Dalton Mtengwa merasa seperti menemukan oasis di tengah padang gersang. Saat diwawancarai Vice beberapa waktu lalu, pemuda 24 tahun asal Oldham, Inggris, ini menceritakan sekelumit pencarian spiritualnya hingga menerima Islam.
Sejak masih berumur belasan tahun, saya termasuk anak yang nakal di sekolah. Saya terlibat berbagai tindak kriminal atau kenakalan remaja lainnya. Saya selalu dalam masalah, kata Dalton.
Dia melanjutkan, memasuki usia 17 tahun, ia justru kabur dari sekolah. Dalton memilih hidup menggelandang di jalan-jalan bersama geng-nya. Dalton terkenal memiliki pergaulan luas. Ia telah berkelana bersama kawan-kawannya di hampir seluruh wilayah Inggris.
Memang, pada suatu ketika, ia memutuskan melanjutkan kembali pendidikannya. Namun, ia merasa tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan kampus. Di sana, ia hanya menaruh perhatian di bidang olahraga. Selain itu, ia mati-matian berusaha mendapatkan nilai yang layak.
“Perhatian saya mudah terpalingkan. Apalagi, waktu itu saya cukup populer, yang itu berarti agak berbahaya. Saat itu, saya lebih suka kehidupan jalanan,”katanya mengenang.
Bagaimanapun nakalnya Dalton, keluarganya tetap bersama dia. Ia tumbuh dari ayah dan ibu pemeluk Kristen. Sejak kecil, keluarganya membiasakan diri beribadah ke gereja.
Sebagai contoh, bibi Dalton merupakan sosok yang sangat religius. Dialah yang mengarahkan Dalton mengambil bidang studi kajian Injil di kampus.
Awalnya, Dalton menanggapi dengan sopan. Saat itu, Dalton merasa masih kurang tertarik menggali lebih banyak pengetahuan ihwal kitab suci agamanya itu. Ia mengaku bukanlah seorang Kristen yang taat pada masa remaja.
Pergaulannya yang luas, membuatnya acap kali berpikir bahwa agama seharusnya tidak berjumlah banyak. Cukup satu saja, karena semua semestinya mengarah ke Pencipta yang sama.
Ya, saya percaya Tuhan itu ada. Saya pergi ke gereja sesekali. (Namun) Itu tidak terlalu berdampak buat saya, sejujurnya, tidak bila dibandingkan belakangan dengan Islam, katanya.
Saya tidak percaya bahwa perlu ada banyak agama di dunia. Seharusnya, hanya perlu satu agama dan semua orang menyembah Tuhan Yang Esa, kata dia.
Sejak memasuki bangku kuliah, Dalton mengalami kegelisahan spiritual. Puncaknya, ia mengalami depresi. Ia mulai jarang mengikuti kuliah dan berkumpul bersama kawan satu geng-nya. Bahkan, ia terancam dikeluarkan dari kampus tempatnya belajar.
Banyak orang yang sampai melalui depresi ketika tidak ada ketenangan dalam hatinya, ujar dia.
Sampai di titik ini, Dalton sering menepi dari keramaian. Ia mulai merefleksikan hidupnya. Ia merasa, masa remajanya banyak dihabiskan untuk berbuat jahat, seperti mencuri, merampok, atau mengonsumsi narkoba. Kenakalan remaja hanya demi uang atau lantaran iri terhadap mereka yang bisa membeli apa saja dengan mudah.
Saya merasa berada di pergaulan yang salah. Selalu ada tekanan saat itu. Banyak di antara kami yang hidup materialistis. Saya melakukan tindak kriminal hanya untuk menambah uang membeli apa yang dibeli orang, katanya mengenang.
Hingga suatu ketika, ajakan dari beberapa sahabat baiknya untuk mengobrol. Kemudian, mereka mengatakan kepada Dalton, Kamu sebaiknya berzikir, mengucapkan dua kalimat syahadat.
