Madame Fatima: Tak Jadi Masuk Biara Setelah Mendengar Kalimat “Allahu Akbar”

Kisah Madame Fatima Mil Davidson mendapatkan hidayah Islam terbilang unik. Seperti sebuah keajaiban, cahaya Islam itu menyentuhnya saat ia baru saja masuk ke kehidupan biara. Waktu itu ia memang sudah berniat untuk menjadi biarawati.

Saat ini Madame Fatima menjabat sebagai Menteri Pembangunan Sosial dan Pemerintah Lokal, Republik Trinidad dan Tobago, sebuah negara kepulauan di kawasan Laut Karibia bagian selatan. Pada majalah berbahasa Arab Men-bar-al-Islam di Kairo, ia menceritakan awal mula menemukan Islam dan bagaimana akhirnya ia menjadi seorang Muslimah.

“Saya membantah keras cerita yang mengatakan bahwa saya masuk

Islam pada tahun 1975 dengan tidak mengakui ajaran Kristen. Sungguh, saya tidak bisa memahami dan menjelaskan apa yang saya alami. Saya akan mengajak Anda kembali ke tanggal 9 Maret 1950, hari yang sudah ditetapkan buat saya untuk masuk biara. Ketika saya bangun pagi di hari itu , saya merasa mendengar suara yang menyebutkan kalimat ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar’, suara itu terngiang-ngiang di telinga saya dan membuat seluruh tubuh dan hati saya bergetar,” kata menteri yang sebelum masuk Islam bernama Model Donafamik Davidson.

“Saya tidak begitu tahu, itu apa. Tapi hari itu saya menolak masuk ke biara. Setelah itu, menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencari petunjuk Tuhan, sampai akhirnya saya menemukan Al-Quran dengan terjemahannya. Lalu, dengan mudah saya menaruh kepercayaan pada terjemahan Al-Quran yang saya baca,” sambungnya.

Secara kebetulan, Madame Fatima kemudian bertemu dengan seorang cendikiawan muslim asal Pakistan Maulana Siddiq dan ulama dari India Syaikh Ansari. Ia terlibat pembicaraan yang mendalam dengan kedua ulama itu, tentang budi pekerti dan apa yang dirasakan dalam hatinya. Begitu banyak pertanyaan detil yang diajukan Madame Fatima, hingga kedua ulama berseru, “Alhamdulillah, Anda seorang muslim ! Anda sekarang seorang muslim. Bacalah apa yang Anda sukai, masuklah ke masjid dan berdoa. Kami siap menerima Anda, kapanpun Anda merasa ingin belajar apapun.”

Madame Fatima merasa gembira dengan respon kedua ulama tersebut. “Saya bahagia. Setelah hari itu, saya merasa hati saya dilimpahi dengan keimanan dan rasa cinta serta kebanggaan terhadap Nabi Muhammad Saw,” ujarnya.

Meski demikian, Madame Fatima mengaku baru secara resmi memeluk Islam sekitar tahun 1975. “Sampai sekarang, sudah 36 tahun saya menjadi seorang muslim. Sejak saya mendengar suara misterius yang menggetarkan kalbu, dan lalu saya menolak masuk biara. Hati saya sudah memproklamirkan Allahu Akbar,” tukasnya.

“Saya menjadi gadis pertama dari komunitas kulit berwarna yang masuk ke masjid. Dan ini mendorong banyak remaja muslimah untuk juga datang ke masjid-masjid untuk salat, khususnya ke Masjid Anjuman Jami’ Sanatal yang didirikan oleh ulama besar Dr. Syaik Ansari di kota Francis di Trinidad. Masjid itu sekarang dipimpin oleh Al-Haj Shafiq Muhammad,” tutur Madame Fatima.

Ia juga menceritakan bahwa warga di lingkungannya masih berpikir bahwa Islam adalah agama orang India, yang memiliki ajaran dari beragam kepercayaan dan agama. “Dalam perkembangannya, di kalangan warga pribumi, kebanyakan yang berasal dari Afrika, makin banyak yang memeluk Islam. Rasio warga muslim meningkat hingga 13 persen dari total penduduk Republik Trinidad dan Tobago. Selebihnya, 31 persen penduduk negara ini beragama Kristen, 27 persen beragama Protestan, 6 persen pemeluk agama Hindu dan 23 persen pemeluk keyakinan lainnya, ” papar Madame Fatima.

Lalu, apakah keislamannya membawa dampak pada pekerjaannya sebagai salah satu pejabat di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim? Menjawab pertanyaan ini, Madame Fatima menjawab, “Islam mengajarkan kita untuk ikhlas dan efisien dalam menjalankan pekerjaan dan saya mempraktekkan ajaran Islam dengan tulus …”

“Saya tidak berbohong, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan pribadi saya. Saya berusaha menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam, semampu saya dan dengan kesadaran diri yang kuat. Jadi, dampak keislaman saya pada pekerjaan, tidak lain hanyalah semua pekerjaan saya berjalan baik dan penuh rahmat. Mantan perdana menteri bahkan menganjurkan saya untuk berkunjung ke Mesir, tempat sekolah Islam terkenal Al-Azhar dan salah satu pusat peradaban. Dia suka membicarakan Islam juga,” ujar Madame Fatima.

Ia sungguh beruntung, karena perdana menteri yang sekarang menjabat, mengizinkannya berkunjung ke Mesir terkait tugasnya sebagai menteri pembangunan sosial dan pemerintahan lokal. “Perdana Menteri juga menganjurkan saya mengunjungi Al-Azhar dan Mahkamah Tinggi Agama Islam,” imbuhnya.

Madame Fatima beberapa kali berpartisipasi dalam pemlu parlemen dan sukses. Ia pernah menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan. Ia menjadi teladan sebagai seorang muslim yang mampu menunjukkan kemampuannya di bidang politik.

“Hal penting yang harus Anda ketahui, Republik Trinidad dan Tobago memberikan hari libur resmi pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Komunitas Muslim bebas menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, baik di rumah maupun di masjid-masjid,” jelas Madame Fatima.

Sebagai bagian dari umat Islam, ia menyerukan dunia Islam untuk bersatu dibawah bendera Islam agar posisi dunia Islam dan kaum Muslimin menjadi kuat. “Allah Yang Mahabesar telah membimbing saya ke jalan Islam dan saya berdoa padaNya untuk membimbing umat Islam ke arah persaudaraan dan perdamaian, agar umat Islam menjadi masyarakat terbaik di masa kini, dan sudah menjadi inspirasi bagi umat manusia,” tandas Madame Fatima. (ln/SP)

 

ERA MUSLIM

Amelian: Islam Beri Jawaban Rasional

Memutuskan menjadi Muslim, Amelian Dinisiah menyadari bahwa Islam adalah agama yang paling hak. Dari hal kecil sampai besar diatur dan tidak pernah mengajarkan hal yang buruk. Jadi, jika ada oknum Muslim yang berperilaku tidak sesuai dengan ajaran agama, itu ulah pelaku tersebut dan bukan sebab Islam.

Amelian, begitu ia akrab disapa, memutuskan menjadi mualaf pada 14 Juni 2013. Ia masih teringat betul, peristiwa itu berlangsung pada Jumat, tepat pukul 10.00 pagi sebelum shalat. Sesaat setelah bersyahadat, ia langsung belajar bacaan shalat melalui catatan yang diberi teman, bahkan ia tak menunggu lama untuk memutuskan berhijab.

Perjalanannya menuju Islam bermula saat ia melanjutkan studi S-2 di salah satu universitas negeri di Kota Bogor. Saat berkuliah di Bogor, Amelia hidup mandiri dan jauh dari orang tua. Kesendirian ini membuatnya merasa bosan dengan kegiatan yang ia lakukan sehari-hari.

Ia mulai merasa ada yang salah dengan aktivitas yang ia lalui setiap hari. “Bangun pagi, aktivitas, makan, dan tidur. Masa saya cuma lahir, makan, tidur, terus mati,” ujar Amelian.

Sosok yang semula menganut Protestan itu akhirnya mulai merasa bingung dengan keyakinan yang ia anut. Ia sering mempertanyakan beberapa hal yang terdapat di Alkitab, namun belum menemukan jawaban yang membuat dirinya merasa puas. Keraguan terhadap keyakinan yang ia amini, sudah lama ia rasakan, namun ia tidak terlalu banyak bertanya.

Akhirnya, ia terus melakukan pencarian tanpa memberi tahu siapa pun terkait kebimbangan yang ia rasakan. Ia sendiri masih belum mengetahui apa yang dicari. Namun, satu yang pasti, ia merasa tidak puas dengan hidup dan merasa monoton, nihil makna.

Perempuan berusia 30 tahun ini menjelaskan, dalam masa pencarian tentang kebenaran agama, ia sempat menjadi ketua dalam acara seminar internasional yang dilaksanakan kampusnya. Kesibukan ini membuat ia lupa dengan pencarian yang sedang ia lakukan.

Namun, ia sering melamun dan sulit tidur. Bahkan, sewaktu-waktu ia sempat bermimpi sedang di dorong ke jurang yang di bawahnya terdapat semburan api, ya, neraka. Mimpi membuatnya semakin mencari tahu tentang kebimbangan yang ia rasakan.

Saat menjadi ketua seminar, ia bekerja sama dengan beberapa teman Muslim. Amelina mulai tertarik dengan Islam saat melihat ketaatan mereka menjalani shalat lima waktu di tengah kesibukan. “Saya saja yang ke gereja sepekan sekali jarang sekali. Ada saja alasan jika ingin ke gereja,” katanya.

