Setelah Aku Mendengar Azan di Rumah Sakit

Namaku Hendra Wija. Aku terlahir dari keluarga Nasrani. Aku memutuskan untuk menjadi mualaf kurang lebih setahun yang lalu.

Awal mula adalah ketika aku masuk rumah sakit karena sakit, lalu di rumah sakit itu kebetulan dekat dengan masjid. Setiap waktu aku mendengar suara azan dan lantunan ayat Al-Quran. Entah kenapa aku merasa tenang mendengar itu semua.

Setelah sembuh, hari Jumat aku langsung saja mengikuti sholat Jumat tanpa bimbingan siapa pun. Kemudian aku menunggu imam masjid selesai. Lalu membaca kalimat syahadat. Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar Rasulullah. Jadilah aku muslim..

Setelah itu hari-hari dilalui sebagai muslim namun sholatku masih bolong-bolong anggap saja Islam KTP.

Lalu, suatu ketika lebih tepatnya 6 bulan yang lalu aku bertemu pegawai baru yang sangat taat ibadah. Darinya lah aku belajar lebih jauh mengenai agama islam. Alhamdulillah sekarang sholatku tidak bolong lagi (semoga bukan riya’)

Keinginan untuk menjadi lebih baik dan lebih baik terus aku lakukan walaupun masih sangat lambat dalam membaca Al-Qur’an setidaknya aku mau berusaha untuk bisa..

Ya Allah, terima kasih Engkau telah kirimkan malaikat baik ke hadapanku 6 bulan lalu dan kini dia sudah tidak ada di sini lagi. Aku selalu berharap Engkau selalu memberikan hidayah kepadaku agar aku selalu istiqomah berada dijalanMu..

Tidak apa Engkau ambil istriku. Engkau ambil hartaku, Engkau ambil saudaraku. Engkau ambil teman-temanku tapi Ya Allah jangan Engau ambil lagi keislamanku. Aku sudah tenang hidup begini semoga sampai mati terus begini. Buat saudaraku semua yang muslim laksanakan sholat di Masjid bukan di rumah apalagi lelaki, jika ada yang salah dari hidupmu perbaikilah dulu sholatmu.

 

BERSAMA DAKWAH

Hidup Peter Gould Hanya untuk Allah

Seusai Republika Penerbit meluncurkan 5 pilar, permainan edukasi Islam yang menyenangkan bersama desainernya Peter Gould, mualaf Peter Gould bercerita mengenai kisahnya bersyahadat. Ini bukan perjalanan mudah. Di dalamnya ada pergulatan batin yang mengantarkan pebisnis itu kepada tauhid.

Dia memiliki perusahaan branding dan desain internasional yang sukses. Karyanya berupa fotografi Islam kontemporer dipamerkan di seluruh dunia, termasuk Arab Saudi, Turki, Amerika Serikat, Inggris, Malaysia, dan Uni Emirat Arab. Ketekunannya dalam menghasilkan karya seni membuahkan penghargaan Islamic Economy Award pada Global Islamic Economy Summit di Dubai pada 2015.

Namun, di tengah segala kesuksesan yang dia miliki, Gould tak pernah lupa akan Sang Pencipta. Setidaknya lima kali dalam sehari dia selalu mengumandangkan takbir, bersujud kepada Allah, menunjukkan kepasrahannya kepada Ilahi Rabbi. Kehidupannya kini sangat bergantung dengan Allah.

Islam telah membawa kedamaian dan kesejahteraan tak hanya bagi dirinya sendiri, tapi juga keluarga yang menjadi tempatnya bersandar, mencurahkan kasih sayang, dalam kebersamaan. Hati menjadi tenang. Sikap dan etika yang dijalani dengan penuh keyakinan.

Mengenal Islam

Sebelum menjadi Muslim, Gould ingat, bahwa agama sama sekali tidak menarik perhatiannya. Australia yang menjadi tempatnya tumbuh menjadi dewasa jauh dari nuansa kehidupan islami. Agama bukan hal mendasar. Hidup baginya hanya menjalani rutinitas sehari-hari, bersosialisasi, bekerja, dan berkeluarga.

Namun, pandangan itu perlahan mulai berubah. Kepribadiannya yang angkuh, penuh percaya diri, tak peduli agama, berujung pada kehampaan batin, kesepian, kesunyian, kesendirian yang sangat menjenuhkan.

Tiba-tiba dia mulai tertarik dengan Risalah Ilahiyah yang dibawa Rasulullah SAW. Perasaan itu muncul ketika Gould menginjak tahun terakhir sekolah menengah atas. Di sebuah halte bus, dia bertemu dengan seorang Muslim. “Ketika itu saya berpikir, ini seseorang yang sangat cerdas, kenapa sihmereka percaya kepada Tuhan? Dan itu benar-benar membawa saya ke jalan penemuan personal,” ujar dia di Jakarta, Sabtu (17/3).

Banyak pertanyaan mengenai Islam yang diajukannya. Temannya yang seorang Muslim enggan asal menjawab. Dia melakukan penelitian untuk menjawab semua pertanyaan. Gould menginginkan jawaban yang faktual dan analitis.

“Saya mulai membaca, saya mulai mempelajarinya, dan saya langsung mempraktikannya. Saya merasa semakin yakin bahwa ada kebenaran yang mendalam tentang Islam,” kata dia.

Beberapa tahun setelah lulus sekolah, Gould memutuskan masuk Islam pada suatu malam, tepatnya pada Ramadhan 2002. Kemantapan itu didasarkan pada kenyataan bahwa Islam benar-benar menarik perhatiannya. Di dalamnya ada ketenangan yang membuat batin nyaman. Hidup berjalan tanpa keraguan. Percaya diri dan ibadah berjalan beriringan.

Kedamaian adalah dambaan setiap insan, tak terkecuali Gould. Dia telah mencoba berpuasa selama Ramadhan. Awalnya terasa berat. Namun, lambat laun, tubuhnya mulai terbiasa. Batinnya semakin bersemangat untuk menahan diri. Hatinya semakin teguh untuk memasrahkan diri kepada Allah.

Pada suatu malam dia menyadari, batinnya sungguh berada dalam kedamaian. Itu adalah malam ke-27 Ramadan. Ketika itu, dia tidak menyadari pentingnya malam tersebut. Saya berdoa dan saya merasakan sesuatu yang sangat kuat sehingga membuatnya yakin untuk bersyahadat.

Ini adalah malam seribu bulan, malam Qadar. Ketika itu, malaikat turun membawa kebaikan seizin Allah. Mereka selalu mendoakan keselamatan kepada hamba yang ketika itu beribadah hingga fajar terbit.

Sejak itu, dia memhami arti kehidupan sebenarnya. Mulanya dia hanya tahu bahwa seseorang hidup dari sekumpulan sel dan atom yang membentuk tubuh sebagai fisik manusia. Padahal, jauh lebih dalam di diri ini, setiap orang memiliki hubungan dengan Sang Pencipta. Hubungan primordial ini sungguh kuat.

Allah sangat mencintai manusia, selalu membuka pintu tobat kepada siapa pun yang memohon ampunan dan menyesali dosa yang diperbuat. Manusia berusaha sekuat tenaga mewujudkan impian, kemudian berdoa kepada Sang Pencipta. Setelah itu, dia memasrahkan segalanya, bertawakkal menunggu kepastian Allah.

Setelah memeluk Islam, Gould sangat takjub dengan Alquran. Wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ini bertahan lebih dari 1400 tahun dan dijamin keasliannya oleh Allah hingga akhir zaman. Bagi Gould, isi dan kandungan Alquran sangat cocok bagi semua kalangan: tua, muda, dan setiap orang yang berasal dari berbagai negara. Bahkan, Alquran mampu mengupas berbagai topik yang terjadi di masa lalu, saat ini, dan yang akan datang.

Setelah memeluk Islam, Gould pun baru memahami arti penting ibadah. Shalat, merupakan wujud syukur kepada Allah. Dia selalu mengajarkan anak-anaknya untuk mendirikan shalat lima waktu dalam sehari.

Ibadah yang unik, menurutnya, adalah puasa. Di saat orang terbiasa untuk selalu makan dan minum, Islam justru mewajibkan umatnya untuk menahan lapar dan haus selama bulan Ramadhan. Ternyata ada hikmah di dalamnya, yaitu menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, mengistirahatkan dan menenangkan batin, menekan nafsu, sehingga diri hanya berpasrah kepada Sang Pencipta.

Gould mulai mempelajari Islam yang sederhana. Pertama adalah bersyukur dengan tidak meninggalkan shalat lima waktu. Bersyukur juga bisa dilakukan sederhana hanya dengan mengucapkan alhamdulillah setiap saat. Kedua, berpuasa selama tiga puluh hari lalu berzakat dan bersedekah kepada mereka yang membutuhkan.

Menghadapi keluarga

Gould mengakui, awal memeluk Islam adalah waktu-waktu yang sulit, terutama saat berhadapan dengan keluarga. Meskipun, dia sangat tahu bahwa kedua orang tuanya sangat bijak. Mereka berpikir, Gould memiliki kesalahan berpikir karena menganggap ikut-ikutan dengan orang Arab.

Kedua orang tuanya hanya tahu bahwa Islam adalah budaya Arab. Padahal, jelas Nabi Muhammad menyebarkan Islam untuk semua orang bahkan seluruh alam.

