Tingkatan-Tingkatan Ibadah Sunnah

Sesungguhnya ibadah-ibadah sunnah itu memiliki tingkatan-tingkatan dalam penekanan pelaksanannya. Sebagian ibadah sunnah memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan ibadah sunnah yang lainnya.

Misalnya, tingkatan ibadah dalam shalat sunnah. Dua raka’at shalat qabliyah subuh (dua raka’at fajar) dan shalat witir itu sangat ditekankan dibandingkan shalat rawatib lainnya. Untuk dua shalat sunnah tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga pelaksanaannya, baik beliau dalam kondisi safar ataupun tidak safar (dalam kondisi muqim). Sedangkan untuk shalat rawatib yang lain, beliau menjaga pelaksanaannya ketika beliau tidak dalam kondisi safar, dan beliau meninggalkannya ketika beliau dalam kondisi safar. 

Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar adalah meng-qashar (meringkas) shalat, dan tidak terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi mengerjakan shalat sunnah sebelum atau sesudah shalat wajib, kecuali shalat sunnah witir dan shalat sunnah fajar. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan keduanya, baik dalam kondisi safar atau pun tidak safar (muqim).” (Zaadul Ma’aad, 1: 473) 

Setelah itu, tingkatan berikutnya ada shalat dhuha, kemudian shalat yang memiliki sebab (dzawaatul asbaab), seperti shalat tahiyyatul masjid dan shalat dua raka’at thawaf. 

Demikian pula puasa, seperti puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak puasa), kemudian puasa hari ‘Arafah, kemudian puasa hari ‘Asyura, kemudian puasa tiga hari setiap bulan (hijriyah), kemudian puasa Senin-Kamis, dan seterusnya untuk ibadah puasa sunnah lainnya. 

Sehingga secara umum, ibadah sunnah dibagi dalam dua tingkatan:

Pertama, sunnah mu’akkad.

Yaitu ibadah yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara rutin dan kontinyu, dan diiringi dengan adanya motivasi langsung dari lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Misalnya, shalat sunnah dua raka’at qabliyah subuh. Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ

“Tidak ada shalat sunnah yang lebih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tekuni daripada dua raka’at fajar (shalat sunnah qabliyah subuh).” (HR. Bukhari no. 1163 dan Muslim no. 724)

Juga diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Dua raka’at fajar itu lebih baik dari dunia seisinya.” (HR. Muslim no. 725)

Ke dua, sunnah ghairu mu’akkad.

Yaitu ibadah sunnah yang tidak dirutinkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya shalat empat raka’at sebelum shalat ashar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi untuk mengerjakannya, namun beliau tidak merutinkannya.

Termasuk dalam ibadah sunnah ghairu mu’akkad adalah semua ibadah yang terdapat motivasi secara lisan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak dinukil dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau merutinkannya. 

Misalnya, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

“Lakukanlah haji dan umrah dalam waktu yang berdekatan, karena keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan menghapus dosa, sebagaimana al-kiir (alat yang dipakai oleh pandai besi) menghilangkan karat besi, emas, dan perak. Tidak ada balasan bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (HR. Tirmidzi no. 810, An-Nasa’i no. 2630, Ibnu Majah no. 2887, Ahmad no. 3660, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memotivasi untuk umrah di bulan Ramadhan [1]. Meskipun demikian, beliau tidaklah melaksanakan umrah sepanjang hidup beliau kecuali empat kali umrah saja, dan satu kali melaksanakan ibadah haji [2]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47963-tingkatan-tingkatan-ibadah-sunnah.html

Bolehkah Membatalkan Ibadah Sunnah tanpa Alasan?

Ibadah sunnah adalah ibadah yang tidak wajib dikerjakan. Apabila menghendaki, seseorang bisa melaksanakannya, dan jika tidak menghendaki, dia bisa saja tidak melaksanakannya. Dan ketika seseorang melaksanakan atau menyelesaikan ibadah sunnah dengan ikhlas, maka dia berhak mendapatkan pahala.

Yang menjadi masalah adalah, apabila seseorang sudah masuk dalam rangkaian ibadah sunnah, apakah dia harus menyelesaikan, ataukah boleh untuk dibatalkan tanpa alasan? 