Setelah selesai kegiatan seminar, ia memutuskan bertanya kepada teman Muslim terkait Islam. Mereka kaget karena Amelian mantan aktivis gereja. Ia bertanya kepada teman Muslim terkait shalat, hijab, pertemanan dengan lawan jenis yang terkesan ada jarak, bahkan bertanya tentang Islam yang dituduh teroris.

Perempuan kelahiran Ambon ini juga menanyakan perihal surga dan neraka. Jawaban-jawaban yang ia terima begitu merasuk pikirannya. Ia seperti menemukan jawaban yang membuatnya merasa bimbang. Akhirnya, ia merenung dan menemukan bahwa Islam merupakan agama yang benar dan yang ia cari selama ini.

Dalam perenungannya, ia memperoleh petunjuk bahwa Islam merupakan agama yang terbaik bagi dirinya. Ia berdoa agar diberi petunjuk. Ia sempat bermimpi tentang satu cahaya yang membuatnya menangis saat terbangun.

Akhirnya, ia menghubungi teman-teman dan mengutarakan niat untuk memeluk Islam. Amelian mendapat pelajaran dari Alquran. Dalam pembelajaran ini, ia merasa semakin yakin dengan kebenaran yang ia cari, hingga akhirnya ia memutuskan untuk memeluk risalah Muhammad SAW yang agung.

Kabar soal Amelian yang memeluk Islam menyebar cepat ke kerabat dan koleganya yang tinggal di Papua. Informasi itu sampai ke orang tuanya setelah tiga hari ia menjadi mualaf.

Sulung dari lima bersaudara ini langsung disuruh pulang oleh orang tuanya ke Papua. Teman-teman Muslim yang membantunya mengucap syahadat menjadi khawatir dengan keputusan pulangnya Amelian ke Papua. Mereka khawatir Amelian akan dipaksa kembali ke agama semula.

Namun, keluarga yang di Papua mengabarkan bahwa bapaknya dalam kondisi sakit berat dan parah. Karena sayang kepada ayah, ia memutuskan pulang dengan membawa putranya yang berumur enam tahun. Dua bulan sebelum bersyahadat, Amelian telah bercerai dengan suaminya.

Saat menuju Papua menunggu penerbangan lanjutan di Makassar, ia terpaksa melepas kerudung. Ini akibat ia khawatir dengan kondisi ayahnya yang sedang sakit parah akan semakin memburuk jika melihat ia mengenakan hijab.

Sesampainya di rumah, ternyata ayahnya tidak sakit. Amelian dan putranya dilarang kembali ke Bogor dan dipaksa memeluk keyakinan sebelumnya. Awalnya, permintaan itu disampaikan melalui dialog, meski ia tolak. Penolakan tersebut berujung pada kekerasan fisik. Saat ia ketahuan sedang melaksanakan shalat, perempuan kelahiran Ambon ini sempat dipukul hingga diinjak.

Perlakuan kasar ini tidak membuatnya goyah. Setelah 13 hari berada di rumah. Ia memutuskan untuk hijrah secara kafah. Ia siap untuk kehilangan keluarganya demi keyakinan yang sedang ia jalani. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar dari rumah dengan membawa serta putranya. Saat keluar rumah, ia beralasan ingin mengurus akta kelahiran sang putra.

Setelah keluar dari rumah, Amelian bertemu dengan seorang ustaz dan istrinya. Ia menginap selama tiga hari sampai ia mendapatkan tiket untuk kembali lagi ke Bogor.

Sampai di Bogor, ia harus hidup berpindah-pindah. Menumpang di satu tempat ke tempat lain. Ia bahkan sempat sakit hingga harus di opname di rumah sakit. Ujian tidak hanya sampai di sini. Seorang pria Muslim menikahinya pada 2014 lalu. Namun, pernikahan hanya bertahan empat bulan karena ia memperoleh perlakuan yang kasar dan tidak adil dari suami. Suami juga tidak menafkahinya.

Ia memutuskan bercerai kembali. Namun, ia terkejut, ternyata setelah perceraiannya itu, ia baru menyadari tengah mengandung. Ia melewati hari-hari hingga proses melahirkan tanpa didampingi suami. “Saya ikhlas karena saya yakin sahabat terdahulu juga tidak mudah ujiannya setelah berhijrah. Saya diuji karena Allah SWT sayang,” katanya.

Setelah dua tahun tidak berkomunikasi dengan keluarga besar, akhirnya sang adik menghubunginya kembali dan menyatakan keluarga besar merindukannya. Orang tuanya pun mengajak bertemu di Bogor. Ia diterima dengan baik oleh keluarga besarnya. “Ayah saya berkata silakan jalani agamamu dan bapak akan menjalani agama bapak,” katanya.

Sekarang silaturahimnya dan orang tua kembali normal. Bahkan, orang tua sempat mengunjunginya saat Lebaran. Ibu dua anak ini sekarang juga telah dipersunting kembali oleh teman semasa kuliahnya dahulu. Ia menikah sekitar dua pekan yang lalu.

 

REPUBLIKA

Baca Surah Al-Anbiya’, LoDuca Terperangah

Seniman lulusan Pratt Institute ini tak pernah bercita-cita menjadi Muslim. Ia juga tidak ingin menjadi Kristen.

Ia menilai, semua konsep agama formal tidak menyenangkan. Meski dibesarkan sebagai pemeluk Katolik, Danielle menganggap dirinya agnostik. Ia menghina semua agama secara umum. “Jika Anda menawarkan jutaan dolar untuk mengajak saya bergabung dengan salah satu agama, saya akan menolak,” kata Danielle LoDuca penuh percaya diri.

LoDuca adalah generasi ketiga Amerika Serikat. Ia tumbuh besar di lingkungan pinggiran Kota New York yang homogen. Sebagai perempuan modern yang rasional, ia lebih percaya pada akal pikiran untuk menuntunnya menjalani hidup, ketimbang “beberapa buku kuno”.

Tak heran bila perempuan ini begitu gandrung dengan Bertrand Russell. Filsuf dan ahli matematika asal Inggris itu berpendapat, agama tak lebih dari takhayul. Agama pada umumnya berbahaya bagi manusia meski mungkin memiliki sedikit efek positif bagi sebagian yang lain.

Lebih lanjut, Russel menilai, agama hanya akan menghalangi manusia dari ilmu pengetahuan, memunculkan ketakutan, dan ketergantungan. Agama juga hanya mengobarkan perang yang sia-sia, penindasan, dan kesengsaraan. LoDuca mengakui kebenaran perkataan itu.

LoDuca ingat, ia tertawa keras-keras saat membaca Hey Is That You God karangan Pasqual S Schievella. Lewat buku setebal 200 halaman itu, Professor Columbia University tersebut mencemooh konsep Tuhan melalui dialog satire. Semua tampak begitu logis bagi LoDuca. Menurut dia, para pemikir jelas berada di atas penganut agama-agama yang hidup tanpa daya kritis.

Kendati demikian, daya kritis LoDuca tak tumpul begitu saja. Mosi tidak percaya agama itu tak membuatnya urung melakukan pembuktian. Ia merasa tidak cukup sekadar berpikir lebih baik tanpa agama. Layaknya para ilmuwan Barat yang empiris dan rasional, Danielle ingin membuktikan secara sistematis bahwa agama tidak lebih dari tipuan. Ia sengaja ingin melakukan itu.

Menariknya, kata LoDuca, dalam pembicaraannya dengan para pemeluk agama, khususnya selain Islam, ia sering melihat bahwa mereka tampak sekali ingin percaya. Seolah, tidak peduli berapa banyak kontradiksi atau kesalahan yang ditunjukkan kitab suci mereka. Mereka kesampingkan itu, tanpa sedikitpun daya kritis.

Jarang ia menemukan kitab suci itu sendiri yang meyakinkan mereka. Yang ada, mereka memutuskan untuk beriman, kemudian baru mempelajarinya setelah keputusan itu dibuat.

Atau, seperti kata teman LoDuca, “Islam tampak asing, jadi aku tidak pernah meliriknya. Kristen lebih akrab dan nyaman karena sebagian besar orang di sekitar saya Kristen. Jadi, ketika saya mencari Tuhan, saya memilih Kristen.”

Danielle Lo Duca tidak ingin seperti itu. Secara pribadi, ia tidak pernah menganggap dirinya sengaja untuk mencari Tuhan. Konsisten dengan Bertrand Russel, ia telah memutuskan untuk percaya satu hal; agama hanyalah delusi palsu yang diagung-agungkan.

Walau pada kenyataannya, aku LoDuca, gagasan itu juga tidak dibangun di atas fakta-fakta tegas. Itu hanya asumsi. Ia tidak memiliki bukti. Ketika membaca buku-buku agama, ia sengaja mencari kelemahan. Sebuah pendekatan yang, kata LoDuca, membuatnya tetap objektif.

Sampai suatu hari, sebuah terjemahan Alquran dia peroleh secara gratis. Ia tengah melintasi sekelompok orang yang membagi-bagikan Alquran hari itu. Tanpa memalingkan muka dari ponsel, ia bertanya ketus, “Apakah itu gratis?”

Salah satu dari panitia mengiyakan. Ia meraih salah satu, kemudian melanjutkan perjalanan. Ia sama sekali tidak tertarik untuk bertanya. Ia hanya tertarik untuk mengambil buku gratis yang barangkali bisa membuatnya makin menertawakan agama.

Tapi, sejak membaca “kitab kuno itu”, ia menjadi lebih pendiam. Alquran berbeda dari buku-buku agama lain yang juga telah dia kumpulkan. Danielle bisa memahaminya dengan mudah. Itu sangat jelas.