Allah sebaik-baikya perencana, orang tua menentangnya hanya karena mereka tidak tahu. Tetapi, saat ini mereka paham dan mengerti agama yang dijalaninya dan mendukungnya meski mereka belum mau menerima Islam sebagai agama. Mereka mengerti bahwa Islam adalah agama cinta kasih. Hubungan Gould dengan kedua orang tuanya pun semakin baik.

Istri adalah orang pertama yang mengenalkannya kepada Islam. Dia adalah pelajar Muslim yang ditemuinya di halte bus. Dia juga yang harus menghabiskan banyak waktu meneliti Islam setelah Gould mengajukan banyak pertanyaan.

Setelah enam bulan menjadi Muslim, Gould menikahinya. Kini usia pernikahannya telah menginjak 15 tahun dan telah memiliki tiga orang anak. Dia beruntung karena anak dan istrinya mendukung karier. Dari anaknyalah ide lima pilar tercipta.

Gould mengatakan, anak-anak Muslim membutuhkan permainan edukasi Islam yang menyenangkan dan tidak melulu bermain dengan televisi, video gim, media sosial. Anak-anak Muslim membutuhkan permainan yang dapat mengakrabkan keluarga dan menambah ilmu pengetahuan terutama tentang keislaman.

Setelah kreasi lima pilar ini, Goul berharap, dapat menciptakan berbagai teknologi dan kreativitas lain untuk mendukung perkembangan Islam. Bagi Gould, mempelajari Islam tidak melulu hanya dari buku, ceramah, ataupun khutbah. Melalui permainan dan hal-hal menyenangkan, Islam dapat dipelajari dan lebih mudah dipahami.

 

REPUBLIKA

Mahsita D Sari, Islam Menenangkan Jiwa

Tak seperti kebanyakan mualaf yang menghadapi banyak kendala ketika memilih Islam, Mahsita D Sari berjalan mulus.

Wanita kelahiran Jakarta, 16 November 1981, bersyukur mendapatkan kemudahan ketika menyatakan sebagai seorang Muslimah.

Alhamdulillah tak ada kendala yang berarti,” ungkap wanita yang bekerja di Manufacturing Engineer Section Leader di ResMed LTD, Sydney, Australia melalui surat elektrnoik kepada Republika.

Master Engineering Science dari University of New South Wales ini mengaku justru mamanya yang sangat berperan ia menjadi seorang Muslimah.

”Yang paling banyak mendukung dalam mempelajari Islam adalah mama. Kami belajar Islam di waktu yang sama dan secara tidak sadar kami saling memacu satu sama lain,” paparnya.

Sita, begitu ia akrab disapa, dibesarkan di sekolah Katolik mulai Taman Kanak-kanak hingga SMP. Demikian juga dengan kakak-kakak dan adik-adiknya, waktu itu ibunya seorang Kristiani.

Sewaktu kecil, Sita sering diajak orang tuanya ke panti asuhan Kristen. ”Kami dididik orang tua jika ingin pakaian baru, maka pakaian lama harus diberikan kepada panti asuhan. Istilahnya beli satu baju baru berarti memberi satu baju lama,” kenangnya.

Begitu akan melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, Sita mengaku tergugah mencari tahu tentang Islam. Karena itu, ia berminat masuk SMA Negeri karena ada pelajaran agama Islam.

”Inilah awal dorongan untuk memeluk Islam. Waktu itu saya ada pilihan untuk melanjutkan ke sekolah Katolik atau di sekolah Negeri. Hati saya gundah gulana setiap kali saya ke SMA Katolik,” ungkapnya.

Akhirnya ia memutuskan masuk SMU Negeri walaupun diakuinya ada rasa takut karena harus belajar agama Islam. ”Agama yang tidak saya kenal walaupun di waktu kecil pernah belajar mengaji sebentar,” paparnya polos.

Rasanya saat itu, kata dia, pelajaran IPA tidak semenakutkan belajar agama Islam. ”Saya sempat stress karena waktu Penataran ada jadwal Shalat Zhuhur yang dilanjutkan dengan membaca Alqur’an sementara saya tidak bisa membaca Alqur’an.”

Jalan keluarnya, bersama sang mama, ia mencari Alqur’an dan terjemah. ”Alhamdulillah di sebuah toko buku Islam di Jakarta ada yang menjual Alqur’an dengan bahasa Arab dan latin. Hati agak tenang walau saya belum tahu bagaimana menavigasi isi Alqur’an,” ujarnya.

Sebagai upaya agar nilai pelajaran Agama tidak merah dan bisa naik kelas, Sita mulai belajar mengaji di rumah. Melalui besan dari kakaknya mama, keluarga Sita mendapatkan guru mengaji. ”Alhamdulillah, bersamaan dengan Sita belajar Islam di sekolah, kami sekeluarga juga mulai terbuka terhadap agama Islam,” jelasnya.

Awal belajar Islam di SMA penuh suka duka. Pertama kali ulangan agama stressnya luar biasa. Tulisan Arab ia hafalkan, belajar semalam suntuk dan besoknya curi-curi belajar di kelas sedangkan teman-teman dari Al Azhar tenang-tenang saja.

Waktu menerima hasil ulangan lebih was-was lagi dan kecewa berat karena guru Agama memberinya nilai huruf terbalik sementara teman-teman kebanyakan paling tidak mendapat huruf yang masih ada artinya dibanding terbalik… Beberapa bulan baru saya tahu kalau V terbalik itu adalah angka delapan dalam bahasa Arab.

Tidak lama kemudian sang mama memberitahu Sita dan keluarga akan pergi umrah. ”Saya pun mencari tahu apa itu umrah? Apa yang harus dilakukan, apa maknanya. Berbagai buku saya baca mulai dari bacaan shalat sampai tata cara umrah.”

Semuanya mengenai ibadah. ”Fokus saya saat itu, saya harus tahu tentang agama Islam supaya saya bisa naik kelas dan tahu umrah itu apa. Hal ini ternyata membuka tidak hanya wawasan, juga hati saya. Kedekatan saya kepada Allah semakin terasa di waktu umrah,” ungkapnya penuh syukur.

Lantas, kenikmatan apa yang ia rasakan setelah menjadi Muslimah? Menurut Sita, Islam itu begitu pribadi, menenangkan jiwa dan kedekatan kepada Allah terasa lebih mudah. ”Sesuatu yang tidak saya rasakan sebelumnya,” ungkapnya penuh syukur.

Dalam kesulitan membaca Al Qur’an, kata dia, Allah SWT meringankan dan mendekatkan hati untuk membacanya dan terus berusaha. Saat hati gundah dan pikiran kusut, berdzikr menenangkan hati dan pikiran.

”Saat bingung harus bagaimana dan diri pasrah seringkali jawaban itu hadir saat membuka Al Qur’an. Halaman yang terbuka mengandung ayat jawaban dari masalah yang ada,” ujar Sita yang pernah aktif di The Dawn Quranic Institute dan Daar Aisha College, Sydney secara part time.

Sita membenarkan nasihat sang mama. when you are close to Allah problems will revolve around you and it won’t affect you  (Ketika kamu dekat dengan Allah SWT, persoalan yang berputar di sekitarmu, tidak akan memengaruhimu).

Sita mengaku tahu tentang Islam melalui tetangga yang juga guru ngaji di waktu kecil. Waktu itu pengetahuannya terbatas pada soal Ramadaan dan shalat taraweh di Komplek.

”Saya mulai mengenal dan belajar apa itu Islam tahun 1997 saat SMA. Umrah adalah titik balik dari hidup saya. Saat umrah ada seorang ibu asing yang mengajarkan tata cara shalat kepada Mama dan Sita di Masjid Nabawi waktu kami sedang menunggu waktu Shalat di Raudhah,” ungkapnya.

”Ibu tersebut mengantar kami ke Raudhah dan menuntun kami ke makam Rasulullah SAW. Ibu itu juga menunjukkan lokasi rumah Rasulullah SAW dan Fatimah Al Zahra. Perjalanan umrah itu menjadi perjalanan spiritual yang sangat berkesan,” paparnya haru.

Enam bulan kemudian, kata Sita, ia dan sekeluarga pergi haji. ”Subhanallah, dalam ibadah yang sibuk dan memerlukan banyak energy, banyak kemudahan yang kami rasakan,” ujarnya.

Menjelang kepulangan ke Tanah Air, sang kakak bertanya apakah ia akan tetap memakai hijab. ”Jawaban saya saat itu saya ingin pakai tapi saya masih ingin bermain basket dan segala kegiatan lain,” kata Sita.

”Kakak saya bilang dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman memakai hijab itu wajib. Pipi saya panas seperti ditampar, saya baru tahu memakai hijab itu wajib. Sepulang haji, saya memutuskan memakai hijab. Waktu itu saya kelas 2 SMA,” ungkapnya.

Sita yang aktif dalam berbagai kegiatan Islam di Australia seperti menjadi mentor Islamic Youth Camp di Canberra tahun lalu serta kegiatan Islam lainnya, mengaku senang tinggal di Australia.

Di Sydney misalnya, kata Sita, bisa memilih untuk hidup di lokasi yang banyak komunitas Muslimnya dan sepanjang mata memandang mayoritas adalah kaum Muslimin atau di lokasi-lokasi lain.

