Manfaat Doa Anak Saleh Bagi Orangtua yang Wafat

YANG paling utama adalah mendoakannya, karena doa anak yang saleh sangat bermanfaat bagi orangtuanya yang sudah meninggal. Tentu saja anak itu harus anak yang saleh, beriman dan bertakwa. Karena hanya doa orang yang dekat dengan Tuhannya saja yang akan didengar.

Jadi kalau anaknya jarang salat, tidak pernah mengaji, buta ajaran agama dan asing dengan syariat Islam, lalu tiba-tiba berdoa, bagaimana Allah Ta’ala akan mendengarnya. Sementara makanannya makanan haram, bajunya haram, mulutnya tidak lepas dari yang haram.

Selain itu anak yang saleh bisa saja mengeluarkan infak, sedekah dan ibadah maliyah lainnya yang diniatkan untuk disampaikan pahalanya kepada orangtuanya. Tentang sampainya pahala ibadah maliyah dari orang yang masih hidup untuk orang yang sudah wafat, ada banyak dalilnya. Di antaranya adalah: “Seseorang tidak boleh melakukan salat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum.” (HR An-Nasai)

Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada di tempat, lalu ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bertanya:” Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Ya, Saad berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).

Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa bukan hanya ibadah maliyah saja yang bisa disampaikan pahalanya kepada orang wafat, namun ibadah badaniyah pun bisa dikrimkan pahalanya untuk orang yang sudah wafat. Dalilnya adalah nash berikut: Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadis ini adalah hadis sahih yang menyebutkan bahwa pahala puasa sebagai ibadah badaniyah bisa dikirimkan untuk orang yang sudah wafat. Selain itu pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya. Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc.]

INILAH MOZAIK

Jangan Lupakan Doa untukku, Wahai Anakku…

RASULULLAH Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda, “Allah benar-benar akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surga. Ia bertanya, ‘Wahai Rabbku, dari mana aku dapatkan semua ini?’ Allah menjawab, ‘Dengan istighfar yang dipanjatkan anakmu untukmu’.

Pada abad-abad awal Islam hiduplah seorang wanita ahli ibadah di Bashrah. Ia bernama Rahibah. Anaknya menceritakan perihal dirinya dengan mengatakan, “Ketika ibuku tengah dijemput ajal kematiannya, ia menengadahkan kepalanya ke langit. Ibuku berdoa, ‘Wahai yang menjadi andalan dan simpananku! Wahai yang menjadi peganganku dalam hidup dan setelah kematianku! Janganlah engkau telantarkan aku saat maut menjemputku. Jangan buat aku sunyi menyendiri di kuburku.’

Lalu ibuku pun meninggal. Aku selalu datang ke kuburnya setiap hari Jumat. Aku mendoakannya, memintakan ampun untuknya dan penghuni kubur lainnya.

Sang anak melanjutkan ceritanya, “Pada suatu malam, aku melihatnya dalam mimpi. Aku berkata, ‘Wahai ibunda, bagaimana keadaanmu?’ Ia menjawab, ‘Wahai anakku, sungguh kematian itu menyimpan kesusahan yang sangat parah. Namun aku ini, dengan segala puji bagi Allah, sungguh berada dalam alam barzakh yang penuh puji. Kami beralaskan tumbuhan raihan yang harum mewangi, berbantalkan sutera halus dan sutera tebal hingga hari kebangkitan.’

Aku bertanya, ‘Apa engkau membutuhkan sesuatu?’

Ibuku menjawab, ‘Ya! Janganlah engkau tinggalkan kebiasaan menziarahi kami dan mendoakan kami ini. Sungguh, aku diberi kabar gembira dengan kedatanganmu pada hari Jumat ketika engkau datang dari rumah keluargamu.

Ada yang mengatakan kepadaku, ‘Wahai Rahibah! Ini dia anakmu. Ia datang dari rumah keluarganya untuk mengunjungimu.’ Aku pun bergembira. Begitu pula orang-orang yang ada di sekelilingku yang telah meninggal dunia turut bergembira.”’

Salah seorang pemuda yang hidup pada abad kelima hijriyah mengatakan, “Aku merutinkan diriku sendiri untuk melakukan shalat dua rakaat tiap malam. Dalam dua rakaat itu aku banyak membaca Al-Qur’an. Aku hadiahkan pahalanya untuk dua orang tuaku.

Suatu ketika, dalam mimpi, aku melihat orangtuaku mengatakan, ‘Semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik wahai Anakku! Perbuatan baktimu dan juga apa yang engkau hadiahkan kepadaku telah sampai padaku.”’*/Andriy (Diambil dari buku Sebulan Membentuk Anak Idaman, karangan Abdullah Muhammad Abdul Mu’thi).

 

HIDAYATULLAH