Seorang teman pernah menyebut Tuhannya Muslim itu pemarah dan pendendam. Ia langsung menghampiri orang itu tanpa sadar. Ia buka lembaran-lembaran Alquran, kemudian menunjukkan kalimat, “Sesungguhnya, Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”

Alquran hanyalah “buku tua nan usang”, tapi entah bagaimana ia berpikir kitab itu sepenuhnya relevan. Ada sesuatu dengan irama dan cara komunikasinya yang intim. Ada semacam keindahan yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Terasa melegakan, seolah berjalan tanpa alas kaki di gurun pasir bermandikan cahaya bintang, kemudian angin berembus ringan dari samping.

Alquran telah menarik daya intelektual LoDuca. Ia menawarkan isyarat, kemudian mengajaknya berpikir, merenung, dan mempertimbangkan. Ia menolak keimanan yang membabi buta, tapi mendorong manusia menggunakan kecerdasan. LoDuca sadar, Alquran sepenuhnya ditujukan bagi kebaikan manusia.

Setelah beberapa waktu, niat itu semakin mengendap. Ia mulai membaca buku-buku tentang Islam. LoDuca menemukan bahwa Nabi Muhammad pernah ditegur dalam Alquran. Fakta itu tampak aneh jika Muhammad dianggap penulis Alquran, sebagaimana anggapan para orientalis.

“Orang ini tidak menunjukkan tanda-tanda seorang pembohong,” kata LoDuca. Ia berdoa pada suatu malam. Memohon ampun lantaran pernah menghina sosok mulia itu.N C38 ed: nashih nashrullah

 

Suatu malam, LoDuca kian terperangah tatkala membaca surah al-Anbiya’ ayat 30. Konsentrasinya terpecah. Itu teori Big Bang! pikir LoDuca. Ayat itu masih melanjutkan lagi, segala sesuatu yang hidup berasal dari air. Bukankah itu baru saja ditemukan para ilmuwan? Ia tercengang.

LoDuca melompat turun dan mulai membaca lebih teliti. Ia memeriksa buku-buku hingga semalaman duduk di Perpustakaan Pratt Institute. Masih dengan mata terbelalak dan tumpukan buku terbuka, LoDuca tersadar. Kebenaran sudah ada di depan mata.

“Saya tidak bisa menyangkal apa yang telah saya temukan. Saya tidak bisa mengabaikannya dan hidup seperti semula. Kini, hanya tersisa satu pilihan,” ungkap LoDuca. Perempuan cerdas itu tahu, ia harus menerima. Akhirnya pada 2002, Danielle Lo Duca resmi masuk Islam.

 

 

REPUBLIKA

Isa Graham: Saya Ingin Menjadi Mualaf Seperti Abu Bakar

Baris demi baris kalimat dalam kitab setebal 500-an halaman yang dibacanya hanya menyisakan satu kesan di benaknya: kagum. Dan, kekaguman yang bercampur rasa ingin tahu menjadi satu alasan bagi pemuda bernama Brent Lee Graham untuk mencuri buku itu dari perpustakaan kampusnya.

Dengan desain sampul yang menurutnya eksotis, buku berbahasa Inggris itu lebih dari sekadar menarik bagi Brent. Selain menyajikan berbagai cerita indah para nabi, buku itu berisi banyak kisah mengagumkan yang tak banyak ia ketahui.

“Saat itu aku baru berusia 17 tahun,” Brent mengawali kisahnya kepada Republika.co.id di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, beberapa hari berselang.

Semua berawal dari perenungannya tentang kematian, hal yang semula tak pernah ia pikirkan. Brent yang telah mengubah namanya menjadi Isa Graham akrab dengan pesta dan musik pada masa mudanya di Australia. Tetapi, pada suatu malam, pesta yang dilakoninya sungguh berbeda.

Malam itu sebelum memasuki rumah tempat pesta digelar, Brent melihat beberapa orang membawa keluar sesosok tubuh lunglai. Pemuda itu lalu diletakkan di salah satu sisi halaman rumah dan ditinggalkan bersama mereka yang lebih dulu tak sadarkan diri karena alkohol.

Tak ada pertolongan, tak ada obatobatan. “Aku berpikir, bagaimana jika mereka mati?” ujar pria yang pernah belajar di sekolah musik itu.

Terhenyak, Brent mendengar teriakan dari dalam rumah memanggilnya. Teman-temannya meminta Brent masuk dan memainkan musik untuk mereka. Brent masuk dengan sebuah pertanyaan menghantuinya. “Jika aku mengalami hal menyedihkan seperti orang-orang yang ada di halaman itu dan kemudian mati, apakah mereka akan memikirkan keadaanku?”

Keesokannya, sebuah peristiwa lain kembali menghentak hati Brent, memaksanya merenungi segala hal dalam hidupnya. “Seorang dosen mendatangi kelasku dan membawa berita kematian salah seorang teman sekelas kami,” kenangnya. Brent terguncang.

Ia semakin terguncang mengetahui teman sekelasnya itu meninggal karena heroin. Brent menjelaskan, semua orang di kampus tahu teman mereka yang baru meninggal itu tak pernah menggunakan heroin. “Dan, ia meninggal pada percobaan pertamanya menggunakan obat terlarang itu.”

Perasaan takut menyergap Brent. Remaja 17 tahun itu pun mulai memikirkan kehidupannya, juga kematian yang ia tahu cepat atau lambat akan menjemputnya. Brent memiliki seorang ibu yang menjadi pengajar Injil dan menyekolahkan Brent di sebuah sekolah Injil.

“Aku mengetahui isi kitab suciku. Dan, karenanya, aku banyak bertanya tentang agamaku,” kata Brent.

Brent tahu, nabi-nabi yang diutus jauh sebelum Yesus lahir menyampaikan ajaran yang sama, yakni tauhid. “Pun Yesus. Dalam Injil dijelaskan bahwa ia menyerukan tauhid. Dan, itu bertentangan dengan konsep Trinitas yang diajarkan gereja,” ujarnya.

Siang itu, saat membaca terjemahan Alquran di perpustakaan kampus, Brent dikejutkan oleh sebuah ayat, yakni ayat 171 surah an-Nisa, yang mengatakan bahwa Yesus bukanlah anak Tuhan. “Ayat itu seolah menjawab keraguanku tentang trinitas,” katanya.

Brent mempelajari Alquran itu dari perpustakaan dan mulai berinteraksi dengan kitab suci umat Islam itu. Keterkejutan terbesar muncul saat ia membaca ayat-ayat tentang Yesus. “Alquran memuat cerita tentang kelahirannya yang menakjubkan, tentang ibunya yang mulia, juga keajaiban yang tidak diceritakan dalam Injil ketika dari buaian ia membela kehormatan ibunya.”

Penemuan hari itu membawa Brent pada sebuah misi pembuktian. “Aku bertekad menemukan pernyataan Injil yang akan mampu menjawab pernyataan Alquran. Dan, Brent menemukannya. Sayang, jawaban itu sama sekali tak mendukung doktrin agamanya dan justru membenarkan Alquran.”

Dalam Injil Yohanes 3:16, mi salnya, tulis Brent dalam artikel “My Passion for Jesus Christ” (muslimmatters.org) disebutkan tentang anak Tuhan dan kehidupan abadi bagi siapa pun yang memercayainya. “Jika kita terus membaca, kita akan bertemu Matius 5:9 atau Lukas 6:35 yang menjelaskan bahwa sebutan ‘anak Tuhan’ tidak hanya untuk Yesus,” katanya.

Brent menambahkan, baik da lam teks Perjanjian Baru dan juga Perjanjian Lama, Injil menggunakan istilah “anak Tuhan” untuk menyebut orang yang saleh. “Dalam Islam, kita menyebutnya muttaqun (orang-orang yang bertakwa),” jelas Isa.

Dalam pencarian yang semakin dalam, Brent menemukan bahwa ayat terbaik yang dapat membuktikan doktrin trinitas telah dihapuskan dari Injil. “Ayat itu dulu dikenal sebagai Yohanes 5:7 dan kini secara universal diyakini sebagai sebuah ayat sisipan yang penah secara sengaja ditambahkan oleh gereja,” terang Brent yang kemudian menguraikan hasil pene litian seorang profesor peneliti Injil asal Dallas, Daniel B Wallace, tentang ayat tersebut.

Setelah mencapai kesimpulan yang sulit diterimanya itu, ia menemukan sebuah peringatan dalam Injil Perjanjian Lama. “… jika seseorang menambahkan (atau mengurangi) sesuatu kepada perkataan-perkataan ini maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini.” (Wahyu 22:18-19)

“Ayat itu senada dengan pernyataan Alquran (al-Baqarah ayat 79),” tegas Brent.

Pertanyaan dalam otak Brent belum tuntas. Ia kembali bertanya-tanya, “Jika Injil dan Alquran sama-sama memastikan Yesus bukanlah seorang anak Tuhan, lalu siapa dia?”

Lagi-lagi, Brent menemukan banyak kesepakatan antara Injil dan Alquran. Melalui ayat masing-masing, kedua kitab yang diselaminya itu menegaskan kenabian Yesus. “Yesus diutus untuk menyeru umatnya pada keesaan Tuhan sebagaimana dilakukan para nabi dan rasul sebelumnya.”

Persoalan agama itu menjadikan Brent semakin kritis, yang menggiringnya pada berbagai pertanyaan besar tentang agamanya. Ia mempelajari berbagai agama lain. “Aku mencari tahu tentang beberapa agama, aku mempelajari paganisme dan aku tertarik pada Islam.”

Di mata Brent kala itu, Islam adalah agama yang sempurna. “Aspek ekonomi, peme rintahan, semua diatur dengan baik dalam Islam. Aku kagum pada cara Muslim memperlakukanku dan aku sangat kagum pada bagaimana Islam meninggikan derajat perempuan.”

