Gapailah Kemanfaatan!

Sudah jelas, seorang muslim selalu ingat dan berusaha mewujudkan target hidupnya dengan terus menambah ilmu yang manfaat, rezeki yang bagus dan amal shalih yang diterima Allah. Semua ini membutuhkan semangat yang baik dalam meraihnya. Allah menjadikan kebahagiaan manusia terletak pada semangatnya untuk meraih perkara yang bermanfaat bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya. Semangat ini sangat penting dimiliki seorang muslim dalam meraih target dan cita-citanya tersebut. Untuk mewujudkan semangat tersebut seorang harus mengerahkan segenap kesungguhan dan mencurahkan segenap kemampuannya.

Apabila seseorang yang sangat bersemangat menggeluti perkara yang bermanfaat baginya untuk mewujudkan keinginan yang selalu disampaikan di awal siang hari dalam dzikir paginya, maka semangatnya itu layak untuk dipuji. Seluruh potensi kesempurnaan diri akan terwujud dengan tergabungnya kedua perkara ini: ia memiliki semangat yang menyala-nyala dan semangatnya itu dicurahkan kepada sesuatu yang bermanfaat baginya…”

Oleh sebab itu Rasulullah bersabda: 

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ رواه مسلم.

Abu Hurairah  radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, namun pada masing-masingnya terdapat kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Apabila sesuatu menimpamu janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku berbuat demikian niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.’ Dikarenakan ucapan ’seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan syaitan.” (HR. Muslim [2664] lihat Syarh Nawawi, jilid 8 hal. 260).

Hadits ini berisikan kalimat yang penuh manfaat dan faedah yang berisikan cara meraih kebahagiaan didunia dan akhirat. Nabi memerintahkan untuk melakukan dua asas dan pondasi yang menjadi kunci kebahagiaan didunia dan akhirat :

  1. Pada sabda beliau (احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ) berisikan anjuran melaksanakan sebab yang bermanfaat dalam meraih perkara agama dan dunia seorang. 
  2. Pada sabda beliau (وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ) berisi ajakan tidak bersandar dan fokus hanya kepada sebab, tapi ada ajakan untuk bersandar dan bertawakal yang sempurna kepada Allah dengan meminta kepadaNya bantuan, kemudahan dan taufik. 

Perkara yang manfaat yang dianjurkan untuk semangat meraihnya mencakup perkara agama sebagainana juga perkara duniawi. Hal itu karena seorang hamba membutuhkan perkara dunia sebagaimana membutuhkan perkara agama. Sehingga Nabi mengarahkan dan membimbing kita semua untuk semangat meraih semua perkara yang bermanfaat dalam agama dan dunianya. Juga mengikuti semangat ini dengan melaksanakan sebab-sebabnya dengan bersungguh-sungguh untuk melakukan cara dan jalan yang tepat dalam meraih tujuan dan targetnya. Hal ini dilakukan dengan tetap memohon bantuan dan pertolongan kepada Allah, sebab tidak ada kuasa dan kekuatan kecuali dengan izin Allah.

Perkara yang bermanfaat dalam perkara agama Kembali kepada dua asas dan pokok yaitu ilmu yang manfaat dan amal shalih, seperti dijelaskan dalam firman Allah :

[التوبة:33] {هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ } 

Ilmu yang manfaat bersumber dari al-Qur`an dan as-Sunnah yang dapat mensucikan hati, memperbaiki jiwa dan mewujudkan kebahagian dunia dan akhirat. Sehingga seorang hamba bersungguh-sungguh dalam mendapatkan ilmu yang manfaat. Seorang harus menyisihkan setiap harinya banyak waktu untuk ilmu. Jangan sampai hari-hari berlalu tanpa adanya pertambahan ilmu yang manfaat. Oleh karena itu, Nabi berdoa setelah shalat subuh dengan doa:

اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا ، وَرِزْقًا طَيِّبًا ، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

Hal ini menjelaskan ilmu yang manfaat termasuk target terbesar seorang muslim dalam kesehariannya sehingga tidak sepatutnya seorang muslim untuk melewati hari-harinya tanpa mendapatkan ilmu yang manfaat. Tentunya hal ini menuntut seorang muslim untuk melakukan program meraih ilmu yang manfaat setiap harinya. 

