Ijtihad sebagai Solusi Persoalan Umat

Pasca era kenabian, ijtihad berkembang seiring dengan meningkatnya persoalan umat dalam berbagai bidang, mandeknya kajian fiqh menjadikan ijtihad seolah tabu

IJTIHAD berasal dari bahasa Arab dan memiliki beberapa pengertian. Menurut al-Ghazali dalam al-Mustashfa, ijtihad merupakan upaya maksimal dengan mengerahkan seluruh kemampuan guna mengetahui hukum-hukum yang terkandung syariat.

Al-Baidhawi dalam Syarh al-Isnawi memaknai ijtihad sebagai usaha mengeluarkan seluruh kemampuan untuk memahami hukum-hukum syariat baik yang pasti (qhat’i) maupun yang masih spekulatif (zhanny). Dengan demikian ijtihad dapat diartikan sebagai usaha maksimal dengan penuh kesungguhan dalam mengkaji sumber hukum syariat yang terperinci (al-adillah at-tafshiliyyah) untuk mengetahui hukum secara mendalam mulai dari masalah yang pokok (ushuly) sampai hal-hal yang detail (furu’i) dalam syariat baik yang terkandung dalam teks wahyu (naqly) atau melalui penalaran (`aqliya).

Wilayah kajian ijtihad

Lingkup kajian ijtihad Menurut al-Gazali dalam al-Mustashfa adalah berbagai hukum yang belum pasti dan masih bersifat spekulatif (zhanny). Untuk itu proses pengambilan hukum (istinbath) membutuhkan kesungguhan dan kerja keras para ulama otoritatif dalam mewujudkannya.

Metode istinbath harus menyeluruh dan komprehansif dalam mengkaji sumber-sumber hukum yang ada, baik al-Qur’an, hadis, ijma’ maupun melalui penalaran yang telah dirumuskan ulama, seperti analogi (qiyas), azas manfaat (mashlahah), tradisi (‘urf) dan lainnya. Sehingga produk hukum yang dihasilkan bermutu tinggi dan berdampak positif untuk kebaikan umat.

Sejarah singkat ijtihad

Ijtihad dalam masalah syariat tumbuh dan berkembang pada masa para sahabat. Rasulullah ﷺ sendiri tidak memerlukan ijtihad, karena segala sesuatu yang datang dari beliau baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya adalah berdasarkan petunjuk wahyu (QS an-Najm: 3-4).

Keberadaan Nabi di tengah-tengah umat sebagai rujukan (marja’) valid merupakan bukti keistimewaan generasi sahabat yang selalu dikawal oleh wahyu Allah dalam me­respons pelbagai persoalan.

Pada masa Rasulullah ﷺ, syariat masih dalam proses penyempurnaan, sehingga seiring dengan bergulirnya waktu ada aturan syariat yang direvisi sebagai bentuk pemberlakuan bertahap (at-tadarruj fi at-tasyri’). Misalnya larangan  riba dan minuman keras dalam beberapa tahapan.

Ada juga metode takhsis yang merupakan pengerucutan atau pengkhususan hukum yang masih umum (‘amm) menuju makna yang lebih spesifik (khash). Contohnya sanksi (had) zina bagi seorang budak adalah lima puluh kali cambukan atau separuh hukuman orang merdeka.

Selain itu terdapat juga metode pergantian hukum lama dengan hukum baru (naskh) yang lebih relevan. Sebagaimana larangan kawin kontrak (nikah mut’ah) setelah dibolehkan semasa perang Khaibar saja. Semua proses ini diatur berdasarkan tingkat pemahaman dan kondisi umat.

Tujuannya agar nilai, maksud dan tujuan syariat (maqashid) tetap terjaga. Yakni menjauhkan umat dari kesulitan dan mewujudkan kemudahan dalam melaksanakan aturan agama (QS al-Baqarah:185).

Pasca era kenabian, ijtihad ulama berkembang seiring dengan meningkatnya persoalan umat. Aktivitas umat dalam berbagai bidang telah memicu maraknya upaya ijtihad sampai dengan abad 4 H.