Brent pun menyatakan keinginannya untuk masuk Islam pada seorang teman Muslimnya. “Sayang, ia memberitahuku bahwa aku tak bisa menjadi Muslim hanya karena aku dilahirkan sebagai Kristen. Karena tak mengerti, aku menerima informasi itu sebagai kebenaran,” sesalnya.

Bagi pemuda kebanyakan di Australia, bisa jadi kehidupan Brent nyaris sempurna. Ia mahir memainkan alat musik, menjadi personel kelompok band, dan populer. Ia bisa berpesta sesering apa pun ber sama teman-teman yang mengelukannya. “Namun, aku tidak bahagia dengan semua itu. Aku tak tahu mengapa.”

Tanpa agama yang menenangkan hatinya, Brent seolah terhenti di sebuah sudut dengan banyak persimpangan. Perhentian itu membangun kannya pada sebuah malam. “Aku berkeringat dan mena ngis. Aku sangat ketakutan sambil terus bergumam ‘Aku bisa mati kapan pun’,” tutur nya.

Isyarat Allah menghampiri Brent keesokan harinya. Se orang Muslimah asal Myanmar yang menjadi teman kampusnya mengiriminya sebuah e-mail. Ia tahu Brent telah tertarik pada Islam sejak belajar di sekolah menengah dan da lam e-mail-nya itu ia bertanya apakah Brent masih tertarik pada Islam. Brent mengiyakan.

Beberapa hari kemudian, teman asal Myanmar itu da tang ke rumah Brent dan mem bawakannya sejumlah buku tentang Islam. Membacanya, Brent tahu bahwa Islam tak melarang non-Muslim sepertinya untuk memeluk agama itu. “Dari buku itu aku tahu bahwa banyak sahabat Nabi SAW, termasuk Abu Bakar, adalah mualaf. Aku sangat senang dan berteriak dalam hati, ‘Ini yang ku mau’.”

Selesai dengan bacaannya, Brent mendatangi seorang teman Muslim dan memin tanya menjelaskan tentang jannah (surga). Dari penjelasan tentang surga itu, ber tambahlah kekaguman Brent, juga kemantapannya pada Islam. Masjid Al-Fatih Coburg, Melbourne, menjadi saksi keislaman Bent Lee Graham.

Ia lalu mengganti namanya menjadi Isa Graham. “Aku ingin orang (non-Muslim) tahu bahwa dalam Islam kami juga memercayai Yesus,” ujarnya.

Bagi Isa, mencintai seseorang tidak seharusnya diwujudkan dengan menuhankannya, te tapi mengatakan segala sesuatu tentangnya apa adanya. “Kini aku ingin menunjukkannya kepada Yesus, bukan sebagai seorang Kristen, me lainkan sebagai Muslim.”

 

 

Disarikan dari Oase Islam Digest

REPUBLIKA

Karina Sering Ikut Shalat Idul Fitri

Bukan hal yang mudah bagi Karina untuk akhirnya menjadi Muslimah. Ia harus menghadapi orang tua satu-satunya yang ia miliki setelah mamanya wafat, sebulan setelah Karina lahir. Meski mamanya Muslimah, Karina dibesarkan papanya sebagai Katolik taat.

Sejak tujuh tahun, pemilik nama lengkap Margaretha Maria Alacoque Karina Anggara Ayu Kusuma ini sebenarnya sering ikut pergi shalat Idul Fitri meski hanya duduk-duduk saja mendengarkan khotbah. Dua tahun kemudian, Karina merasa ingin sekali belajar Islam. Setelah diizinkan oleh guru agama Islam di sekolah, Karina belajar Islam secara diam-diam, bahkan mengikuti ulangan caturwulan.

Apa yang ia sembunyikan akhirnya terbuka juga. Papanya marah saat mendapati nilai agama Islam muncul di rapor putri keduanya itu. Sejak saat itu, Karina merasa lingkaran pertemanannya semakin diawasi papanya.

Karina tidak bisa lagi ikut mengaji bersama teman-teman Muslimnya, hal yang selama ini juga dilakukannya diam-diam. Ia hanya bisa pasrah dan menerima. “Saya sadar, saya belum cukup bisa membela hak saya,” ujar wanita yang berdomisili di Cinere itu.

Selama 11 tahun Karina tetap ke gereja tanpa putus. Ia sering menjadi yang pertama bangun dan siap pergi untuk beribadah di antara anggota keluarganya yang lain.

Tapi selama 11 tahun ia jalani rutinitas tersebut, semakin ia merasa tidak sanggup dan ingin keluar. Ada saja yang dirasakannya, entah ingin muntah, pusing, atau lemas. Karina merasa tertekan sendiri karena membohongi dirinya dengan melakukan apa yang tidak benar-benar ia inginkan.

 

Meski belum menjadi Muslimah, setiap Ramadhan wanita yang sudah menerbitkan enam cerpen, novel, dan potongan autobiografi ini juga berpuasa dan ikut bangun pagi saat Idul Fitri. Setiap kali itu juga ia merasa ingin melepaskan tekanan di hatinya. Ia tidak sanggup menghadapi papanya.

Ia selalu ingin menangis jika berhadapan dengan papanya dan pada saat yang sama  tebersit keinginan untuk mengungkapkan lagi keinginannya menjadi Muslimah. Wanita 27 tahun ini hanya berdoa kepada Allah, jika Islam merupakan jalan hidupnya, ia meminta diberikan keberanian untuk menyampaikan itu kepada papanya.

Hari kedua Idul Fitri 2007, pada usia 20 tahun, doa Karina terkabul dan keberanian itu muncul. Karina merasa sudah saatnya ia menentukan hidup, termasuk menanggung konsekuensi atas pilihannya menjadi Muslimah. Ia yakin Allah tidak tidur dan mengetahui isi hatinya. “Saya pasrah,” kata staf bagian customer relations sebuah perusahaan swasta di Jakarta itu.

Setelah Karina mengungkapkan keinginannya menjadi Muslim, papanya berprasangka itu akibat pengaruh orang lain. Ia pun membantah. Karina percaya,  keyakinannya terhadap Islam datang dari hatinya dan itu memang jalan yang harus dilaluinya. Jika keyakinannya bukan sesuatu yang kuat, mustahil bertahan selama 11 tahun.  “Saya merasa Muslim memang sudah seharusnya,” kata Karina.

Baginya, agama yang dianutnya dulu tidak memuaskan sehingga rasa kurang yang dirasakan hatinya. Karina bertekad dan meminta kepada Allah SWT untuk bisa menjadi Muslim sebelum wafat.

Sekalipun, pada saat itu Karina memilih tidak bereaksi dengan semua perkataan papanya. Ia tahu, papanya belum rela atas keputusan putrinya. Sejak itu, Karina didiamkan papa dan kakaknya selama enam bulan. Karina berupaya tetap bersikap normal dan menjaga perasaan mereka dengan shalat serta mengaji di dalam kamarnya. Buku-buku Islam yang dipelajarinya juga dibuka saat ia sendiri saja.

Ia bersyukur itu hanya berlangsung enam bulan hingga akhirnya papa dan kakaknya mau kembali bicara kepadanya. Ia meyakinkan keduanya, selain keyakinan, menjadi Muslim akan membuat dirinya seperti Karina yang mereka kenal. Karina juga tetap memakai nama pemberian orang tuanya tanpa ada yang diubah.

 

Pernah juga, ia akan bersyahadat di sebuah masjid. Karina sudah membuat janji dengan ustaz yang akan membimbingnya bersyahadat. Pada saat bersamaan, digelar pula resepsi pernikahan di masjid yang sama.

Pengurus masjid mengatakan jika tepat ba’da Zhuhur Karina tidak sampai di sana, proses bersyahadat terpaksa ditunda. Ia hanya terlambat sedikit dari janji, namun pengurus masjid mendahulukan resepsi pernikahan dan membatalkan proses Karina untuk menjadi mualaf.

“Ujian iman tidak hanya terhenti sampai mendapat hidayah, tapi juga proses menjadi mualaf,” ujar Karina. Ia hanya bisa berdoa meminta kemudahan atas urusannya. Akhirnya, ia bersyahadat di masjid yang bisa ditempuh 10 menit dari rumahnya di Cinere.

Karina hanya perlu menyerahkan foto untuk ditempel di sertifikat tanpa biaya apa pun. Ia punterharu saat ustaz yang membimbingnya bahkan sengaja mengundangnya untuk bersyahadat di depan 50 ibu-ibu majelis taklim yang siang itu akan mengaji.

Dari ibu majelis taklim, ia juga mendapat Alquran pertama. Ia tak menyesali apa yang sudah dilaluinya sebab semua selalu membawa hikmah. Islam memberi pengaruh bersar dan mengubahnya menjadi pribadi yang lebih sabar dan tenang.

Tuhan, kata Karina, begitu hebat membuat manusia bisa melakukan berbagai aktivitas setiap hari. Sebab itu, beribadah sepekan sekali dirasanya kurang. Setelah menjadi Muslim dan shalat lima kali sehari, rasa kurang yang selama ini dirasakannya terpenuhi.

 

REPUBLIKA

 

Andre D Carson: Dalam Islam, Berbagai Ras Ikut Shalat Bersama

Nama Andre D Carson mungkin tidak setenar Keith Ellison, anggota Muslim pertama dalam Kongres Amerika Serikat (AS). Namun demikian, kiprah Andre D Carson dalam dunia politik negeri Paman Sam itu sudah tidak diragukan lagi. Seperti halnya Ellison, Carson kini tercatat sebagai salah satu anggota senat (DPR) AS. Hebatnya lagi, ia adalah seorang Muslim.

