Tiga Keadaan yang Menyebabkan Boleh Meminta-minta

Diriwayatkan dari sahabat Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ، تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا

Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal), kecuali untuk tiga golongan. (Pertama), orang yang menanggung utang (gharim, misalnya untuk mendamaikan dua pihak yang saling bersengketa). Maka, orang itu boleh meminta-minta, sehingga utangnya lunas. Apabila utangnya telah lunas, maka tidak boleh lagi ia meminta-meminta. (Kedua), orang yang terkena bencana, sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh meminta-minta sampai dia memperoleh sumber kehidupan yang layak baginya. (Ketiga), orang yang ditimpa kemiskinan, dipersaksikan atau diketahui oleh tiga orang yang dipercaya bahwa dia memang miskin. Orang itu boleh meminta-minta, sampai dia memperoleh sumber penghidupan yang layak. Selain tiga golongan itu, haram baginya untuk meminta-minta, dan haram pula baginya memakan hasil meminta-minta itu.” (HR. Muslim no. 1044, Abu Dawud no. 1640, Ibnu Khuzaimah no. 2361, dan Ibnu Hiban 8: 190)

Kandungan hadis

Hadis di atas merupakan dalil bahwa terdapat tiga kondisi yang menyebabkan seseorang boleh meminta-minta, yaitu:

Pertama, orang yang memiliki tanggungan utang kepada orang lain. Misalnya, utang yang digunakan untuk mendamaikan dua pihak atau kelompok yang bersengketa. Orang tersebut boleh diberi zakat untuk melunasi utang tersebut, meskipun pada asalnya dia kaya dan berkecukupan. Dalam syariat tersebut, terkandung motivasi untuk memiliki akhlak yang mulia. Orang Arab dulu, apabila ada di antara mereka yang memiliki utang, maka mereka bersegera untuk membantunya. Oleh karena itu, jika orang yang memiliki utang tersebut meminta-minta agar utangnya lunas, maka hal itu tidak dinilai sebagai perbuatan yang menjatuhkan kehormatannya. Bahkan, termasuk hal yang bisa dibanggakan.

Kedua, orang yang terkena musibah sehingga harta bendanya menjadi musnah dan ludes, misalnya karena terkena banjir, kebakaran, gempa, atau lainnya. Dalam kondisi tersebut, dia boleh untuk meminta-minta. Dan wajib bagi orang yang memiliki kemampuan untuk membantunya agar dia bisa keluar dari kesulitan tersebut. Orang tersebut tidak perlu meminta bukti bahwa orang yang terkena musibah tersebut benar-benar sedang membutuhkan. Karena apabila ada orang yang terkena musibah semacam ini, dampaknya pasti terlihat secara nyata.

Ketiga, siapa saja yang mengklaim bahwa dia jatuh miskin atau bangkrut setelah sebelumnya adalah orang kaya dan berkecukupan. Jika keadaan tersebut didukung oleh tiga saksi yang bisa dipercaya, maka dia boleh meminta-minta.

Zahir hadis ini menunjukkan bahwa saksi tersebut berjumlah tiga orang. Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama berdalil bahwa kondisi bangkrut (kesulitan) itu harus dipersaksikan oleh tiga orang. Ini adalah pendapat Ibnu Khuzaimah, sebagian ulama Syafi’iyyah, dan juga disebutkan oleh Ibnu Qudamah bahwa Imam Ahmad juga berpendapat demikian. (Lihat Al-Mughni, 14: 128 dan Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah, hal. 172)

Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa cukup dipersaksikan oleh dua orang sebagaimana persaksian yang lainnya, selain zina. Sehingga jumhur memaknai hadis ini sebagai anjuran saja. (Subulus Salam, 2: 288)

Hadis ini tidaklah dimaknai bahwa yang boleh meminta-minta itu hanya tiga orang ini saja. Dalam hadis yang lain, juga terdapat dalil bahwa ada kondisi yang membolehkan seseorang meminta-minta, misalnya boleh meminta kepada penguasa (pemerintah). Dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ

Sesungguhnya perbuatan meminta-minta itu seperti seseorang yang mencakar wajahnya sendiri, kecuali seseorang yang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa.” (HR. At-Tirmidzi no. 681. At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan sahih.” Dinilai sahih oleh Al-Albani)

Contoh yang lain adalah bolehnya orang yang berhak menerima zakat untuk meminta bagian zakat.

