Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) salah satu ulama besar yang pernah bersitegang dengan Sukarno. Meski menjadi lawan politik, Hamka tidak pernah menyimpan dendam kepada Sukarno, pria yang dianggap sahabat namun pernah mengurungnya di jeruji besi selama dua tahun empat bulan tanpa proses pengadilan. Tuduhan kepada Hamka tidak main-main; terlibat dalam rencana pembunuhan
Anak kelima Buya Hamka, Irfan Hamka, dalam buku Ayah menceritakan bagaimana ayahnya bersikap terhadap pemerintahan Sukarno. Dalam suatu acara yang digelar Dewan Kesenian Jakarta pada 1969, Buya Hamka memaparkan dua hal, pertama pelarangan peredaran buku-buku Pramoedya Ananta Toer, dan kedua bagaimana sikapnya terhadap Pramoedya yang menjadi penyebab Hamka dipenjara.
Buya Hamka, tulis Irfan Hamka, tidak pernah menyetujui pelarangan tersebut, karena filsafat hidup Buya Hamka adalah cinta. “Kalau tidak suka pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku pula, kata beliau,” tulis Taufiq Ismail menceritakan sosok Buya Hamka dalam pengantar buku Ayah.
Di sini kebesaran hati seorang Buya Hamka teruji. Ia memaafkan Pramoedya. Padahal, namanya dihancurkan Pramoedya lewat tulisan di surat kabar Bintang Timur yang merupakan media pro-PKI.
Dalam surat kabar ini terdapat kolom seni-budaya bernama Lentera. Kolom itu diasuh Pramoedya.
Dalam kolom itu, sejumlah satrawan yang kontra PKI diserang, seperti HB Jasin, Sutan Takdir Alisjahbana, Trisno Sumardjo, Asrul Sani, Misbach Yusa Biran, Bur Rasuanto, termasuk Buya Hamka. Hamka yang aktif di Muhammadiyah dan Masyumi yang jelas-jelas kontra PKI menjadi sasaran tembak.
Buya kemudian ditahan karena dianggap melanggar UU Anti-Subversif Pempres No. 11. Ia dituding terlibat dalam upaya pembunuhan Sukarno dan Menteri Agama saat itu, Syaifuddin Zuhri. Namanya dihancurkan, perekonomiannya dimiskinkan, kariernya dimatikan dan buku-bukunya dilarang beredar sejak itu.
Tetapi, Hamka yang seorang ulama besar Indonesia tidak pernah menyimpan dendam. Bukti shahihnya adalah saat Kafrawi, Sekjen Departemen Agama dan Mayjen Soeryo, ajudan Presiden Soeharto, datang ke rumah Hamka membawa pesan dari keluarga Sukarno pada 16 Juni 1970. Pesannya, Buya Hamka dengan sangat hormat diminta mengimami shalat jenazah Sukarno.
“Jadi beliau sudah wafat?” kata Hamka bertanya kepada Kafrawi.
“Iya Buya. Bapak telah wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah dibawa ke Wisma Yaso.”
“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku,” kata Sukarno berpesan.
Hamka terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian Sukarno. Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat Sukarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah mantan presiden yang pernah menjebloskannya ke penjara itu.
Hamka bahkan memuji Sukarno yang membangun Masjid Baitul Rahim di Istana Negara dan Masjid Istiqlal. Ia pun menyelesaikan tafsir Al-Azhar yang menjadi karya fenomenalnya berkat andil Sukarno. Sebab, tafsir yang mahsyur seantero Asia itu diselesaikan saat ia berada di penjara.
“Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…”