Misalnya, seseorang ingin melaksanakan shalat sunnah dua raka’at. Setelah dia mendapatkan satu raka’at, apakah dia boleh membatalkan ibadah shalat sunnah tersebut? Contoh lainnya, seseorang ingin melaksanakan ibadah puasa sunnah dan niat di malam hari atau makan sahur. Dan sekarang dia berada di pertengahan siang, jam 13.00. Apakah dia boleh membatalkan ibadah puasa sunnah tersebut?

Dua pendapat ulama dalam masalah ini

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Yaitu, apakah amal ibadah sunnah itu berubah status menjadi wajib ketika seseorang sudah masuk (sudah memulai) mengerjakannya? 

Para ulama madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa meninggalkan ibadah sunnah itu tidak mengapa, yaitu ketika sebelum mengerjakannya. Adapun ketika seorang mukallaf itu sudah mulai mengerjakan ibadah sunnah, berubahlah hukumnya menjadi sebuah keharusan untuk disempurnakan sampai selesai, seperti ibadah wajib. Sehingga dia tidak boleh membatalkan ibadah sunnah tersebut di tengah-tengah pelaksanannya. Apabila dia sengaja membatalkan, maka dia harus meng-qadha’ (mengulang ibadah sunnah tersebut di waktu lainnya). 

Ulama Hanafiyyah berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan janganlah kamu membatalkan amal-amal kalian.” (QS. Muhammad [47]: 33)

Adapun jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa ibadah sunnah itu tidaklah menjadi wajib ketika seseorang sudah masuk atau mulai mengerjakannya, sehingga boleh untuk ditinggalkan (dibatalkan) kapan saja dia kehendaki di tengah-tengah pelaksanaannya. Dikecualikan dalam masalah ini adalah ibadah haji dan umrah sunnah, yang wajib disempurnakan sampai selesai.

Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan pendapat jumhur ulama tersebut. 

Pertama, hadits dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumahnya dan meminta air lalu meminumnya. Kemudian beliau menyodorkan kepadanya, lalu dia pun meminumnya. 

Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya sedang berpuasa.” 

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِينُ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ صَامَ وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“Orang yang berpuasa sunnah lebih berhak atas dirinya. Jika dia mau, dia bisa menyempurnakan (menyelesaikan) puasanya. Dan jika dia mau, dia boleh membatalkan puasanya.” (HR. Tirmidzi no. 732 dan Ahmad no. 26370, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Hal ini juga menjadi perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Wahai ‘Aisyah, apakah kamu mempunyai makanan?” ‘

‘Aisyah menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.” 

Beliau bersabda, 

فَإِنِّي صَائِمٌ

“Kalau begitu, aku akan berpuasa.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar. Tidak lama kemudian, saya diberi hadiah berupa makanan -atau dengan redaksi: seorang tamu mengunjungi kami-.

‘Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali, saya pun berkata, “Ya Rasulullah, tadi ada orang datang memberi kita makanan dan aku simpan untukmu.” 

Beliau bertanya, “Makanan apa itu?” 

Saya menjawab, “Roti khais (yakni roti yang terbuat dari kurma, minyak samin, dan keju).”

Beliau bersabda, “Bawalah kemari.”

Maka roti itu pun aku sajikan untuk beliau. Lalu beliau makan, kemudian berkata, 

قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا

“Sungguh dari pagi tadi aku puasa.” (HR. Muslim no. 1154)

Demikian juga, hal ini juga sesuai dengan prinsip qiyas. Yaitu, mengqiyaskan berada di tengah ibadah sunnah dengan sebelum pelaksanaannya. Maksudnya, sebagaimana seorang mukallaf boleh memilih untuk mulai melaksanakan ibadah sunnah ataukah tidak, demikian pula ketika mukallaf tersebut berada di tengah-tengah pelaksanaan ibadah sunnah, dia pun boleh memilih: apakah dia selesaikan atau dia batalkan ibadah sunnah tersebut. 

Pendapat yang lebih kuat

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah dengan memberikan rincian. Yaitu, tidak boleh membatalkan ibadah sunnah, kecuali jika ada ‘udzur. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan janganlah kamu membatalkan amal-amalmu.” (QS. Muhammad [47]: 33)

Sehingga tidak boleh bagi seseorang, ketika dia sudah mulai masuk dalam mengerjakan ketaatan, kemudian dia membatalkannya, meskipun ibadah tersebut adalah ibadah sunnah. Dikecualikan dalam masalah ini adalah ibadah puasa sunnah, karena dua hadits yang telah disebutkan di atas. Wallahu a’lam.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47622-bolehkah-membatalkan-ibadah-sunnah-tanpa-alasan.html