November tahun ini menjadi awal periode kedua bagi Carson menduduki kursi anggota legislatif AS menyusul kemenangan yang diraihnya dalam pemilu sela yang digelar 2 November tahun 2009 lalu. Dalam pemilu sela tersebut, Carson yang merupakan wakil dari negara bagian Indiana, unggul 58,9 persen suara atas penantangnya, Marvin Scott yang hanya memperoleh 37,8 persen.

Perjuangan Carson untuk bisa meraup 58,9 persen suara tersebut tidaklah mudah. Selama masa kampanye, Carson kerap diserang dari sisi keislamannya oleh sang rival. Scott kerap menjadikan kemusliman Carson sebagai target serangannya.

Dalam situs pribadinya, Scott menulis pernyataan anti-Islam yang menyatakan bahwa elemen radikal Islam sedang mendanai dan membangun masjid-masjid di seluruh Amerika. Bahkan, Scott yang mengklaim dirinya sebagai orang yang menghormati kebebasan beragama mengatakan, Saya membela hak Carson untuk menjadi seorang Muslim… Tapi mereka (Muslim), tidak berhak mengganti hukum AS dengan hukum Islam, hukum para ekstrimis.”

Namun, pernyataan keras Scott itu tak ditanggapi serius oleh Carson. Ia menyatakan bahwa pernyataan ini merupakan bentuk kekesalan Scott karena tak mampu memenangkan pemilu sehingga melakukan black campaign terhadap dirinya.

Ketertarikan Carson terhadap Islam sudah berlangsung sejak usia remaja. Tapi, ia mulai membaca buku-buku mengenai Islam dan masuk Islam sekitar 12 tahun lalu. Satu hal yang paling memengaruhinya adalah karya-karya penyair sufi Rumi dan buku autobiografi tokoh Muslim Afro-Amerika, Malcolm X.

Ketertarikannya terhadap Islam diakuinya karena nilai-nilai kedamaian dan kasih sayang yang diajarkan dalam Alquran. Buat saya, daya pikat Islam adalah pada aspeknya yang universal. Semua agama mengajarkan universal. “Tapi, dalam Islam, saya melihatnya secara teratur di masjid-masjid di mana orang dari berbagai ras ikut shalat bersama,” tambahnya.

Carson kerap terlihat menunaikan shalat di Masjid Nur-Allah, sebuah masjid Suni yang banyak dikunjungi orang Amerika keturunan Afrika. Sebagai politikus Muslim di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim, Carson kerap menghadapi berbagai kritikan yang menghubungkannya dengan pemimpin Nation of Islam, Louis Farrakhan.

Sekalipun menyangkal bahwa kelompok Islam itu ada hubungannya dengannya, namun ia mendukung beberapa aktivitas yang dilakukan kelompok itu, seperti memerangi penggunaan narkotika.

Kendati sikapnya ini ditentang, Carson tetap memiliki banyak pendukung. Sejak memutuskan untuk terjun ke kancah politik, ayah dari seorang putri bernama Salimah ini tidak menganggap agama yang dianutnya bakal menghambat kariernya. Sekalipun saat ini umat Islam masih berjuang keras untuk meningkatkan citra mereka di Amerika.

Politisi yang bersuamikan Mariama Shaheed, seorang pendidik di Pike Township School ini menegaskan, sekalipun ia menghormati Islam, agama yang dianutnya tidak akan pernah memengaruhi keputusan yang diambilnya. Karena ia beranggapan keputusan tersebut harus diambil berdasarkan kebutuhan para pemilihnya.

Bagi saya agama memberi informasi untuk saya. Anda perlu menghormati orang-orang tanpa melihat ras, agama, atau jenis kelamin,” tandasnya.

Hingga saat ini, dua tahun sudah (sejak 2008), Carson telah menduduki kursi anggota DPR AS. Politikus dari Partai Demokrat ini kali pertama terpilih sebagai anggota Kongres AS pada Maret 2008 lalu. Kala itu, ia ikut serta dalam pemilu khusus yang digelar pada 11 Maret 2008.

Niatnya untuk ikut serta saat itu hanyalah karena terdorong oleh keinginan untuk meneruskan mendiang neneknya, Julia Carson, yang mewakili distrik ketujuh negara bagian Indiana. Sang nenek meninggal dunia akibat kanker paru-paru di tahun 2007 dan Carson memutuskan untuk mengisi posisinya yang akan berakhir pada Maret 2008.

Terpilihnya Carson dalam pemilu khusus tersebut menjadikannya sebagai politikus Muslim kedua di jajaran Kongres AS. Lahir di Indianapolis, Indiana, pada 16 Oktober 1974, Carson bukan berasal dari keluarga Muslim.

Pria keturunan Afro-Amerika ini dibaptis dan dibesarkan sebagai seorang pemeluk Kristen oleh neneknya yang menginginkannya menjadi seorang pendeta saat ia dewasa kelak. Hal ini pula yang mendorong sang nenek untuk memasukan Carson ke sekolah Katolik.

Di usia yang masih kanak-kanak, Carson sudah ikut dilibatkan dalam berbagai kegiatan sosial dan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh neneknya. Lingkungan tempat tinggalnya yang terbilang keras secara tidak langsung telah mengasah kepekaannya terhadap masalah-masalah seputar pendidikan, keamanan publik, dan kesempatan ekonomi.

Carson mengenyam pendidikan dasar dan menengah di Sekolah Umum Indianapolis. Setelah tamat, ia melanjutkan ke Sekolah Tinggi Teknik Arsenal. Ia memperoleh gelar sarjana di bidang manajemen peradilan pidana dari Universitas Concordia Wisconsin dan master dalam bidang manajemen bisnis dari Universitas Indiana Wesleyan.

Selepas lulus dari Universitas Indiana Wesleyan, Carson memulai karier profesionalnya sebagai penegak hukum di Kepolisian Negara Bagian Indiana. Ia bertugas di sana sebagai seorang penyelidik selama 9 tahun lamanya. Ia kemudian bergabung dengan Departemen Keamanan Dalam Negeri Indiana. Di kantor barunya ini, ia ditempatkan di bagian intelijen dan bertugas mengawasi unit antiterorisme.

Setelah tidak lagi bertugas di Departemen Keamanan Dalam Negeri Indiana, Carson sempat bekarier dalam bidang marketing. Ia tercatat pernah menjadi tenaga pemasaran di sebuah biro jasa arsitek dan insinyur di Indianapolis. Namun, profesi tersebut ia jalani hanya sebentar karena kemudian ia memilih untuk berkecimpung di dunia politik. Partai Demokrat menjadi kendaraan politik yang dipilihnya selain juga karena faktor sang nenek adalah salah seorang kader di partai ini.

Sebelum terpilih menjadi anggota DPR, Carson tercatat sebagai salah satu anggota komite Partai Demokrat di Indianapolis. Pada tahun 2007, ia menang dalam kaukus khusus Partai Demokrat di wilayah Marion, negara bagian Alabama. Berkat kemenangan tersebut, ia ditunjuk menjadi penasihat wilayah kota untuk distrik ke-15 wilayah Marion.

REPUBLIKA

 

 

Info seputar Mualaf, bisa Anda simak di sini degan mencarinya di kolom pencarian, gunakan keyword mualaf atau muallaf

Kristiane Backer Merasa Tenang Berkat Ayat Suci Alquran

Kristiane Backer adalah mantan presenter di MTV Eropa. Besar di Jerman, ia tumbuh di lingkungan keluarga Protestan. Kemudian pada 1989 Backer pindah ke London untuk mengikuti MTV Eropa.

Sebagai presenter terkenal di dunia hiburan, Backer memiliki banyak hal. Dari kecukupan materi, relasi, dan ketenaran. Ia pernah mewawancarai bintang-bintang terkenal, mulai dari Bob Geldof hingga David Bowie.

Meskipun memiliki segalanya, Backer masih merasa ada yang kurang di hidupnya. Ia merasa ada yang hilang. Backer mulai menyadari bahwa kekosongan yang ia rasakan tidak dapat terpenuhi  dengan ketenaran, uang, bahkan oleh seorang pasangan.

“Ini adalah dilema bagi saya saat itu. Saya berada di atas panggung dengan 70 ribu  orang bersorak dan seolah-olah saya berada di atas awan. Tapi, saya merasa kesepian,” ujarnya.

Saat itu, masih sulit bagi Backer mengakui bahwa yang ia butuhkan adalah dipertemukan dengan penciptanya. Menurut Backer, ia telah gagal mengenal dirinya sendiri walaupun telah banyak membaca buku.

Ia mengaku telah mampu melampaui puncak kariernya, tetapi ia gagal memasuki hatinya sendiri. Dimensi spiritual ini tidak pernah dikejar oleh Backer sampai krisis identitasnya memuncak dan menjadi sangat tak tertahankan.

Perkenalan Backer dengan Islam terjadi melalui bintang olahraga Imran Khan. Saat itu, Imran memainkan musik sufi dan menjelaskan bahwa lirik itu ditujukan untuk Allah.

Sejak saat itu, Backer mengetahui bahwa Allah SWT adalah bahasa Arab untuk Tuhan, pencipta alam semesta. Dan ia juga mulai mengetahui tentang iman dalam Islam. Ia memahami iman inilah yang membuat seorang Muslim menjalani kehidupan dengan tujuan yang jelas.

Untuk menjawab rasa penasaran Backer terhadap Islam, Imran Khan memberi Backer buku tentang Islam dan mengajak Backer bepergian bersamanya ke Pakistan. Backer mengakui, perjalanan menuju Pakistan membuka dimensi baru dalam hidupnya, yakni sebuah kesadaran akan spiritualitas.