Setelah itu semangat untuk beramal, sebab amal adalah maksud ilmu sebagaimana dikatakan Kholifah Ali bin Abi Thalib:

( يهتف بالعلم العمل ، فإن أجابه وإلا ارتحل )

Amalan terhubung dengan ilmu, apabila amal terwujud dan bila tidak ada amal, Ilmu pergi.

Hendaknya seorang muslim semangat untuk memiliki bagian yang banyak dari amalan yang mendekatkan dirinya kepada Allah dan yang terpenting adalah perhatian kepada kewajiban agama seperti dalam hadits Qudsi:

مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ 

Tidak ada seorang yang mendekatkan dirinya kepada ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari yang telah Aku wajibkan. 

Tidak layak seorang mukmin melewati harinya dengan menelantarkan kewajiban agama bahkan wajib setiap hari untuk bersemangat tinggi dalam memperhatikan kewajiban agama. Masuk dalam hal ini menjauhi larangan dan dosa sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan mencari ridha Allah. 

Hadit ini juga berisikan anjuran untuk meraih semua yang bermanfaat untuk dunia sebagaimana berisikan anjuran untuk meraih semua yang bermanfaat untuk akherat dari perkara agama. Sebab seorang tidak akan lepas dari kebutuhan duniawinya yang menjadi sebab untuk merealisasikan maslahat dan maksud tujuan agamanya dengan syarat tidak berlebihan sehingga melupakan ibadah kepada Allah. 

Hadits yang mulia ini sangat perlu dipelajari dan di tadabburi sehingga seorang muslim meraih kebaikan dunia dan akherat.

Faedah Berharga!

Diantaranya: 

Pertama; Allah ta’ala memiliki sifat cinta kepada sesuatu. Kecintaan Allah kepada sesuatu bertingkat-tingkat, kecintaan-Nya kepada mukmin yang kuat lebih besar daripada kecintaan-Nya kepada mukmin yang lemah. 

Kedua: iman terdiri dari ucapan dan perbuatan sebagaimana madzhab ahlussunnah wal jamaah. Sebab iman bercabang-cabang lebih dari enam puluh cabang dan dalam sebagian riwayat ada yang menyatakan lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang-cabang iman ini kembali kepada amalan batin dan amalan lahiriyah yang mencakup perkataan dan perbuatan hati, lisan dan perbuatan anggota tubuh. Siapa saja yang melaksanakan cabang-cabang ini dengan baik dan menyempurnakan dirinya dengan ilmu yang manfaat dan amal shalih. Lalu menyempurnakan selain dirinya dengan dakwah dan ajakan sabar maka ia adalah mukmin yang kuat yang telah mencapai martabat tertinggi. Siapa yang tidak dapat menyempurnakan hal-hal ini maka ia termasuk mukmin yang lemah. Namun kedua jenis mukmin ini sama-sama baik. Rasulullah setelah menjelaskan mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari yang lemah, khawatir terfahami adanya celaan bagi mukmin yang lemah, maka menyatakan:

“وفي كل خير”

Disini Rasulullah menjelaskan sisi keutamaan mukmin yang kuat dengan juga menyampaikan kedua-duanya sama-sam baik. Namun yang kuat lebih baik dan utama dari yang lemah tersebut.

Ketiga; kebaikan, kecintaan kepada Allah dan pelaksaaan syariat pada diri orang-orang beriman itu bertingkat-tingkat. Sebagaimana firman Allah :

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِّمَّا عَمِلُواْ

Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan ( Qs al-Ahqaaf 19).

Mereka terdiri dari tiga golongan manusia. 

Pertama; kaum As-Saabiqun ilal Khairat, orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan-kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan amal yang wajib maupun yang sunnah serta meninggalkan perkara yang haram dan yang makruh. 

Kedua; kaum Al-Muqtashidun atau pertengahan. Mereka itu adalah orang yang hanya mencukupkan diri dengan melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman. 

Ketiga; Azh-Zhalimuna li anfusihim. Mereka adalah orang-orang yang mencampuri amal kebaikan mereka dengan amal-amal jelek.