Walau demikian, sambung Sita, ber-Islam di Australia bisa dibilang memerlukan kepercayaan diri untuk tampil berbeda.

”Pertama tiba di Australia saya tinggal dengan Paman yang tinggal di daerah Northern Beaches di Sydney yang Muslimnya masih sangat sedikit.”

Menuju tempat kuliah, ia memerlukan perjalanan 1,5 jam dengan transport umum dari rumah. Sepanjang perjalanan selalu bertemu orang Australia, baru bertemu warga Asia kalau sudah di daerah kota (Sydney City).

Sita mengaku tak jarang mendapatkan pertanyaan, ”Mengapa kamu menutup kepala kamu? Apa kamu tidak kepanasan, ini kan sedang musim panas? Kamu Islam liberal atau radikal?” ungkapnya getir.

Semua itu memuncak, setelah peristiwa jatuhnya Twin Tower – September 11, tak lama ia menetap di Sydney. Ujiannya, sambung Sita, tak hanya sekadar ditanya mengenai hijab atau Islam tapi juga ujian kesabaran.

”Kebencian terhadap Islam memuncak saat itu karena kebencian itu didasari oleh ketidaktahuan. Beberapa kali saya dimaki karena saya seorang Muslimah dan mereka tidak terima “saya” atau “kaum muslimin” menghancurkan the twin towers dan menyebabkan banyak nyawa melayang.”

Sekali waktu di jalan, Sita disemprot dan dimaki orang-orang yang sedang naik mobil padahal mereka tak mengenal Sita. Tetapi melalui semua ini, ia dan kawan-kawannya dalam the Islamic Society di University of New South Wales dan di pengajian Keluarga Pelajar Islam Indonesia (KPII) justru semakin dekat dengan satu sama lain dan semakin teguh iman Islamnya.

”Persaudaraan kami menjadi lebih erat dan kami jadi mencari tahu lebih lagi tentang Islam terutama bagaimana cara terbaik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang Islam dan berdakwah.”

Sita mengungkapkan, dua sahabat terdekatnya memakai jilbab waktu di Sydney. Di perusahaannya, awalnya hanya Sita yang memakai hijab. ”Alhamdulillah dalam dua tahun terakhir sudah ada dua Muslimah lain yang mengenakan hijab dan diterima bekerja di perusahaan saya. Semua itu ada hikmahnya. Alhamdulillah,” ungkapnya semringah.

Di Sydney selain bekerja sita mengajar anak-anak di salah satu TPA, bantu-bantu di kepengurusan Masjid Al Hijrah dan sekarang belajar tajwid dan hafalan Al Qur’an.

Sita bersyukur, banyak masjid yang menyelenggarakan kegiatan agama seperti ceramah Sabtu malam atau pun ceramah Jum’at. Ada juga TPA (Taman Pendidikan Alquran) yang di Australia dikenal sebagai Saturday School. ”Juga ada organisasi kemasyarakatan dan institusi pendidikan yang menyelenggarakan belajar agama baik secara gratis ataupun membayar.”

Ia mengakui, suasana ber-Islam di Australia sangat terasa terutama di bulan Ramadhaan. ”Masjid-masjid menyelenggarakan i’tikaf terutama di 10 hari terakhir. Banyak kawan yang mengambil cuti di 10 hari terakhir agar bisa memaksimalkan ibadah.”

Masjid Al Hijrah, Tempat Sita aktif membantu, biasanya mengundang ustadz dari Indonesia mengisi kegiatan sepanjang bulan Ramadhaan. ”Masjid lainnya, ada juga yang mengundang sheikh dari negara lain.”

Jum’at, Sabtu dan Ahad malam di bulan Ramadhan, kata Sita, biasanya penuh dengan iftar (buka puasa) di masjid atau iftar fundraising untuk berbagai kegiatan kemanusiaan di seluruh dunia. Pernah juga ada iklan billboard tentang Islam beberapa waktu lalu.

Aktivitas Sita dalam kegiatan TPA di Sydney memberikan pengalaman menarik baginya. Siswanya mulai usia 2.5 tahun, yang awalnya tidak tahu apa-apa tentang agama dan belajar sambil main-main atau lari-lari karena usianya memang usia bermain, berubah menjadi ingin belajar dan selalu menunggu-nunggu waktu shalat.

”Pernah saat perubahan waktu shalat, anak-anak yang biasanya shalat dulu baru makan siang jadwalnya diganti menjadi makan siang dulu sebelum shalat. Saat disajikan makan siang beberapa dari mereka spontan bilang  “kita kan belum shalat. Makannya setelah shalat saja.”

 

Yang menarik, sambung Sita, semangat belajar para siswanya akhrinya menarik orang tuanya untuk lebih serius belajar agama.

”Saat anak-anak belajar, ibu-ibu yang menunggu pun mengaji. Anak dan ibu kadang berlomba untuk bisa membaca Al Qur’an. Sungguh suatu keberkahan bisa menyaksikan dan terlibat dalam perubahan baik ini,” ungkapnya penuh syukur.

 

Sita menuturkan, dari berbagai observasi menyebutkan, dakwah terbaik adalah melalui amal perbuatan. Kawan-kawannya non-Muslim mengatakan perilaku umat Muslim membentuk persepsi mereka akan Islam.

Selain aktif membina di TPA, Sita dan teman-teman Muslim di Australia juga sering berdakwah melalui kegiatan sosial seperti Feed the Homeless(Memberi makan para tunawisma0, Clean-Up Australia Day dan kegiatan lainnya.

 

REPUBLIKA

Kisah Panjang Pengacara Michael Jackson yang Masuk Islam

Mark Shaffer, seorang pengacara dan jutawan Amerika, memutuskan untuk memeluk Islam pada 17 Oktober 2009 silam. Saat itu, Mark tengah berlibur di Arab Saudi untuk mengunjungi beberapa kota terkenal seperti Riyadh, Abha, Jeddah. Ia berlibur selama 10 hari di Saudi.

Mark adalah seorang jutawan terkenal dan juga seorang pengacara yang terlatih di Los Angeles, yang mengkhususkan diri dalam kasus-kasus hukum perdata. Kasus besar terakhir yang ia tangani ialah kasus penyanyi pop terkenal Amerika, Michael Jackson, sepekan sebelum ia meninggal.

Seorang pemandu wisata yang menemani Mark selama 10 hari di Saudi, Dhawi Ben Nashir, sejak Mark menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Arab Saudi, ia sudah mulai mengajukan pertanyaan tentang Islam dan ibadah shalat. Begitu tiba di Saudi, Mark tinggal di Riyadh selama dua hari. Selama di RIyadh ia sangat tertarik dengan Islam.

Setelah pindah ke Najran, mereka pergi ke Abha dan Al-Ula. Di sana, ketertarikan Mark pada Islam semakin jelas. Terutama, saat mereka pergi ke padang gurun.

“Mark kagum melihat tiga pemuda Saudi yang berada di kelompok kami di Al-Ula, melakukan shalat di hamparan padang pasir yang sangat luas, sebuah panorama yang sangat fantastis,” kata Nashir, dilansir di Saudi Gazette, Ahad (25/3).

Setelah dua hari di Al-Ula, Mark dan Nashir pergi ke Al-Juf. Begitu tiba di Al-Juf, Mark bertanya apakah Nashir bisa memberinya beberapa buku tentang Islam. Nashir kemudian memberikan beberapa buku tentang Islam kepadanya. Menurutnya, Mark membaca semua buku tersebut.

Keesokan paginya, dia meminta Nashir untuk mengajarinya cara melakukan shalat. Nashir kemudian mengajarinya bagaimana beribadah dan melakukan wudhu. Kemudian, Mark bergabung dengan Nashir dan melaksanakan shalat di sampingnya.

“Setelah berdoa, Mark memberi tahu saya bahwa dia merasakan kedamaian di jiwanya,” lanjut Nashir.

Pada Kamis sore, mereka meninggalkan Al-Ula menuju Jeddah. Dikatakan Nashir, Mark tampak sangat serius membaca buku-buku tentang Islam sepanjang perjalanan. Pada Jumat pagi, mereka mengunjungi kota tua Jeddah. Sebelum waktu shalat Jumat mendekat, mereka kembali ke hotel dan Nashir pamit untuk pergi shalat Jumat.

Mark berkata kepada temannya, bahwa ia ingin bergabung dengannya untuk shalat Jumat. Sehingga ia dapat menyaksikan sendiri bagaimana shalat Jumat. Nashir lantas menyambut baik gagasan itu.

Nashir mengatakan, mereka kemudian pergi ke sebuah masjid yang tidak jauh dari hotel tempat mereka tinggal di Jeddah. Karena mereka cukup terlambat, ia dan banyak orang lainnya harus beribadah di luar masjid, karena jumlah jamaahnya yang meluap.

“Saya dapat melihat Mark mengamati orang-orang dalam jamaah, terutama setelah shalat Jumat selesai, ketika semua orang berjabat tangan dan saling berpelukan dengan wajah berseri-seri dan gembira. Mark sangat terkesan dengan apa yang dilihatnya,” ujarnya.

