Terima Ajakan Agus Salim, Hamka Pulang

Waktu berhaji jatuh pada musim panas. Wukuf di Arafah bukan main panasnya. Banyak orang mati. Hamka pun tak luput dari serangan panas. Ia ditimpa sakit kepala dan tak dapat berjalan ke mana-mana.

Darah mengalir dari hidung. Ia tak sadarkan diri hingga lepas tengah malam. Hamka teringat ayah bundanya. Begitu mudah orang mati, sampai ia merasa barangkali tentu akan mati.

Syukur, ia kembali sehat dan melengkapkan rukun haji. Kebiasaan zaman itu, selepas menunaikan haji, semua berkumpul di hadapan syeikh masing-masing.

Syeikh akan memasangkan serban dan mengganti nama haji yang diinginkan si empu. Uang seringgit tak lupa melompat ke kantong Syekh setelah prosesi.

Tapi, Hamka tak mau mengikuti adat itu. “Buat apa? Serban itu bagiku tak perlu, dan nama yang telah diberikan ayahku kepadaku tidak akan kutukar! Ini hanya perbuatan khurafat semua,” kata Hamka membatin.

Saat orang sibuk membicarakan kepulangan, Hamka terbelah; mukim atau pulang. Seorang teman menyarankan untuk mukim barang setahun. Hamka sempat ragu.

Apalagi, Tuan Hamid sedia menerimanya kembali. Niat mukim itu lenyap setelah Hamka bertemu Haji Agus Salim. Hampir seminggu Hamka menyediakan diri jadi khadam (pelayan) Agus Salim.

“Apa yang akan engkau tunggui di sini? Lebih baik pulang. Banyak pekerjaan penting berhubung dengan pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat dikerjakan di Indonesia,” kata Agus Salim pada anak muda yang belum genap 20 itu.

Perjalanan pulang dari Makkah ke Jeddah terpaksa ditempuhnya dengan berjalan kaki. Hamka sudah tak punya uang. Payah, letih, ia berjalan bersama seorang kawan yang juga kehabisan uang.

Di tengah jalan, mereka kehabisan roti dan air minum. Beruntung, tampak dua orang Afghanistan bernaung di bawah pohon, juga dalam perjalanan ke Jeddah. Mereka berbagi makanan. Sampai di Bahra, tak kuat lagi Hamka dan kawannya berjalan.

Terpaksalah mereka menyewa keledai dengan uang seadanya. Sore berangkat, tengah malam tiba di Jeddah. Hanya dua malam di kota itu, kapal ke Buitenzorg berangkat. Sabang tampak dari kejauhan setelah 15 hari terapung di lautan.

Memoar ini termasuk kisah perjalanan haji yang mula-mula ditulis pribumi. Hamka dalam hal ini menggunakan sudut pandang orang ketiga dia’ dengan ungkapan pemuda kita.

Artinya, ia menempatkan diri sebagai objek pengamatan yang berjarak, sekaligus hendak menjadi bagian dari pembaca. Suatu gaya yang menurut Indonesianis asal Perancis, Henri Chambert-Loir, “modern, pintar, dan menarik.”

 

sumber: Republika Online