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 500-503).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89984-3-keadaan-yang-menyebabkan-boleh-meminta-minta.html

Derajat Hadits Nabi Mencium Istrinya Lalu Tidak Wudhu Lagi

Diriwayatkan oleh Abu Daud (179) dalam Sunan-nya,

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ حَبِيبٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ»، قَالَ عُرْوَةُ: مَنْ هِيَ إِلَّا أَنْتِ؟ فَضَحِكَتْ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: هَكَذَا رَوَاهُ زَائِدَةُ، وَعَبْدُ الْحَمِيدِ الْحِمَّانِيُّ، عَنْ سُلَيْمَانَ الْأَعْمَشِ

“Utsman bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Waki’ menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Al A’masy menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Dari Habib, dari Urwah, dari Aisyah Radhiallahu’anha, ‘Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium salah seorang istrinya (yaitu Aisyah sendiri), kemudian beliau keluar untuk salat dan tidak berwudu lagi.’ Urwah lalu berkata, ‘Siapa lagi jika bukan engkau wahai Aisyah.’ Kemudian Aisyah tertawa.” Abu Daud mengatakan, ‘Demikian juga diriwayatkan dari Zaidah dan Abdul Hamid Al Himmani dari Sulaiman Al A’masy.’”

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah (502),

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ،قَالَا:حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ: حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ،عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:«قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ»قُلْتُ: مَا هِيَ إِلَّا أَنْتِ«فَضَحِكَتْ»

“Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ali bin Muhammad menuturkan kepada kami, mereka berdua berkata, ‘Waki’ menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Al A’masy menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Dari Habib bin Abi Tsabit, dari Urwah bin Az Zubair, dari Aisyah Radhiallahu’anha, ‘Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium sebagian istrinya (yaitu Aisyah sendiri), kemudian beliau keluar untuk salat dan tidak berwudu lagi.’  Urwah lalu berkata, ‘Siapa lagi jika bukan engkau wahai Aisyah.’ Kemudian Aisyah tertawa.”’”

Dalam riwayat Ibnu Majah ini disebutkan secara jelas bahwa Habib adalah Habib bin Abi Tsabit dan Urwah adalah Urwah bin Az Zubair.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Jami‘-nya (86), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (25766), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (485), Ishaq bin Rahuwaih dalam Musnad-nya (566), Ad Daruquthni dalam Sunan-nya (495), dengan jalan yang sama dari Waki’ bin al-Jarrah Rahimahullah.

Sanad riwayat ini sahih, semua perawinya tsiqah. Adapun Habib bin Abi Tsabit adalah Habib bin Qais Al Qurasyi. Yahya bin Ma’in dari riwayat Ahmad bin Sa’ad,  bahwa Yahya berkata, “(Habib bin Abi Tsabit) tsiqah, hujjah.” Adz Dzahabi mengatakan, “Ia tsiqah tanpa keraguan.” (Siyar A’lamin Nubala).

Inti masalah

Sebagian ulama melemahkan hadis di atas karena mengklaim bahwa Habib bin Abi Tsabit tidak pernah mendengar hadis dari Urwah bin Al Zubair. Sehingga terdapat inqitha’ (keterputusan sanad). Sebagaimana perkataan Al Bukhari,

عَنِ البُخَارِيِّ، قَالَ: لَمْ يَسْمَعْ حَبِيْبٌ مِنْ عُرْوَةَ شَيْئاً

“Dari Al Bukhari, ia berkata, ‘Habib tidak pernah mendengar hadis dari Urwah sama sekali’” (dinukil dari Siyar A’lamin Nubala).

Sehingga Al Bukhari adalah salah satu ulama yang men-dhaif-kan hadis ini. Demikian juga Yahya bin Sa’id Al Qathan Rahimahullah.

Maka, jawaban para ulama terhadap masalah ini adalah:

Pertama, Habib bin Abi Tsabit di-mutaba’ah oleh perawi yang lain, yaitu Ibrahim at-Taimi dalam jalan yang lain. Diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad-nya (25767),

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي رَوْقٍ الْهَمْدَانِيِّ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ” قَبَّلَ ثُمَّ صَلَّى، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ “

“Waki’ menuturkan kepadaku, ia berkata, ‘Sufyan menuturkan kepadaku, dari Abu Rauq Al Hamdani, dari Ibrahim At Taimi, dari Aisyah Radhiallahu’anha, ‘Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menciumnya kemudian salat dan tidak berwudu lagi.””

