Selain berusaha mempelajari Al Qur’an dan hadits dengan bimbingan para ulama, seorang penuntut ilmu juga hendaknya bersemangat untuk menghafalkan Al Qur’an dan hadits. Karena pondasi dari ilmu adalah Al Qur’an dan hadits.
Menghafalkan Al Qur’an
Ibnu ‘Abdl Barr rahimahullah mengatakan:
طلب العلم درجات ورتب لا ينبغي تعديها، ومن تعداها جملة فقد تعدى سبيل السلف رحمهم الله، فأول العلم حفظ كتاب الله عز وجل وتفهمه
“Menuntut ilmu itu ada tahapan dan tingkatan yang harus dilalui, barangsiapa yang melaluinya maka ia telah menempuh jalan salaf rahimahumullah. Dan ilmu yang paling pertama adalah menghafal kitabullah ‘azza wa jalla (Al Qur’an) dan memahaminya” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/1129).
Menghafalkan Al Qur’an juga kita lakukan dalam rangka upaya agar menjadi shahibul qur’an (pecinta Al Qur’an). Dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اقْرَؤُوا القُرْآنَ فإنَّه يَأْتي يَومَ القِيامَةِ شَفِيعًا لأَصْحابِهِ
“bacalah Al Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai syafa’at bagi shahibul Qur’an” (HR. Muslim no.804).
Siapa itu shahibul qur’an? Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyatakan, “Ketahuilah, makna dari shahibul Qur’an adalah orang yang menghafalkannya di hati. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
يؤمُّ القومَ أقرؤُهم لِكتابِ اللَّهِ
“hendaknya yang mengimami sebuah kaum adalah yang paling aqra’ terhadap Kitabullah” (HR. Muslim no. 673, dari sahabat Abu Mas’ud Uqbah bin ‘Amir radhiallahu’anhu).
Makna aqra’ adalah: yang paling hafal. Sehingga derajat surga yang didapatkan seseorang itu tergantung pada banyak hafalan Al Qur’annya di dunia, bukan pada banyak bacaannya, sebagaimana disangka oleh sebagian orang. Maka di sini kita ketahui keutamaan yang besar bagi pada penghafal Al Qur’an. Namun dengan syarat ia menghafalkan Al Qur’an untuk mengharap wajah Allah tabaaraka wa ta’ala, bukan untuk tujuan dunia atau harta” (Silsilah Ash Shahihah, 5/281).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “menghafal Al Qur’an adalah mustahab (sunnah)” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.89906). Namun yang rajih insya Allah, menghafal Al Qur’an adalah fardhu kifayah, wajib diantara kaum Muslimin ada yang menghafalkan Al Qur’an, jika tidak ada sama sekali maka mereka berdosa (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 17/325).
Semakin banyak hafalan seseorang, akan semakin tinggi pula kedudukan yang didapatkan di surga kelak. Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يُقالُ لصاحبِ القرآنِ اقرأْ وارتقِ ورتِّلْ كما كنت تُرتِّلُ في الدنيا فإنَّ منزلَك عند آخرِ آيةٍ تقرؤُها
“Akan dikatakan kepada shahibul qur’an (di akhirat) : bacalah dan naiklah, bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membaca dengan tartil di dunia. karena kedudukanmu tergantung pada ayat terakhir yang engkau baca” (HR. Abu Daud 2240, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Menghafalkan Al Qur’an hendaknya dimulai dari yang paling mudah dulu. Urutannya sebagai berikut:
- Hafalkan juz 30, lalu
- Hafalkan juz 29, lalu
- Hafalkan juz 28, lalu
- Hafalkan juz 1 – 27
Dan hendaknya dalam menghafalkan Al Qur’an, juga dibimbing oleh seorang guru yang bisa mengoreksi bacaannya dan hafalannya. Guru tersebut juga bisa memutuskan apakah ia melanjutkan hafalan yang baru ataukah mengulang hafalan yang lama. Disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al Mishri, “salah satu adab penuntut ilmu adalah: memberi perhatian untuk mengoreksi pelajarannya yang sudah ia hafal sebelumnya secara mutqin (sempurna) di depan syaikh (guru). Atau di depan orang lain yang bisa membantunya. Kemudian dengan cara demikian ia bisa memiliki hafalan yang mutqin. Kemudian setelah itu ia ulang-ulang hafalannya dengan baik. Kemudian dia menjadwalkan waktu-waktu untuk mengulang hafalan yang telah berlalu. Sehingga menjadi hafalan yang kokoh dan kuat” (Al Mu’lim bi Adabil Mu’allim wal Muta’allim, hal. 83).
