Doa saya di hari Jumat penuh berkah ini, semoga sahabat semua yang sedang membaca dan sering berkunjung disini diberi kesehatan dan umur panjang, kebahagiaan dunia akhirat serta selalu dalam limpahan rahmat dan karunia-Nya, Amin.
Membahas tentang dunia sufi tidak akan pernah habis, membicarakan tentang keunikannya membuat hidup semakin bergairah, mengkaji ajaran terdalamnya tidak akan pernah selesai karena para sufi mengambil ilmu Up To Date dari Sang Maha Hidup yaitu Allah Taa yang terus menerus berfirman sesuai sifat Kalam-Nya.
Hari saya ingin berbagi salah satu karya dari Guru Sufi terkenal dari Turki yaitu Maulana Jalaluddin Rumi yang karya-karya nya tidak hanya membuat terpana ummat Islam tapi juga manusia seluruh dunia. Karya Rumi menjadi abadi karena di tulis dari hati sehingga bisa menyentuh semua hati. Silakan dibaca
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Seburuk-buruk ulama adalah ulama yang mengunjungi penguasa, dan sebaik-baik penguasa adalah penguasa yang mengunjungi ulama. Berbahagialah seorang penguasa yang berada di depan pintu orang miskin, dan celakalah orang miskin yang berada di depan gerbang penguasa!”
Sekilas, hadis Nabi itu seakan bermakna bahwa tidak layak bagi seorangulama mengunjungi pemerintah. Perbuatan seperti itu menjadikan seorang ulama menjadi ulama terburuk. Tapi hadis itu tidak bermakna sedemikian dangkal. Makna sebenarnya dari hadis itu adalah bahwa seburuk-buruknya ulama adalah ulama yang menerima sokongan dari penguasa. Dia melakukannya karena ingin memperoleh penghidupan dari sang penguasa. Anugerah serta pemberian penghidupan dari seorang penguasa dijadikan sebagai tujuan utama kehidupan dan pencarian ilmunya.
Dia ingin agar sang penguasa memberinya berbagai hadiah. Dia selalu memuji penguasa dan berkata kepadanya dengan berbagai penghargaan yang tinggi. Semuanya dilakukan agar dia mendapatkan kedudukan yang tinggi. Ketika menjadi ulama, dia mempelajari tata cara untuk bisa melepaskan diri dari ketakutan dan kekuasaan setiap penguasa. Ulama-ulama seperti itu akan.membiasakan dirinya dengan berbagai tingkah laku yang akan disukai oleh setiap penguasa. Dalam kehidupan ini mungkin ada ulama yang mengunjungi penguasa dan ada pula penguasa yang mengunjungi ulama. Tapi, ulama-ulama buruk itu akan selalu menempatkan dirinya sebagai tamu, dan selalu menganggap penguasa sebagai tuan rumah.
Pada sisi lain, ketika seorang ulama yang telah mengenakan jubah keilmuannya, dia melakukannya bukan demi seorang penguasa, melainkan, pertama dan paling utama, karena Tuhan. Ketika seorang ulama berperilaku dan berjalan sepanjangjalur kebenaran, sebagaimana yang semestinya dilakukan oleh seorang ulama, dan tidak berperilaku untuk alasan lain, maka semua orang akan berdiri hormat terhadapnya. Semua orang merasa mendapatkan limpahan cahaya yang memantul darinya. Baik mereka sadar ataupun tidak.
Segala perilaku ulama itu selalu diatur oleh nalar dan naluri kebaikan. Dia hanya bisa hidup dalam kebaikan, seperti ikan yang hanya dapat hidup di dalam air. Apabila ulama seperti itu pergi ke seorang penguasa, maka dialah yang bertindak sebagai tuan rumah dan penguasa sebagai tamu. Karena sang penguasa akan menerima bantuan darinya dan bergantung padanya.
Ulama seperti itu jiwanya merdeka dan tidak terikat pada seorang penguasa. Dia akan selalu melimpahkan cahaya bagaikan matahari. Hidupnya semata-mata untuk memberi dan memberkahi. Matahari mengubah bebatuan biasa menjadi rubi dan permata carnelian. Matahari akan mengubah gunung-gunung di bumi menjadi tambang tembaga, emas, perak, dan timah. Matahari membuat bumi hijau dan segar, menghasilkan bermacam buah-buahan dan berbagai tanaman.
Tugasnya hanyalah memberi dan membekali; dia tidak mengambil apa pun. Ada sebuah pepatah Arab yang berbunyi, “Kami telah belajar untuk memberi, tidak untuk mengambil.” Ulama seperti itu akan selalu menjadi tuan rumah dalam keadaan bagaimanapun. Dan penguasa akan selalu menjadi tamu mereka.
sumber: Sufi Muda/Inilah.com