيثُوا۟ يُغَاثُوا۟ بِمَآءٍ كَٱلْمُهْلِ يَشْوِى ٱلْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتْ مُرْتَفَقًا

Artinya: Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

Dengan demikian, terlihat jelas posisi akal manusia. Tuhan membebaskan manusia, untuk memilih mana yang terbaik baginya. Akal adalah medium manusia untuk menyaring pelbagai hal, termasuk yang terbaik baginya. Apakah ia akan masuk surga? Atau kelak ingin ke dalam neraka. Masalah baik dan buruk, manusia mampu dengan akalnya.

Terkahir, dalam buku Hayatu Muhammad, karya Husain Haikal menyebutkan , sejak awal di negeri Madinah, Nabi Muhammad sudah punya tekad yang kuat untuk memberikan kebebasan bagi setiap umat. Pasalnya, Madinah tergolong wailayah dan negeri yang terbilang plural. Terdiri dari pelbagai budaya, agama, dan kepercayaan. Dengan kebebasan hendaknya sarana utama untuk mencapai integral (persatuan).

BINCANG SYARIAH

Tuduhan-tuduhan kepada Rasulullah Ketika Berdakwah

UJIAN dalam dakwah Nabi Shallallhu ‘alayhi wa sallam sangatlah banyak:

Beliau dituduh dengan orang gila
Beliau dicap dengan tuduhan-tuduhan yang sangat buruk
Beliau dikatakan sebagai orang gila
Beliau dikatakan sebagai dukun
Beliau dikatakan sebagai penyair
Beliau dikatakan sebagai orang sinting.

Ini tidak mudah sebagaimana yang kita bayangkan. Ujian yang sangat berat yang dihadapi oleh Nabi Shallallhu ‘alayhi wa sallam tatkala Nabi Shallallhu ‘alayhi wa sallam berdakwah dimusuhi oleh orang yang paling dekat dengan dia, pamannya sendiri (saudara ayahnya) Ab Lahab.

Tatkala musim haji, orang-orang berdatangan di Mina, maka Nabi Shallallhu ‘alayhi wa sallam ingin mendakwahi mereka. Sampai-sampai Raslullh shallallhu ‘alayhi wa sallam merendahkan dirinya, mengatakan:

“Apakah ada orang yang mau mengajakku untuk berdakwah di kaumnya ? Sesungguhnya orang-orang Quraishy melarangku untuk menyampaikan firman Allh Subhnahu wa Ta’la.” (HR Tirmidzi nomor 2849, versi Maktabatu AlMa’arif Riyadh nomor 2925)

Sampai-sampai Nabi Shallallhu ‘alayhi wa sallam merendahkan dirinya, dan mengharap ada orang yang mengantarkannya untuk berdakwah di kabilah-kabilah Arab.

Maka pergilah Nabi Shallallhu ‘alayhi wa sallam ke setiap kabilah yang datang di Mina untuk berhaji. Nabi Shallallhu ‘alayhi wa sallam mendakwahkan Islm kepada mereka. Akan tetapi ternyata sang paman, Ab Lahab laknatullh alaih, senantiasa mengekor Nabi Shallallhu ‘alayhi wa sallam.

Begitu Nabi Shallallhu ‘alayhi wa sallam berdakwah menyampaikan Islm, sang paman pun berdiri dan mengatakan, “Jangan kalian ikuti keponakanku, yang telah keluar dari adat nenek moyangnya.”

Nabi Shallallhu ‘alayhi wa sallam pun tidak memperdulikan sang paman. Nabi Shallallhu ‘alayhi wa sallam pergi ke kabilah yang lain, akan tetapi sang paman, Ab Lahab, tetap mengekor dan menguntit.

Setiap Nabi berdakwah, maka diapun mengucapkan kalimat yang sama. Inilah ujian yang dihadapi, yang sebagian kecil yang dihadapi Nabi kita Shallallhu ‘alayhi wa sallam.

