Manipulasi Label Halal, LPPOM MUI: Ini Mengkhawatirkan

Wakil Direktur Lembaga Pengawas Pangan Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Osmena Gunawan menyebut kasus pedagang yang menambahkan logo halal sendiri pada produknya adalah tindakan yang mengkhawatirkan.

“Yang seperti ini dikhawatirkan  MUI, ketika pedagang memasang sendiri logo halal itu. Takutnya mereka antara paham atau tidak dengan konsep halal ini,” ujar Osmena kepada Republika, Ahad (4/11).

Ia menjelaskan halal dalam suatu produk utamanya makanan atau minuman tidak sekedar terbebas dari bahan babi atau alkohol. Proses sejak awal bahan itu didapat kemudian diolah dan menjadi produk untuk dipasarkan juga harus diperhatikan kehalalannya.

Contohnya untuk produk makanan yang menggunakan bahan daging sapi atau ayam, perlu dilihat bagaimana proses penyembelihannya. Apakah sudah benar dan sesuai dengan syariat yang diwajibkan oleh agama.

Sementara di Indonesia, minim sekali tempat penyembelihan hewan atau RPH yang memiliki sertifikat halal. Ini karena tidak terpantau dan terkadang pedagang menyembelih sendiri hewan yang akan dimasak.

“Pedagang ini karena mereka sudah terbiasa dan menjadi kebiasaan, mereka jadi tidak terlalu peduli. Bahkan tidak lagi diperhatikan atau dipentingkan,” ujarnya.

Upaya pemasangan sendiri logo halal pada produk yang dijual pedagang kecil disebut Osmena sebagai tindakan penipuan.

Apalagi jika memasang logo halal milik LPPOM MUI sementara produk tersebut belum tersertifikasi, maka hal ini termasuk tindakan pemalsuan.

Menurut Osmena, pengusaha yang melakukan hal tersebut biasanya pedagang kecil. Ia belum melihat ada perusahaan besar yang melakukan pemalsuan tersebut.

Menurutnya, ini karena sanksi yang didapat jika ketahuan bukan hanya dari sisi pidana tapi juga akan tidak dianggap oleh konsumen yang selama ini menggunakan produknya.

Kepada masyarakat, diharapkan lebih berhati-hati lagi dalam mengkonsumsi produk-produk yang ditawarkan oleh pengusaha. LPPOM ke depan akan menyertakan QR Code disamping logo halal.

Ini agar masyarakat bisa mengetahui mana yang asli dan palsu juga mendapatkan keterangan lebih lanjut tentang sertifikat yang dimiliki sebuah produk seperti tanggal terbit dan masa berlaku sertifikat tersebut.

Pada sabtu (3/11), MUI Singkawang, Kalimantan Barat, mempertanyakan soal label halal yang tercantum di berbagai tempat usaha di kota tersebut. Ketua MUI Singkawang Muchlis mengatakan, banyak pelaku usaha di Kota Singkawang yang memasang sendiri label halal baik dengan tulisan latin maupun tulisan arab di tempat usahanya.

“Padahal mereka tidak pernah mengurus sertifikasi halal. Hal tersebut, tidak diperbolehkan apalagi ada yang menulis 100 persen halal,” katanya saat sosialiasi produk halal di Singkawang.

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Memakan Makanan Tanpa Label Halal MUI

DI Indonesia, MUI telah mengeluarkan sertifikasi halal bagi berbagai macam produk pangan. Namun, belum semua produk pangan memiliki label halal ini. Bagaimana hukum kita sebagai seorang muslim apabila memakan produk yang belum disertifikasi halal oleh MUI?

Sebenarnya yang lebih tepat memang bukan sertifikat halal, tetapi sebaliknya, yaitu sertifikat haram. Sebab kalau dibandingkan, jumlah makanan yang halal dibandingkan yang haram, tentu jauh lebih banyak yang halal.

Apalagi mengingat kaidah fiqhiyah yang berbunyi: Al-Ashlu fil Asy-ya’i al-ibahah. Artinya, hukum asal segala sesuatu itu boleh. Jadi asumsi dasar kita tentang semua makanan itu seharusnya halal, kecuali yang secara tegas terbukti mengandung unsur-unsur yang tidak dihalalkan. Itu pun setelah melalui uji laboratorium.