Sanad riwayat ini lemah, karena Ibrahim at-Taimi tidak pernah mendengar hadis dari ‘Aisyah.  Sebagaimana dikatakan oleh Abu Daud As Sijistani dan Ad Daruquthni. Sehingga terdapat inqitha‘ dalam riwayat ini. Dan Ibrahim at-Taimi perawi yang tsiqah namun sering me-mursal-kan hadis. Ibnu Hajar mengatakan, “Ia tsiqah, ahli ibadah, namun ia sering me-mursal-kan hadis dan melakukan tadlis.” Yahya bin Ma’in mengatakan, “Ia tsiqah.” Sehingga riwayat ini bisa menjadi mutaba’ah bagi riwayat Habib bin Abi Tsabit.

Kedua, terdapat mutaba’ah yang lain, yaitu Hisyam bin Urwah, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthni (1/136),

عن أبي بكر النيسابوري، حدثنا حاجب بن سليمان، حدثنا وكيع، عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة، قالت: قبل رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بعض نسائِه ثم صلَّى ولم يتوضأ

“Dari Abu Bakar An Naisaburi, ia berkata, ‘Hajib bin Sulaiman menuturkan kepadaku, ia berkata, ‘Waki’ menuturkan kepadaku, ia berkata, ‘Dari Hisyam bin Urwah, dari Urwan bin az-Zubair, dari Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium sebagian istrinya kemudian salat dan tidak berwudu lagi.”””

Riwayat ini sahih. Semua perawinya tsiqah. Hajib bin Sulaiman, dikatakan oleh Ibnu Hajar, “Shaduq dan meriwayatkan hadis yang wahm (lemah).” Adz Dzahabi mengatakan, “Ia tsiqah.” Ia juga di-tsiqah-kan oleh An Nasa’i dan juga dimasukkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat. Sehingga ia tsiqah insyaallah.

Sedangkan Abu Bakar An Naisaburi adalah Abdullah bin Muhammad bin Ziyad An Naisaburi. Abu Ya’la Al Khalili mengatakan, “Ia tsiqah hafizh faqih.” Al Khathib mengatakan, “Hafizh mutqin, salah satu masyaikh yang paling berilmu.” Adz Dzahabi mengatakan, “Ia adalah seorang al imam al hafizh.”

Sehingga selain riwayat ini sahih, juga menjadi mutaba’ah bagi riwayat Habib bin Abi Tsabit.

Ketiga, terdapat mutaba’ah yang lain, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya,

حدثنا إسماعيل ابن يعقوب بن صَبيح، حدثنا محمد بن موسى بن أعين، حدثنا أبي، عن عبد الكريم الجزري، عن عطاء، عن عائشة أنه -عليه السلام- كان يقبل بعض نسائه ولا يتوضأ

“Ismail bin Ya’qub bin Shabih menuturkan kepadaku, ia berkata, ‘Muhammad bin Musa bin A’yun menuturkan kepadaku, ia berkata, ‘Ayahku (Musa bin A’yun) menuturkan kepadaku, ia berkata, ‘Dari Abdul Karim Al Juzri, dari Atha (bin Abi Rabah) dari Aisyah Radhiallahu’anha, ‘Bahwa Nabi ‘Alaihis salam mencium sebagian istrinya, dan tidak berwudhu lagi.”””

Riwayat ini juga sahih, semua perawinya tsiqah. Abdul Karim Al Juzri adalah salah satu perawi Malik dalam Al Muwatha’, juga perawi Bukhari-Muslim. Ia di-tsiqah-kan oleh Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, dan Abu Zur’ah.

Musa bin A’yun, juga di-tsiqah-kan oleh Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, dan Ad Daruquthni. Sehingga tidak diragukan lagi ia tsiqah.

Sedangkan Muhammad bin Musa bin A’yun ia adalah salah satu perawi Al Bukhari dalam Shahih-nya. Di-tsiqah-kan oleh An Nasa’i, Abu ‘Awwanah, dan Adz Dzahabi.

