Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan ulama atau guru yang alim seperti bintang yang menjadi petunjuk arah saat di kegelapan.
Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.”
Selama ilmu ada, manusia akan terus berada dalam petunjuk. Ilmu tetap terus ada selama ulama ada. Jika ulama dan penggantinya sudah tiada, jadilah manusia tersesat.
Sebagaimana disebut dalam Shahihain, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا ، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا ، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu begitu saja, dicabut dari para hamba. Ketahuilah ilmu itu mudah dicabut dengan diwafatkannya para ulama sampai tidak tersisa seorang alim pun. Akhirnya, manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai tempat rujukan. Jadinya, ketika ditanya, ia pun berfatwa tanpa ilmu. Ia sesat dan orang-orang pun ikut tersesat.” (HR. Bukhari, no. 100 dan Muslim, no. 2673) (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, karya Ibnu Rajab Al-Hambali, 2: 298)
Sungguh jasa guru dan ulama kita begitu besar. Bayangkan jika nelayan yang berada di kegelapan malam lantas tak memiliki petunjuk jalan dari bintang-bintang di langit. Sesatkah jadinya?
Wallahu waliyyut taufiq.