Logika bahwa segalanya hukumnya haram kecuali yang dibolehkan itu memang ada di dalam fiqih, tetapi khusus dalam kasus hubungan seksual. Bunyi kaidahnya adalah: Al-Ashlu fil Abdha’i At-Tahrim, artinya bahwa hukum dasar hubungan seksual itu adalah haram. Kecuali lewat jalur yang dibenarkan seperti pernikahan.

Sedangkan dalam masalah hukum makanan, hukum dasarnya adalah halal, kecuali yang tertentu, maka hukumnya haram.

Kalau menggunakan logika sebaliknya, maka lembaga yang memberi sertifikat halal itu akan kehabisan waktu, karena jumlah makanan yang beredar di tengah masyarakat itu tidak terhingga. Bahkan kebanyakan tidak ada mereknya.

Kalau logika berpikirnya adalah bahwa segala sesuatu itu hukumnya haram, kecuali yang ada label halalnya, bagaimana dengan sekian banyak bahan makanan lainnya yang tidak ada ada labelnya? Haruskah kita berangkat dari asumsi bahwa semua produk makanan itu haram? Kecuali yang ada label halalnya?

Bagaimana mungkin kita mengklaim sebuah makanan itu tiba-tiba menjadi haram? Siapakah yang mengharamkannya? Sedangkan kaidah fiqhiyah menyebutkan: Al-Yaqinu Laa Yazuulu bisy-syakki. Artinya, hukum awal yang ditetapkan berdasarkan keyakinan tidak bisa berubah hukumnya hanya berdasarkan rasa syak (keraguan).

Logika ini pun agak kurang sejalan dengan metodologi Alquran dan As-sunah ketika menyampaikan masalah halal haram. Di dalam kedua sumber syariat itu tidak pernah disebutkan satu persatu nama-nama makanan yang halal. Akan tetapi yang disebutkan hanyalah yang haram saja. Mengapa? Karena yang halal itu jumlahnya tak terhingga. Sedangkan yang haram itu jumlahnya tertentu saja dan terbatas.

Namun barangkali lembaga sertifikasi resmi yang ada di negeri ini punya pertimbangan lain yang tidak kita ketahui, wallahu a’lam bishshawab.

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324554/hukum-memakan-makanan-tanpa-label-halal-mui#sthash.ydNnY15e.dpuf

Pengusaha Wajib Perbarui Label Halal Setiap 4 Tahun

Indonesia merupakan negara dengan mayoritas Muslim. Fakta ini membuat kebutuhan akan produk halal meningkat, tak hanya dari sisi makanan dan minuman, tapi juga obat-obatan dan kosmetik.

Mengingat besarnya pangsa pasar halal tersebut, para pelaku usaha diharapkan mau melakukan sertifikasi halal terhadap produk yang dibuatnya. Namun saat sertifikasi sudah dilakukan, bukan berarti kewajiban produsen terkait kehalalan produk berhenti sampai di situ.

“Setelah mendapatkan sertifikasi, pelaku halal wajib mencantumkan label halal pada produk yang telah memperoleh sertifikai halal dalam posisi yang mudah dibaca,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah kepada Republika.co.id, baru-baru ini.

Pelaku usaha pun harus mempertahankan kondisi kehalalan produk, serta memisahkan lokasi, tempat, dan peralatan dengan hal-hal yang haram. “Pelaku usaha juga wajib memperbaharui sertifikat halal yang sudah tidak berlaku secara berkala empat tahun sekali,” kata dia.

Apabila ada perubahan komposisi bahan di dalam produk, pelaku usaha harus melaporkannya ke Badan Penyelenggara JaminanProduk Halal (BPJH).

“Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang tidak halal wajib mencantumkan label haram (tidak halal),” kata Ikhsan.

Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang JaminanProduk Halal (JPH), yang dimaksud dengan bahan dan proses produksi halal yaitu bahan yang digunakan mencakup bahan mentah, bahan olahan, dan bahan-bahan tambahan. Bahan-bahan tersebut bersumber dari hewan, tanaman, mikroba, bahan olahan kimia, biologis atau rekayasa genetik.

Lokasi dan peralatan antara yang Halal dan non-halal harus dipisahkan, misalnya meliputi penyembelihan, proses, penyimpanan, pengemasan, distribusi, penjualan, dan penyajian. Lokasi, tempat, dan alat proses produksi wajib dijaga kebersihannya dan higienitasnya, bebas dari najis, dan bebas dari bahan tidak halal.

Ikhsan berharap pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur kepada konsumen. Sebaiknya, kata dia, pelaku usaha mempunyai pengawas untuk produk halal.

 

sumber: Republika Online