Setelah menyampaikan tingkatan mukmin dan keutamaan mukmin yang kuat, maka Rasulullah bersabda: 

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ 

Ungkapan ini dijelaskan oleh syeikh as-Sa’di dalam pernyataannya: 

ومتى كان حريصاً، ولكن على غير الأمور النافعة: إما على أمور ضارة، أو مفوتة للكمال كان ثمرة حرصه الخيبة، وفوات الخير، وحصول الشر والضرر، فكم من حريص على سلوك طرق وأحوال غير نافعة لم يستفد من حرصه إلا التعب والعناء والشقاء.

Kapan seorang bersemangat akan tetapi tidak dalam perkara yang bermanfaat, baik perkara yang merugikan atau yang kehilangan kesempurnaannya, maka hasil semangatnya tersebut adalah kerugian dan kehilangan kebaikan serta mendapatkan kejelekan dan keburukan. Berapa banyak orang yang semangat melakukan satu ajaran atau keadaan yang tidak manfaat tidak mengambil faedah dari semangatnya kecuali lelah, susah dan sengsara. 

Keempat; Perkara yang bermanfaat ada dua macam; perkara akhirat/keagamaan dan perkara keduniaan. Sebagaimana seorang hamba selain membutuhkan perkara agama, ia juga membutuhkan perkara dunia. Kebahagiaan dirinya akan tercapai dengan senantiasa bersemangat untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat di dalam kedua perkara tersebut dan bersungguh-sungguh mendapatkannya.  Kapan seorang hamba bersemangat melakukan perkara-perkara manfaat dan bersungguh-sungguh mendapatkannya lalu meangambil sebab dan caranya dengan selalu memohon pertolongan kepada Allah dalam mendapatkan dan menyempurnakan hal-hal yang manfaat tersebut, maka ia mencapai kesempurnaannya dan menjadi tanda-tanda kesuksesannya. Kapan ia kehilangan salah satu dari perkara-perkara ini maka ia akan kehilangan kebaikan dan kesuksesan sesuai dengan yang tidak dimilikinya tersebut. Siapa saja yang tidak semangat mencari perkara-perkara manfaat tersebut dan bermalas-malasan, maka ia tidak mendapatkan apa-apa. Syeikh as-Sa’di menyatakan:

فالكسل هو أصل الخيبة والفشل. فالكسلان لا يدرك خيراً، ولا ينال مكرمة، ولا يحظى بدين ولا دنيا

Kemalasan adalah sumber kerugian dan kegagalan. Orang yang malas tidak mendapatkan kebaikan dan tidak mencapai kemuliaan serta tidak mendapatkan kebaikan agama dan dunia. (Bahjah Qulub al-Abrar).

Ingatlah Perkara yang bermanfaat dalam urusan agama kuncinya ada 2; ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membersihkan hati dan ruh sehingga dapat membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam ilmu hadits, tafsir, dan fiqih serta ilmu-ilmu lain yang dapat membantunya seperti ilmu bahasa Arab dan lain sebagainya. Adapun amal salih adalah amal yang memadukan antara niat yang ikhlas untuk Allah serta perbuatan yang selalu mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Sedangkan perkara dunia yang bermanfaat bagi manusia adalah dengan bekerja mencari rezeki, karena manusia membutuhkannya. Dalam mencari rezeki hendaknya seorang mengambil sebab duniawi yang paling manfaat dan sesuai dengan keadaannya. Hal ini tentunya berbeda-beda sesuai dengan kondisi, waktu, keadaan dan kemampuan. Namun hendaknya tujuan mencarinya adalah melaksanakan kewajiban dirinya dan kewajiban memenuhi kebutuhan orang yang berada dibawah kekuasaan dan naungannya. Demikian juga hendaknya berniat mendapatkan sesuatu yang dapat menegakkan ibadah harta berupa zakat dan sedekah dengan mengambil usaha-usaha yang halal. 

Kelima; dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat itu tidak sepantasnya manusia bersandar kepada kekuatan, kemampuan dan kecerdasannya semata. Namun, dia harus menggantungkan hatinya kepada Allah ta’ala dan meminta pertolongan-Nya dengan harapan Allah akan memudahkan urusannya.

