PATUHI Ungkap Perjalanan Panjang Legalkan Haji Furada

Pemerintah dan DPR resmi melegalkan haji furada. Legalitas haji furada (haji kuota Saudi di luar kuota resmi) diatur Undang-undang Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU) Pasal 16 sampai Pasal 17. 

Ketua Harian Permusyawaratan Antar Syarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (PATUHI), Artha Hanif, mengatakan PATUHI sudah lama memperjuangkan agar haji furada dilegalkan pemerintah.

“Setelah sejak beberapa tahun lalu kami mohon kebijakan pemerintah untuk membolehkan visa haji nonkuota resmi,” katanya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (1/4).

Artha menuturkan argumentasi visa haji nonkuota atau yang dikenal furada itu mesti dilegalkan sebagai salah satu opsi dan solusi bagi masyarakat mengatasi  antrean panjang jamaah haji reguler dan khusus.

“Alhamdulillah melalui inisiatif DPR RI dan perhatian Kemenag RI, akhirnya RUU haji dan umrah menggantikan UU Haji Nomor 13 Tahun 2008 telah resmi diterima oleh rapat paripurna DPR RI pada 28 Maret 2019,” ujarnya.

Artha menceritakan, bagaimana pada tahun lalu tim PATUHI berjuang memberikan argumentasi kepada pemerintah dan dewan jika furada bisa menjadi opsi mengurangi daftar tunggu panjang penyelenggaraan haji reguler dan khusus.

Akan tetapi pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) dan DPR melalui Komisi VIII kurang antusias tentang penjelasan tim PATUHI tentang haji furada.

“Kami masih teringat bagaimana saat undangan rapat dengar pendapat undang-undang (RDPU) kepada PATUHI tanggal 27 Nov 2018 sebagian anggota dewan dan pejabat Kemenag RI masih alergi dengan visa haji furada,” katanya.

PATUHI ketika itu, kata Artha, terus berusaha maksimal meyakinkan anggota dewan bahwa opsi furada adalah hak asasi manusi (HAM) dan penyelenggaraannya mesti melalui penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) supaya mudah bagi pemerintah untuk melakukan kontrol.

Artha menyarankan, dengan resminya UU haji dan umrah yang baru maka perlu ada penyesuaian peraturan-peraturan  haji dan umrah di bawahnya. Peraturan di bawahnya itu bisa melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) atau Surat Keputusa Direktur Jendral Penyelenggaraan Haji dan Umrah  (SK Dirjen). “Supaya match dengan UU haji dan umrah yang baru,” katanya.

IHRAM REPUBLIKA

Haji Furada Harus Tetap di Bawah Koordinasi Kemenag

Pada musim haji tahun 2019 jamaah haji furada tak lagi disebut ilegal oleh pemerintah. Pemerintah dan Komisi VIII DPR telah menyepakati ketentuan haji furada diatur dalam Undang-undang haji umrah terbaru yang akan disahkan hari ini, Kamis (28/3).

“Iya (ada ketentuan yang mengatur haji furada),” kata Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily saat dihubungi Republika, Rabu (27/3).

Ace mengatakan, meski haji furada dilegalkan pemerintah dan DPR melalui Undang-undang Penyelenggaraan Haji Umrah yang baru, akan tetapi penyelenggaraannya haji furada itu bukan oleh pemerintah. Haji furada diselenggarakan oleh penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK).

“Furada itu diselenggarakan oleh PIHK,” ujarnya.

Meski bukan pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) yang menyelenggarakan haji furada, akan tetapi pemerintah dan PIHK yang memberangkatkan jamaah haji furada harus tetap saling tukar informasi selama di Tanah Suci. “Tetap harus dalam koordinasi Kementerian Agama,” katanya.

Ace Hasan mengatakan, haji furada harus dalam koordinasi pemerintah agar ketika terjadi apa-apa pada jamaah haji furada ada pihak pemerintah yang bisa diminta pertanggungjawaban. “Karena kenapa? kami ingin agar semua jamaah haji tetap dalam tanggungjawab dalam Kementerian Agama,” katanya.

Ace berharap, pemerintah harus memastikan travel yang digunakan jamaah haji furada telah memiliki legalitas sebagai PIHK. “PIHK yang memang telah terakreditasi oleh Kemenag,” katanya.

Haji Furada Jadi Duri dalam Daging Pemerintah Indonesia

IHRAM.CO.ID, JAKARTA — Komisi VIII DPR RI tengah menyelesaikan revisi Undang-Undang tentang penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU). RUU ini ditargetkan selesai pembahasan dan diusahakan menjadi UU pada Agustus mendatang.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzili mengatakan RUU ini menjadi penting dilakukan lantaran masih ada pelaporan terkait penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Salah satunya, keberadaan haji furada. Mengingat dari aspek hukum di Indonesia, haji furada tidak diakui karena dasar hukum penyelenggaraan haji di Indonesia berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2008 yang diubah menjadi UU Nomor 34 Tahun 2009.

“Kami mendesak haji furodah bagian dari regulasi yang diatur revisi UU haji, supaya jika terjadi apa-apa maka jamaah yang menggunakan haji furada tersebut tetap dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Haji furada ada pelaporan kasus, ada jamaah haji yang telantar yang menggunakan visa furada maka Pemerintah Indonesia yang akan bertanggung jawab,” ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (14/2).

Menurutnya, haji furodah merupakan haji yang menggunakan visa dari pemerintah Saudi. Artinya, haji ini tidak masuk ke dalam reguler atau khusus yang diberikan kuota oleh Pemerintah Saudi ke Pemerintah Indonesia.

“Kami punya komitmen akan segera mengesahkan UU haji yang baru. Ada beberapa hal krusial, termasuk haji furada, bisa menjadi duri dalam daging, tidak masuk UU, tetapi kalau ada masalah yang disalahkan pemerintah,” ucapnya.

Untuk itu, pihaknya terus menggodok RUU ini hingga tuntas. Setidaknya, jika ada permasalahan terkait penyelenggaraan ibadah haji dan umrah memiliki payung hukum, sehingga akuntabilitasnya bisa terjaga dengan baik.

IHRAM REPUBLIKA