Setelah itu ijtihad ulama mengalami pergeseran, di mana ijtihad banyak dilakukan pihak yang tidak otoritatif dan bukan ahlinya. Akibatnya, fanatisme (‘ashabiyah) menguat yang berdampak negatif terhadap persatuan umat.

Karenanya, ijtihad kehilangan wibawa dan kepercayaan dari umat sehingga pada akhir­nya muncul yang disebut fase tertutupnya pintu ijtihad. Opini tentang tertutupnya pintu ijtihad memicu kevakuman dunia intelektual muslim.

Mandeknya gerakan pemikiran dan kajian fiqh mengakibatkan pandangan ulama cenderung kaku (jumud) dan umat terjebak dalam taqlid buta. Ijtihad kemudian dianggap tabu dan mustahil dilakukan.

Syeikh Wahbah az-Zuhaili dalam Usul al-Fiqh memandang kekakuan itu mendorong umat berpegang kepada mazhab tertentu dan pada akhirnya memunculkan beragam kepentingan. Ada yang dipicu oleh kecenderungan pribadi, ekonomi dan politik kelompok tertentu.

Pada akhirnya, kondisi tersebut ternyata berdampak pada masuknya arus pemikiran Barat baik di bidang ekonomi, sosial dan politik yang terlihat dalam berbagai produk hukum (qanun) di tengah masyakat Muslim. Bahkan secara tidak langsung telah menimbulkan pergeseran sistem sosial kemasyarakatan dan berangsur-angsur mempengaruhi frame work umat Islam yang mulai kebarat-baratan dalam mengkaji hukum dengan mengesampingkan tradisi keilmuan Islam.

Orang yang mengklaim dirinya sebagai pembaharu (mujaddid) bermunculan. Mereka menafsirkan al-Qur’an secara akal dan mengubah makna hadis sesuai kepentingan masing-masing dengan dalih kemaslahatan umat.

Kondisi yang carut-marut ini telah mendorong para pemikir Muslim  mendobrak kebisuan dunia intelektual. Mereka mengusung ide bahwa kesempurnaan syariat akan terealisasi dengan membuka kembali pintu ijtihad.

Ijtihad merupakan media untuk mengembalikan kejayaan umat yang telah pudar. Gagasan ini dapat disimak dalam pandangan As-Suyuthi dalam bukunya bertajuk ar-radd ‘ala man akhlada ila al-Ardh wa jahila anna al-ijtihad fi kulli ‘ashr fardh (Menolak Sikap Orang yang Pasrah dan Tidak Tahu Bahwa Ijtihad Adalah Kewajiban Sepanjang Masa). Senada dengan itu As-Syaukani juga mendukung ide itu dalam bukunya, Irsyadul Fuhul.

Aplikasi ijtihad dan tantangan umat

Kompleksnya persoalan umat merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah diselesaikan. Umat Islam saat ini sedang terpuruk dalam krisis multidimensi, mulai dari intimidasi militer yang kasat mata oleh kekuatan asing, hingga serangan pemikiran (al-ghazwul fikri) yang semakin gencar dan sistematis.

Penyebaran virus-virus pemikiran seperti liberalisme, pluralisme agama, sekularisme dan lainnya telah mewabah dalam kehidupan umat. Seperti yang terjadi pada 18 maret 2005 ketika dunia Islam disuguhi tontonan ganjil oleh Dr Aminah Wadud, seorang feminis liberal, memimpin sholat Jum’at di sebuah gereja Katedral di Sundram Tagore Gallery New York.

Aminah Wadud adalah seorang professor Islamic Studies di Virginia Commonwealth University, ia menjadi imam sekaligus khatib dalam shalat Jum’at yang diikuti oleh sekitar 100 jamaah laki-laki dan wanita. Shaf laki-laki dan wanita bercampur aduk.

Sang Muazin pun seorang wanita tanpa kerudung. Hasil ’ijtihad’ dan gagasan Wadud ini mendapat pujian kalangan liberal di Indonesia dengan dalih kesetaraan gender dan menganggap tidak adanya dalil yang melarang dalam syariat.