Di Pakistan, Backer merasa tersentuh dengan kepribadian Muslim yang ia temui. Menurutnya, Muslim di sana sangat mudah membantu orang lain dan bersyukur walaupun kondisi mereka memprihatinkan.

Ia menemukan bahwa Tuhan memainkan peran penting dalam kehidupan setiap orang. “Tuhan di mana-mana, dalam arsitektur yang indah, dalam musik, dan di hati orang-orang,” katanya. Backer menyadari ada perbedaan mencolok antara dunianya dan budaya Pakistan.

Tepat setelah perjalanannya ke Pakistan, Backer menghadiri penghargaan musik MTV di Los Angeles. Ia merasa apa yang ia saksikan begitu palsu. Backer merindukan kehangatan orang-orang yang ia temui di Pakistan.

Pada tahun-tahun berikutnya, Backer terus bepergian bolak-balik ke Pakistan. Selain untuk misi kemanusiaan dan budaya, Backer juga terpikat secara intelektual. Imran memberikan buku-buku tentang Islam yang kemudian mereka bahas secara mendalam.

Doktrin Islam lebih masuk akal baginya. Orang-orang menyembah satu Tuhan, mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, bayi dilahirkan suci, dan kehidupan ini hanyalah jembatan menuju alam baka.

Ia mengaku merindukan semua stimulasi intelektual ini, ada banyak hal yang bisa ditemukan. Setelah bekerja di MTV, Backer merasa hanya bersenang-senang di tempat kerja.

Saat membaca buku-buku Islam, Backer merasa menemukan fakta-fakta mengejutkan tentang hakikat nabi. Ia baru mengetahui ada begitu banyak kesamaan antara ketiga agama, yaitu Yudaisme, Kristen, dan Islam. Ketiga agama tersebut berasal dari sumber yang sama.

Backer terus mengajukan pertanyaan tentang tujuan hidup dan pertanyaan besar yang ia ajukan hanya mampu dijawab dalam Islam. Ia bahkan mulai melihat industri hiburan dengan mata kritis. Khususnya terkait cara berpakaian para perempuan yang berada di industri tersebut.

Ia menyadari, Islam menghargai perempuan berdasarkan karakter dan perilaku mereka. Bukan hanya penampilan fisik semata. Untuk itu, sering kali ditemukan perbedaan antara perempuan Barat dan perempuan Muslim.

Baginya, pembahasan soal perempuan dalam Islam bukan berkaitan dengan uang, ketenaran, dan dunia mode, melainkan menjadikan Tuhan sebagai tujuan hidupnya.

Backer semakin banyak mengetahui tentang Islam. Ia percaya bahwa Islam telah mengubah hidupnya. Dan bahkan pada saat ia merasa ada banyak tekanan, Backer tetap merasa tenang berkat ayat suci Alquran.

Dalam Alquran dikatakan bahwa Tuhan tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya. Potongan ayat inilah yang menguatkannya. Backer semakin mencintai Islam. Baginya, Islam telah masuk ke dalam hatinya. Akhirnya, Backer memutuskan memeluk Islam pada 1995.

Setelah memeluk Islam, karier Backer segera berakhir. Kontraknya dihentikan karena media Jerman menyampaikan berita negatif tentang Islam. Namun, ia tidak memedulikannya. Ia menganggap hal tersebut sebagai ujian dari Allah. Ia sadar, ujian yang ia terima tidak sebanding dengan apa yang telah ia kerjakan pada masa lalu.

Sehingga Backer menganggap hal ini merupakan cara Tuhan menghapus dosa-dosanya. Ia mengaku menerima ujian yang diberikan dengan senang hati dan menyerahkannya kepada Allah.

Pada 2009 Kristiane Backer menerbitkan biografi resminya yang berjudul From MTV to Mecca di Jerman. Saat ini, buku tersebut telah diterjemahkan ke bahasa Belanda, Turki, Arab, dan Inggris.

Backer juga mulai aktif dalam kegiatan dialog antaragama dan antarbudaya serta menjadi duta untuk Yayasan Penjelajahan Islam. Ia merasa memiliki peran menjembatani komunitas Muslim dan masyarakat luas.

 

REPUBLIKA

Raphael Narbaez: Tuhan Mengajariku Islam Lewat Alquran

Tak pernah terlintas di benak Raphael Narbaez, pria berkebangsaan Amerika Serikat, untuk mempelajari dan bahkan memeluk Islam. Betapa tidak, dalam dirinya telah tertanam sebuah keyakinan bahwa semua agama, selain yang diyakininya, adalah buruk.

Hingga suatu hari, ia tak lagi meyakini kebenaran agama yang dipeluknya. Narbaez pun memutuskan untuk meninggalkan agamanya. Ia lalu mempelajarinya ulang dan bahkan sempat tak memeluk agama apa pun setelah itu.

Ia merasa beruntung memiliki satu keyakinan yang tersisa di hatinya. “Aku yakin Tuhan itu ada,” ujarnya. Keyakinan itu membawanya pada agama yang Islam, agama yang diyakininya paling benar. “Aku yakin, Allah telah merencanakan semua ini bahkan sebelum aku dilahirkan,” ungkapnya.

 

Raphael Narbaez adalah pria kelahiran Texas, California, yang segera dibaptis sebagai seorang Katolik tak lama setelah terlahir ke muka bumi. Maklum saja, ia berasal dari keluarga Katolik yang taat.

Narbaez tumbuh di Lubbock, wilayah Texas yang memiliki banyak gereja dan dihuni komunitas kuat Kristen. Lingkungan tersebut membawanya menjadi seorang saksi Yehuwa (Tuhan orang Yahudi). Saksi Yehuwa adalah sebuah denominasi umat Kristen pemulih kepercayaan milenialisme, di luar ajaran utama Kristen dan tidak meyakini adanya trinitas.

Suatu hari, kata Narbaez, pintu rumahnya diketuk oleh beberapa orang. Mereka mengadakan pengajian Bibel di rumah. Setelah pengajian itu, ia dan keluarganya juga mendatangi gereja para saksi Yehuwa. Mereka menghadiri sejumlah pertemuan dan bergabung dengan jamaah kebaktian mereka. Mereka pun menjadi bagian dari para saksi Yehuwa.

Narbaez pun dengan penuh semangat mengkaji Bibel. Semakin dalam mengkaji dan mendalami Bibel, ia dihadapkan pada sebuah ironi mengenai kitab sucinya itu.

“Siapa pun yang familiar dengan naskah tersebut tahu persis bahwa Bibel telah banyak tercemar di sepanjang sejarah. Namun, di sisi lain, aku selalu merasa bahwa Bibel yang asli benar-benar berasal dari Tuhan,” katanya. Umat Kristen lainnya pun, kata dia, memuaskan diri dengan pemikiran yang sama bahwa Bibel yang asli hebat dan logis.

Narbaez mulai belajar lebih banyak dan mendalami Bibel, hingga ia dibaptis sebagai saksi Yehuwa saat memasuki usia 13 tahun. Semenjak itu, ia seperti mendapat suntikan semangat untuk berbuat lebih banyak ‘pekerjaan Tuhan’.
“Sesuatu yang tidak biasa terjadi. Aku diakui dan diberkati untuk menjadi pembicara dalam acara-acara kebaktian. Dan aku mulai berbicara di depan jamaat berjumlah besar,” paparnya.

 

Bahkan, ia baru berusia 20 tahun saat memiliki jamaat kebaktian sendiri, dan ia semakin mendalami ajaran tentang ‘saksi-saksi Yehuwa. Lalu, setelah melewati banyak kebaktian, doa, dan duka, Narbaez meninggalkan agamanya dan tidak mencoba untuk kembali.

Yang terjadi kemudian, katanya, ia tak dapat berpindah ke agama baru apa pun. “Sebagai saksi Yehuwa, aku diajari bahwa semua agama tidak baik, bahwa hanya para saksi Yehuwa yang mampu membawaku pada penerimaan terhadap Tuhan,” katanya.

Dengan penuh kesadaran, Narbaez tak lagi memercayai semua ajaran saksi-saksi Yehuwa, juga ajaran agama lainnya. Jadilah ia seseorang tanpa agama. “Untungnya, aku bukan seorang tanpa Tuhan. Aku masih memercayai adanya Tuhan yang menciptakan seisi semesta,” katanya.

Ia lalu memutuskan untuk kembali ke gereja, tempat di mana ajarannya berasal. “Aku dilahirkan sebagai seorang Katolik dan menjadi seorang saksi Yehuwa sepanjang hidupku, aku kembali ke sana untuk menemukan sesuatu yang mungkin saja telah kulewatkan,” katanya.

Tiga bulan lamanya Narbaez menghanyutkan diri dalam doa-doa, kebaktian, dan juga misa. Namun, semua itu tidak mengubah keadaan yang dialaminya. “Sama sekali tidak menarik pikiranku, tidak juga hatiku,” ujarnya.

Hingga pada satu hari, ia berkesempatan bertemu dengan seorang Muslimah yang selalu tampak gembira dan ramah. “Aku memperhatikannya dan tertarik dengan kepribadiannya. Ia memberitahuku banyak hal tentang Islam.”

Setelah itu, tak sedikit pun tebersit niat dalam benaknya untuk memeluk Islam. “Aku hanya berpikir tentang sebuah keinginan menjadi umat Kristen yang baik, dan aku yakin dengan cara Tuhan menjadikanku seorang Kristen taat.”