Imam Ibnu Qayyim rohimahulloh mengatakan,

“Letak kebahagiaan manusia ialah pada semangatnya untuk meraih perkara yang bermanfaat bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya. Mewujudkan semangat adalah dengan cara mengerahkan segenap kesungguhan dan mencurahkan segenap kemampuan. Apabila seseorang yang sangat bersemangat menggeluti perkara yang bermanfaat baginya maka semangatnya itu layak untuk dipuji. Seluruh potensi kesempurnaan diri akan terwujud dengan tergabungnya kedua perkara ini: ia memiliki semangat yang menyala-nyala dan semangatnya itu dicurahkan kepada sesuatu yang bermanfaat baginya…”

“Karena munculnya semangat dalam diri seseorang serta perbuatannya hanya bisa terwujud dengan pertolongan serta kehendak dan taufik dari Alloh maka beliau (Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) memerintahkan supaya (kita) meminta pertolongan-Nya. Demi tergabungnya maqam iyyaaka na’budu (melakukan peribadahan) dan maqam iyyaaka nasta’iin (memohon pertolongan) di dalam dirinya. Oleh karena semangat seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya termasuk ibadah kepada Alloh. Sedangkan hal itu tidak akan bisa diwujudkan kecuali dengan pertolongan Alloh. Maka beliau pun memerintahkan (kita) untuk beribadah dan sekaligus meminta pertolongan kepada-Nya.” (Ibthaalu tandiid, Syaikh Hamad bin’Atiq)

Oleh karena itu syeikh as-Sa’di menyatakan:

إذا سلك العبد الطرق النافعة، وحرص عليها، واجتهد فيها: لم تتم له إلا بصدق اللجأ إلى الله، والاستعانة به على إدراكها وتكميلها وأن لا يتكل على نفسه وحَوْله وقوته، بل يكون اعتماده التام بباطنه وظاهره على ربه. فبذلك تهون عليه المصاعب، وتتيسر له الأحوال وهذا محتاج – بل مضطر غاية الاضطرار – إلى معرفة الأمور التي ينبغي الحرص عليها، والجد في طلبها.

Apabila seorang hamba berjalan pada jalan yang bermanfaat, bersemangat dan bersungguh-sungguh padanya maka hal itu tidak sempurna kecuali dengan benar-benar berlindung kepada Allah dan memohon pertolonganNya dalam mencapai dan menyempurnakan jalan kemanfaatan tersebut. Janganlah bersandar kepada diri, usaha dan kekuatannya semata, bahkan harus bersandar sempurna dengan batin dan lahirnya kepada Allah. Dengan ini semua kesulitan akan mudah dan akan gampang semua keadaannya. Ini semua membutuhkan –bahkan tidak boleh tidak –pengetahuan terhadap perkara yang seharusnya ia bersemangat dan bersungguh-sungguh mendapatkannya.

Keenam; apabila seseorang menjumpai perkara yang tidak menyenangkan setelah dia berusaha 

sekuat tenaga, maka hendaknya dia merasa ridha dengan takdir Allah ta’ala. Tidak perlu berandai-andai, karena dalam kondisi semacam itu berandai-andai justru akan membuka celah bagi syaitan. Dengan sikap semacam inilah hati kita akan menjadi tenang dan tentram dalam menghadapi musibah yang menimpa.

Ketujuh; di dalam hadits yang mulia ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara keimanan kepada takdir dengan melakukan usaha yang bermanfaat. Sebab manusia tidak memiliki kekuasaan yang mutlak, bisa jadi manusia telah melakukan yang terbaik dan sudah memohon kepada Allah juga namun hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkannya maka manusia harus ridha kepada takdir ilahi. 

Agama seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan kedua hal itu. Sabda Nabi, “Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu” merupakan perintah untuk menempuh sebab-sebab agama maupun dunia, bahkan di dalamnya terkandung perintah untuk bersungguh-sungguh dalam melakukannya, membersihkan niat dan membulatkan tekad, mewujudkan hal itu dan mengaturnya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan sabda Nabi, “Dan mintalah pertolongan kepada Allah” merupakan bentuk keimanan kepada takdir serta perintah untuk bertawakal kepada Allah ketika mencari kemanfaatan dan menghindar dari kemudharatan dengan penuh rasa harap kepada Allah ta’ala agar urusan dunia dan agamanya menjadi sempurna.

