Kisah Seorang Sufi yang Sombong

SUATU hari di tepi sungai Dajlah, Irak, sufi Hasan Al-Basri melihat seorang pemuda duduk berdua-duaan dengan seorang perempuan. Di sisi mereka terletak sebotol arak.

Kemudian Al-Basri berbisik dalam hati. “Alangkah buruk akhlak orang itu dan alangkah baiknya kalau dia seperti aku! “Tiba-tiba Hasan melihat sebuah perahu di tepi sungai yang sedang tenggelam. Lelaki yang duduk di tepi sungai tadi segera terjun untuk menolong penumpang perahu yang hampir lemas karena karam. Enam dari tujuh penumpang itu berhasil dia selamatkan.

Kemudian dia berpaling ke arah Al-Basri dan berkata, “Jika engkau memang lebih mulia daripada saya, demi Allah, selamatkanlah seorang lagi yang belum sempat saya tolong itu.”

Tapi betapapun Al-Basri berusaha, dia gagal menyelamatkan penumpang yang tersisa. Maka lelaki itu berkata: “Tuan, sebenarnya perempuan yang duduk di samping saya ini adalah Ibu saya sendiri, sedangkan botol itu hanya berisi air biasa, bukan anggur atau arak.”

Al-Basri tertegun. “Kalau begitu, sebagaimana engkau telah menyelamatkan enam orang tadi, tolong selamatkanlah saya juga dari tenggelam dalam kebanggaan dan rasa sombong.”

Lelaki itu menjawab, “Mudah-mudahan Allah mengabulkan permohonan tuan.”

Semenjak itu, Al-Basri belajar merendahkan hati setiap saat. Bahkan dia menganggap dirinya tidak lebih daripada mahluk lainnya.

Jika Allah membukakan pintu salat tahajud, janganlah lantas kita memandang rendah saudara seiman yang sedang tertidur pulas.Jika Allah membukakan pintu puasa sunah, janganlah lantas kita memandang rendah saudara seiman yang tidak ikut berpuasa sunnah.

Bisa jadi orang yang gemar tidur dan jarang melakukan puasa sunnah itu lebih dekat pada Allah dari diri kita. Sebab Ilmu Allah amatlah Luas. Jangan pernah ujub dan sombong pada amal sendiri. [Islam Indonesia]

 

MOZAIK

Ketika Seorang Sufi Tertolak Bumi

SUATU ketika, salah seorang murid Yusuf, Ibrahim al Khawwas dalam mimpinya, mendengar suara tak dikenal, “Pergilah, dan katakan pada Yusuf, Engkau adalah orang yang tertolak.”

Bagi seorang murid, kata-kata ini terdengar begitu menyakitkan di telinga. Bukan hanya karena Yusuf merupkan guru dalam pengembaraan spiritualnya, tapi juga karena sosok Yusuf yang amat sangat dihormati hampir seluruh masyarakat di zamannya.

Karenanya, bagi Ibrahim, akan lebih mudah untuk menahan himpitan gunung yang jatuh di atas kepalanya daripada harus mengatakan apa yang ada dalam mimpinya.

Belum juga hilang gelisah dalam batinnya, Ibrahim kembali memimpikan hal yang sama di malam berikutnya. Sebuah suara yang tak dikenalnya kembali menggaung di telinga. “Katakan padanya, “Engkau adalah orang yang tertolak!”

Ia pun terbelalak seraya bergegas menuju masjid. Membersihkan diri, dan kemudian duduk zikir, untuk meminimalisasi ketakutannya.

Namun, untuk ke sekian kalinya, mimpi itu kembali hadir. Bahkan, kali ini tampak lebih keras dan bernada mengancam, “Katakan padanya, Engkaulah yang tertolak. Jika pesan ini tidak kau sampaikan, maka engkau tidak akan sanggup bangkit dari tempat tidurmu ini!”

Ibrahim segera terbangun dengan kesedihan yang dalam. Hal yang serupa ia lakukan juga, pergi ke masjid dan zikir. Kali ini, ia melihat sang guru rupanya sedang duduk zikir. Ibrahim yang sedari beberapa waktu digelisahkan mimpi, akhirnya memilih duduk agak jauh dari Yusuf.

Sayangnya, sang guru yang kala itu sedang zikir justru menghampirinya, sembari berkata, “Muridku, apakah engkau hafal satu saja ayat Alquran?” tanyanya.

“Ya,” jawab Ibrahim singkat. Lalu, ia pun membacakannya satu ayat yang mampu ia ingat.

Mendengar lantunan Ibrahim, Yusuf tampak sangat bahagia. Ia pun kemudian bangkit dan mematung sejenak. Berusaha menutupi air matanya yang mengalir begitu deras dari hadapan muridnya.

“Sejak dini hari sampai saat ini,” kata Yusuf, “Aku mendengarkan berbagai bacaan ayat Alquran dari para muridku. Namun, tak satu pun bacaan mereka mampu mengalirkan satu tetes air mata pun. Kini, melalui satu ayat, suatu keadaan telah mewujudair mata telah mengalir deras dari kedua mataku. Manusia benar, bahwa aku adalah orang yang tertolak bumi. Seseorang yang dapat begitu terhanyut dalam sebuah syair puisi lagu, sementara Alquran tidak berpengaruh padanyaia sungguh orang yang tertolak.”

Mendengar penjelasan sang guru, Ibrahim semakin bingung dan mulai ragu dengan gurunya itu. Apakah ia sudah tepat berguru kepada Yusuf? Kalau sudah tepat, mengapa Yusuf termasuk orang yang tertolak, bahkan ditolak oleh bumi?