 

Narbaez pun kembali mendalami Bibel. Ia melakukannya berjam-jam, terutama saat malam. Ia membaca seluruh isi kitab Perjanjian Baru dan melahap Perjanjian Lama; Genesis (Permulaan), Deutoronomy (Ulangan), Exodus (Kepergian).

Lalu ketika ia mencapai bagian tentang Prophets (Nabi-nabi), Narbaez tiba-tiba ingin mengistirahatkan matanya sambil berpikir tentang pertemuannya dengan Muslimah yang memberitahunya tentang Islam, tentang menjadi seorang Muslim, tentang Alquran, dan tentang Allah SWT. Lalu aku berkata, “Baiklah, aku adalah orang dengan pikiran terbuka sekarang. Aku akan mencari tahu tentang itu, bukan sebagai seorang saksi Yehuwa,” tuturnya.

Mula-mula ia berpikir tentang jumlah Muslim dunia yang mencapai 1,2 miliar. Lalu, Narbaez berpikir bahwa ternyata setan tak terlalu hebat untuk bisa memperdaya 1,2 miliar umat Islam, dan ia pun mulai membaca Alquran untuk mencari jawabannya.

Narbaez menuntaskan bacaannya dan mulai menemukan jawaban lebih dari yang diharapkannya. “Segala sesuatunya menjadi jelas. Bahkan, aku bisa memahami Bibelku setelah membaca Alquran,” tegasnya. Dan, Narbaez menyimpulkannya sebagai cara Tuhan menjadikannya seorang umat Kristen yang baik.
“Tuhan mengajariku lewat Alquran.”

Narbaez pun terus membaca Alquran. Menurutnya, isinya lebih mudah dan lebih ringkas daripada kitab yang sering dibacanya. “Aku mulai meninggalkan Bibel yang pernah kuyakini sebagai perkataan Tuhan.”

 

Bersamaan dengan itu, Narbaez memiliki keinginan untuk menemui orang-orang Islam, pemilik kitab suci tersebut. Ia memilih masjid sebagai tempat yang tepat untuk bertemu mereka, untuk memeriksa kebenaran informasi yang pernah dikatakan oleh wanita Muslim yang pernah ditemuinya.

Dengan menggunakan mobil, Narbaez mendatangi sebuah masjid di California bagian selatan. “Perutku menegang, rasanya seperti ketika kita diharuskan melakukan sesuatu sedangkan kita tidak menginginkannya,” katanya. Sambil berputar beberapa kali melewati masjid, ia kemudian mencari-cari alasan untuk membatalkan niatnya memasuki masjid tersebut. Ia mendapatkan sebuah alasan. Area parkir masjid tersebut penuh.

“Aku akan berputar sekali lagi. Jika tidak ada mobil yang keluar dari halaman masjid, aku akan pulang.”
“Allah Maha Berkehendak,” ujarnya.
Ia menceritakan, saat melintas di depan masjid untuk terakhir kalinya, sebuah mobil keluar. Ia menjadi jauh lebih cemas dari sebelumnya. Namun, ia menepati janjinya.

Narbaez  menghampiri sekelompok orang yang berbaur di dalam masjid usai shalat berjamaah, saat beberapa di antara mereka menyambutnya sambil mengucap salam. Seseorang yang menyadari bahwa Narbaez adalah orang baru di sana, menggandengnya, mengajaknya berkeliling masjid, dan mengajarinya berwudhu.

Ia terkesima sekaligus takjub. “Aku suka cara mereka (Muslim) menyucikan diri dan semua amalan yang mereka lakukan,” ujarnya. Ia kagum dengan gerakan ruku dan sujud, yang dimaknainya sebagai ekspresi makhluk yang tidak berdaya di hadapan Tuhan.

Dalam hatinya muncul keinginan yang kuat untuk berdoa dengan cara yang dilakukan Muslim. “Saya merasa seperti pulang kembali ke rumah setelah lama bepergian.” Narbaez mantap berislam tak lama setelah itu.

Kemantapan hatinya itu, kata Raphael, bermuara pada Alquran dan hadis. “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat,” ujar Raphael mengutip surah favoritnya, an-Nasr.

Dalton Mtengwa: Islam Membuatku Tenang

Dalton Mtengwa merasa seperti menemukan oasis di tengah padang gersang. Saat diwawancarai Vice beberapa waktu lalu, pemuda 24 tahun asal Oldham, Inggris, ini menceritakan sekelumit pencarian spiritualnya hingga menerima Islam.

Sejak masih berumur belasan tahun, saya termasuk anak yang nakal di sekolah. Saya terlibat berbagai tindak kriminal atau kenakalan remaja lainnya. Saya selalu dalam masalah, kata Dalton.

Dia melanjutkan, memasuki usia 17 tahun, ia justru kabur dari sekolah. Dalton memilih hidup menggelandang di jalan-jalan bersama geng-nya. Dalton terkenal memiliki pergaulan luas. Ia telah berkelana bersama kawan-kawannya di hampir seluruh wilayah Inggris.

Memang, pada suatu ketika, ia memutuskan melanjutkan kembali pendidikannya. Namun, ia merasa tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan kampus. Di sana, ia hanya menaruh perhatian di bidang olahraga. Selain itu, ia mati-matian berusaha mendapatkan nilai yang layak.

“Perhatian saya mudah terpalingkan. Apalagi, waktu itu saya cukup populer, yang itu berarti agak berbahaya. Saat itu, saya lebih suka kehidupan jalanan,”katanya mengenang.

 

Bagaimanapun nakalnya Dalton, keluarganya tetap bersama dia. Ia tumbuh dari ayah dan ibu pemeluk Kristen. Sejak kecil, keluarganya membiasakan diri beribadah ke gereja.

Sebagai contoh, bibi Dalton merupakan sosok yang sangat religius. Dialah yang mengarahkan Dalton mengambil bidang studi kajian Injil di kampus.

Awalnya, Dalton menanggapi dengan sopan. Saat itu, Dalton merasa masih kurang tertarik menggali lebih banyak pengetahuan ihwal kitab suci agamanya itu. Ia mengaku bukanlah seorang Kristen yang taat pada masa remaja.

Pergaulannya yang luas, membuatnya acap kali berpikir bahwa agama seharusnya tidak berjumlah banyak. Cukup satu saja, karena semua semestinya mengarah ke Pencipta yang sama.

Ya, saya percaya Tuhan itu ada. Saya pergi ke gereja sesekali. (Namun) Itu tidak terlalu berdampak buat saya, sejujurnya, tidak bila dibandingkan belakangan dengan Islam, katanya.

Saya tidak percaya bahwa perlu ada banyak agama di dunia. Seharusnya, hanya perlu satu agama dan semua orang menyembah Tuhan Yang Esa, kata dia.

Sejak memasuki bangku kuliah, Dalton mengalami kegelisahan spiritual. Puncaknya, ia mengalami depresi. Ia mulai jarang mengikuti kuliah dan berkumpul bersama kawan satu geng-nya. Bahkan, ia terancam dikeluarkan dari kampus tempatnya belajar.

Banyak orang yang sampai melalui depresi ketika tidak ada ketenangan dalam hatinya, ujar dia.

 

Sampai di titik ini, Dalton sering menepi dari keramaian. Ia mulai merefleksikan hidupnya. Ia merasa, masa remajanya banyak dihabiskan untuk berbuat jahat, seperti mencuri, merampok, atau mengonsumsi narkoba. Kenakalan remaja hanya demi uang atau lantaran iri terhadap mereka yang bisa membeli apa saja dengan mudah.

Saya merasa berada di pergaulan yang salah. Selalu ada tekanan saat itu. Banyak di antara kami yang hidup materialistis. Saya melakukan tindak kriminal hanya untuk menambah uang membeli apa yang dibeli orang, katanya mengenang.

Hingga suatu ketika, ajakan dari beberapa sahabat baiknya untuk mengobrol. Kemudian, mereka mengatakan kepada Dalton, Kamu sebaiknya berzikir, mengucapkan dua kalimat syahadat.

Saat itu, Dalton tidak benar-benar memahami apa maksud sahabatnya itu. Namun, ia merasa berbeda. Sebab, mereka melihat dengan mata hati dan memahami kekosongan yang sedang dialami Dalton.

Mereka yakin bahwa saya sebaiknya mengucapkannya (dua kalimat syahadat). Sebab, mereka menilai saya sebagai orang yang religius. Mereka melihat ke dalam hati saya. Dan mereka menemukan iman di sana, ujar Dalton.

Bahkan, kata mereka, sewaktu pertama kali bertemu dengan saya, mereka pikir saya ini Muslim. Mereka benar-benar terkejut begitu saya sampaikan yang sebenarnya (bahwa bukan Muslim), katanya melanjutkan.

Akhirnya, pada Februari lalu, Dalton resmi memeluk Islam. Ia dibimbing oleh tokoh Muslim setempat bernama Syekh Bilal, yang juga seorang mualaf.

Dari Syekh Bilal, Dalton mempelajari rukun Islam, rukun Iman, dan ajaran-ajaran Islam lainnya. Di lingkungan tempat tinggalnya, tidak banyak dijumpai orang Islam.

Perlahan-lahan, depresi dalam diri Dalton terkikis. Ia merasa hidupnya kini lebih tenang dan memiliki tujuan jelas.

Saya masuk Islam karena saya telah menemukan kebenaran, jalan yang benar. Di Islam, ada banyak ajaran dan cara hidup yang disiplin. Islam mengajarkan kepada saya untuk hidup sederhana dan tidak tamak. Saat kita mati, harta benda tidak menyertai. Hanya amal kita. Allah hanya melihat amal ibadah kita, katanya.

Dalton kemudian melanjutkan studinya kembali di kampus dalam bidang matematika dan bahasa Inggris. Islam menjadi penyemangat baginya untuk hidup selalu lebih baik.