Kedelapan: larangan menggunakan kata “seandainya” karena bisa membuka amal setan dalam mengurangi keimanannya kepada takdir dan bisa menjadi sebab ia mengingkari dan menyalahkan takdir Allah. Juga membuka pintu kesedihan dan melemahkan hati. bimbingan Nabi ini adalah jalan terbaik untuk kelonggaran hati dan lebih bisa memunculkan sifat qana’ah dan kehidupan yang baik. 

Di dalam kehidupan di dunia ini manusia tidak lepas dari musibah dan cobaan. Maka sikap seorang mukmin adalah menerima takdir yang telah terjadi dan bersabar menghadapinya. Sebagian orang jika tertimpa musibah mengatakan ”Seandainya aku tidak melakukan ini, maka aku tidak mengalami ini”. Atau ”Seandainya aku jadi orang kaya, pasti aku tidak mengalami kesusahan ini”.

Tetapi tidaklah semua perkataan ”seandainya” itu terlarang, bahkan ada perincian sebagaimana dijelaskan oleh syaikh Muhamad bin Sholih Al-’Utsaimin -semoga Alloh merohmatinya- di dalam kitab Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid, juz: 2, hlm: 122-124. Ringkasnya [penggunaan kata “seandainya” terbagi dalam 5 bagian:

  1. Mengatakan ”seandainya” untuk menggugat syari’at.

 Ini hukumnya haram, bahkan terkadang dapat menjadikan kafir orang yang mengatakannya. Di dalam perang Uhud kaum muslimin mendapatkan musibah, sehingga sekitar 70 tentara meninggal dunia. Ketika itu orang-orang munafik yang tidak ikut berperang menggugat syari’at jihad yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Mereka mengatakan: ”Seandainya mereka mentaati kita, mereka tidak akan terbunuh”. Maka Alloh Ta’ala menurunkan ayatNya:

Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”. Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar”. [QS. Ali-‘Imroon: 168]

2- Mengatakan ”seandainya” untuk menggugat takdir.

Ini hukumnya haram juga, Alloh Ta’ala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: “Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” Akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. [QS. Ali-‘Imroon: 156].

Maksud perkataan mereka yaitu: Jika mereka itu tinggal bersama kami, mereka tidak akan terbunuh, sehingga perkataan ini merupakan gugatan terhadap takdir Alloh Ta’ala.

3- Mengatakan ”seandainya” untuk mengungkapkan penyesalan.

Ini hukumnya juga haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Alloh daripada seorang mukmin yang lemah, namun pada semuanya terdapat kebaikan. Hendaklah engkau bersemangat terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Alloh, dan janganlah engkau lemah. Jika ada sesuatu menimpamu, maka janganlah engkau mengatakan ”Seandainya aku melakukan, niscaya terjadi ini dan itu”. Tetapi katakanlah ”Ini adalah takdir Alloh, dan apa yang Dia kehendaki, Dia lakukan”. Sesungguhnya kata ”seandainya” akan membuka perbuatan syetan. [HR. Muslim, no: 2664; Ibnu Majah; dan Ahmad; dari Abu Huroiroh]

4- Mengatakan ”seandainya” untuk menyatakan keinginan, harapan, atau cita-cita.

Ini hukumnya tergantung apa yang diinginkan itu, jika berupa kebaikan, maka dibolehkan, bahkan mendapatkan pahala, jika berupa keburukan, maka terlarang. Dalilnya adalah sabda Rasulullah : 

ثَلَاثَةٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ: قَالَ مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ, وَلَا ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً فَصَبَرَ عَلَيْهَا إِلَّا زَادَهُ اللَّهُ عِزًّا, وَلَا فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ إِلَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ بَابَ فَقْرٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا 

وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ: قَالَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ:عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِوَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌوَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ

وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

Dari Abu Kabsyah Al-Anmari rodhiyallohu ‘anhu, bahwa dia mendengar Rasululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga (perkara) aku bersumpah terhadap ketiganya, dan aku akan mengatakan satu perkataan kepada kamu, maka hafalkanlah! Beliau bersabda:

  • Harta seorang hamba tidak akan berkurang karena shodaqoh.
  • Tidaklah seorang hamba dizholimi dengan kezholiman, lalu dia bersabar terhadap kezholiman itu kecuali Alloh menambahkan kemuliaan kepadanya.
  • Tidaklah seorang hamba membuka pintu permintaan, kecuali Alloh membukakan pintu kefakiran, atau kalimat seperti itu.

