Belum lama ini, publik dihebohkan dengan permintaan (wasiat) Bunda Dorce agar kelak ketika meninggal, diurus seperti halnya jenazah perempuan. Padahal sudah jamak diketahui bahwasanya beliau merupakan seorang transgender, kira-kira bagaimana fikih menyikapi hal demikian, bolehkah transgender diurus sesuai jenis kelaminnya yang sekarang?
Pada prinsipnya, wasiat itu hanya diperbolehkan pada 2 hal, yaitu: pentasarrufan harta dan pada perkara mubah. Adapun mengenai wasiat transgender agar diurus sesuai kelamin barunya, itu tidak bisa dilaksanakan, sebab tidak memenuhi syarat.
Persoalan transgender adalah kontemporer, namun berikut adalah keterangan yang hampir mirip dengan konteks permasalahan ini dalam kitab Tuhfat al-Habib Ala Syarh al-Khatib, biasa dikenal dengan Hasyiyah Bujairomi Alaa Al-Khatib;
وَوَقَعَ السُّؤَالُ عَمَّا لَوْ تَصَوَّرَ وَلِيٌّ بِصُورَةِ امْرَأَةٍ أَوْ مُسِخَ رَجُلٌ امْرَأَةً هَلْ يَنْقُضُ أَوْ لَا ؟ فَأُجِيبَ عَنْهُ : بِأَنَّ الظَّاهِرَ فِي الْأَوَّلِ عَدَمُ النَّقْضِ لِلْقَطْعِ بِأَنَّ عَيْنَهُ لَمْ تَنْقَلِبْ ، وَإِنَّمَا انْخَلَعَ مِنْ صُورَةٍ إلَى صُورَةٍ مَعَ بَقَاءِ صِفَةِ الذُّكُورَةِ ، وَأَمَّا الْمَسْخُ فَالنَّقْضُ بِهِ مُحْتَمَلٌ لِقُرْبِ تَبَدُّلِ الْعَيْنِ مَعَ أَنَّهُ قَدْ يُقَالُ فِيهِ بِعَدَمِ النَّقْضِ أَيْضًا لِاحْتِمَالِ تَبَدُّلِ الصِّفَةِ دُونَ الْعَيْنِ ع ش عَلَى م ر .
Ada pertanyaan “Kalau ada seseorang menyerupai perempuan atau seorang lelaki dirubah menjadi perempuan, apakah membatalkan wudhu bagi lelaki lain saat menyentuhnya ?
Jawabannya : tidak batal secara pasti karena (dirubah bagaimanapun) kesejatian dirinya tidak bisa diganti, yang dapat ditanggalkan hanyalah satu bentuk pada bentuk lain, sedang sifat kelelakiannya (bisa saja) masih ada, andaikan sifatnya pun juga berubah tetap saja tidak membatalkan wudhu.
Keterangan serupa dengan redaksi yang hampir mirip, terdapat di Hasyiyah Al-Baijuri (1/69), Nihayat al-Muhtaj (1/116) dan Hawasyi Syarwani wa al-Ubbadi (1/137).
Jadi, transgender ini diurus sesuai kelamin aslinya. Baik perempuan atau laki-laki, sebab yang berubah hanyalah bentuknya saja, sejatinya ia tetap sebagaimana asalnya.
Menimbang dalam fikih itu ada kajian fikih dakwah, maka ketika ada yang minta demikian (transgender meminta diurus dengan jenis kelamin barunya), baiknya diiyakan saja. Sebab jika ditolak, maka ia akan sakit hati. Toh nanti ketika diurus, dia tidak bisa menolak.
Meskipun demikian, bisa saja keinginan Bunda Dorce dituruti, sebab perbedaan dalam pengurusan mayyit itu kebanyakan pada tataran khilafiyah. Mari kita runtut bahasannya.
Pertama, problem memandikan adalah dilarang lawan jenis kecuali keluarga. Tinggal keluarganya saja yang memandikannya. kedua, problem mengkafani itu cuma beda model. Laki-laki bisa lima lapis tambah surban (bisa jadi kerudung) dan baju/celana. Toh bungkus luarnya ya kafan panjang.
Ketiga, Problem salat ada khilafiah. Satu versi imam di pantat jenazah satu versi tetap di kepala. Toh juga sunah. Mengenai niat bisa ditakwil, semisal dalam bunda dorce, ia seharusnya diniati ala hadzal mayyiti (laki-laki), nanti bisa ala hadzihil mayyiti, yang mana maknanya dialihkan pada seseorang.
Yang demikian adalah fikih dakwah, jadi harus bisa memgkompromikan keadaan, antara literatur fikih dan perasaan seseorang. Wallahu A’lam.