Hukum Mencicipi Rasa Masakan ketika Puasa

ADA sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa.

Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.

Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajmain.

Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu anhu dalam sebuah atsar:

“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa no. 937)

Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini.

Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama. Wallahu alam bish-shawab. [Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2301808/hukum-mencicipi-rasa-masakan-ketika-puasa#sthash.FvPaz27q.dpuf

Bahagia Tanpa Batas Bagi Lulusan Madrasah Ramadhan

KITA tidak tahu apakah tahun depan masih bertemu lagi atau tahun ini Ramadhan terakhir yang kita jalani. Tapi, prinsip kita sebagai orang yang beriman, kita ketemu Ramadhan lagi atau tidak, No Problem!.

Yang jadi masalah adalah ketika tidak memahami substansi Ramadhan dan enggan menghidupkannya di luar Ramadhan. Yakni, semangat bagaimana hidup selalu bahagia (unlimited happiness), atau dengan kata lain bagaimana kebahagiaan itu selalu meliputi kehidupan kita.

Puncak Sukses
Kebahagiaan adalah puncak perjuangan yang dicari setiap orang di dunia ini. Ramadhan benar-benar mengajarkan kita hidup bahagia.

Mari kita renungkan, sejak sebelum Ramadhan dan saat kita menjalani ibadah Ramadhan hingga pada saat hari raya Iedul Fitri suasana kebahagiaan sangat terasa. Suasana ini tidak saja dirasakan oleh ummat Islam, non-muslim pun turut “kecipratan” bahagia.

Bagamanapun sikap kita saat menjalani ibadah Ramadhan -dengan sempurna atau setengah-setengah- tetap kita mendapat percikan kebahagiaan itu.

Tetapi, tentu saja, siapa yang menjalani ibadah Ramadhan dengan sempurna kebahagiannya juga sempurna. Siapa yang menjalaninya setengah hati atau banyak cacat ibadahnya ia mendapat kebahagiaan sesuai usahanya.

Bagi orang beriman perginya Ramadhan sungguh sangat memilukan hati. Kerinduan yang membuncah di bulan Syawal dan bulan selanjutnya hanya bisa diobati dengan datangnya Ramadhan lagi. Meskipun seluruh potensi yang ia miliki telah ia kerahkan untuk menjalani ibadah Ramadhan dengan maksimal, tetaplah masih merasa kurang. Apalagi menjalani ibadah Ramadhan setengah hati.

Hal itu timbul berangkat dari keyakinan yang mendalam terhadap janji dan jaminan Allah bagi orang yang berhasil memproses dirinya hidup dengan ketaqwaan. Sungguh Allah tiada mengingkari janji-Nya.

Kiat Menghadirkan Kebahagiaan
Pertama, untuk hidup bahagia tanpa batas adalah mampu membedakan antara kebahagiaan dan kesenangan. Hidup bahagia adalah dambaan setiap orang.

Berbagai macam cara orang mencari kebahagiaan. Ada yang dengan menumpuk-numpuk harta. Ada yang mencari kebahagiaan dengan kawin melulu dan selingkuh. Ada yang mencari kebahagiaan dengan shopping, berwisata, mengikuti gaya hidup selebritis.

Sesungguhnya, itu bukanlah kebahagiaan, melainkan kesenangan dunia. Kesenangan sesaat yang hanya membuat pelakunya tersiksa secara batiniyah dan pemborosan secara finansial. Kebahagiaan adalah nikmat yang berlipat-lipat. Hal ini terkait secara fisik dan non-fisik. Sedangkan kesenangan hanya bersifat fisik semata.

Kedua, kenali Allah Ta’aala sebagai penguasa segalanya. Kebahagiaan hakiki hanyalah terletak dalam ketaatan yang sempurna kepada Allah subhaanahu wata’ala. Karena ujung perjalanan kita adalah innaa lillaahi wa innaa ilahi raajiuun (kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali), maka kita harus memahami dengan baik siapakah Allah Ta’ala yang harus kita taati itu.

Maka membaca, memahami, dan men-tadabburi Al Qur’an adalah cara untuk mengenal-Nya. Ketika sudah kenal dengan baik, maka akan mudah ingat Allah (dzikrullah). Ingatlah hanya dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tenang. (QS.Ar Ra’du [13] : 28)

Ketiga, pahami akhir perjalanan hidup. Memahami akhir perjalanan sangat mempengaruhi seseorang menjalani hidup dengan penuh bahagia. Akhir perjalanan adalah cita-cita, harapan atau tujuan.

Tidak akan bahagia kecuali orang yang semangat menjalani hidup menempuh harapan masa depan. Harapan masa depan yang sesungguhnya adalah syurga Allah subhanahu wata’ala.Kehidupan di surga adalah kehidupan yang sangat membahagiakan.

Inilah sebabnya mengapa seorang muslim seharusnya ia adalah orang yang paling bahagia, karena ia sudah tahu betul akhir perjalanannya dan memahami dengan baik eksistensi Tuhannya.

Keempat, pahami bahwa kebahagiaan itu berangkat dari cinta. Kehidupan surgawi adalah kehidupan penuh cinta. Tiada perkataan sia-sia dan dusta (QS.An Naba’ [78]: 35). Seperti yang telah kita jalani selama bulan Ramadhan, semua orang dengan cintanya semangat beribadah. Dimana secara vertikal begitu dekat dengan Allah. Membuat hidup semakin tenang dan bahagia.

Secara horisontal kita jalani hidup dengan mencintai sesama hamba Allah. Mencintai berarti peduli dan memberi. Orang yang mencintai pasti bahagia, tapi orang yang hanya dicintai belum tentu bahagia. Inilah sumber terbangunnya akhlaq mulia.

“ Kecuali orang yang beriman dan berbuat kebajikan, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS.Ath-Thiin [95] :6)

Pahala itu kompensasi atau ganjaran yang merupakan timbal balik seseorang setelah berbuat baik. Bukankah telah sering kita buktikan, bahwa setelah kita berbuat baik, misalnya menolong orang, hati senang dan bahagia rasanya bisa membantu orang lain.

Semangat berbuat baik itu telah terlatih selama bulan Ramadhan. Siang maupun malam, dalam keadaan sempit ataupun lapang, kaya atau miskin, semuanya senang berbuat baik. Termasuk anda, pembaca tercinta. Dengan membaca tulisan ini, sudah menjadi bukti anda senang berbuat kebaikan.

Menanamkan kebaikan berarti menanamkan kebahagiaan. Maka siapa yang hidupnya ingin bahagia tanpa batas, berbuat baiklah selalu meski Ramadhan telah berlalu. Ayo, kita menjadi bintang film atau foto model kebaikan.

“Sungguh rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS.Al A’raf [7]: 56). “Dan Allah sangat mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali Imron [3]: 148). Wallahu’a’alam.

______
Ustadz MD Karyadi, Lc, penulis adalah pengasuh Yayasan Dakwah Hidayatullah Cikarang Bekasi dan pembina di www.dakwahcenter.com

Rep: Admin Hidcom

Editor: Huda Ridwan

sumber: Hidayatullah