Dan aku akan mengatakan satu perkataan kepada kamu, maka hafalkanlah! Beliau bersabda:

Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang:

  • Hamba yang Alloh berikan rezeki kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada Robbnya pada rezeki itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rezekinya, dan dia mengetahui hak bagi Alloh padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Alloh).
  • Hamba yang Alloh berikan rezeki kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rezeki berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”.

Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama.

  • Hamba yang Alloh berikan rezeki kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rezeki kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertaqwa kepada Robbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Alloh padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Alloh).
  • Hamba yang Alloh tidak memberikan rezeki kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.

(Hadits Shohih Riwayat Tirmidzi, no: 2325; Ahmad 4/230-231, no: 17570; Ibnu Majah, no: 4228; dan lainnya. Dishohihkan Syeikh Al-Albani di dalam Shohih Sunan Ibni Majah, no: 3406 dan Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Sholihin 1/607-609, no: 557; Lihat juga: Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, hal: 252-253)

5- Mengatakan ”seandainya” untuk menyatakan berita.

Ini hukumnya boleh. Contoh seperti perkataan: ”Seandainya aku menghadiri kajian, aku pasti mendapatkan faedah”. Contoh lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

لَوْ لاَ أَنَّ مَعِي الْهَدْيَ لَأَحْلَلْتُ

Seandainya aku tidak membawa hewan kurban, sesungguhnya aku telah tahallul. [HR. Muslim, no: 1250]

Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya oleh pamannya, Al-’Abbas bin ‘Abdul Muththolib: ”Tidakkah anda dapat menolong pamanmu (Abu Tholib), karena sesungguhnya dia dahulu melindungimu dan marah karena membelamu?”. Beliau bersabda:

هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ وَلَوْ لاَ أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ

Dia berada pada neraka yang dangkal, dan seandainya bukan karena aku sesungguhnya dia berada di lapisan terbawah dari neraka. [HR. Bukhori, no: 3883; Muslim, no: 209]

Inilah perincian perkataan ”seandainya”, semoga bermanfaat bagi kita semua.

Al-hamdulillahi rabbil ‘alamiin.

Sebagai penutup, mari kita lihat Kembali petunjuk Nabi dalam hadits ini yaitu:

  1. Bersemangat mendapatkan perkara manfaat
  2. Berijtihad (bersungguh-sungguh) dalam mendapatkannya.
  3. Memohon pertolongan kepada Allah
  4. Bersyukur kepada Allah atas semua kemudahan 
  5. Ridho dengan yang tidak didapatkan dan yang hilang darinya.

Mari kita bergerak dan bekerja berdasarkan petunjuk Rasulullah ini.

Wabillahittaufiq.

Oleh Ustadz Kholid bin Syamhudi, Lc.

Read more https://yufidia.com/7401-gapailah-kemanfaatan.html

Tunjukkan Apa yang Bermanfaat Bagi Kami

SERINGKALI para sahabat berkunjung kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk hidup agar selamat dunia akhirat. Ada sahabat yang sudah berusia tua, seperti Qabishah misalnya, ataupun yang muda. Ada pula yang datang berombongan juga dalam rangka mendapatkan arahan menuju hidup di akhirat yang baik.

Tak banyak yang permintaan petunjuknya yang hanya berhubungan dengan dunia. Rata-rata berhubungan dengan akhirat. Terlihat sekali bahwa mereka para sahabat itu memiliki semangat keberagamaan yang sangat bagus. Wajarlah kalau kemudian Rasulullah bersabda bahwa sebaik-baiknya masa adalah masa Rasulullah. Ketenangan dan kedamaian dalam hidup sangat mereka rasakan walau dalam hal kondisi ekonomi yang terbatas.

Andai masyarakat kini meneladani semangat generasi sahabat, yakni selalu fokus pada hal yang bermanfaat dunia akhirat, maka masyarakat kini pun akan merasakan kedamaian dan ketenteraman. Rupanya, yang paling banyak dicari dan diburu kini adalah bagaimana caranya menggapai hal duniawi saja. Akhirnya, ketulusan dan kelembutan hati hilang digantikan oleh keserakahan dan angkara murka. Aksi saling tuduh, saling caci dan saling jegal menjadi tontonan langsung keseharian. Persahabatn dan persaudaraan hancur berkeping dan sulit ditata rapi kembali.

