Seniman lulusan Pratt Institute ini tak pernah bercita-cita menjadi Muslim. Ia juga tidak ingin menjadi Kristen.
Ia menilai, semua konsep agama formal tidak menyenangkan. Meski dibesarkan sebagai pemeluk Katolik, Danielle menganggap dirinya agnostik. Ia menghina semua agama secara umum. “Jika Anda menawarkan jutaan dolar untuk mengajak saya bergabung dengan salah satu agama, saya akan menolak,” kata Danielle LoDuca penuh percaya diri.
LoDuca adalah generasi ketiga Amerika Serikat. Ia tumbuh besar di lingkungan pinggiran Kota New York yang homogen. Sebagai perempuan modern yang rasional, ia lebih percaya pada akal pikiran untuk menuntunnya menjalani hidup, ketimbang “beberapa buku kuno”.
Tak heran bila perempuan ini begitu gandrung dengan Bertrand Russell. Filsuf dan ahli matematika asal Inggris itu berpendapat, agama tak lebih dari takhayul. Agama pada umumnya berbahaya bagi manusia meski mungkin memiliki sedikit efek positif bagi sebagian yang lain.
Lebih lanjut, Russel menilai, agama hanya akan menghalangi manusia dari ilmu pengetahuan, memunculkan ketakutan, dan ketergantungan. Agama juga hanya mengobarkan perang yang sia-sia, penindasan, dan kesengsaraan. LoDuca mengakui kebenaran perkataan itu.
LoDuca ingat, ia tertawa keras-keras saat membaca Hey Is That You God karangan Pasqual S Schievella. Lewat buku setebal 200 halaman itu, Professor Columbia University tersebut mencemooh konsep Tuhan melalui dialog satire. Semua tampak begitu logis bagi LoDuca. Menurut dia, para pemikir jelas berada di atas penganut agama-agama yang hidup tanpa daya kritis.
Kendati demikian, daya kritis LoDuca tak tumpul begitu saja. Mosi tidak percaya agama itu tak membuatnya urung melakukan pembuktian. Ia merasa tidak cukup sekadar berpikir lebih baik tanpa agama. Layaknya para ilmuwan Barat yang empiris dan rasional, Danielle ingin membuktikan secara sistematis bahwa agama tidak lebih dari tipuan. Ia sengaja ingin melakukan itu.
Menariknya, kata LoDuca, dalam pembicaraannya dengan para pemeluk agama, khususnya selain Islam, ia sering melihat bahwa mereka tampak sekali ingin percaya. Seolah, tidak peduli berapa banyak kontradiksi atau kesalahan yang ditunjukkan kitab suci mereka. Mereka kesampingkan itu, tanpa sedikitpun daya kritis.
Jarang ia menemukan kitab suci itu sendiri yang meyakinkan mereka. Yang ada, mereka memutuskan untuk beriman, kemudian baru mempelajarinya setelah keputusan itu dibuat.
Atau, seperti kata teman LoDuca, “Islam tampak asing, jadi aku tidak pernah meliriknya. Kristen lebih akrab dan nyaman karena sebagian besar orang di sekitar saya Kristen. Jadi, ketika saya mencari Tuhan, saya memilih Kristen.”
Danielle Lo Duca tidak ingin seperti itu. Secara pribadi, ia tidak pernah menganggap dirinya sengaja untuk mencari Tuhan. Konsisten dengan Bertrand Russel, ia telah memutuskan untuk percaya satu hal; agama hanyalah delusi palsu yang diagung-agungkan.
Walau pada kenyataannya, aku LoDuca, gagasan itu juga tidak dibangun di atas fakta-fakta tegas. Itu hanya asumsi. Ia tidak memiliki bukti. Ketika membaca buku-buku agama, ia sengaja mencari kelemahan. Sebuah pendekatan yang, kata LoDuca, membuatnya tetap objektif.
Sampai suatu hari, sebuah terjemahan Alquran dia peroleh secara gratis. Ia tengah melintasi sekelompok orang yang membagi-bagikan Alquran hari itu. Tanpa memalingkan muka dari ponsel, ia bertanya ketus, “Apakah itu gratis?”
Salah satu dari panitia mengiyakan. Ia meraih salah satu, kemudian melanjutkan perjalanan. Ia sama sekali tidak tertarik untuk bertanya. Ia hanya tertarik untuk mengambil buku gratis yang barangkali bisa membuatnya makin menertawakan agama.
Tapi, sejak membaca “kitab kuno itu”, ia menjadi lebih pendiam. Alquran berbeda dari buku-buku agama lain yang juga telah dia kumpulkan. Danielle bisa memahaminya dengan mudah. Itu sangat jelas.
Seorang teman pernah menyebut Tuhannya Muslim itu pemarah dan pendendam. Ia langsung menghampiri orang itu tanpa sadar. Ia buka lembaran-lembaran Alquran, kemudian menunjukkan kalimat, “Sesungguhnya, Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”
Alquran hanyalah “buku tua nan usang”, tapi entah bagaimana ia berpikir kitab itu sepenuhnya relevan. Ada sesuatu dengan irama dan cara komunikasinya yang intim. Ada semacam keindahan yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Terasa melegakan, seolah berjalan tanpa alas kaki di gurun pasir bermandikan cahaya bintang, kemudian angin berembus ringan dari samping.
Alquran telah menarik daya intelektual LoDuca. Ia menawarkan isyarat, kemudian mengajaknya berpikir, merenung, dan mempertimbangkan. Ia menolak keimanan yang membabi buta, tapi mendorong manusia menggunakan kecerdasan. LoDuca sadar, Alquran sepenuhnya ditujukan bagi kebaikan manusia.
Setelah beberapa waktu, niat itu semakin mengendap. Ia mulai membaca buku-buku tentang Islam. LoDuca menemukan bahwa Nabi Muhammad pernah ditegur dalam Alquran. Fakta itu tampak aneh jika Muhammad dianggap penulis Alquran, sebagaimana anggapan para orientalis.
“Orang ini tidak menunjukkan tanda-tanda seorang pembohong,” kata LoDuca. Ia berdoa pada suatu malam. Memohon ampun lantaran pernah menghina sosok mulia itu.N C38 ed: nashih nashrullah
Suatu malam, LoDuca kian terperangah tatkala membaca surah al-Anbiya’Â ayat 30. Konsentrasinya terpecah. Itu teori Big Bang! pikir LoDuca. Ayat itu masih melanjutkan lagi, segala sesuatu yang hidup berasal dari air. Bukankah itu baru saja ditemukan para ilmuwan? Ia tercengang.
LoDuca melompat turun dan mulai membaca lebih teliti. Ia memeriksa buku-buku hingga semalaman duduk di Perpustakaan Pratt Institute. Masih dengan mata terbelalak dan tumpukan buku terbuka, LoDuca tersadar. Kebenaran sudah ada di depan mata.
“Saya tidak bisa menyangkal apa yang telah saya temukan. Saya tidak bisa mengabaikannya dan hidup seperti semula. Kini, hanya tersisa satu pilihan,” ungkap LoDuca. Perempuan cerdas itu tahu, ia harus menerima. Akhirnya pada 2002, Danielle Lo Duca resmi masuk Islam.