Sehingga selain riwayat ini sahih, juga menjadi mutaba’ah bagi riwayat Habib bin Abi Tsabit.

Keempat, Habib bin Abi Tsabit dan Urwah hidup sezaman, sama-sama tabi’in dan sama-sama dari Kufah. Urwah wafat pada tahun 94 H sedangkan Habib wafat pada tahun 119 H. Syekh Syu’aib Al Arnauth menjelaskan,

وحبيب لا يُنكر لقاؤه عُروة لروايته عمن هو أكبرُ من عُروة، وأقدم موتاً، وهو إمام ثقة، من أئمة العلماء الأجلة. وقال ابن سيد الناس: وقولُ أبي عمر هذا أفاد إثبات إمكان اللقاء، وهو مزيل للانقطاع عند الأكثرين، وأرفع من هذا قول أبي داود فيما رويناه عنه بالسند المتقدم (وهو عنده بإثر الرواية (١٨٠) قال: وقد روى حمزةُ الزياتُ عن حبيب، عن عروة بن الزبير، عن عائشة حديثاً صحيحاً، فهذا يثبت اللقاء، فهو مزيلٌ للانقطاع عندهم

“Habib bin Abi Tsabit tidak dapat dipungkiri bahwa beliau bertemu dengan Urwah, karena Habib meriwayatkan hadis dari tabi’in yang lebih senior dari Urwah dan lebih dahulu wafatnya dari Urwah, dari kalangan para ulama tabi’in yang utama. Ibnu Sayyidin Nas berkata, Perkataan Abu Umar memberi faedah kepada kita tentang validnya kemungkinan pertemuan antara Habib dan Urwah. Dan ini menghilangkan prasangka adanya inqitha’ menurut jumhur ulama.’ Dan yang lebih meyakinkan lagi, apa yang disebutkan oleh Abu Daud dalam riwayat yang sebelumnya (yaitu hadis nomor 180), Abu Daud berkata, ‘Hamzah Az Zayyat meriwayatkan hadis dari Habib, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah sebuah hadis yang sahih.’ Maka perkataan Abu Daud ini menetapkan adanya pertemuan di antara keduanya dan menghilangkan prasangka adanya inqitha’” (Takhrij Musnad Ahmad, 42/498-499).

Kelima, dengan semua indikasi-indikasi di atas jelaslah kekeliruan klaim bahwa hadis di atas munqathi’. Abdul Haqq Al Isbili, setelah membawakan riwayat Al Bazzar di atas, beliau mengatakan,

لا أعلم له علة توجب تركه

“Dari sini saya tidak mengetahui adanya illah yang membuat kita harus meninggalkan hadis ini” (Al Ahkam Al Wustha, 1/142).

Syekh Syu’aib Al Arnauth mengatakan,

ودعوى الانقطاع وأن حبيب بن أبي ثابت لم يسمع من عروة دعوى باطلة ردها غير واحد من الأئمة

“Klaim bahwa dalam hadis ini ada inqitha’ dan bahwa Habib bin Abi Tsabit tidak mendengar hadis dari Urwah adalah klaim yang batil, yang telah dibantah oleh beberapa imam ahli hadis” (Takhrij Musnad Ahmad, 42/498).

Kesimpulannya, hadis ini adalah hadis yang sahih tanpa keraguan. Sebagaimana disahihkan oleh Abdul Haqq Al Isybili (Al Ahkam Al Wustha, 1/142), Ibnu Hajar Al Asqalani (Ad Dirayah, 1/45), Ibnu Abdil Barr (Al Istidzkar, 3/52), Azhim Al Abadi (‘Aunul Ma’bud, 1/153), Ibnu Sayyidin Nas (Syarh Sunan At Tirmidzi, 1/199), Syu’aib Al Arnauth (Takhrij Musnad Ahmad, 42/498), dan Al Albani (Shahih Abu Daud, no. 179).

Dan di antara fikih dari hadis ini adalah bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudu. Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

Diringkas dari penjelasan Syekh Syu’aib Al Arnauth Rahimahullah dalam Takhrij Musnad Ahmad (42/498-500).

