Berikut ini dalil haram kawin kontrak. Sejatinya, kawin kontrak, yang dalam bahasa fikih dikenal sebagai nikah mut’ah, merupakan pernikahan dengan batasan waktu dan tujuan yang telah disepakati bersama. Secara definisi, menurut Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Jilid II, halaman 28, disebut nikah mut’ah [kawin kontrak] karena tujuan laki-laki yang menikahinya bermaksud untuk bersenang-senang dalam waktu singkat.
Pernikahan ini memiliki beberapa ciri khas, salah satunya adalah Pernikahan memiliki batasan waktu yang telah disepakati bersama sejak awal akad nikah. Jangka waktunya bisa singkat, seperti beberapa hari atau bulan, atau lebih lama.
Sejatinya, dalam sejarah, pernikahan sempat dibolehkan dalam Islam. Akan tetapi, hukum itu dimansukh [hapuskan], dan tidak diberlakukan lagi. Dalam satu riwayat dijelaskan bahwa nikah kontrak sempat dihalal pada Perang Tabuk. Saat itu, para sahabat yang tidak mampu membawa istri dalam peperangan diperbolehkan menikahi perempuan dengan sistem kontrak waktu.
Dalam kitab Fathul Bari, Jilid IX, halaman 76 dijelaskan sebagai berikut;
حدثنا محمد بن بشار حدثنا غندر حدثنا شعبة عن أبي جمرة قال سمعت ابن عباس سئل عن متعة النساء فرخص فقال له مولى له إنما ذلك في الحال الشديد وفي النساء قلة أو نحوه فقال ابن عباس نعم
Artinya; Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, dari Ghondar, dari Syu’bah, dari Abu Jami’ah, beliau berkata: “Aku mendengar Ibnu Abbas ditanya tentang mut’ah (nikah kontrak) perempuan. Beliau menjawab, itu keringanan hukum . Lalu Ikrimah bertanya lagi: ‘Itu hanya dibolehkan dalam keadaan darurat perang dan ketika itu wanita sedikit jumlahnya.’ Ibnu Abbas menjawab: ‘Ya, benar.’”
Lebih lanjut, Ibnu Hajar al-Asqallani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa hukum nikah mut’ah (nikah kontrak) dalam Islam, yang mengalami perubahan beberapa kali.
Pertama, dibolehkan sebelum Perang Khaibar. Awalnya, nikah mut’ah dibolehkan. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mengizinkan nikah mut’ah saat perang untuk membantu para prajurit yang kesulitan menahan hawa nafsu.
Kedua, diharamkan di Perang Khaibar. Kemudian, nikah mut’ah diharamkan di Perang Khaibar. Ketiga, dihalalkan kembali, pada Hari Penaklukan Mekah (tahun 8 H), nikah mut’ah kembali dihalalkan. Keempat, diharamkan secara permanen hingga hari ini. Akhirnya, nikah mut’ah diharamkan secara permanen, hingga hari kiamat.
وقال النووي : الصواب أن تحريمها وإباحتها وقعا مرتين فكانت مباحة قبل خيبر ثم حرمت فيها ثم أبيحت عام الفتح وهو عام أوطاس ثم حرمت تحريما مؤبدا ، قال : ولا مانع من تكرير الإباحة . ونقل غيره عن الشافعي أن المتعة نسخت مرتين ، وقد تقدم في أوائل النكاح حديث ابن مسعود في سبب الإذن في نكاح المتعة وأنهم كانوا إذا غزوا اشتدت عليهم العزبة فأذن لهم في الاستمتاع فلعل النهي كان يتكرر في كل مواطن بعد الإذن ، فلما وقع في المرة الأخيرة أنها حرمت إلى يوم القيامة لم يقع بعد ذلك إذن والله أعلم .
Artinya; “Imam Nawawi berkata; “Yang benar adalah bahwa pengharaman dan pembolehannya terjadi dua kali. Pertama, dibolehkan sebelum Khaybar, kemudian diharamkan di sana, kemudian dihalalkan pada tahun penaklukan, yaitu tahun Autas, dan kemudian diharamkan secara permanen. Tidak ada salahnya mengulang pembolehan.”
Orang lain meriwayatkan dari Syafi’i bahwa nikah mut’ah mansukh dua kali. Telah disebutkan di awal bab nikah hadits Ibnu Mas’ud tentang alasan izin nikah mut’ah, yaitu karena mereka mengalami kesulitan saat berperang karena ditinggal istri. Maka, mereka diizinkan untuk nikah mut’ah. Mungkin larangan itu berulang setiap kali setelah izin, sampai pada akhirnya diharamkan secara permanen hingga Hari Kiamat. Dan Allah SWT Maha Mengetahui.
Lebih jauh lagi, dalam Bulughul Maram, tercantum hadis riwayat Imam Muslim yang menjelaskan bahwa nikah Mut’ah sempat dibolehkan di tahun Authas [8 H], kemudian dilarang secara permanen. Nabi bersabda;
وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ – رضي الله عنه – قَالَ : – رَخَّصَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَامَ أَوْطَاسٍ فِي اَلْمُتْعَةِ , ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ , ثُمَّ نَهَى عَنْهَا – رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya; Daripada Salamah bin Al-Akwa’ – semoga Allah meridhoinya – dia berkata: “Rasulullah SAW pernah membolehkan nikah mut’ah (nikah temporer), selama tiga hari, kemudian beliau melarangnya.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Lebih lanjut, terkait dalil haram kawin kontrak juga diungkapkan oleh Imam Syaukani dalam kitab Nailul Authar, Juz VI, halaman 154, dengan mengutip pendapat Qadhi Iyad bahwa hukum nikah mut’ah [kawin kontrak] adalah haram hukumnya. Pasalnya, tindakan tersebut merugikan perempuan dan anak-anak kelak. Simak penjelasan berikut;
وقال القاضي عياض: (ثم وقع الإجماع من جميع العلماء على تحريمها إلا الروافض)
Artinya; Qadhi Iyadh berkata: “Kemudian, semua ulama sepakat untuk mengharamkannya (pernikahan mut’ah), kecuali Rafidhah.
Demikian penjelasan dalil haram kawin kontrak. Semoga bermanfaat.