Ketika kembali ke hotel, Mark tiba-tiba mengatakan Nashir bahwa ia ingin menjadi seorang Muslim. Karena itulah, Nashir memintanya untuk mandi terlebih dulu. Setelah Mark mandi, ia membimbingnya mengucapkan syahadat (pernyataan keimanan) dan kemudian Mark shalat dua rakaat. Selanjutnya, Mark mengungkapkan keinginannya untuk mengunjungi Masjidil Haram di Makkah dan melakukan shalat di sana sebelum meninggalkan Arab Saudi.

Untuk memenuhi keinginannya, mereka lantas pergi ke Pusat Dakwah di Jeddah untuk mendapatkan bukti resmi tentang pertaubatannya ke dalam Islam. Sehingga, Mark akan diizinkan memasuki kota Makkah dan Masjidil Haram. Mark kemudian diberi sertifikat sementara tentang mualafnya, dan ia bisa mengunjungi kota suci Makkah.

Setelah Mark menyatakan keyakinan Islamnya, ia memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pengalamannya kepada koran Al-Riyadh. Ia mengatakan, bahwa ia tidak dapat mengungkapkan perasaannya saat itu. Namun, ia merasa sedang terlahir kembali dan memulai hidup yang baru.

“Saya sangat senang. Kebahagiaan yang saya rasakan ini tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, terutama ketika saya mengunjungi Masjidil Haram dan Ka’bah yang mulia,” kata Mark.

Mark pun menceritakan langkah selanjutnya setelah ia masuk Islam. Ia menjelaskan bahwa ia ingin belajar lebih banyak tentang Islam, mempelajari lebih dalam agama Allah (Islam), dan kembali ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Ia juga mengungkapkan apa yang mendorongnya untuk masuk Islam.

“Saya sudah memiliki informasi tentang Islam, tetapi itu sangat terbatas. Ketika saya mengunjungi Arab Saudi dan secara pribadi menyaksikan orang-orang Muslim di sana, dan melihat bagaimana mereka melakukan shalat, saya merasakan dorongan yang sangat kuat untuk mengetahui lebih banyak tentang Islam. Ketika saya membaca informasi yang benar tentang Islam, saya menjadi yakin bahwa Islam adalah agama haq (kebenaran),” lanjut Mark.

Pada Ahad pagi, 18 Oktober 2009, Mark meninggalkan Bandara King Abdul Aziz Jeddah menuju Amerika. Ketika mengisi formulir imigrasi sebelum meninggalkan Jeddah, Mark menulis Islam sebagai agamanya.

 

REPUBLIKA

Cina, Mualaf, dan Bertato Salib

Ragu dan malu-malu. Seorang ibu muda nan cantik mindik-mindik alias mengendap-endap. Ia terlihat ragu dan malu-malu ingin menghampiri saya usai manasik. Dari sorot matanya tersirat ada sesuatu yang penting ingin disampaikan.

Maka, beberapa jamaah laki-laki yang sejak tadi mengerubungi saya untuk konsultasi kesiapan berangkat umrah, segera saya suruh minggir dulu. Lalu, ibu muda itu saya suruh gantian maju.

Mangga Mbak, silakan maju sini,” pinta saya. Ibu muda itu pun segera mendekat. Dengan membetulkan jilbabnya, ibu muda itu duduk penuh takzim di depan saya.

“Maaf, Pak Ustaz. Saya mau anu… mau anu soal suami saya, Pak Ustaz,” ucap ibu muda itu terlihat gugup.

Dalam hati saya, ibu ini kok bilang anu-anu. Memang ada apa dengan anu suaminya? Tapi, saya lebih tidak enak hati karena ibu muda itu memanggil saya Pak Ustaz. Waduh!

“Maaf Mbak, saya bukan ustaz. Saya ini cuma pemberi materi manasik umrah, jauh ilmunya dari seorang ustaz. Jadi, panggil saja nama saya. Para jamaah biasa memanggil saya, Cak Wot,” pinta saya.

Ibu muda itu tersipu lalu menunduk. Malu. “Iya Ustaz, eh iya Cak Wot,” jawab ibu muda itu masih tampak gugup.

Agar ibu muda itu bisa santai, biar tidak gugup, saya pun berusaha bercanda. “Tapi jelek-jelek begini, tak sedikit ustaz dan kiai pergi umrah ikut saya. Maksudnya daftar ke travel saya. Jadi, kalau soal kegiatan perjalanan umrah, insya Allah, ilmu saya lebih tinggi dibanding mereka… hehehe,” canda saya.

Wajah ibu muda itu pun langsung mencair. Tidak gugup lagi. “Maaf, emang kenapa dengan anu suami. Kok tadi bilang anu-anu, ada yang mau disampaikan dengan anu suami?” tanya saya dengan masih bercanda.

Ibu muda itu tersenyum malu-malu. Lalu, ia segera angkat bicara. “Begini lho Cak Wot, suami saya itu Cina. Mohon nanti dimaklumi. Semua anggota rombongan jamaah umrah nanti mohon bisa mengerti.”

Saya terdiam. Dalam hati bertanya, emang ada apa dengan Cina? Emang nggak boleh Cina memeluk Islam? Emang nggak boleh Cina beribadah haji atau umrah? Islam itu untuk semua etnis yang beriman, dan bahkan bagi segenap alam.

Bukan monopoli kepercayaan bangsa Arab saja. Untuk meyakinkan ibu muda itu, saya pun bilang bahwa belakangan ini sudah banyak warga keturunan Tionghoa masuk Islam dan berangkat haji atau umrah.

“Saat di Tanah Suci, saya sering melihat ratusan jamaah dari Cina, Eropa, dan Amerika melaksanakan ibadah haji atau,” ujar saya menjelaskan.

Mendengar penjelasan ini, ibu muda itu tersenyum dan tampak senang. Lalu, ia bilang, “Bukan hanya seorang Cina, Cak Wot. Suami saya itu seorang mualaf.”

Lagi-lagi saya terdiam. Dalam hati bertanya lagi, emang ada apa dengan mualaf? Bukankah itu lebih bagus. Ia telah meninggalkan agama lama. Itu berarti ia sudah mendapatkan hidayah dari-Nya. Memeluk Islam, agama yang diridhai Allah SWT. Andai kalaupun ia dulu mantan preman, bukankah itu lebih bagus daripada mantan kiai.

“Tapi maaf, ngomong-ngomong setelah mualaf, suami sudah dikhitan belum?” tanya saya sedikit ngaco.

Ibu muda itu tersenyum lalu mengangguk tanpa ragu. “Ya sudah-lah, Cak. Sejak menyatakan masuk Islam, ketika hendak meminang saya, ia duluan mendatangi dokter untuk disunat,” jawabnya dengan mantap.

Tapi sergahnya segera, suaminya itu hingga kini masih bertato di lengan kanan bahunya. Ini yang jadi biang persoalan. Pada bahunya terdapat tato bergambar salib. Suaminya dulu sebelum menikah dengannya adalah keluarga pendeta.

Sejak masuk Islam, suaminya sudah berusaha menghapus tato tersebut. Tapi, tidak bisa. Malah membesar gambarnya. Ibu muda itu dan suami malu tatonya nanti diketahui banyak jamaah lain. Sebab, dalam tawaf semua jamaah laki-laki wajib membuka bahu kanannya.

“Jadi, bagaimana enaknya saat tawaf nanti suami saya. Boleh nggakbahunya tetap ditutup kain ihramnya, biar tidak terlihat tato salibnya,” tanya ibu muda itu serius.

Saya pun harus menjawab dengan serius. Bahwa membuka bahu kanan saat tawaf itu wajib hukumnya bagi jamaah laki-laki. Itu namanya i’thiba. “Tidak perlu malu. Ibu dan suami malah harus bangga. Sebab, itu bisa dibilang syiar agama. Orang bertato salib sudah masuk Islam. Sudah datang ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah umrah dan haji,” jawab saya.

Dan, ibu muda itu berangkat umrah bersama suaminya tanpa ragu dan malu-malu lagi. Allahu Akbar.

 

Oleh: H Soenarwoto Prono Leksono (Penulis tinggal di Madiun, Jatim)

 

REPUBLIKA

Sumber Pencerahan

Sering kali kita menemukan fenomena menarik, aneh tetapi nyata. Salah satunya fenomena yang terjadi pada sebagian mualaf (orang yang baru masuk Islam). Pemahaman mereka terhadap teksteks keagamaan terkesan lebih segar dan fungsional dibandingkan dengan kebanyakan pemeluk Islam sejak lahir.

Penguasaan ilmu keislamannya terkesan mendalam dan cara penyampaiannya kepada khalayak terasa segar. Mereka seperti yang sudah lama memeluk Islam. Setiap fenomena pasti ada penjelasannya, termasuk fenomena tercerahkannya sebagian mualaf sehingga penguasaan ilmu keislamannya terkesan lebih segar dan fungsional.

Sejak memeluk Islam, sejatinya seorang mualaf sudah tercerahkan dengan mendapatkan hidayah Allah. Dan untuk mendapatkan hidayah ini terka dang tidak melalui jalan yang mudah. Ia harus berhadapan dengan berbagai tantangan, mulai dari pergolakan batin di dalam diri, tantangan dari keluarga, lingkungan sekitar, sampai dari institusi keagamaan yang lama.