Saat itu, Dalton tidak benar-benar memahami apa maksud sahabatnya itu. Namun, ia merasa berbeda. Sebab, mereka melihat dengan mata hati dan memahami kekosongan yang sedang dialami Dalton.
Mereka yakin bahwa saya sebaiknya mengucapkannya (dua kalimat syahadat). Sebab, mereka menilai saya sebagai orang yang religius. Mereka melihat ke dalam hati saya. Dan mereka menemukan iman di sana, ujar Dalton.
Bahkan, kata mereka, sewaktu pertama kali bertemu dengan saya, mereka pikir saya ini Muslim. Mereka benar-benar terkejut begitu saya sampaikan yang sebenarnya (bahwa bukan Muslim), katanya melanjutkan.
Akhirnya, pada Februari lalu, Dalton resmi memeluk Islam. Ia dibimbing oleh tokoh Muslim setempat bernama Syekh Bilal, yang juga seorang mualaf.
Dari Syekh Bilal, Dalton mempelajari rukun Islam, rukun Iman, dan ajaran-ajaran Islam lainnya. Di lingkungan tempat tinggalnya, tidak banyak dijumpai orang Islam.
Perlahan-lahan, depresi dalam diri Dalton terkikis. Ia merasa hidupnya kini lebih tenang dan memiliki tujuan jelas.
Saya masuk Islam karena saya telah menemukan kebenaran, jalan yang benar. Di Islam, ada banyak ajaran dan cara hidup yang disiplin. Islam mengajarkan kepada saya untuk hidup sederhana dan tidak tamak. Saat kita mati, harta benda tidak menyertai. Hanya amal kita. Allah hanya melihat amal ibadah kita, katanya.
Dalton kemudian melanjutkan studinya kembali di kampus dalam bidang matematika dan bahasa Inggris. Islam menjadi penyemangat baginya untuk hidup selalu lebih baik.
Ini juga menolong ia untuk berkonsentrasi belajar dan meninggalkan kehidupan jalanan. Alih-alih menghabiskan waktu dalam hal-hal nirguna, ia menyibukkan diri dengan belajar Alquran. Ia konsisten shalat tepat waktu.
Sebagai seorang pemuda, setelah memeluk Islam, sikap Dalton berubah menjadi lebih sopan. Dahulu, ia menjalin hubungan penuh nafsu dengan lawan jenis. Kini, ia berkeyakinan, pernikahan adalah jalan terbaik.
Dahulu, hubungan saya dengan banyak perempuan begitu liar. Kini, di dalam agama saya, Islam, ternyata ada lebih banyak sikap romantis yang bisa dikembangkan. Ada banyak ajaran (dalam Islam) yang menghormati perempuan.
Bagaimana hubungan Dalton dengan keluarganya kini? Dia mengakui, awalnya ayah dan ibunya terkejut dengan keputusannya beralih iman.
Sebab, keduanya lebih memahami Islam sebagaimana yang dicitrakan melalui pemberitaan di televisi. Menurut Dalton, media massa Barat kerap memojokkan Islam. Apalagi, di Inggris, islamofobia masih menjadi fenomena yang sering dijumpai.
Namun, pihak keluarga lama-kelamaan mengamati perkembangan sikap Dalton setelah memeluk Islam. Pemuda itu menjadi lebih sopan, taat, dan menghindari perilaku buruk yang kerap dia lakukan dahulu. Bahkan, hubungan Dalton dengan ayah, ibu, dan keluarganya kian erat setelah memeluk Islam.
Mereka sekarang memahami, Islam telah mengubah hidup saya. Saya merasa lebih dekat dengan keluarga saya sekarang. Memang, ada banyak mualaf yang disalahpahami. Karena itu, sebaiknya siapa pun mengenal lebih dekat lagi mereka (mualaf), sehingga bisa mengerti, ujarnya.