Kita rupanya belum yakin dengan ayat dan hadits serta kesimpulan para bijak bahwa jika urusan kita dengan Allah adalah baik, maka urusah dunia kita akan dengan sendirinya menjadi baik. Jika akhirat adalah sudah di tangan, maka dunia pun akan turut serta bersama. Bukankah yang mengatur hidup ini semuanya adalah Allah?

Ada ungkapan yang pernah saya baca dan ungkapan ini sangat lekat dalam pikiran saya. “Akhirat adalah Ibu, dunia adalah puterinya. Barangsiapa mengawini sang puteri, maka haramlah mengawini ibunya juga selamanya.” Lalu bagaimanakah kita dengan dunia kita? Ambillah yang sekiranya bermanfaat dan gunakanlah untuk hal yang bermanfaat, maka kita akan senantiasa dituntun diarahkan menuju hidup yang semakin baik. Salam AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Muslim harus Memberi Manfaat sesuai Potensinya

KITA tidak diminta untuk memberikan semua bentuk kebaikan kepada orang lain. Karena itu mustahil bisa kita lakukan, mengingat kita tidak memiliki semua potensi yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Karena itulah, islam mengarahkan kepada kita untuk memberikan manfaat bagi orang lain, sesuai potensi yang kita miliki.

Dan bagian dari keadilan Allah, Dia membagi amal bagi para hamba-Nya, sesuai potensinya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Beramal-lah, karena setiap jiwa itu dimudahkan sesuai tujuan penciptaannya.” (HR. Bukhari 4949 & Muslim 6903) Semua manusia diarahkan untuk beramal sesuai dengan ujung hidupnya. Orang yang mendapat kebahagiaan di ujung hidupnya, akan dimudahkan untuk melakukan amal yang mengantarkannya kepada kebahagiaan. Dan sebaliknya.

Imam Malik pernah mendapatkan sepucuk surat dari kawannya, Abdullah al-Umari, orang yang sangat rajin beribadah. Dalam surat itu, kawannnya mengajak Imam Malik agar jangan berlebihan duduk mengajar hadis di Madinah, tapi hendaknya menyendiri dalam rangka banyak beribadah. Kemudian Imam Malik memberikan jawaban dengan pernyataan yang cukup menekan,

“Sesungguhnya Allah Taala- telah membagi amal untuk para hamba-Nya, sebagaimana Allah membagi rizki. Ada banyak orang yang dimudahkan untuk melakukan amal shalat, namun dia tidak dimudahkan untuk puasa. Ada juga yang dimudahkan dalam bersedekah, namun tidak dimudahkan untuk amal puasa. Ada yang dimudahkan untuk jihad, namun tidak dimudahkan untuk shalat. Dan menyebarkan ilmu serta mengajarkannya, termasuk amal kebaikan yang paling afdhal.”

Lalu beliau melanjutkan, “Dan saya telah ridha dengan kemudahan amal yang diberikan oleh Allah kepadaku. Dan aku tidak menganggap bahwa amal yang saat ini saya tekuni, lebih rendah tingkatannya dibandingkan amal yang sedang kamu jalani (berjihad). Dan saya berharap, masing-masing kita berada dalam kebaikan. Dan wajib bagi kita untuk ridha dengan pembagian amal yang telah ditetapkan oleh Allah. was salam” (at-Tamhid, Syarh Muwatha, 7/185)

Kita tidak diminta agar semuanya menjadi dai. Atau menjadi orang kaya yang dermawan. Atau menjadi pejabat yang bisa memberi banyak kemudahan bagi lingkungan. Namun masing-masing diminta untuk menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah dan berusaha memberikan manfaat sesuai potensi yang dimiliki.

Mereka yang memiliki jabatan, bisa memberikan manfaat bagi umat islam dengan jabatannya
Mereka yang diberi kelebihan harta, bisa memberikan manfaat dengan kelebihan hartanya.
Sebagaimana mereka yang diberi pemahaman ilmu, bisa memberikan manfaat dengan ilmunya

 

INILAH MOZAIK