Namun, semua tantangan tersebut dihadapi dengan sabar hingga mendapatkan pencerahan dalam bentuk hidayah Allah, yakni Islam. Pencarian kebenaran yang dilakukan oleh sebagian mualaf tidak berhenti pada batas pengucapan dua kalimat syahadah. Namun, mereka meneruskannya dengan mempelajari ajaran Islam yang baru dianutnya dengan penuh kesungguhan. Upaya sungguh-sungguh inilah salah satu penyebab mereka mendapatkan pencerahan.

Mereka dibantu Allah untuk menemukan jalan-Nya. Hal tersebut ditegaskan oleh ayat, “Dan orang-orang yang bersungguhsungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benarbenar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-‘Ankabut [29] : 69).

Kesungguhan mualaf tidak sebatas pada mencari dan mendalami ilmu, tetapi juga dalam mengamalkannya. Mereka selalu berusaha mengamalkan ilmu yang sudah dipahami dan dimilikinya. Dari sudut pandang Islam, hal tersebut bukan hal yang aneh, sebab orang yang mengamalkan ilmunya akan diberi Allah ilmu baru tanpa melalui belajar. Hal tersebut ditegaskan oleh Nabi SAW, “Barang siapa yang mengamalkan satu ilmu, maka Allah akan menganu ge rahkan kepadanya ilmu dari tempat yang tidak diketahuinya.” (HR ad-Daelami).

Jadi, ilmu mendalam, segar, dan fungsional yang dikuasai mualaf diperoleh dari pengamalan ilmu yang mereka ketahui secara sungguh-sungguh. Artinya, siapa pun bisa seperti para mualaf asalkan mau mengamalkan ilmunya dengan kesungguhan. Ilmu tidak hanya sekadar pengetahuan di pikiran, tetapi juga lekat dalam perbuatan. Wallahu a’lam.

Doa Pierre Setelah Bersyahadat

Pierre mengamati tato Yesus di dadanya. Tato yang sengaja ia buat saat kembali sebagai umat Protestan yang taat. Sebagai lambang kecintaan pada Tuhannya.

Namun, ia malah bertanya-tanya ihwal alasan sebenarnya membuat tato itu. Perdebatan mulai muncul dalam benaknya.

“Kenapa bikin tato Yesus. Karena gua cinta sama dia. Yakin cinta sama dia, emang kenal sama dia. Dia Tuhan. Tahu dari mana dia Tuhan? kata Pierre mengenang perdepatan di dalam dirinya dilansir dari kanal Vertizone TV, Senin (13/2).

Pierre dihantui pertanyaan itu. Ia mencari jawaban terhadap rasa penasarannya melalui Alkitab. Sekedar ingin tahu, Yesus itu siapa? Meskipun lahir sebagai umat Protestan. Namun, Pierre menggap itu agama turunan dari keluaranya. Ia mempelajari bibel. Namun, menemukan banyak kejanggalan.

“Mohon maaf, menurut saya nggak masuk akal konsep tiga jadi satu, menurut saya nggak logis,”ujar dia.

Pertanyaan dan kejanggalan itu membuatnya kembali malas ke gereja. Padahal, saat itu ia baru saja ingin kembali ke jalan Tuhan. Tepatnya setelah mendapat perawatan selama 21 hari di rumah sakit (RS) Azra Bogor, Jawa Barat pada 2013 silam. Sakit yang disebabkan kenakalan remaja, seperti minuman keras dan obat terlarang.

Pierre tak serta merta berlabuh ke Islam. Sebenarnya, kekagumannya pada Islam sudah ada sejak lama. Ia teringat saat masih menjadi sorang Protestan, masa jahiliah Pierre menyebut itu, melihat kakek-kakek shalat Subuh di masjid.

“Awalnya saya salut sama orang Islam, Subuh-subuh, kakek-kakek bangun pagi,”ujar dia.

Keraguan Pierre terhadap Tuhannya tak pernah dibahas lagi. Hingga ia bertemu dengan seorang teman bernama Syakib. Salah satu pertanyaan yang pernah dilontarkan Syakib dalam obrolan ringan, “kenapa Pierre menyembah Yesus?”

Pertanyaan itu tak pernah ia pikirkan lagi. Syakib juga menanyakan, apakah Yesus pernah mengklaim dirinya sebagai Tuhan?

Obrolan itu menggelitik Pierre untuk mulai membaca bibel lagi. Ia meyakini, tak ada satupun tertulis di bibel menyatakan Yesus sebagai Tuhan. Ia menyebut, salah satu bukti yakni ada di Matius ayat 4 sampai 10 yang mengisahkan Yesus diganggu iblis di padang gurun. Maka berkatalah Yesus kepadanya: Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!

“Itu baru satu, belum perjanjian lama,”ujar dia.

Sejak itu ia mulai terbayang-banyak apa Islam sebagai agama yang benar. Namun, belum ada keyakinan terhadap pemikirannya itu.

Suatu ketika, ia mengingat peristiwa saat kelas V sekolah dasar. Saat itu, waktunya menyerahkan tugas hafalan di sekolah minggu. Dari 10 anak, hanya dirinya yang salah membaca dengan tepat. Padahal pasal dan ayat yang ia baca sama dengan teman lainnya.

Penasaran, ia menanyakan pada seorang kakak di sekolah minggu. Kakak tersebut mengatakan tak ada yang salah dengan tugas Pierre. Hanya, jawaban teman-temannya berasal dari bibel yang disempurnakan. Sementara Pierre membaca bibel terbitan 1990an.

Saat itu ia tak mempermasalahkan atau memikirkan lebih dalam soal penyempurnaan kitab suci. Namun, saat dewasa, keraguan terhadap agamanya muncul, Pierre kembali memikirkan peristiwa itu.

“Kalau benar bibel itu kitab suci, kenapa banyak revisi. Menurut saya, kitab suci itu suci, nggak boleh ditambah, dikurangi. Kalau ada intervensi manusia di sana, apa bisa itu dikategorikan sebagai kitab suci, kannggak,”tutur Pierre.

Terkait kenapa pilihannya jatuh ke Islam, bagi Pierre, Islam satu-satunya agama yang bisa diterima oleh akal dan logika, agama tanpa kontradiksi, agama sempurna yang mengatur dari cara menggunting kuku hingga bernegara. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Akhirnya ia memberanikan diri membaca Alquran. Ia menemukan surat Al Baqarah ayat 23-24 tentang tantangan Allah SWT. Dengan membaca basmalah, Pierre melantuntan dan mengartikan kedua ayat itu.

“Jika kamu meragukan Alquran yang kami turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, coba datangkan satu surat yang semisal Alquran itu. (Al baqarah:23) Tantangan itu langsung diberikan jawaban oleh Allah SWT. Kamu sesungguhnya tak akan bisa, dan pasti tak akan bisa. (Al Baqarah:24). Namun, yang menjadi pegangan Pierre yakni QS Al Hijr:9, Sesungguhnya kami yang menurunkan Alquran dan kami yang akan menjaganya.”

Menurut dia, bukti surat itu yakni ada banyaknya hafidz Alquran dari dulu hingga saat ini. Sehingga, setiap kata dan huruf dalam Alquran tak pernah berubah.

Pun ia melihat kalimat politik Allah SWT ada dalam QS Al Ikhlas, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya. Pierre menganggap itu adalah definisi Tuhan yang sebenarnya, yakni tak berwujud, tak terlihat, tetapi bisa dirasakan.

Pada 2015 ia memberanikan diri membaca kalimat syahadat. Namun, ia merasa belum menjadi Muslim yang sebenarnya lataran masih sering mabuk-mabukan dan bolong shalat lima waktu.

Ia meminta pekerjaan pada Allah SWT. Doanya langsung dijawab. Ia mendapat pekerjaan sebagai petugas depan salah satu hotel bertaraf internasional di Cikarang. Sesuatu yang sangat ia syukuri mengingat dirinya hanya lulusan sekolah dasar.

Salah satu target setelah menjadi pegawai, yakni tak mau meninggalkan shalat lima waktu. Namun, posisinya sebagai petugas depan menyulitkan melaksanakan shalat tepat waktu.

Terbesit keinginan untuk berhenti kerja. Kemudian, ia menjalankan shalat Istikharah tiga hari tiga malam, meminta petunjuk Allah SWT. Sebuah peristiwa membuatnya yakin untuk berhenti bekerja di hotel itu.

Pierre hijrah ke Yogyakarta. Awalnya ingin ziarah ke makam ayahnya. Namun, ia malah tinggal lama di rumah makdhe-nya di Kotagede.

Pierre mulai mengenal Islam lebih dalam. Ia bisa mempraktikkan keinginannnya untuk shalat lima waktu, tepat waktu, dan berjamaah. Ia sempat tinggal di masjid dan pesantren selama beberapa lama.

Pierre mendapat ketenangan yang tak pernah ia dapat sebelumnya. Ketenangan yang tak ada saat ia menjadi seorang Protestan.

Ia mendapat dua pekerjaan sekaligus, yakni pengantar katering dan penjaga pulsa. Terhadap janji Allah SWT, ia teringat suatu hadist, Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Dia akan menggantikannya dengan yang lebih baik.

“Itu janji Allah. Saya resign (berhenti kerja) karena ingin shalat lima waktu, tepat waktu, dan berjamaah, kalau bisa,” tutur dia.