Sumber: https://muslim.or.id/71280-derajat-hadits-nabi-mencium-istrinya-lalu-tidak-wudhu-lagi.html

Hafalkanlah Al-Qur’an dan Hadits

Selain berusaha mempelajari Al Qur’an dan hadits dengan bimbingan para ulama, seorang penuntut ilmu juga hendaknya bersemangat untuk menghafalkan Al Qur’an dan hadits. Karena pondasi dari ilmu adalah Al Qur’an dan hadits.

Menghafalkan Al Qur’an

Ibnu ‘Abdl Barr rahimahullah mengatakan:

طلب العلم درجات ورتب لا ينبغي تعديها، ومن تعداها جملة فقد تعدى سبيل السلف رحمهم الله، فأول العلم حفظ كتاب الله عز وجل وتفهمه

“Menuntut ilmu itu ada tahapan dan tingkatan yang harus dilalui, barangsiapa yang melaluinya maka ia telah menempuh jalan salaf rahimahumullah. Dan ilmu yang paling pertama adalah menghafal kitabullah ‘azza wa jalla (Al Qur’an) dan memahaminya” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/1129).

Menghafalkan Al Qur’an juga kita lakukan dalam rangka upaya agar menjadi shahibul qur’an (pecinta Al Qur’an). Dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

اقْرَؤُوا القُرْآنَ فإنَّه يَأْتي يَومَ القِيامَةِ شَفِيعًا لأَصْحابِهِ

“bacalah Al Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai syafa’at bagi shahibul Qur’an” (HR. Muslim no.804).

Siapa itu shahibul qur’an? Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyatakan, “Ketahuilah, makna dari shahibul Qur’an adalah orang yang menghafalkannya di hati. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

يؤمُّ القومَ أقرؤُهم لِكتابِ اللَّهِ

“hendaknya yang mengimami sebuah kaum adalah yang paling aqra’ terhadap Kitabullah” (HR. Muslim no. 673, dari sahabat Abu Mas’ud Uqbah bin ‘Amir radhiallahu’anhu).

Makna aqra’ adalah: yang paling hafal. Sehingga derajat surga yang didapatkan seseorang itu tergantung pada banyak hafalan Al Qur’annya di dunia, bukan pada banyak bacaannya, sebagaimana disangka oleh sebagian orang. Maka di sini kita ketahui keutamaan yang besar bagi pada penghafal Al Qur’an. Namun dengan syarat ia menghafalkan Al Qur’an untuk mengharap wajah Allah tabaaraka wa ta’ala, bukan untuk tujuan dunia atau harta” (Silsilah Ash Shahihah, 5/281).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “menghafal Al Qur’an adalah mustahab (sunnah)” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.89906). Namun yang rajih insya Allah, menghafal Al Qur’an adalah fardhu kifayah, wajib diantara kaum Muslimin ada yang menghafalkan Al Qur’an, jika tidak ada sama sekali maka mereka berdosa (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 17/325).

Semakin banyak hafalan seseorang, akan semakin tinggi pula kedudukan yang didapatkan di surga kelak. Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يُقالُ لصاحبِ القرآنِ اقرأْ وارتقِ ورتِّلْ كما كنت تُرتِّلُ في الدنيا فإنَّ منزلَك عند آخرِ آيةٍ تقرؤُها

“Akan dikatakan kepada shahibul qur’an (di akhirat) : bacalah dan naiklah, bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membaca dengan tartil di dunia. karena kedudukanmu tergantung pada ayat terakhir yang engkau baca” (HR. Abu Daud 2240, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Menghafalkan Al Qur’an hendaknya dimulai dari yang paling mudah dulu. Urutannya sebagai berikut:

  1. Hafalkan juz 30, lalu
  2. Hafalkan juz 29, lalu
  3. Hafalkan juz 28, lalu
  4. Hafalkan juz 1 – 27

Dan hendaknya dalam menghafalkan Al Qur’an, juga dibimbing oleh seorang guru yang bisa mengoreksi bacaannya dan hafalannya. Guru tersebut juga bisa memutuskan apakah ia melanjutkan hafalan yang baru ataukah mengulang hafalan yang lama. Disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al Mishri, “salah satu adab penuntut ilmu adalah: memberi perhatian untuk mengoreksi pelajarannya yang sudah ia hafal sebelumnya secara mutqin (sempurna) di depan syaikh (guru). Atau di depan orang lain yang bisa membantunya. Kemudian dengan cara demikian ia bisa memiliki hafalan yang mutqin. Kemudian setelah itu ia ulang-ulang hafalannya dengan baik. Kemudian dia menjadwalkan waktu-waktu untuk mengulang hafalan yang telah berlalu. Sehingga menjadi hafalan yang kokoh dan kuat” (Al Mu’lim bi Adabil Mu’allim wal Muta’allim, hal. 83).

