Mau Melunasi Utang tapi Tak Jumpa Pemiliknya

MENGEMBALIKAN barang atau harta milik orang lain, bisa dilakukan dengan 3 urutan cara berikut:

[1] Dikembalikan ke pemilik langsung. Jika tidak bisa,
[2] Dikembalikan ke ahli waris atau keluarganya. Jika tidak bisa,
[3] Dikembalikan dalam bentuk pahala, dengan cara disedekahkan atas nama pemilik. Meskipun pilihan terakhir ini masih harus menunggu kerelaan pemilik, jika di kemudian hari berhasil dijumpai.

Dalil mengenai hal ini adalah riwayat dari Ibnu Masud radhiyallahu anhu. Bahwa beliau pernah membeli budak. Ketika beliau masuk rumah untuk menghitung uang pembayarannya, ternyata si penjual budak pergi. Beliau lalu menunggunya, hingga Ibnu Masud putus asa dia akan kembali. Akhirnya Ibnu Masud menyedekahkan uang pembayaran budak itu, dan beliau mengatakan,

Ya Allah, ini atas nama tuannya si budak. Jika dia ridha, maka dia mendapatkan pahalanya. Namun jika dia datang, pahala itu untukku dan dia berhak mendapat pahalaku senilai sedekah itu. (Madarijus Salikin, 1/388).

Cara ini yang bisa kita jadikan acuan ketika kita hendak melunasi utang, namun kesulitan untuk menemukan pemiliknya.

  • Jika masih diharapkan bisa ketemu pemilik, harus ditunggu sampai bisa diserahkan ke pemilik.
  • Jika putus asa bisa bertemu pemilik, dikembalikan ke ahli warisnya.
  • Jika tidak kenal ahli warisnya satupun, disedekahkan atas nama pemilik.
  • Jika nanti di kemudian hari bertemu pemilik, dia bisa sampaikan ke pemilik bahwa hartanya telah disedekahkan atas nama dirinya.
  • Selanjutnya pemilik bisa memilih, jika ridha dengan sedekah itu, dia berhak mendapat pahalanya. Jika tidak, dia berhak untuk tetap menagih utang, dan pahala sedekah menjadi milik yang berutang.

 

INILAH MOZAIK

Keduanya Ragu Apakah Utang sudah Lunas atau Belum

KITA ilustrasikan sebagai berikut:

Fafa menagih kekurangan pembayaran utang ke Lala. Tapi Lala mengaku utangnya sudah lunas. Akhirnya keduanya ragu.

Urutan penyelesaian: Baik Fafa maupun Lala, mereka yakin pernah melakukan transaksi utang-piutang. Dimana Lala pernah utang ke Fafa. Hanya saja, mereka ragu, apakah Lala sudah melunasi utangnya atau belum?

Status utangnya yakin. Status lunasnya, meragukan. Sehingga pengakuan Lala adalah klaim yang butuh bukti. Jika Lala tidak bisa mendatangkan bukti bahwa utangnya telah lunas, maka Fafa cukup bersumpah bahwa utang Lala belum lunas.

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Bila seseorang memiliki utang, namun dia ragu apakah dia telah melunasinya atau belum, maka hukum asalnya dia masih berutang sampai dia yakin bahwa dia telah melunasinya.” (Fatawa Nur ala ad-Darb, Fatawa Mutafarriqat, Bab at-Taubah, no. 47)

 

INILAH MOZAIK

Amalkan Doa Ini, insya Allah Hutang Lunas

Setiap orang pasti tidak ingin terbelit hutang. Sebab selain menjadi beban di dunia, hutang juga menjadi penghambat seorang mukmin ketika seharusnya ia masuk surga.

Ibnu Majah dalam Sunan-nya menuliskan salah satu judul “peringatan keras tentang hutang”. Terisyaratkan dalam salah satu hadits di bab itu bahwa untuk bisa mudah masuk surga, seorang mukmin harus terbebas dari hutang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ

“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal maka ia masuk surga. Tiga hal itu adalah sombong, ghulul (khianat) dan hutang” (HR. Ibnu Majah)

Adapun orang mukmin yang ketika meninggal ia masih memiliki hutang, jiwanya akan tergantung pada hutang tersebut.

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin masih tergantung dengan hutangnya hingga ia melunasinya”(HR. Tirmidzi; shahih)

Hutang yang tidak bisa dilunasi di dunia tersebut akan dilunasi di akhirat nanti dengan cara membayarnya dengan kebaikan. Dengan kata lain, pahalanya akan dialihkan kepada orang yang memberinya hutang. Jika pahalanya tidak cukup, orang yang punya hutang tersebut bisa terseret ke neraka. Inilah makna jiwa tergantung dengan hutang.

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham” (HR. Ibnu Majah; shahih)

Menyadari betapa beratnya konsekuensi memiliki hutang, maka ia harus dibayar. Dilunasi. Agar hutang cepat terlunasi, kita peru berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar bisa melunasi hutang dan terbebas dari hutang.

Berikut ini doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang fadhilahnya memudahkan kita melunasi hutang dan terbebas dari hutang.