Disingung penerimaan keluarganya, Pierre menyesalkan salah ambil sikap mengabarkan ihwal peralihannya pada Islam. Apalagi orang tuanya adalah seorang Protestan yang taat. Ibunya bahkan pernah mewanti-wanti agar Pierre tak menjadi mualaf.

Informasi tentang hijrahnya Pierre mulai sampai ke telinga ibunda. Apalagi, ia kerap shalat di masjid.

Saat itu, ibunya mencoba mengklarifikasi kabar itu. Sambil menangis, ibunya mengatakan kekecewaanya kenapa tak membicarakannya dahulu pada keluarga saat hendak beralih ke Islam.

Tak sanggup melihat tangis ibunya, Pierre mengucap, Apa perlu saya balik, biar mama berhenti nangis. Namun, ibunya melarang. Ibunda justru meminta Pierre menetap pada pilihannya, menjalankan kewajiban sebagai Muslim.

Itu menjadi cambuk untuknya membuktikan diri sebagai Muslim, bukan sekedar beragama Islam dalam KTP. Merasa ditinggalkan kelurga besar, pernah ia rasakan. Namun, ia tak terlalu mengambil pusing. Hal itu bukan lantaran ia tak peduli dengan keluarga.

“Saya berdoa, ya Allah, ambil semua yang Allah mau dari saya, pekerjaan, keluarga, teman. Cuma satu, jangan ambil keislaman saya,”kata dia.

Sambil meneteskan air mata, Pierre mengatakan Islam sudah menyelamatkan hidupnya. Ia tak bisa membayangkan bisa hidup damai tanpa Islam, bila masih menjadi non-Muslim. Bisa saja, ia sudah meninggal karena pergaulan bebas.

Pierre berpesan pada teman mualaf, jangan malas menjalankan shalat lima waktu. Sebab, itu kewajiban Muslim, pilar agama. Ia beranggapan meninggalkan shalat artinya seseorang telah meninggalkan segalanya.

Jangan malas belajar ilmu agama, ambil baiknya buang buruknya. Nggak perlu mengotak-kotakkan ustaz, selama yang disampaikan baik dan menambah keimanan kita, terima, tutur dia.

 

REPUBLIKA

Cerita Pengusaha Mualaf Sedekah Jual Nasi Kuning

Berbuat baik tak pandang suku, agama, dan ras. Bahkan yang tak bergama pun bisa makan di sini.” Kalimat itu keluar dari mulut seorang mualaf Tionghoa yang memberikan dana pribadinya untuk membangun warung makan dengan harga luar biasa murah bagi satu porsi makanan.

Muhammad Jusuf Hamka (60) dimualafkan oleh Buya Hamka pada 1981 silam, berbagi dengan cara lain yang tak hanya memberikan uang atau barang, ia mencetuskan ide menjual makanan murah untuk membantu orang-orang yang kekurangan. Hasil penjualan nantinya akan diputar kembali untuk berbagi.

Warung Nasi Kuning Podjok Halal di Jalan Yos Sudarso Kav 28 Jakarta Utara ia buka tepat di samping kantor ia bekerja di PT Citra Marga Nusa Pala (CMNP) sebagai Penasihat Utama.

Warung seukuran 5 meter dengan beratapkan tenda setiap Senin sampai Jumat menjual nasi, sayur dan lauk pauk seharga Rp 3 RIbu untuk satu porsi berisi nasi kuning, lauk dan sayur. Disediakan pula gelas dan dispenser untuk mengambil air minum sendiri yang disediakan Jusuf.

Warung untuk dhuafa dan masyarakat tidak mampu ini dibuka sejak pukul 11 siang sampai jam satu siang. “Persiapan jam 11, dibuka sampai jam satu. Sebab kan, ini yang layani juga dari karywan PT CMNP, kita kembali kerja lagi. Jadi setiap harinya bergantian juga,” kata salah seorang Karywan PT CMNP sambil melayani pembeli.

Satu persatu berbagai macam orang datang bergantian, mulai dari pekerja pabrik, pemulung, masyarakat yang melewati kantor CMNP, sampai ojek online ingin mencicipi makanan porsi seharga Rp 3 ribu itu. Dari pantauan Republika.co.id, menu hari ini terdiri dari nasi kuning, sayur kacang, telur bulat dan telur ceplok cabe dan ikan tongkol pedas serta sambal.

Republika.co.id juga mencicipi makanan murah tersebut, dan hasilnya makanan itu terasa lezat dan pas di lidah. Setiap harinya menu bergantian, antara lain, ayam, ikan, daging syur berkuah, tumis dan lain sebagainya.

Begitupun kata Yana (52) yang bekerja sebagai kuli pengangkat alat-alat berat. Ia mengatakan, beruntung bisa makan makanan murah, higienis, dan lezat dengan harga yang benar tak menguras kantong.

“Saya tau dari temen, nih ada makanan murah di samping. Saya langsung ke sini. Alhamdulilah enak. Besok saya ke sini lagi makan siang. menghematkan dan menyehatkan,” kata Yana, Selasa (13/2).

Meskipun begitu, Jusuf tak memaksa jika ada yang benar tidak ada uang untuk makan, siapapun bisa makan di warungnya. “Andai kata orang itu dateng naik mobil, keliatan mampu. gapapa, tetep di tolong. kita kan gatau di kantongnya ada duit apa ngga,” kata Jusuf.

Sikap mulia Jusuf ia persembahkan atas rasa kebersyukurannya dan juga demi tabungan di akhirat nanti. Sebab, anugerah syukur dari Tuhan telah melimpah ruah diberikan Tuhan kepadanya, untuk itu, kata dia, mengapa tak dibagikan bagi orang yang kekurangan.

Berbuat kebaikan, kata dia, juga tidak perlu pilih-pilih orang. Siapapun, jika membutuhkan dan kekurangan harus ditolong. “Warung ini merupakan pola pertama untuk membentuk suatu sistem. Siapa tahu dari pengusaha bisa membantu sesama dengan cara ini,” ujar Jusuf.

Dari perilakunya tersebut, mengundang berbagai orang menyumbangkan uang untuk warung yang didirkannya. Ia takmemaksa, tapi seperti ia bercerita, ada seorang yang memakan membayar sebesar Rp. 50 ribu dan tidak meminta kembalian, kata orang tersebut, “saya juga mau ikut sedekah,” cerita Jusuf.

Selain itu, ada pula pengusaha yang menyumbangkan Rp 5 juta untuk sedekah di warung podjok nasi kuning halal.

Dalam seminggu, Warung Nasi Kuningg Podjok Halal memeroleh makanan dengan memberdayakan warung makan sekitar. Seperti hari ini warung makan asal Padmangan Jakarta Utara ditugaskan untuk memasak.

“Saya ngga mau ada kompetisi, saya juga ngga mau mematikan warung makan setempat, jadi saya berdayakan dengan kerja sama memberikan subsidi ke mereka untuk menyediakan makanan. Tetep harga dari mereka semisal satu porsi 10 ribu. Yang dijual 3 ribu, jadi subsidi yang saya kasih dari dana saya ya 7 ribu,” kata dia.

Gagasan awal mendirikan warung ini, dimulai dari puasa Ramadhan setiap tahunnya. Ia kerap memberikan buka puasa geratis selama satu bulan di kantornya untuk para kaum dhuafa dan kekurangan. Kemudian, ia berpikir, untuk menolong orang yang tak hanya satu kali dala setiap tahunnya, ia berpikir mengapa tak setiap hari saja. Untuk itu, ia mencetuskan pola ini untuk berbagi

“Kalau ditanya cari untung, mana ada untungnya ini. Tapi saya mendapatkan untung buat bekal di akhirat. Uang yang kita simpan bukan uang kita, tapi uang yang kita sedehkahkan itu uang kita,” ujarnya.

Rencana ke depan, pada beberapa bulan lagi, ia akan mencoba membuka di lima titik wilayah Jakarta. Pertama Jakarta Uatara yang telah dimulai sejak (6/2). Selanjutnya Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Ia juga berharap, pemerintah dan pengusaha dapat melihat ini sebagai jalan kebaikan menolong sesama. Sebab, di Jakarta sendiri masih banyak orang yang kekurangan menyoal perut.

Secara agama, dia tak merasa dirinya sebagai ustaz atau yang oaling baik beragama. Namun, menurutnya perlakunya itu dapat menyontohkan orang lain agar bisa bermanfaat bagi sesama manusia apalagi orang-orang yang berkebutuhan dan kekurangan.

 

REPUBLIKA

 


Kisah Mualaf lainny bisa ditemukan denganmemasukan kata Mualaf di kolom pencarian.

 

Gelombang Mualaf Dunia

Peristiwa kekerasan yang disangka dilakukan oleh Muslim di New York AS tahun 2001, telah menghasilkan gelombang kejut ke seluruh dunia. Dan tahun 2001, telah menandai awal wabah Islamofobia yakni ketakutan tanpa alasan terhadap Islam dan Muslimin di seluruh dunia. Sejak itu, berbagai kekerasan terhadap umat Islam di berbagai negara silih berganti. Mulai dari Benua Asia sampai Afrika. Ini karena umat Islam telah dikunci dengan satu kosa kata “pelaku kekerasan” tanpa banyak intektual Muslim yang melakukan pembelaan terhadap Islam dan Muslimin selayaknya.