Menghafalkan hadits-hadits Nabi

Selain menghafalkan Al Qur’an, seorang penuntut ilmu juga hendaknya bersemangat untuk menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena hadits adalah sumber hukum kedua dalam Islam, setelah Al Qur’an.

Menghafalkan hadits-hadits juga memiliki keutamaan yang besar. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

نضَّرَ اللَّهُ امرأً سمِعَ مَقالتي فبلَّغَها فربَّ حاملِ فقهٍ غيرِ فقيهٍ وربَّ حاملِ فقهٍ إلى من هوَ أفقَهُ مِنهُ

“Allah akan memberikan nudhrah (cerahnya wajah) kepada seseorang (di dunia dan di akhirat) yang mendengarkan sabda-sabdaku, lalu menyampaikannya (kepada orang lain). Karena betapa banyak orang yang membawa ilmu itu sebenarnya tidak memahaminya. Dan betapa banyak orang disampaikan ilmu itu lebih memahami dari pada yang membawakan ilmu kepadanya” (HR. Ibnu Majah no. 2498, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi rahimahullah menjelaskan: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi umat untuk menghafalkan hadits. Bahkan beliau menegaskan kepada kita untuk menghafalnya dengan mutqin, sehingga kita tidak menyampaikan hadits secara makna. Beliau bersabda dalam riwayat lain:

فحفظها فأداها كما سمعها

“… sehingga ia bisa menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya”.

Kemudian perkataan [Allah akan memberikan nudhrah], maksudnya adalah nadharah, yaitu: bagusnya wajah. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

“Wajah-wajah mereka pada hari itu dalam keadaan nadhirah (cerah), memandang kepada Rabb mereka” (QS. Al Qiyamah: 22-23).

Karena ketika para hamba memandang kepada wajah Allah, maka wajah mereka pun bertambah indah dan bagus. Nadharah yang disebutkan dalam hadits di atas diperselisihkan oleh para ulama maknanya dalam dua pendapat:

Pertama, mereka akan dikumpulkan di hari Kiamat dalam keadaan wajah mereka memancarkan cahaya, seperti matahari. Dikarenakan ia menghafalkan as sunnah (hadits). Semakin banyak hadits yang ia hafalkan, semakin Allah tambahkan cahaya di wajahnya dan Allah akan menerangi dia dengan cahaya sunnah. Oleh karena itu, Ahlussunnah di wajah mereka ada cahaya.

Kedua, sebagian ulama mengatakan, pada wajah orang-orang Ahlussunnah terdapat cahaya yang ini terjadi di dunia. Karena Allah menjadikan para wajah mereka ada cahaya dan kecerahan wajah. Maka wajah mereka adalah wajah-wajah kebaikan. Jika engkau melihat wajah salah seorang dari Ahlussunnah, maka akan tenang hati anda. Anda akan mengetahui bahwasanya itu adalah wajah orang yang baik dan shalih. Karena ubun-ubun dan wajah itu mengikuti amalan. Allah ta’ala berfirman:

نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ

“Ubun-ubun (orang) yang pendusta dan berbuat dosa” (QS. Al ‘Alaq: 16)” (Syarh Zaadil Mustqani’, 30/368).

Menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga dimulai dari yang mudah-mudah yang ringkas terlebih dahulu. Yang paling disarankan adalah:

  1. Hafalkan hadits-hadits dalam kitab Al Arba’in An Nawawiyah, karya Imam An Nawawi rahimahullah, lalu
  2. Hafalkan hadits-hadits dalam kitab Umdatul Ahkam, karya Abdul Ghani Al Maqdisi rahimahullah, lalu
  3. Hafalkan hadits-hadits dalam kitab Bulughul Maram, karya Ibnu Hajar Al Asqalani, lalu
  4. Hafalkan hadits-hadits dalam kitab Al Adabul Mufrad, karya Imam Al Bukhari.