Praktek ‘ijtihad’ semacam ini jelas sangat keliru dalam Islam. Pertama, kontradiktif dengan ayat al-Qur’an (QS an-Nisa: 23) dan hadis Nabi dalam Shahih Bukhari, “Tempatkan kaum perempuan itu di belakang sebagaimana ketetapan Allah untuk mereka.” Kedua, ‘ijtihad’ ala Aminah Wadud ini tidak boleh ikuti oleh umat, karena hukum sebenarnya telah diputuskan oleh para ulama otoritatif.

Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, An-Nawawi dalam al-Majmu’ dan al-Mawardi dalam al-Hawi dengan jelas menyatakan kesepakatan ulama termasuk empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) tentang larangan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Sedangkan pendapat yang membolehkan adalah pendapat yang asing (syadz).

Ketiga, adapun hadit Umm Waraqah yang dilansir mengimami keluarganya dan terdapat seorang laki-laki di antara makmum adalah hadis lemah (dha’if) dan sanadnya mudhtharib, yakni periwatannya tidak jelas dan berbeda-beda. Darul Quthni menjelaskan dalam kitabnya al-`Ilal, jika perawinya tidak jelas karena idhthirab menandakan hafalannya tidak bagus.

Keempat, ijtihad ini bertentangan dengan konsep dan tujuan ijtihad dalam syariat, di mana tujuan ijtihad harus selaras dengan kemashlahatan umat. Kelima, larangan perempuan sebagai imam bagi laki-laki bukan termasuk diskriminasi, namun justeru sebagai bentuk keadilan agama Islam terhadap perempuan.

Hal ini karena kaum perempuan memiliki aspek alami (qudrati) seperti datang bulan, nifas, hamil, melahirkan, menyusui anak dan lainnya. Jika ijtihad ini dibiarkan maka akan mengakibatkan fitnah dan perpecahan bahkan kemungkaran yang merajalela

Islam sebagai agama yang otentisitas syariatnya terjaganya, mengenal adanya ijtihad sebagai media untuk penyelesaian masalah umat. Ijtihad tidak seharusnya diartikan sebagai upaya memahami persoalan syariah dengan menghapus dan memberantas tradisi keilmuan Islam tempo dulu, apalagi dengan mengadopsi paham dan aliran yang tidak jelas sumbernya.

Namun ijtihad harus dimaknai sebagai upaya tindak lanjut dari tugas-tugas para ulama yang belum termanifestasikan pada masa kini. Seperti ijtihad dalam penyempurnaan format sistem ekonomi syariah yang belum tuntas, islamisasi ilmu pengetahuan, sistem masyarakat Islam, berbagai praktek kedokteran modern, praktek pernikahan melalui media dan lainnya.

Untuk menjawab problematika ini maka dibutuhkan ijtihad ulama melalui kajian al-Qur’an dan hadis yang diaplikasikan dengan metodologi yang telah dirumuskan, seperti Ushul Fiqh, Qaw’aid Fiqhiyyah, Maqashid Syari’ah dan metode lainnya yang berisi teori-teori cemerlang dalam menganalisa hukum syariat. Dengan demikian motivasi dan nilai-nilai yang ada dalam Islam dapat dilestarikan.

Islam sebagai agama yang komprehensif adalah satu paket dari Allah. Seluruh urusan, baik duniawi maupun ukhrawi dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah satu sama lainnya, karena cara pandang (worldview) Islam tidak dapat dilepaskan dari unsur ketuhanan.

Sehingga Islam dapat memberikan kedamaian bagi siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Hal itu telah didokumentasikan sejarah selama berabad-abad lamanya.

Islam tidak kaku, tidak juga fobia terhadap kebebasan. Namun Islam juga tidak memandang kebebasan seperti perspektif Barat, yang  harus gonta-ganti ideologi dan faham demi hawa nafsu sesaat.

Dengan demikian Islam selalu mampu menjawab seluruh persoalan umatnya. Ijtihad ulama sebagai bukti keperdulian Islam dalam menyikapi tajamnya persaingan ideologi dan kompleksnya persoalan umat dewasa ini dan yang akan datang.

Untuk menerjemahkannya membutuhkan peran aktif para ulama dan cendiekiawan Muslim yang memiliki komitmen kuat terhadap syariat guna terwujudnya perbaikan umat. Wallahu a’lam bish-shawab.*

Oleh: A. Azmil Umur Lc, Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) UNIDA-, angkatan VI

HIDAYATULLAH