 

Sementara itu, negara-negara Islam atau negara dengan penduduk Muslim, takut saling membantu saudara Muslim yang sedang tertindas karena takut dituduh “pelaku kekerasan”. Keadaan ini terus berlangsung. Sementara itu, para pemimpin negeri-negeri Muslim asyik meraup uang rakyat dan anak-anak mereka yang tidak kalah rakus dengan ayah mereka berlomba membeli Lamborghini dan Ferrari karena Mercedes Benz sudah sangat membosankan buat mereka, apalagi Avanza, huh.

Salah seorang putra pemimpin negeri Muslim baru saja mendepositokan uang miliaran dollar ke suatu bank di Eropa, membeli Ferrari, dan pada kecepatan 200 km/jam bress duarr remnya gagal; ia mati tanpa mencantumkan ahli waris dari depositonya yang 15 milar dollar itu. Kini uang itu menjadi milik bank; perampok dirampok?

 

Kebanyakan umat Islam tertekan dan melarat di seluruh dunia. Puncaknya adalah tahun 2010, ketika penderitaan mereka telah sampai di awan, sehingga katup pengaman harus dibuka kalau tidak ingin meletup berkeping. Dan, inilah yang terjadi di Tunisia, ketika seorang pemuda Mohammed Bouazizi mengalami musibah besar, suatu tragedi yang akan membakar dunia Arab dari Afrika sampai seluruh Timur Tengah.

Pedagang kaki lima ini sedang menjajakan dagangan buah-buahan ketika datang Satpol PP merampas dagangannya. Padahal, dengan dagangan itulah kehidupan keluarganya tergantung. Pemuda ini sangat marah, tetapi tidak mampu melawan polisi dan ia akhirnya memarahi dan melawan dirinya sendiri. Setelah menyiramkan bensin ke badan, iapun menyulut dirinya dengan api. Ia membakar dirinya sendiri. Mati? Tidak, belum.

Berminggu ia bergulat melawan maut. Dari Selasa malam 14 Desember 2010 saat ia memprotes pemerintah Tunisia dengan membakar diri sendiri sampai Selasa 4 Januari 2011 Mohammed Bouazizi selama 17 hari bergulat menahan nyeri dari kulit dan daging hidup yang terbakar, ia berjuang melawan maut, dan; ia kalah. Mati.

Rakyat Tunisia pun bergolak, marah telah menggelegak, kegeraman mereka telah menjadi tenaga dahsyat untuk menghancurkan apa saja yang dapat dihancurkan, mengusir pejabat siapa saja yang dapat diusir termasuk Presiden Zeinal Abidin yang kabur dengan uang tunai jutaan dolar dan ratusan kilogram batangan emas murni. Kepergiannya dari negeri tempat ia dilahirkan, dibesarkan, diangkat sebagai presiden, dan rakyat yang mengusirnya telah menandai era baru. Arab Spring.

Badai Arab Spring telah menjalar dari Tunisia ke timur ke Libya menghancurkan dan membunuh Moammar Gadafi. Ke timur lagi ke Mesir mengirim Hosni Mubarak ke penjara, lompat ke timur ke Arab Saudi; mentok di sini karena Barat berkepentingan dengan minyak Saudi. Belok, ke utara sedikit Arab Spring maju ke Bahrain; Emir Bahrain yang arif segera menyiramkan miliaran dinar kepada para demonstran agar marahnya padam. Berhasil, UUD memang berlaku universal.

Melaju ke timur, Arab Spring tidak mendapati apa-apa di Iraq karena negeri ini tanpa Arab Spring-pun sudah rata dengan tanah, mau ke selatan ke Iran dihadang para Mullah yang kharismatik; merangsek ke timur ke Suriah. Bashar Asad yang sudah menunggu segera memberondong gerakan rakyat dengan peluru, sampai kini. Banjir darah di Timur Tengah dalam Arab Spring sejak 17 Desember 2010 sampai Desember 2012 ini, tidak terdengar di Indonesia, bukan karena tuli karena telah ada Mul-Tatuli, tetapi mereka yang di atas ribut rebutan uang Hambalang, eKTP, Freeport, BLBI, Bank Century, reklamasi, dan entah apalagi. Sementara itu, para pegawai biasa yang terpaksa jujur asyik saja makan tempe mendoan diselingi cekikikan cengengesan main WA sambil nunggu gajian dan uang pesiun.

Masyarakat Barat adalah masyarakat berpendidikan dan rasional. Berita-berita miring tentang Islam dan Muslimin dunia yang bertubi-tubi telah mendatangkan pertanyaaan di dalam hati mereka “Benarkah Islam seperti itu?” Mereka mulai mencari literatur dan bacaan yang kredibel tentang Islam, ada juga yang turun langsung ke lapangan membuat dokumentasi. Dan di antara mereka ada yang mendatangi tempat atau negara yang dikabarkan sebagai sarang penjahat Muslim. Mereka telah melakukan berbagai tindakan nyata untuk memenuhi hasrat kaingintahuan diri mereka yang merupakan bagian dari fitrah manusia.

Sebutlah seorang wartawati Inggris Yvonne Ridley yang mungkin datang ke Afghanistan tahun 2001 sebagai mata-mata, tetapi mengaku untuk meliput keadaan masyarakat. Perlukah seorang wanita muda datang sendirian ke wilayah perang untuk menulis tentang seluk beluk masyarakat yang sedang berlomba kabur menghindari perang? Apapun alasananya, ia ditangkap dan dipenjara; takdir belum menentukan ia mati di ujung senapan.

Ketika perang menyurut dan ia dipulangkan sebagai bagian dari pertukaran tawanan. Ia merasa tugasnya belum selesai dan hasrat kaingintahuannya belum terpenuhi; maka ia kembali ke Afghanistan. Dan, inilah yang ditemukannya. Pejara Afghanistan yang dikunjunginya ternyata dipenuhi dengan gadis-gadis yang sebagian masih bau kencur atau baru beranjak dewasa. Kesalahan mereka? Lari dari orang tua yang memaksa mereka menikah dengan orang seumur ayah mereka dan menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat.

Yvonne Ridley geram “Kurang ajar! Inikah Islam?” dan ia menjadi semakin ingin tahu. Naluri jurnalisitiknya mengantarkannya ke beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh para tokoh masyarkat Afghanistan. Jawaban yang diperoleh ternyata sangat mengejutkan, para gadis itu telah dijual oleh orang tua mereka kepada orang kaya yang telah mempunyai istri atau beberapa istri. Ini tradisi setempat, tidak termasuk ajaran Islam.

Setelah mengerti perbedaan antara Islam dan tradisi, Yvonne minta dituntun mengucapkan syahadatain, lalu bertekad menjadi pembela para gadis yang dimasukkan penjara bukan karena kejahatan, tetapi karena tradisi. Pulang ke Inggris mengenakan hijab atau kerudung Muslimah, ia membuat seantero Inggris bahkan Eropa geger. Seorang mantan tawanan Afghanistan kembali ke Inggris menjadi Muslimah! Dialah yang membuka mata Eropa dan dunia Barat bahwa Islam sangat berbeda dengan tradisi lokal, Islam ternyata bukan kekerasan. Yvonne Ridley telah menjadi muallaf sekaligus pendakwah. Inilah hidayah.

Michael Moore mempunyai hobi membuat film dokumentasi yang kemudian menjadi profesi. Film dokumenternya ‘Fahrenheit 9/11’ memenangkan beberapa penghargaan internasional dan menghasilkan 200 juta dollar dari penonton seluruh dunia. Temuannya yang didokumentasikan telah mengejutkan dunia khususnya tentang kebenaran Islam yang ditutup-tutupi oleh dunia Barat. Sesudah bersyahadat, ia membentangkan poster di depan TRUMP HOTEL “WE ARE ALL MUSLIMS”, kami semua Muslim.

Oliver Stone adalah produser film yang sukses di Hollywood, apa saja difilmkan asal mendatangkan duit. Anaknya Sean Stone yang berumur 27 tahun, ingin menapak jejak sang ayah dan pergi ke Iran untuk membuat film dokumenter di “negara para pendukung kekerasan.” Apa yang dilihatnya telah membuka mata hatinya bahwa Islam adalah indah, dan iapun urung membuat film, ia bersyahadat dan belajar tentang Islam.

Tony Blair adalah Perdana Menteri Inggris terkenal, ia dan isterinya berasal dari keluarga Nasrani. Iparnya Laureen Booth senantiasa memantau TV akan aktivitas politik Tony Blair dan bertanya-tanya, “Benarkah Islam adalah seperti yang dimusuhi oleh Tony Blair?” Setelah menelaah beberapa buku, ia datang ke masjid dan minta disyahadatkan. Inggris geger lagi, Perdana Menteri yang ingin mengalahkan Muslim ternyata tidak berdaya melawan ipar sendiri, bagaimana akan mengalahkan Islam?