Ini juga menolong ia untuk berkonsentrasi belajar dan meninggalkan kehidupan jalanan. Alih-alih menghabiskan waktu dalam hal-hal nirguna, ia menyibukkan diri dengan belajar Alquran. Ia konsisten shalat tepat waktu.

Sebagai seorang pemuda, setelah memeluk Islam, sikap Dalton berubah menjadi lebih sopan. Dahulu, ia menjalin hubungan penuh nafsu dengan lawan jenis. Kini, ia berkeyakinan, pernikahan adalah jalan terbaik.

Dahulu, hubungan saya dengan banyak perempuan begitu liar. Kini, di dalam agama saya, Islam, ternyata ada lebih banyak sikap romantis yang bisa dikembangkan. Ada banyak ajaran (dalam Islam) yang menghormati perempuan.

 

Bagaimana hubungan Dalton dengan keluarganya kini? Dia mengakui, awalnya ayah dan ibunya terkejut dengan keputusannya beralih iman.

Sebab, keduanya lebih memahami Islam sebagaimana yang dicitrakan melalui pemberitaan di televisi. Menurut Dalton, media massa Barat kerap memojokkan Islam. Apalagi, di Inggris, islamofobia masih menjadi fenomena yang sering dijumpai.

Namun, pihak keluarga lama-kelamaan mengamati perkembangan sikap Dalton setelah memeluk Islam. Pemuda itu menjadi lebih sopan, taat, dan menghindari perilaku buruk yang kerap dia lakukan dahulu. Bahkan, hubungan Dalton dengan ayah, ibu, dan keluarganya kian erat setelah memeluk Islam.

Mereka sekarang memahami, Islam telah mengubah hidup saya. Saya merasa lebih dekat dengan keluarga saya sekarang. Memang, ada banyak mualaf yang disalahpahami. Karena itu, sebaiknya siapa pun mengenal lebih dekat lagi mereka (mualaf), sehingga bisa mengerti, ujarnya.

sumber: republika online

Islam Menjawab Kegelisahan Katya Kotova

Katya Kotova, Perempuan Rusia yang berumur 23 tahun ini mengaku tak asing dengan Islam. Ketika usianya tiga tahun, Katya pernah menginjakkan kaki di masjid itu.

Ia mengenang, saat itu neneknya mengajaknya ikut sekadar menyaksikan shalat berjamaah. Suasana itu masih jelas dalam ingatannya. Aku masih mengingat pemandangan itu dengan jelas. Para perempuan shalat di lantai dua masjid.

“Aku berdiri dekat tangga, sambil melihat ke bawah, di mana para pria shalat di lantai dasar,”kata Katya Kotova seperti dikutip dari laman Russia Beyond the Headlines, belum lama ini.

Hampir 50 persen orang Bashkortostan merupakan Muslim. Namun, kekuasaan Uni Soviet yang berpaham ateis membuat cukup banyak orang beradaptasi. Orang tua Katya, misalnya, menganut paham sekuler. Ayahnya seorang Kristen Ortodoks Rusia, sedangkan ibunya Muslim Tatar. Tidak seorang pun dari mereka yang taat pada kepercayaan masing-masing.

Namun, generasi di atas orang tua Katya lebih religius. Nenek Katya, misalnya, tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dari sang nenek, Katya pertama kali mengenal ibadah tersebut.

Selain itu, ia sering pula mendengar suara sang nenek ketika sedang berdoa dalam bahasa Arab. Saat itu, tentu saja Katya belum memahami artinya.

“Sewaktu aku masih kecil, kapan pun merasa takut, aku mengucapkan doa-doa Islami itu, meskipun tak paham betul artinya,” kata dia. Di sisi lain, buyut Katya dari pihak ayah merupakan penganut Kristen Ortodoks.

Saat berusia 13 tahun, Katya telah dibaptis menjadi seorang Kristen Ortodoks. Dengan begitu, di sekolah Katya merasa sudah seperti orang Rusia pada umumnya. Dia mengenakan kalung salib dan mulai meninggalkan kebiasaan merapalkan doa berbahasa Arab.

Katya begitu dekat dengan kakaknya. Berbeda dengan Katya, kakaknya itu penganut Kristen Ortodoks yang taat. Memasuki usia 18 tahun, Katya pindah ke Moskow.

Di ibu kota itu, ia belajar ilmu hukum di Universitas Negeri Rusia. Ia bercita-cita menjadi seorang pengacara dan pejuang keadilan. Saat menjadi mahasiswi, Katya tinggal sekamar dengan seorang kawan yang Muslimah.

Di sela-sela waktu belajar, mereka berdua kerap bertukar pikiran soal agama. Katya mulai serius mendalami agama sendiri, Kristen Ortodoks. Selain itu, agar bisa memahami perspektif kawannya, Katya juga membaca buku-buku mengenai Islam.

Seiring waktu, kenang dia, ketertarikannya meningkat terhadap Islam. Ia bahkan kemudian ingin pindah ke agama tauhid tersebut. Beberapa bulan sebelum wisuda, Katya telah menyelesaikan magang di Komite Investigatif, Moskow. Ia memang berniat menempuh karier di lembaga itu. Saat itu, hasratnya berpindah agama kian besar. Ia merasakan, jiwanya tersentuh dengan kesan-kesan yang didapatnya dari Islam.

Segala pertanyaan mengenai eksistensi diri, hubungan manusia dengan Sang Pencipta, serta bagaimana manusia seharusnya menjalani hidup. Semua kegelisahan itu dirasakannya dan ia menemukan jawabannya dalam Islam. Katya akhirnya memeluk agama Islam.

Pada 30 Maret 2016 lalu, ia mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Agung Moskow. Seluruh koleganya di Komite Investigatif terkejut begitu mendengar kabar itu. Tidak menunggu waktu lama, Katya lantas memutuskan konsisten berhijab.

Sejak saat itulah, suasana kerja di Komite dirasakannya kurang kondusif lagi. Karena itu, pelan-pelan Katya mencari pekerjaan baru, sekalipun tak ada hubungannya dengan dunia hukum. Meskipun keluar dari Komite, Katya tetap menjalin pertemanan dengan sejumlah koleganya.

Ia berhijrah ke Dagestan. Katya menjalani pekerjaan baru sebagai pelayan di sebuah kafe halal di sana sampai kini. Sebagai informasi, Dagestan merupakan negara bagian yang terletak sekitar 2.000 kilometer di selatan Moskow. Tepatnya di tepi Laut Kaspia. Negara bagian Dagestan memiliki populasi Muslim terbesar ketiga.

Saat ditanya apakah Katya menyesali masuk Islam di mana harus meninggalkan karier yang dicita-citakan dan bekerja hanya sebagai pelayan kafe, ia tak menyesalinya.

Dia mengaku terinspirasi kisah seorang perempuan yang teguh pendirian. Namanya Irena Sendler. Katya menceritakan, Irena merupakan sosok Muslimah yang tercatat dalam sejarah berhasil menyelamatkan sekitar 2.500 anak dari kekejaman Perang Dunia II di Warsawa, Polandia.

Selain itu, Katya juga mengambil semangat dari Valentina Tereshkova, perempuan Uni Soviet pertama yang menjadi kosmonaut. Sampai yang paling kontemporer, Katya tergugah dengan keteguhan seorang aktivis HAM Pakistan, Malala Yousafzai.

Lantaran itu, Katya masih menyimpan bara semangat kembali membaktikan diri di dunia aktivis keadilan. Ia tidak ingin berpangku tangan terhadap penderitaan anak-anak dan perempuan, khususnya di Rusia.

Adalah rahasia umum di Rusia bahwa Anda jangan pernah terlihat mencuci pakaian kotor Anda. Maksudnya, masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah sesuatu yang biasa ditampilkan ke publik. Ini persoalan perempuan, yang biasa dihadapinya sendirian. Nah, saya percaya, solusi datang dari kedua sisi (ranah privat dan publik), ujarnya menjelaskan. ed: nashih nashrullah.

Bagaimana Islam memandang perempuan? Katya menilai, agama ini sejatinya membebaskan perempuan. Namun, begitu banyak stigma yang dilekatkan kepada seorang Muslimah. Menurut Katya, tidak benar bahwa Islam mengajarkan pengasingan perempuan dari ranah publik. Ada beberapa stigma atas Muslimah. Misalnya, bahwa perempuan Islami haruslah dikekang bagaikan burung di dalam sangkar oleh orang tua atau kemudian suami.

Faktanya, lanjut Katya, seorang Muslimah boleh dan bisa saja bekerja di luar rumah kapan pun Muslimah itu menghendakinya. Jika pekerjaannya itu semata-mata halal, sang suami tidak bisa menghalang-halangi.

Setiap orang memiliki potensi berbuat kebaikan bagi masyarakat. Menurutku, tujuan kita menjadi perempuan adalah membawa perdamaian dan ketenteraman, terutama bagi keluarga sendiri, simpulnya.

Karena itu, Katya merasa bersyukur memiliki keluarga yang mendukung keputusannya. Kedua orang tuanya tidak melarang Katya mengenakan hijab. Mereka malah menghormatinya. Sebagai bentuk bakti kepada orang tua, Katya merasa wajib menjaga nama baik keluarga.

Orang tuaku paham keputusanku memeluk agama Islam. Demikian pula dengan keputusanku konsisten mengenakan hijab, yang kira-kira mirip perempuan dari suku Tatar pada umumnya, ujar Katya.

Dalam beberapa hari ke depan, Katya akan menghabiskan waktu liburan tahun baru bersama keluarga tercinta.

 

 

sumber: Reublika Online