Warna-Warni Haji Bugis Makassar

Selepas musim haji begini, mafhumnya memang jamaah dari masing-masing negara hadir dengan ciri khasnya. Jamaah kini sudah tak lagi seragam berpakaian ihram. Ada semarak warna-warni berbagai budaya di Makkah, Madinah, dan Jeddah yang jadi lokasi kepulangan sebagian jamaah.

Namun di sela-sela keriuhan citra itu, masih ada lagi para jamaah dari Sulawesi Selatan. Jamaah-jamaah perempuan kloter-kloter Debarkasi Makassar tersebut tak sedikit yang satu level lebih meriah ketimbang jamaah lainnya.

Hajjah Le’leng (60 tahun) salah satunya. Ia tiba di Bandara King Abdulaziz Jeddah mengenakan kerudung berornamen keemasan yang menjuntai. Wajahnya sudah penuh riasan. Pipinya merona, bibirnya merah manyala. Di tangan kanannya, gelang-gelang emas yang ia beli di Makkah bergemerincing.

Perempuan yang datang sendirian ke Tanah Suci itu menuturkan, sudah ada acara meriah menantinya di kampung halamannya di Maros, Sulawesi Selatan. Tak ada jeda, ia langsung akan menghadiri acara itu begitu tiba di kampung. “Sudah banyak yang diundang,” kata dia saat ditemui di Plaza D Bandara Jeddah, Senin (27/8).

Ibadah haji agaknya memang bukan perkara main-main buat orang-orang Bugis-Makassar. Bahkan sebelum di Tanah Air, sebagian sudah mengikuti ritual yang dinamai ‘Mapatoppo’ di tenda-tenda maktab dan hotel-hotel penginapan.

Haji Muhammad Nurhalik, ketua Kloter 1 Embarkasi Makassar, menuturkan, selepas menuntaskan wukuf dan melontar jumrah serta melaksanakan tawaf ifadhah, kebanyakan jamaah Bugis-Makassar akan ‘diwisuda’ oleh para ahli agama. Seturut posisinya di Tanah Air sebagai ketua Kantor Kemenang Kota Makassar, Haji Nurhalik jadi salah satu yang ‘mewisuda’ jamaah.

Caranya, jamaah laki-laki akan dipakaikan kopiah dan jubah putih secara simbolik untuk menandakan perubahan status mereka. Sementara yang perempuan akan dipakaikan semacam tali emas di kepala dan leher mereka. “Memang perempuannya paling heboh kalau dari Bugis-Makassar ini,” kata Haji Nurhalik setengah berkelakar.

Ritual sakral yang sudah sejak ratusan tahun lalu dilakukan itu, kata Haji Nurhalik, bukan tanpa alasan. Ia menekankan, ibadah haji memang perkara istimewa untuk suku Bugis-Makassar. Mereka yang pulang dari Tanah Suci semacam diangkat derajatnya di kampung halaman. “Kalau ada pesta nikahan, misalnya, kursi-kursi depan itu hanya untuk haji dan hajjah saja,” ujarnya.

Sebab itu, menurut Haji Nurhalik, masyarakat Sulawesi Selatan kerap bersedia melakukan apapun untuk sampai ke Tanah Suci. Yang punya usaha, kata dia, rela hidup susah untuk mencukupi biaya ke Tanah Suci terlebih dulu.

Saat ini, kata Haji Nurhalik, di Makassar daftar tunggunya sudah mencapai 34 tahun. Untuk kuota 1.143 jamaah pertahun, kata dia, sudah sebanyak 37 ribu yang mendaftar. “Bagi masyarakat Bugis-Makassar, berhaji itu cita-cita luhur. Mereka akan mempertaruhkan segalanya untuk naik haji,” kata dia.

Meskipun begitu, ia tak bisa memastikan bagaimana tradisi meninggikan jamaah haji itu bisa sedemikian meresap dalam kehidupan suku Bugis-Makassar. Hajjah Nurdiana (50 tahun) seorang jamaah perempuan dari Antang, Kota Makassar, paham betul soal perubahan statusnya di kampung halaman. Hari itu, pakaian berlapis-lapis sudah ia kenakan mengabaikan cuaca panas di Jeddah. Sebentar-sebentar, ia memrapikan riasan wajahnya sembari mematut diri di cermin kecil dan bedak yang ia bawa selalu.

Seperti untuk Hajjah Le’leng, sambutan untuk kedatangannya dan sang suami sudah siap di kampung halaman. Namun, Nurdiana memilih tak ikut upacara Mapatoppo di Makkah.

Ia menilai, keyakinan dirinya sendiri sudah cukup untuk meneguhkan statusnya selepas berpayah-payah di Tanah Suci. “Saya mau ‘mewisuda’ diri sendiri. Mendoakan diri saya sendiri dengan orang-orang di rumah,” kata dia. Hajjah Nurdiana juga tak bisa menjelaskan bagaimana tradisi penghargaan terhadap mereka-mereka yang sudah pergi haji sedemikian kuat di kampung halamannya.

Dalam buku Atlas Sejarah Indonesia Masa Silam (Bambang Budi Utomo, 2011) yang diterbitkan Dirjen Sejarah dan Kepurbakalaan Kemendikbud, catatan tertua soal perjalanan haji orang Bugis-Makassar datang dari masa Kerajaan Gowa pada pertengahan abad ke-16 saat mula-mula wilayah Sulawesi bersentuhan dengan Islam. Saat itu, pada masa kekuasaan Raja Gowa XII, Manggorai Daeng Mametta Karaeng Bontolongkasa (1565-1590), pendatang mulai berdatangan dari kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, Melayu, dan Ternate.

Pendatang-pendatang itu, utamanya dari puak Melayu, kemudian menyiarkan Islam di Gowa baik dengan dakwah maupun kawin campur. Saat jumlah Muslim mulai banyak, Raja Gowa XII yang sendirinya belum masuk Islam memerintahkan warganya yang Muslim menunaikan ibadah haji. Orang-orang Melayu di Gowa diminta memfasilitasi kepergian haji warga Bugis-Makassar tersebut.

Kepergian haji warga Bugis-Makassar saat itu kemudian juga jadi semacam misi diplomatis. Mereka jadi perekat persahabatan Gowa dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara seperti Mataram, Johor, Melaka, Pahang, Blambangan, Pattani, Banjar, dan Ternate-Tidore. Artinya, ibadah haji saat itu sudah punya kaitan dengan kebangsawanan buat orang-orang Bugis-Makassar.

Suku Bugis-Makassar juga sudah lama ternama sebagai para pelaut ulung yang sigap mengarungi lautan. Di masyarakat yang sedemikian, apalagi pada masa lalu, keberanian mengarungi lautan hingga ke tempat-tempat jauh seperti ke Arabia sangat mungkin jadi standar keberanian dan ketokohan.

Bagi mereka, ibadah haji bukan sekadar ritual. Ibadah haji juga penanda sudah sejauh mana mereka melangkah, atau berlayar, atau terbang, untuk memenuhi panggilan Tuhan agar jadi Muslim dan Muslimah yang paripurna. Ibadah haji jadi alasan untuk pergi jauh dan akhirnya kembali sebagai manusia-manusia yang baru.

REPUBLIKA