Menghafalkan hadits-hadits Nabi
Selain menghafalkan Al Qur’an, seorang penuntut ilmu juga hendaknya bersemangat untuk menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena hadits adalah sumber hukum kedua dalam Islam, setelah Al Qur’an.
Menghafalkan hadits-hadits juga memiliki keutamaan yang besar. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
نضَّرَ اللَّهُ امرأً سمِعَ مَقالتي فبلَّغَها فربَّ حاملِ فقهٍ غيرِ فقيهٍ وربَّ حاملِ فقهٍ إلى من هوَ أفقَهُ مِنهُ
“Allah akan memberikan nudhrah (cerahnya wajah) kepada seseorang (di dunia dan di akhirat) yang mendengarkan sabda-sabdaku, lalu menyampaikannya (kepada orang lain). Karena betapa banyak orang yang membawa ilmu itu sebenarnya tidak memahaminya. Dan betapa banyak orang disampaikan ilmu itu lebih memahami dari pada yang membawakan ilmu kepadanya” (HR. Ibnu Majah no. 2498, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi rahimahullah menjelaskan: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi umat untuk menghafalkan hadits. Bahkan beliau menegaskan kepada kita untuk menghafalnya dengan mutqin, sehingga kita tidak menyampaikan hadits secara makna. Beliau bersabda dalam riwayat lain:
فحفظها فأداها كما سمعها
“… sehingga ia bisa menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya”.
Kemudian perkataan [Allah akan memberikan nudhrah], maksudnya adalah nadharah, yaitu: bagusnya wajah. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah mereka pada hari itu dalam keadaan nadhirah (cerah), memandang kepada Rabb mereka” (QS. Al Qiyamah: 22-23).
Karena ketika para hamba memandang kepada wajah Allah, maka wajah mereka pun bertambah indah dan bagus. Nadharah yang disebutkan dalam hadits di atas diperselisihkan oleh para ulama maknanya dalam dua pendapat:
Pertama, mereka akan dikumpulkan di hari Kiamat dalam keadaan wajah mereka memancarkan cahaya, seperti matahari. Dikarenakan ia menghafalkan as sunnah (hadits). Semakin banyak hadits yang ia hafalkan, semakin Allah tambahkan cahaya di wajahnya dan Allah akan menerangi dia dengan cahaya sunnah. Oleh karena itu, Ahlussunnah di wajah mereka ada cahaya.
Kedua, sebagian ulama mengatakan, pada wajah orang-orang Ahlussunnah terdapat cahaya yang ini terjadi di dunia. Karena Allah menjadikan para wajah mereka ada cahaya dan kecerahan wajah. Maka wajah mereka adalah wajah-wajah kebaikan. Jika engkau melihat wajah salah seorang dari Ahlussunnah, maka akan tenang hati anda. Anda akan mengetahui bahwasanya itu adalah wajah orang yang baik dan shalih. Karena ubun-ubun dan wajah itu mengikuti amalan. Allah ta’ala berfirman:
نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ
“Ubun-ubun (orang) yang pendusta dan berbuat dosa” (QS. Al ‘Alaq: 16)” (Syarh Zaadil Mustqani’, 30/368).
Menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga dimulai dari yang mudah-mudah yang ringkas terlebih dahulu. Yang paling disarankan adalah:
- Hafalkan hadits-hadits dalam kitab Al Arba’in An Nawawiyah, karya Imam An Nawawi rahimahullah, lalu
- Hafalkan hadits-hadits dalam kitab Umdatul Ahkam, karya Abdul Ghani Al Maqdisi rahimahullah, lalu
- Hafalkan hadits-hadits dalam kitab Bulughul Maram, karya Ibnu Hajar Al Asqalani, lalu
- Hafalkan hadits-hadits dalam kitab Al Adabul Mufrad, karya Imam Al Bukhari.
Setelah itu baru bisa menghafalkan Kutubus Sittah dan kitab-kitab hadits yang lebih tebal lagi. Dan ini pun hendaknya dibimbing oleh seorang guru yang bisa bacaannya dan hafalannya. Guru tersebut juga bisa memutuskan apakah ia melanjutkan hafalan yang baru ataukah mengulang hafalan yang lama.
Demikian penjelasan yang ringkas ini. Semoga menjadi motivasi bagi kita semua. Wallahu waliyut taufiq was sadaad.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id