BUNG Karno, sapaan akrabnya. Presiden pertama sebuah negara raksasa dalam ukuran, kerdil dalam penghargaan. Kenapa? Karena fakta seolah bungkam, fitnah lebih menarik ketimbang sejarah, dari yang berjasa menjadi tak ada harga, yang penjahat malah menjadi terhormat.
Itulah negeri ini, kaya tapi teraniaya, sumber daya berlimpah tapi kering muruah. Tak heran bila Bung Karno mengingatkan kita pada pidato di depan MPRS, 17 Agustus 1966, yang kemudian dikenal sebagai pidato Jasmerah dengan kalimatnya, “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah”.
Mereka berkata dia komunis, dipertanyakan keislamannya, bahkan pengkhianat negara dengan tuduhan terlibat dalam peristiwa berdarah G30SPKI karena Tjakrabirawa (pasukan pengawal presiden saat itu) merupakan pasukan yang membunuh para Jenderal Angkatan Darat.
Apakah benar? Seorang patriot sejati yang hingga akhir hayatnya memilih diam dan menerima hukuman yang tak layak dipikulnya demi tetap terjaganya kesatuan bangsa Indonesia. Betapa ia tak rela mengotori tanah ibu pertiwi dengan lumuran darah para rakyatnya. Biar ia saja yang berkorban, sang pahlawan yang berjuang demi Indonesia sedari muda hingga tutup usia.
Bung Karno, orator ulung yang tak hanya jago kandang tapi namanya bergema di seantero dunia. Dibuktikan pada tahun 1961, ketika sahabatnya, seorang pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet, Nikita Sergeyevich Khrushchev mengundang beliau ke Moskow dengan penuh harap dan kehormatan penuh.
Khrushchev seolah hendak menunjukkan pada Amerika Serikat bahwa Indonesia berdiri di belakang Uni Soviet. Bung Karno tahu dan tak mau menjerumuskan rakyatnya di posisi sulit apalagi menjadi boneka negara lain.
Dengan kepercayaan diri tinggi Bung Karno mengajukan satu syarat pada Khrushchev, “Saya mau datang ke Moskow dengan satu syarat mutlak yang harus dipenuhi. Tidak boleh tidak. Temukan makam Imam Al Bukhari. Saya sangat ingin menziarahinya.”
Itulah beliau, yang disebut komunis namun memperjuangkan sila ketuhanan dalam Pancasila, yang disebut komunis namun menjadikan ziarah makam Imam besar ahli hadis umat Islam sebagai syarat kepada penguasa tertinggi negeri komunis, Uni Soviet.
Setelah mendengar syarat tersebut, betapa sibuknya Khrushchev memerintahkan seluruh pasukan terbaiknya demi mencari makam sang Imam. Hingga ia putus asa dan meminta Soekarno mengganti dengan syarat lainnya.
Apakah Soekarno mengganti permintaannya? Tidak, tidak sama sekali. Ia malah membuat gendang telinga Khrushchev panas dengan jawaban tegasnya, “Kalau tidak ditemukan, ya sudah, saya lebih baik tidak usah datang ke negara Anda.”
Dan untuk kedua kalinya Khrushchev menyebar orang-orang terbaiknya di tiap penjuru Samarkand hingga ditemukanlah makam Imam Al Bukhari melalui informasi para tetua Muslim di sana.
Ketika ditemukan, betapa memprihatinkannya keadaan makam tersebut, rusak dan tak terawat. Khrushchev segera memerintahkan agar pemakaman dibersihkan dan dipugar secantik mungkin. Bahkan dibuat sebuah jalan beraspal menuju ke tempat makam demi lancarnya perjalanan “Putra Sang Fajar” ketika menziarahi makam sang Imam nantinya.
Setelah Khrushchev mengabarkan bahwa makam telah ditemukan, tibalah Bung Karno di Samarkand pada 12 Juni 1961, dengan kereta api setelah mendarat di Moskow terlebih dahulu. Puluhan ribu orang menyambut kehadiran Pemimpin Besar Revolusi Indonesia ini sejak dari Tashkent.
Setibanya di pemakaman pada malam hari, seolah ada magnet antara beliau dan Imam Al Bukhari. Ribuan hadis yang dijaga dan dibagikan oleh sang Imam seolah menyihir Bung Karno untuk bersimpuh penuh hormat dan langsung melantunkan ayat-ayat suci Alquran hingga fajar terbit tanpa tidur sekejap pun.
Seusai menggenapkan ziarahnya, ia meminta agar pemerintah Uni Soviet dapat benar-benar menjaga dan memperbaiki makam sang Imam hadis dengan lebih layak. Bila tidak berkenan atau tidak mampu, biarkan beliau memindahkan makam tersebut ke Indonesia dengan tawaran emas seberat makam Imam Bukhari akan diberikan sebagai gantinya.
Setelah Khrushchev mendapat saran dari penasihatnya bahwa pemindahan makam seorang saleh ke tempat lain dapat mendatangkan bala bencana bagi Uni Soviet maka Khrushchev menyanggupi untuk menjaga dan memugar makam tersebut.
Kini, makam Imam Al Bukhari di Uzbekistan, negara pecahan Uni Soviet menjadi salah satu situs sejarah Islam yang menyedot kunjungan turis seluruh dunia. Bahkan warga negara Indonesia yang berkunjung mendapat hak istimewa yakni dibolehkan masuk ke dasar bangunan, tempat disemayamkannya jasad sang Imam, padahal bagian tersebut tertutup untuk umum.
Hal ini karena kebesaran nama Bung Karno di dunia khususnya Eropa Timur begitu membekas di hati para rakyatnya. Ucapan terima kasih dan doa senantiasa mengalir kepada beliau atas jasanya melakukan restorasi dan renovasi makam Imam Al Bukhari.
Bahkan tak berlebihan jika segenap umat Muslim turut menghargai jasa beliau. Jasa seseorang yang disebut komunis, yang malah mensyaratkan pada pimpinan tertinggi Negara Komunis untuk menemukan dan menjaga makam Al Bukhari, Sang Imam Hadis. Benar-benar paradoks yang menggelikan.
Bung Karno, semoga kami mampu memaknai arti dari sejarah, perjuangan, pengorbanan dan bentuk terima kasih melalui perbuatan. Salam kemerdekaan untukmu yang berjuang meraih kemerdekaan, dari kami yang berjuang mempertahankan kemerdekaan. [DOS]