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, serta cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi; hasan)

Fadhilah doa ini, insya Allah terbebas dari hutang meskipun sebesar gunung.

Selain doa tersebut, dalam Sunan Abu Dawud disebutkan bahwa Rasulullah juga pernah mengajarkan doa bebas hutang kepada Abu Umamah untuk dibaca setiap pagi dan petang. Doa itu adalah sebagai berikut:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan kikir,serta dari beban hutang dan dominasi orang lain”(HR. Abu Dawud)

Walahu a’lam bish shawab.

 

[Muchlisin BK/Bersamadakwah]

Diberi Kelebihan Saat Pembayaran Hutang, Apakah Tetap Riba Hukumnya?

Bidang muamalat

Assalamualaikum wr wb.

Saya mau tanya, teman saya meminjam uang sebesar 5 juta kepada saya untuk keperluan yang mendesak. Dia berjanji akan memberikan kelebihan pengembalian sehingga menjadi 6 juta.

Apakah kelebihan uang pengembalian tersebut termasuk riba? Perlu diketahui bahwa saya sama sekali tidak meminta kelebihan itu. Dan tanpa dijanjikan kelebihan tersebut pun, saya akan tetap meminjamkannya kepada teman saya itu.

Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu alaikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Transaksi pinjam uang yang Anda lakukan dengan teman Anda itu memang 100% masuk dalam kategori riba nasi’ah yang diharamkan Allah SWT. Riba inilah yang sejak 14 abad lalu diperangi Allah SWT kepada siapa saja yang melakukannya.

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ 

Jika kamu tidak meninggalkan riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS. Al-Baqarah : 278-279)

Dan pelaku riba ini, baik pihak yang meminjamkan uang ataupun pihak yang meminjam uang, sama-sama mendapatkan laknat dari Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda : mereka semua sama. (HR. Muslim)

Tidak Minta Bunga Tetapi Diberi

Mungkin Anda bertanya, kenapa masih dibilang riba? Bukankah Anda tidak minta bunga? Anda hanya diberi dan tidak minta, tidak maksa dan juga tidak sedang memeras teman sendiri. Bunga itu secara ikhlas diberikan oleh teman Anda tanpa diminta, kok masih dianggap riba?

Logika ini memang seringkali digunakan oleh mereka yang masih belum memahami secara lengkap hakikat riba. Seolah-olah letak titik keharaman riba (‘illat) semata-mata terdapat pada unsur pemerasan, penindasan dan mengambilan harta orang lain secara zalim.

Padahal logika itu kurang tepat alias keliru. Memang benar bahwa salah satu hikmah Allah SWT mengharamkan praktek riba demi untuk menghilangkan pemerasan, penindasan dan pengambilan harta orang secara zalim. Tetapi ini hanya sekedar hikmah. Dan hikmah bukan ‘illat. Artinya bila hikmah itu ada ataupun tidak ada, sama sekali tidak mengubah hukum.

Sebagai ilustrasi biar lebih mudah, salah satu hikmah shalat adalah tercegahnya kita dari perbuatan keji dan munkar. Lalu apakah bila kita sudah terhindar dari melakukan perbuatan keji dan munkar, lantas kita jadi tidak wajib mengerjakan shalat?

Tentu saja tetap wajib. Sebab adanya hikmah atas suatu ibadah bukan menjadi sebab ada atau tidaknya kewajiban ibadah itu.

Ilustrasi lain biar lebih jelas lagi, salah satu hikmah diharamkannya minum khamar agar jangan mabuk yang bisa mengakibatkan kehancuran. Tetapi bisa saja seseorang minum khamar seteguk dua teguk dan tidak mabuk. Lalu apakah  minum khamar tanpa mabuk itu menjadi halal?

Tentu saja jawabnya tidak.

Hal yang sama berlaku pada keharaman zina dalam syariat Islam. Meskipun pasangan itu menyatakan saling cinta dan ikhlas atas apa yang mereka lakukan, tetapi hukumnya tetap haram. Meski wanita itu rela kehilangan kegadisannya dan laki-lakinya juga rela kehilangan keperjakaannya, katanya lantaran mereka lakukan demi cinta suci, tetap saja hukumnya haram.

Sebab haramnya zina tidak ada kaitannya dengan pemaksaan, pelecehan wanita atau penodaan kehormatan. Hakikat haramnya zina adalah terjadinya hubungan seksual di luar nikah, tidak ada urusannya dengan ikhlas atau tidka ikhlas.

Maka demikian pula dengan kasus riba. Salah satu hikmah diharamkannya riba adalah agar terhindar dari pengambilan harta orang lain secara zalim. Lantas kalau pihak yang pinjam itu dengan segala keikhlasan dan kerelaan bersedia memberikan uang kelebihan pada saat pengembalian pinjaman, apakah lantas hukumnya menjadi boleh?

Tentu saja jawabnya juga tidak. Sebab ‘illat keharaman bunga bukan terletak pada ikhlas atau tidak ikhlas, tetapi pada adanya kelebihan pengembalian itu sendiri. Terlepas dari apakah kelebihan itu diberikan dengan ikhlas atau tidak ikhlas.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 

Ahmad Sarwat, Lc., MA

 

sumber: Rumah Fiqih