Sembari berjalan menyusuri padang pasir yang luas, Ibrahim bertemu dengan Khidir as. Khidir berkata, “Yusuf telah mendapat hadiah dari Allah. Ia tertolak bumi, karena tempatnya memang bukan di bumi, tapi di surga. Di kala semua orang di sekelilingnya sanggup merintih, sedih, terhanyut, bahkan menangis karena syair puisi, namun Yusuf menangis karena ayat Tuhannya. Bukankah itu lebih baik daripada terhanyut karena syair manusia?

Fariduddin Aththar berkisah tentang Abu Yaqub Yusuf ibn al Husain ar Radardhi. Ia merupakan salah seorang sufi berasal dari Rayy.

Yusuf berkelana ke beberapa wilayah Timur Tengah untuk menuntut ilmu, dan sempat bertemu Dzun Nun Al Misri di Mesir, dan kemudian belajar di bawah bimbingannya. Ia kembali ke Rayy untuk berkhotbah dan meninggal pada 304 H/ 916 M di sana.

 

MOZAIK

Allah Bekerja dengan Cara Misterius (1)

Doa saya di hari Jumat penuh berkah ini, semoga sahabat semua yang sedang membaca dan sering berkunjung disini diberi kesehatan dan umur panjang, kebahagiaan dunia akhirat serta selalu dalam limpahan rahmat dan karunia-Nya, Amin.

Membahas tentang dunia sufi tidak akan pernah habis, membicarakan tentang keunikannya membuat hidup semakin bergairah, mengkaji ajaran terdalamnya tidak akan pernah selesai karena para sufi mengambil ilmu Up To Date dari Sang Maha Hidup yaitu Allah Taa yang terus menerus berfirman sesuai sifat Kalam-Nya.

Hari saya ingin berbagi salah satu karya dari Guru Sufi terkenal dari Turki yaitu Maulana Jalaluddin Rumi yang karya-karya nya tidak hanya membuat terpana ummat Islam tapi juga manusia seluruh dunia. Karya Rumi menjadi abadi karena di tulis dari hati sehingga bisa menyentuh semua hati. Silakan dibaca

Nabi Muhammad saw. bersabda, “Seburuk-buruk ulama adalah ulama yang mengunjungi penguasa, dan sebaik-baik penguasa adalah penguasa yang mengunjungi ulama. Berbahagialah seorang penguasa yang berada di depan pintu orang miskin, dan celakalah orang miskin yang berada di depan gerbang penguasa!”

Sekilas, hadis Nabi itu seakan bermakna bahwa tidak layak bagi seorangulama mengunjungi pemerintah. Perbuatan seperti itu menjadikan seorang ulama menjadi ulama terburuk. Tapi hadis itu tidak bermakna sedemikian dangkal. Makna sebenarnya dari hadis itu adalah bahwa seburuk-buruknya ulama adalah ulama yang menerima sokongan dari penguasa. Dia melakukannya karena ingin memperoleh penghidupan dari sang penguasa. Anugerah serta pemberian penghidupan dari seorang penguasa dijadikan sebagai tujuan utama kehidupan dan pencarian ilmunya.

Dia ingin agar sang penguasa memberinya berbagai hadiah. Dia selalu memuji penguasa dan berkata kepadanya dengan berbagai penghargaan yang tinggi. Semuanya dilakukan agar dia mendapatkan kedudukan yang tinggi. Ketika menjadi ulama, dia mempelajari tata cara untuk bisa melepaskan diri dari ketakutan dan kekuasaan setiap penguasa. Ulama-ulama seperti itu akan.membiasakan dirinya dengan berbagai tingkah laku yang akan disukai oleh setiap penguasa. Dalam kehidupan ini mungkin ada ulama yang mengunjungi penguasa dan ada pula penguasa yang mengunjungi ulama. Tapi, ulama-ulama buruk itu akan selalu menempatkan dirinya sebagai tamu, dan selalu menganggap penguasa sebagai tuan rumah.

Pada sisi lain, ketika seorang ulama yang telah mengenakan jubah keilmuannya, dia melakukannya bukan demi seorang penguasa, melainkan, pertama dan paling utama, karena Tuhan. Ketika seorang ulama berperilaku dan berjalan sepanjangjalur kebenaran, sebagaimana yang semestinya dilakukan oleh seorang ulama, dan tidak berperilaku untuk alasan lain, maka semua orang akan berdiri hormat terhadapnya. Semua orang merasa mendapatkan limpahan cahaya yang memantul darinya. Baik mereka sadar ataupun tidak.

Segala perilaku ulama itu selalu diatur oleh nalar dan naluri kebaikan. Dia hanya bisa hidup dalam kebaikan, seperti ikan yang hanya dapat hidup di dalam air. Apabila ulama seperti itu pergi ke seorang penguasa, maka dialah yang bertindak sebagai tuan rumah dan penguasa sebagai tamu. Karena sang penguasa akan menerima bantuan darinya dan bergantung padanya.

Ulama seperti itu jiwanya merdeka dan tidak terikat pada seorang penguasa. Dia akan selalu melimpahkan cahaya bagaikan matahari. Hidupnya semata-mata untuk memberi dan memberkahi. Matahari mengubah bebatuan biasa menjadi rubi dan permata carnelian. Matahari akan mengubah gunung-gunung di bumi menjadi tambang tembaga, emas, perak, dan timah. Matahari membuat bumi hijau dan segar, menghasilkan bermacam buah-buahan dan berbagai tanaman.

Tugasnya hanyalah memberi dan membekali; dia tidak mengambil apa pun. Ada sebuah pepatah Arab yang berbunyi, “Kami telah belajar untuk memberi, tidak untuk mengambil.” Ulama seperti itu akan selalu menjadi tuan rumah dalam keadaan bagaimanapun. Dan penguasa akan selalu menjadi tamu mereka.

 

 

sumber: Sufi Muda/Inilah.com