Setelah itu baru bisa menghafalkan Kutubus Sittah dan kitab-kitab hadits yang lebih tebal lagi. Dan ini pun hendaknya dibimbing oleh seorang guru yang bisa bacaannya dan hafalannya. Guru tersebut juga bisa memutuskan apakah ia melanjutkan hafalan yang baru ataukah mengulang hafalan yang lama.

Demikian penjelasan yang ringkas ini. Semoga menjadi motivasi bagi kita semua. Wallahu waliyut taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Suatu Hadits Dikatakan Sahih Jika…

BERITA (khabar) atau hadis yang dapat diterima, bila ditinjau dari sisi perbedaan tingkatannya terbagi menjadi dua kelompok: Shahih dan Hasan. Masing-masing kelompok dibagi lagi menjadi 2: Li Dzatihi (secara independen) dan Li Ghairihi (karena riwayat pendukung). Dengan demikian, pembagian hadis yang bisa dijadikan dalil ada empat, yang disusun secara hirarki sebagai berikut:

1. Shahih Li Dzatihi (shahih secara independen)
2. Shahih Li Ghairihi (shahih karena yang lainnya/riwayat pendukung)
3. Hasan Li Dzatihi (hasan secara independen)
4. Hasan Li Ghairihi (hasan karena yang lainnya/riwayat pendukung)

Secara etimologi, kata shahih artinya: sehat. Kata ini merupakan antonim dari kata saqim yang artinya: sakit. Bila digunakan untuk menyifati badan, maka makna yang digunakan adalah makna hakiki (yang sebenarnya), tetapi bila diungkapkan di dalam hadis dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).

Sedangkan secara istilah, pengertian yang paling bagus yang disampaikan ulama hadis adalah: “Hadis yang bersambung sanad nya (jalur periwayatan) melalui penyampaian para perawi yang adil, dhabith, dari perawi yang semisalnya sampai akhir jalur periwayatan, tanpa ada syudzudz, dan juga tanpa illat.”

Bersambung sanadnya: Artinya, masing-masing perawi mengambil hadis dari perawi di atasnya secara langsung, dari awal periwayatan hingga ujung (akhir) periwayatan. Perawi yang adil. Seorang perawi disebut adil jika memenuhi kriteria: muslim, baligh, berakal, tidak fasiq, dan juga tidak cacat maruah wibawanya (di masyarakat). Perawi yang dhabith, artinya perawi ini adalah orang yang kuat hafalannya. Sehingga hadis yang dia bawa tidak mengalami perubahan.

Perawi yang dhabith ada 2: Dhabith karena kekuatan hafalan, yang disebut dhabtus shadr. Dhabith karena ketelitian catatan, yang diistilahkan dengan dhabtul kitabah. Perawi yang memiliki dhabtul kitabah, hadisnya bisa diterima jika dia menyampaikannya dengan membaca catatan. Tanpa syudzudz, artinya, hadis yang diriwayatkan itu tidak bertentangan dengan hadis lain yang diriwayatkan dengan jalur lebih terpercaya.

Tanpa illat. Illat (cacat hadis) adalah sebab tersembunyi yang mempengaruhi kesahihan hadis, meskipun bisa jadi zahirnya tampak shahih. Demikian keterangan yang disadur dari buku Taisir Mustholah Hadis, karya Mahmud Thahhan An-Nuaimi, Hal. 44 dan 45.

Satu hal yang penting untuk kita jadikan catatan, berdasarkan keterangan bahwa seseorang tidak mungkin bisa menilai keshahihan suatu hadis sampai dia betul-betul mendalami ilmu hadis. Karena itu, bagi orang yang merasa belum memiliki ilmu yang cukup tentang masalah hadis, selayaknya dia merujuk kepada ahlinya, ketika hendak menilai keabsahan suatu hadis.

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Keutamaan Membaca Tasbih

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

laa ilaaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ’ala kulli syai-in qodiir

[Tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu]

dalam sehari sebanyak 100 kali;
• maka baginya sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan),
• dicatat baginya 100 kebaikan,
• dihapus darinya 100 kejelekan,
• dan dia akan terlindung dari setan pada siang hingga sore harinya,
• serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang membacanya lebih banyak dari itu.”

[HR. Bukhari dan Muslim]

Terpelihara Dari Kesusahan Dunia Akhirat

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebtu menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699)

 HIDAYATULLAH