Karenanya, tatkala seorang hamba diuji dengan berbagai ujian, ingatlah bahwasanya sosok yang paling dicintai oleh Allh Subhnahu wa Ta’la Muhammad Shallallhu ‘alayhi wa sallam juga pernah diuji.

Maka ini akan memberikan tasliyah, akan menghibur dirinya. Raslullh shallallhu ‘alayhi wa sallam besabda dalam suatu hadts:

“Orang yang paling besar ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang shlih , kemudian yang berikutnya, dan yang berikutnya. Seseorang diuji berdasarkan ukuran kadar keimnannya. Kalau ternyata keimnannya sangat kuat, maka Allh tambah ujiannya. Jika dia tegar tatkala menghadapi ujian, Allh tambah ujiannya dan tatkala imnnya lemah, maka Allh akan ringankan ujiannya.”

(Hadts Riwayat Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185). Syaikh Al Syaikh Al-Albniy rahimahullh dalam Shahh At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadts ini shahh)

Karenanya, jika ujian menimpa, jika musibah menerpa, maka bersabarlah, sesungguhnya demikianlah orang-orang berimn, dia akan diuji oleh Allh Subhnahu wa Ta’la. Ibarat pohon yang semakin tinggi, maka semakin akan kuat angin yang menerpanya, akan tetapi pohon tersebut semakin tegar, dan semakin kuat, menangkis angin yang kencang tersebut.

Oleh karenanya, kita senantiasa berhusnuzhn kepada Allh Subhnahu wa Ta’la. Jika ada ujian yang menimpa kita, kita katakan sebagaimana firman Allh Subhnahu wa Ta’la:

“Bisa jadi engkau membenci sesuatu, akan tetapi itu yang terbaik bagimu, dan bisa jadi engkau mencintai sesuatu, akan tetapi itu buruk bagimu, Allh yang lebih mengetahui dan kalian tidak mengetahui.”(QS Al Baqarah: 216)

Semoga puasa Ramadhn ini melatih kita untuk senantiasa bersabar, sehingga membentuk jiwa kita yang kuat. Dan bersabar dalam menghadapi segala ujian dari Allh Subhnahu wa Ta’la. [Ustaz Firanda Andirja, MA]

 

INILAH MOZAIK

Akhlak Mulia, Bagian Asasi Dakwah Rasulullah

DEWASA ini, kemaksiatan semakin merajalela bahkan telah menjadi hal yang biasa. Sedangkan kebaikan menjadi hal yang tabu bahkan langka. Lantas apa sebenarnya yang terjadi pada umat ini?

Asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengatakan:

“Aku perhatikan, sangat disesalkan bahwa manusia pada hari ini mementingkan sisi pertama, yaitu ilmu, namun tidak mementingkan sisi yang lain, yaitu akhlak dan tata krama.

Apabila dulu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam nyaris membatasi dakwah beliau dalam rangka akhlak yang baik dan mulia, tatkala beliau menyatakannya dengan ungkapan pembatasan dalam sabda beliau:

“Hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Sabda beliau itu tidak lain menunjukkan bahwa akhlak yang mulia merupakan bagian asasi (mendasar) dari dakwah Rasulullah.

Pada kenyataannya sejak awal aku memulai menuntut ilmu dan Allah memberi hidayah kepadaku tauhid yang murni, dan aku tahu kondisi kehidupan alam Islami yang jauh dari tuntunan tauhid, ketika itu aku memandang bahwa problem pada alam Islami hanyalah karena mereka jauh dari memahami hakekat makna ‘Laa ilaaha illallah’.

Namun bersama dengan waktu, menjadi jelas bagiku bahwa di sana ada masalah lain di alam Islami ini, tambahan dari masalah asasi yang pertama yaitu jauhnya umat dari tauhid.

Masalah lainnya adalah mayoritas umat tidak berakhlak dengan akhlak Islami yang benar, kecuali dalam jumlah yang terbatas.”

INILAH MOZAIK