Berderet nama selebriti dunia yang memeluk Islam atau yang disangka bukan Muslim ternyata Muslim tulen dan mendapat publikasi yang mendunia, langsung atau tidak, mereka adalah pendakwah. Sebut saja Muhamad Ali, Mike Tyson, bintang bola basket Shaquille O’Neal dan Abdul Hakeem Olajuwon, komedian Dave Chappelle, penyanyi hip hop Ice Cube dan Trevor Tahiem Smith, Jr. alias Busta Rhymes, bintang filem Ellen Burstyn, Omar Sharif, bintang Iron Man Faran Tahir, dan Aasif Hakim Mandviwala, penyanyi rap Lupe Fiasco, foto model Iman Mohamed Abdulmajid. Daftar masih panjang, Dr. Mehmet Oz, pelantun “Morning Has Broken” Cat Stevens alias Yusuf Islam dari Inggris, penyanyi Q-Tip alias Kamaal Ibn John Fareed, penyanyi Mos Def malah menyanyikan hit “Bismillah ar-Rahman ar-Raheem”, dan seorang gadis umur 17 tahun pemenang hadiah Nobel termuda di dunia Malala Yousefzai.

Penyanyi Janet Jackson dan kakaknya Jermaine Jackson; seorang lagi kakaknya yang paling popular Michael Jackson ketika berada di Qatar telah mengucapkan “Insya Allah.” Sekiranya peyanyi bintang pujaan pemuda-pemudi seluruh dunia ini telah jelas masuk Islam, maka sangat mungkin jutaan para pemujanya di seluruh dunia bakal ikut masuk Islam, mungkinkah karena ini ia harus mati atau dimatikan?

Oleh: Abdul Rahman Bahry, Tinggal di Cleveland, Ohio Amerika Serikat, Alamat email abahry@hotmail.com

Satu-satunya warga negara Indonesia yang bekerja sebagai Guru Agama di penjara kota Cleveland

 

REPUBLIKA

Ini Cara Mualaf Sonny Williams Menjaga Keislamannya

Pria kelahiran 3 Agustus 1985 ini dikenal sebagai pemain rugby di Selandia Baru. Orang mengenalnya bernama Sonny Bill Williams. Pertama kali pria ini masyhur sebagai petinju kelas berat dan pemain voli.

Dia merupakan orang kedua yang mewakili Selandia Baru untuk cabang rugby saat bertanding dengan perwakilan negara lain. Dia juga satu dari 20 pemain yang telah memenangkan dua piala dunia rugby. Williams juga telah memenangkan semua pertarungan kelas beratnya secara profesional sebanyak tujuh kali. Dia sebelumnya adalah juara kelas berat Heavy weight Champion and World Boxing Association (WBA).

Putra John dan Lee (nee Woolsey) ini memiliki saudara laki-laki, John Arthur dan saudara kembar yang lebih muda Niall dan Denise. Williams dibesarkan di sebuah keluarga pekerja di pinggiran Auckland, Mount Albert. Motivasi bermain rugby didorong oleh keinginannya memberikan ibunya rumah.

Dia pernah bersekolah di Owairaka, Welsey Intermediate dan sekolah tata bahasa Mount Albert. Sejak kecil dia dikenal sebagai anak kulit putih kecil yang pemalu. Dia memang terkenal dengan bakat olahraganya terutama di bidang atletik.

Meski diramalkan masa depannya di dunia atletik akan cemerlang, dia justru meninggalkan cabang olahraga tersebut pada usia 12 tahun. Dia mengenal permainan rugby dari sang ibu, meski ayahnya adalah pemain rugby yang andal.

Sejak memeluk Islam, dia lebih terbuka dengan kehidupan pribadinya. William lebih sering berbagi kisah spiritualnya di media sosial. Dia juga memiliki nama mualaf di belakang nama aslinya, Hamzah.

Sebelum memeluk Islam, Sonny Bill William dikenal sebagai anak nakal. Tetapi setelah memeluk Islam dan menjadi seorang ayah dia kini berubah lebih baik. Williams pernah terlibat dalam insiden terkait alkohol termasuk saat mengemudi karena di bawah pengaruh alkohol. Dia juga pernah melanggar lalu lintas karena buang air kecil sembarangan. “Saya dulu anak yang bandel,” jelas ayah anak perempuan berusia empat tahun itu.

Masa lalu adalah pembelajaran untuknya menjadi dewasa. Williams memeluk Islam pada 2008. Selain itu dia adalah Muslim pertama yang bermain untuk All Blacks. Meski dia berasal dari Selandia Baru, dia memiliki warga negara lain, yaitu Samoa.

Pemain Rugby yang berusia 32 tahun ini adalah satu-satunya Muslim di timnya. Dia harus menyesuaikan komitmennya sebagai Muslim dengan jadwal latihan intensif bermain rugby. Dia terkadang harus melaksanakan shalat subuh dan Isya di luar rumah.

Setelah timnya mengetahui dia Muslim, koki yag memasak makanan mereka pun khusus menyediakan makanan halal un tuknya. Sonny berharap dapat menyesuai kan diri seperti orang lain pada umumnya. Tetapi keimanannya membuat dia meng atur cara hidup untuk hanya memakan yang halal.

Jalan pertaubatannya menjadi Muslim membantu perubahan hidupnya. Kese harian yang membuatnya stres berkurang setelah bersyahadat. Islam juga telah membantu menemukan makna hidup dibandingkan sebelumnya.

Dahulu, Sonny sangat akrab dengan minum dan berpesta. “Saya masih merasa orang yang sama seperti se belumnya, tetapi saat ini saya merasa puas dan bahagia hingga tak dapat dijelaskan dengan kata-kata,” jelasnya.

Umrah

Saat ini Sonny sedang libur bermain rugby. Untuk menghabiskan liburannya dia melaksanakan ibadah umrah. Menjelang musim rugby akhir Februari, dia menghabiskan waktu sepekan di Arab Saudi untuk berziarah. Selain ke Makkah, Williams juga mengunjungi Madinah dan makam Rasulullah.

Perasaannya saat mengunjungi masjid nabawi di Madinah sangat menakjubkan. Dia merasakan ketenangan dan kekhusyuan bermunajat kepada Allah. Dia juga mengunjungi pemakaman Baqi dan berdoa di sana. Saat berkunjung ke Saudi dia ditemani oleh Syekh Kamal Jazakalah.

Pekan lalu dia baru saja menyelesaikan kamp pelatihan pramusim setelah sebulan penuh mengikuti pelatihan bersama Wallaby di Quade Cooper. William diperkirakan akan kembali ke Selandia Baru akhir bulan ini. Dia kemudian akan me lanjutkan persiapan menjelang musim keduanya untuk bertnding rugby bersama Auckland Blues.

Williams adalah pemain rugby paling dicintai. Saat dia keluar dari Bul ldogs (liga rugby) dan memilih Toulon dia dikritik. Apalagi saat dia ke jepang dan mengejar karir tinju pro fesional.

Saat bertanding, Williams terlihat tidak tenang, tetapi dia mampu mengatur ritme gerakannya. Seorang teman terdekat Williams, petinju Australia Anthony Mundine mengapresiasi perubahan hidup temannya itu.

“Semua orang cepat menilai saat ada yang menjadi sorotan. Dia melewati masa-masa ketika masih muda dan membuat kesalahan buruk tapi siapa yang tidak membuat kesalah an?” jelas Mundine dalam sportjoe.ie.

Kemudian dia mengubah hidupnya dan menemukan Islam. Saat ini dia merasa tenang dalam menjalani hidupnya. Islam membuatnya semakin bijak. Agama yang diyakininya sekarang telah mengubah hidupnya menjadi benar-benar seorang pria.

Mundine yang juga Muslim tidak terkejut dengan perubahan temannya. William yang dikenalnya sejak sebelum menjadi Muslim adalah sosok yang murah hati. Tak banyak orang yang melihat sisi baiknya selama ini.

“Media Australia bisa melukis apa gambar yang mereka ingin lukis. Tetapi saya sudah mengenal Sonny sejak lama dan dia selalu bersikap hormat dan rendah hati,”jelasnya.

Selama tur bersama All Black, William meminta makanan halal. Saat Ramadhan, dia berpuasa meskipun tim mereka memain kan tiga pertandingan di 2011. Williams secara teratur melaksanakan shalat Jumat di sebuah masjid di Christchurch. Federasi Asosiasi Wakil Presiden Pertama Selandia Baru Javed Khan mengatakan bahwa loyalitas Williams diakui komunitas Muslim setempat.

“Dia mempraktikkan agama dan dia adalah panutan yang hebat bagi anak-anak mu da. Kami berdoa semoga dia selalu memenangkan setiap pertandingan,”jelas Khan.

Williams didukung oleh manajernya Kho der Nasser, petinju Anthony Mundine, dan saudaranya Johnny yang juga Muslim. Me reka sama-sama tinggal di Christchurch. Teman Williams Tarek Smith mengatakan dia selalu melaksanakan shalat lima waktu saat latihan atau pertandingan di ruang ganti.

William bersyahadat di Masjid Regent’s Park, pinggiran barat Sydney pada 2008. Saat bersyahadat dia ditemani mantan rekan setimnya Canterbury Buldogs Hazem El Masri.

Manajer Black Darren Shand mengatakan keyakinan relijius William tidak mempengaruhi dinamika tim. “Dia meminta dengan kami tentang kebutuhan makanannya dan kami membuat beberapa pengecualian. Kami meminta daging halal. Dia tidak terlalu memperma salahkannya,” ujar dia.

 

REPUBLIKA